Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki. No commercial profit taken.

Warning future!AU, probably OOC, cliché, (VERY) slow-paced. Kesamaan ide harap dimaklumi.

Karya ditulis untuk Miragen+ dengan mengambil prompt kehidupan dan harapan. Cerita utuh, dari awal hingga selesai, bisa dibaca di akun ao3 saya dengan nama pena devsky.


even the sun is not everlasting

by sabun cair

point 11


Aomine menuangkan air panas ke dalam ramen kemasan. Cairan itu mengucur, memenuhi lebih dari setengah tinggi cangkir kemasannya, sebelum kemudian ditutup rapat oleh pria itu. Mengunci panas di sana dan mengungkung ramen instan di dalamnya.

Butuh menunggu sekitar tiga hingga lima menit sebelum makanan yang dibeli dari kombini itu siap. Ia pun memutuskan untuk duduk manis di kursi makan. Matanya, yang dihias bekas-bekas kantung tidur dan gurat lelah, menyisir sisi-sisi apartemen yang ia tinggali.

Masih kecil dan sumpek, persis seperti waktu pertama ia menginjakkan kaki di sini dulu. Bahkan setelah tahun-tahun berlalu, tidak ada yang berubah tentang tempat ini.

Pandangannya menggelinding sekali lagi, melewati pot pohon palem kecil yang daun-daunnya layu di sudut ruangan, kemudian berhenti di dinding dekat tempat tidur. Di mana sebuah papan berisi potongan berita dipasung. Mereka semua diambil dari beragam sumber, beragam media. Koran dari beberapa nama, tabloid, dan beberapa juga merupakan hasil cetak kasar artikel internet.

Kendati begitu, keseluruhannya memuat sebuah berita yang sama: tentang kisah tragis seorang gadis yang mati setelah lompat dari apartemen. Gaya penceritaan mereka berbeda-beda. Yang satu lebih fokus pada detil dan keterangan saksi sekitar, satunya lagi mencoba mengulik latar belakang si korban yang merupakan mahasiswa semester akhir, sementara yang lainnya lebih pada kronologi kejadian. Ada juga beberapa artikel yang merangkum wawancara dengan para pakar psikologi dan berujung pada konklusi tingkat depresi dan tendensi untuk bunuh diri seseorang kian hari kian meningkat, kemudian dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang ada.

Tak ada satu pun yang membicarakan tentang alasan di balik tindakan bunuh diri si korban. Jawaban pakar yang menyatakan bahwa gadis itu menderita depresi berat sudah cukup untuk ditelan masyarakat. Kemungkinan perkara pendidikan atau bisa juga orangtua, karena saksi menyebut jika kedua orangtua korban telah berpisah lima tahun. Hanya berpisah, meski belum ada perceraian.

Tapi, oh, Aomine tahu pasti bahwa ini bukan lebih dari sekedar depresi. Momoi Satsuki bukan gadis yang gampang menyerah. Dia mungkin berisik dan di saat-saat tertentu bisa menjadi seorang melankolia, namun Aomine Daiki berani bertaruh jika tak pernah ada pilihan bunuh diri di dalam kepala Momoi.

Dan tidak akan pernah ada.

Maka ketika Aomine waktu itu menemukan tubuh Satsuki menghempas udara, lalu pasrah dihantam gravitasi, berakhir diremukkan bumi, ia menjadi orang yang paling terguncang setelah kedua orangtua gadis itu.

Bahkan ketika menghadiri upacara pemakaman, Aomine tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa: ya, ia terguncang. Air matanya tidak menetes dan matanya tidak seperti hendak menangis, tetapi rahangnya mengeras. Ada emosi yang lebih dalam ketimbang dibilang duka. Mungkin itu perasaan tak terima, mungkin juga rasa seperti dikhianati.

Bagaimanapun, mereka adalah teman lama yang selalu bisa bertemu. Kalaupun ada waktu di mana mereka tak bisa bertatap muka, Momoi menyimpan seluruh kontak Aomine. Mulai dari nomor ponsel, sampai ke akun-akun media sosial—yang mana ia tidak terlalu aktif menggunakannya. Gadis itu bahkan tahu beberapa password Aomine karena ia kepalang malas memberikan variasi pada kode keamanan. Jika gadis itu punya masalah, bukankah lebih masuk akal jika ia menghubungi Aomine?

Dia bukan tipikal pendengar yang baik dari luar, memang. Aomine lebih suka langsung menghajar seseorang yang membuat masalah dengannya alih-alih bicara. Tapi, tidak ada yang bilang jika ia tidak dapat memerhatikan. Seharusnya Momoi-lah yang paling tahu akan itu karena, ayolah, mereka sudah mengenal sejak lama.

Dan Momoi lebih memilih mengakhiri hidupnya alih-alih percaya pada orang di sekitarnya. Ya, tentu saja. Apa yang bisa dia harapkan?

Aomine membuka penutup ramen instannya, mendapati mie di dalam sana sudah matang sempurna. Bau khas makanan instan sarat MSG menghampiri indera penciuman. Perutnya memberi reaksi berupa bunyi yang bagai gema rontaan, tak sabar diisi.

Diraupnya sumpit dari atas meja, kemudian mulai menikmati hidangan yang kaya akan bahan pengawet tersebut dalam keheningan. Kendati demikian, benaknya masih memutar percakapan dengan Imayoshi malam kemarin.

"Karena aku berpikir kau mungkin ada di posisi yang sama denganku. Aku yang dulu, tentu saja."

Lidahnya berdecak. Setengahnya akibat ramen yang tengah ia makan, setengahnya lagi karena akibat mengingat perkataaan pria berkacamata itu.

Sungguh, Aomine tidak paham bagaimana cara Tuhan menggariskan takdir-takdir manusia. Kenapa Dia membuat Aomine dan Imayoshi bertemu. Maksudnya demi apa pun, mereka memiliki satu kisah hidup yang nyaris persis. Detil-detil kecilnya mungkin berbeda, tetapi intinya sama.

Apakah Tuhan sedang menyuruh Aomine untuk memikirkan lagi jalan yang sudah ia pilih, atau justru Dia sedang mengejek Aomine tentang keputusannya?

Yang mana pun rasanya menyebalkan.

Pria itu pun melirik kembali pada kumpulan koran yang ia tempel di papan. Seluruh informasi yang telah ia kumpulkan sekian lama dari berbagai sumber. Seluruh informasi yang sengaja ia pajang agar tak lupa pada kematian Momoi Satsuki.

Oh, ya, sebenarnya bagaimana awal dari semua kisah ini?

Jika ditanya seperti itu, maka jawaban Aomine adalah, "Tidak tahu." Karena, serius, ia bahkan tidak mengira jika sahabat terdekatnya akan berakhir dengan cara seperti ini.

Momoi selalu terlihat bersinar dan hangat dan galak. Tidak pernah berubah walaupun tahun-tahun telah berlalu.

Lulus SMP, mereka melanjutkan ke sekolah yang sama. Letaknya cukup jauh dari rumah hingga harus mereka tempuh dengan kereta.

Lulus SMA, tepat setelah kabar diterimanya Momoi di salah satu universitas di sana, ia dan ibunya pindah ke Tokyo. Tinggal bersama kerabat dekat di salah satu apartemen pada kondominium dua puluh lantai. Ayahnya tak ikut. Bukan karena ada perpecahan, seperti yang sering disebut dalam surat kabar. Melainkan lebih karena memutuskan mengurus ibundanya yang sudah kepalang renta dan tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke Tokyo.

Aomine sendiri pindah ke Tokyo beberapa bulan kemudian, ketika memutuskan untuk masuk sekolah polisi. Menjalani pelatihan dan didikan yang disiplin.

Satu atau dua kali dalam seminggu, lelaki itu bertemu dengan Momoi. Berkonversasi.

Tak ada yang aneh dari gadis itu. Cara dia tersenyum, bagaimana ia memukul Aomine ketika lelaki itu merespon sesuatu dengan konyol, atau bagaimana cemerlang gemintang yang berbinar di kedua bola mata. Tak satu pun dari mereka pudar.

Tak ada alasan.

Tapi kemudian Momoi bunuh diri.

Ini tidak masuk akal, bagaimanapun caramu melihatnya. Dan hal itu menggelitik Aomine untuk mencari tahu lebih dalam, tentu jika ia dipertemukan kesempatan.

Beruntung—atau mungkin, sialnya— Tuhan benar-benar memberikan kesempatan itu pada Aomine.

Dua minggu setelah kematian Momoi Satsuki, ibu gadis itu dilarikan ke rumah sakit. Rasa kehilangan yang menggelayuti berubah menjadi beban, membuatnya stres kemudian dihantam sakit. Karena ayahnya masih belum bisa meninggalkan ibunya di kampung halaman, maka sanak saudara yang tinggal bersama wanita itu pun mesti menunggui. Aomine juga sempat datang untuk menjenguk, tapi tak terlalu lama karena kerabat ibu Momoi memintanya kembali bersama dua anaknya. Merapikan kamar yang dulu ditempati Momoi.

"Dia sering mengurung diri di kamar Satsuki dan menangis seharian. Jadi kami memutuskan bahwa lebih baik kamar itu dibereskan dan ditutup sementara."

Pada waktu itu, Aomine mengerti mengapa keputusan itu diambil. Jadi, ia memutar langkah. Pulang bersama dua anak kerabat Momoi—laki-laki dan perempuan, masing-masing usia mereka hanya berjarak dua hingga tiga tahun lebih muda dari Aomine.

Hari itu, ia masuk ke kamar Momoi. Membantu mengepaki barang-barang di meja belajarnya yang rapi. Wangi parfum yang sering Momoi gunakan begitu menyengat di ruangan tersebut, membuatnya entah kenapa merasa rasa kehilangan yang belum sepenuhnya hilang kini kembali terbuka. Lebar.

Dan di saat tersebut, seolah diatur dengan sangat sempurna, matanya menangkap sebentuk catatan harian. Milik Momoi, tentu saja. Karena kendati di lembaran buku tersebut tak terdapat nama pemilik, namun Aomine mengenali siapa pemilik tulisan yang mengisi sebagian besar halamannya.

Tentu saja Aomine tidak memberitahu siapa pun tentang buku itu. Ia menyimpannya seorang diri, bagai rahasia kecil paling penting.

Tak ada yang tahu jika ia membaca isi catatan harian Momoi di dalam kamar tamu yang disediakan untuknya. Ketika malam sudah sunyi sementara semua orang telah lelap dalam tidur.

Tak ada yang tahu jika Aomine membaca rangkaian kata paling jujur yang pernah Momoi tulis. Ada kekecewaan yang tumpah ketika ia mesti berpisah sementara dengan ayahnya. Ada kesedihan yang mengalir ketika ia tak diterima di jurusan sasarannya. Ada begitu banyak emosi yang bersembunyi di balik tulisan, ketika goresan pena itu membentuk sebuah nama yang tak asing bagi Aomine.

Akashi.

Ada begitu banyak Akashi.

"Akashi-kun."

"Akashi-kun."

"Akashi-kun."

"…" Aomine tidak tahu Momoi berharap sebanyak ini pada Akashi Seijuurou—kawannya semasa SMP dulu.

Tentu saja ia tahu jika Momoi menyimpan perasaan pada pemuda merah tersebut. Terlihat dari bagaimana ia selalu berusaha keras terlihat manis untuk berhadapan dengan Akashi, atau bagaimana caranya menatap pemuda itu—begitu lembut, begitu keibuan, begitu banyak harapan. Tapi mereka tidak pernah kelihatan menjalin hubungan.

Bukan, mungkin lebih tepatnya Akashi yang selalu bersikap tak acuh. Mustahil ia tak tahu. Midorima dan Kise sempat saling bertukar pandang dengan siratan pesan mencurigakan ketika melihat Momoi yang jelas kelihatan berbeda saat bicara dengan Akashi, membuat Aomine menarik kesimpulan jika kedua kawannya tersebut juga punya kecurigaan yang sama. Tetapi lebih memilih bungkam sampai akhir.

Aomine selalu mengira, begitu upacara kelulusan SMP selesai, maka cinta monyet itu juga akan selesai. Tamat.

Tapi begitu ia membalik berlembar-lembar catatan harian milik si gadis, terkuaklah semua.

Bahwa Momoi tak pernah satu kali pun menyerah. Bahwa tujuannya masuk ke universitas itu adalah demi bertemu Akashi.

Dan di catatan terakhir, Aomine tidak dapat menahan agar rahangnya tidak mengeras.

Karena di atas sana, di atas kertas yang penuh coretan pena, yang kotor oleh coretan air mata, gadis itu menulis tentang harapan dan mimpi yang rusak. Tak dapat tertolong. Dan yang merusaknya adalah Akashi.

Pemuda itu lah yang mengambil kehormatan Momoi. Dan ketika gadis itu mencoba untuk menjadi lebih dekat dengannya—hal yang wajar karena pria itulah yang mengambil keperawanannya, bagaimana mungkin perempuan normal yang polos bisa santai saja setelah kejadian itu? Bahkan kalaupun mereka melakukannya dengan kerelaan— yang Akashi lakukan adalah memalingkan diri.

Tentu saja, pada akhirnya Momoi bisa menemukannya juga. Mereka bicara, melakukan satu kali lagi seks, kemudian lima orang pria asing masuk ke kamar hotel yang mereka pesan.

Siapa? Tidak tahu.

Yang tertulis di catatan itu adalah kenyataan jika Akashi meninnggalkan Momoi begitu saja bersama kelima pria itu. Tidak menoleh, bahkan ketika gadis itu menangis, memohon sambil memanggil namanya.

Momoi berakhir diperkosa beramai-ramai.

Itulah alasan mengapa gadis itu memilih mengakhiri hidupnya. Karena ia tidak berpikir ada seseorang yang akan mendengar ataupun menerimanya. Tidak ibunya atau bahkan keluarga terdekatnya. Dan ia terlalu malu membuka aib di depan Aomine karena—sedekat apa pun— mereka masihlah orang lain.

Mereka seperti dipisahkan oleh sebuah cermin.

Terlihat dekat, tapi ada sekat yang memisah.

Hei, bukannya jika sudah seperti ini, maka yang akan sepenuhnya disalahkan adalah diri Momoi sendiri? Karena seperti itulah masyarakat berpikir. Polanya begitu kaku. Dan Momoi tidak bisa menyalahkan itu—walaupun mungkin ia sendiri mau.

Aomine Daiki membiarkan cangkir ramen instannya begitu saja di meja begitu isinya sudah sempurna kosong.

Pria itu kini telah berdiri di depan papan yang di atasnya penuh dengan potongan berita kematian Momoi. Matanya bergulir, membaca satu demi satu rangkaian kanji di situ. Seluruh kata di sana sudah ia hapal mati, akibat terlalu sering dibaca. Namun rasa kosong akibat kehilangan itu selalu seperti baru. Tidak berkurang, seolah musim-musim yang berlalu tak berdaya mengusirnya.

Semenjak kematian Momoi, ia mengupayakan memanfaatkan profesinya untuk mengungkap semua. Minimal menangkap lima pria yang memerkosa Momoi ramai-ramai. Maksimal menjebloskan Akashi ke penjara, kalau bisa ia harus melihatnya membusuk di dalam sana. Tetapi Imayoshi dan kisah kecilnya mengganggunya.

"Bukankah kau juga sedang kehilangan objektifitasmu, Aomine-kun?" begitu yang ia katakan waktu itu.

Ia mengusap kepala. Menghela napas kasar. Entah kenapa merasa marah, entah pada siapa.

"Kalau kautahu semua ini, apa yang akan kaulakukan, Tetsu?"

Di atas tempat tidur, laptopnya menyala.

Menampilkan surat elektronik.

Subjeknya adalah Invitasi Reuni.

.

.

.

tbc