TITLE : HELLO (SEQUEL OF I TOLD YOU I WANNA DIE)
AUTHOR : DAVIDRD
PAIRING : MEANIE
GENRE : ANGST, ROMANCE, ACTION
RATING : PG-13
LENGTH : ONESHOT
WORD COUNT : 8372
NOTE :
Mian kalo banyak typo, cerita jelek, berbelit-belit maklum author masih amatiran.
Don't like don't read. No bashing please! No harsh comment whatsoever!
.
.
.
Terkadang melepas apa yang kita miliki adalah salah satu cara mencapai kebahagiaan. Mengekang sesuatu yang tidak seharusnya menjadi milik kita hanya akan membuat kita sedih, sakit, dan terpuruk. Mungkin kita tidak menyadari seberapa besar kebahagiaan yang akan kita dapatkan ketika kita melepasnya karena ketakutan akan kehilangan, tetapi selalu ada kesempatan untuk mencari tahu dan mencoba. Begitu juga dengan hidupku. Aku telah melepaskan satu-satunya hal paling berharga dalam hidupku, Mingyu.
"Wonwoo-ya, apa yang sedang kau pikirkan?" seorang pemuda bermata segaris dan rambut blonde menatap ke arahku dengan tatapan menyelidik.
"Ah, ne. Apa yang barusan kamu tanyakan Soonyoung-ah?" sontak saja aku menghentikan kegiatan melamun yang sudah menjadi kehidupan kedua bagiku setelah kejadian waktu itu, empat tahun yang lalu.
"Apa kau sakit?" pemuda yang lebih pendek dariku itu berusaha meletakkan punggung tangannya di dahi mencoba mengecek apakah aku demam atau tidak, tapi sebelum tangan itu sempat mendarat di kulitku aku menepisnya pelan sambil mencoba memasang senyum di wajahku,"Nan gwaenchana Soonyoung-ah."
"Really? But you look tired and a little pale," ucap Soonyoung sambil mengangguk-angguk pada tiap perkataannya mencoba mengamatiku sekali lagi.
"Mungkin aku hanya kelelahan jadi kau tidak perlu khawatir. Ah, itu Seokmin sudah datang!" ujarku mencoba mengalihkan perhatian. Aku benci ketika dia terlalu khawatir dengan kesehatanku, aku tahu aku sangat senang dan bersyukur karena ada orang yang memperhatikanku seperti ini, tapi aku tidak ingin menjadi beban bagi semua orang. Sudah cukup sekali dalam hidupku aku menggantungkan hidupku pada orang lain, aku tidak ingin semuanya terulang lagi.
Menggantungkan hidupku pada orang lain sama saja memberikan harapan palsu bagi diri sendiri. Membuatku berkhayal dan memimpikan hal-hal yang menyenangkan walaupun pada kenyataannya hanya pahitnya hidup yang aku rasakan. Seberapa besar tingkat ketergantungan pada orang lain akan meninggalkan sakit yang sepadan bahkan berlipat-lipat. Sama halnya dengan sakit yang kurasakan sekarang. Sakit karena aku terlalu bergantung pada Mingyu dan merindukan kehadirannya di sisiku.
Soonyoung mengalihkan pandangannya dan tersenyum setelah mendapati kekasihnya sudah datang menjemputnya,"Seokmin baby," panggilnya segera sambil melambaikan tangannya. Pemuda yang dipanggil membalas senyuman kekasihnya dengan cengiran lebar khas kudanya dan berjalan menuju meja tempat kami duduk.
"Hai Soon baby, hai Wonwoo-hyung!" pemuda tegap berwajah tampan tersenyum dan duduk di samping kekasihnya, mencuri kecupan singkat di bibir Soonyoung. Mereka benar-benar serasi, aku sangat bahagia melihat mereka berdua walaupun sebenarnya terbersit rasa iri di sudut hatiku.
Iri karena aku tidak pernah bisa merasakan hal yang sama seperti mereka. aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk jatuh cinta. Ya, kata jatuh cinta saja sudah membuatku putus harapan dan sepertinya rasa sakit di hatiku kembali terbuka jika aku mengucapkannya saja. Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa jatuh cinta lagi karena semua perasaan cintaku sudah kuberikan bagi Mingyu dan semuanya telah berakhir. Hatiku sudah mati seiring berjalannya waktu. Kini yang tersisa hanya sakit dan sakit, tidak ada secuil kebahagiaan sejati yang kurasakan di hidupku sekarang ini.
"Hai Seokmin," jawabku membalas senyumannya.
"Kalian sudah lama di sini?" Seokmin yang cengirannya mirip kuda itu menghadap ke arah kami berdua sambil merangkulkan lengannya ke pundak Soonyoung membuat kekasihnya itu nyaman.
"Ani, baru lima belas menit kami di sini. Oya, mana temanmu?" Soonyoung bertanya dengan energetiknya. Sumpah, anak ini seperti selalu penuh semangat dan selalu tersenyum cerah ceria walaupun ketika dia sedang serius, keseriusannya akan mengalahkan segalanya dan membuat orang takut untuk sekedar menegurnya.
"Dia sedang mengangkat telepon di luar. Sebentar lagi dia juga masuk," jawab pemuda bernama Seokmin yang sudah kukenal selama hampir empat tahun ini dengan santai,"Ah itu dia! Gyu di sini!"
Aku mengikuti arah pandangan Seokmin yang sedang sibuknya melambaikan tangan seperti yang Soonyoung lakukan beberapa menit tadi. Pandanganku tertuju pada pemuda tegap berambut hitam pekat yang baru saja masuk dari pintu depan cafe membuatku tercengang dan tidak bisa bergerak sama sekali.
"Maaf sudah mem-," ucapannya terhenti ketika ia melihat ke arahku dan pandangan kami bertemu.
"Woo/Gyu," serentak kami mengucapkan silabel yang sudah lama tidak kami ucapkan.
Flashback
Putih. Itulah hal pertama yang kulihat setelah aku membuka kedua mataku. Aku tidak tahu apakah aku harus senang karena aku yakin bahwa warna putih yang kulihat ini adalah langit-langit rumah sakit, atau aku harus bersedih karena keinginanku untuk mati tidak pernah terkabul. Kudengar beberapa suara cemas yang mendekat ke arah tempatku terbaring. Aku bisa mendengar dengan jelas seseorang berkata,"Oh God, dia sadar. Seokmin-ah dia sudah sadar." Seokmin? Siapa dia? Siapa pemuda yang berbicara tadi? Kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Seingatku tidak ada siapapun di markas Mr. Yoon waktu itu.
Seorang dokter dan beberapa perawat mendekati tubuhku dan mulai melakukan beberapa pemeriksaan dengan beberapa alat kesehatan yang aku tidak tahu namanya dan tidak ingin kutahu seumur hidupku itu. Mereka seakan tercengang tidak percaya kalau aku bisa siuman seperti sekarang. Mungkin mereka sudah kehilangan harapan padaku dan mengira aku akan segera mati. "Ini sebuah keajaiban. Kita harus bersyukur pada Tuhan karena teman Anda masih diberi keselamatan," ucapan dokter itu membuatku makin bingung. Teman? Tapi, siapa?
"Kau sudah sadar?" seorang pemuda tampan yang terkesan imut dengan mata segaris setelah ia mendekat ke arahku. Aku mengenali suaranya sebagai pemuda yang berteriak tadi.
"Syukurlah hyung, kau tidak apa-apa," seorang pemuda lain yang berambut pendek hitam menimpali ucapan pemuda satunya.
"Nu-nugu-se-yo?" ucapku terbata-bata. Suaraku sangat parau, aku merasahaus karena tidak minum sudah sangat lama dan tenggorokanku serasa kering dan sakit. Pemuda yang lebih pendek seakan mengerti masalahku segera mengambil segelas air putih dan menawarkannya padaku yang langsung kuterima dengan senang hati.
"Ehm hyung, kenalkan aku Lee Seokmin. Aku polisi yang kebetulan menemukanmu di gudang dekat pelabuhan tiga bulan yang lalu hyung," pemuda berwajah unik namun tetap tampan itu memulai perkenalan.
"Oh, dan aku Soonyoung. Kwon Soonyoung. Bisa juga kau memanggilku Hoshi. Aku-," belum sempat menjelaskan Seokmin melanjutkan kalimat Soonyoung,"He is my boyfriend," dengan bangganya dia menarik bahu Soonyoung dan merangkulnya hingga mereka berdiri berdampingan.
"Oh, jadi kalian yang menyelamatkanku?"
"Bukan kami, tapi Seokmin," ujar Soonyoung melemparkan tatapan bangga pada kekasihnya.
"Ani, kebetulan saat itu kami sedang melakukan patroli karena mendengar ada yang melaporkan akan ada transaksi illegal di gudang dekat pelabuhan. Tapi, setelah kami ke sana kami tidak menemukan transaksi illegal, dan kami justru menemukan kalian."
"Berapa banyak orang yang selamat?" tanyaku penasaran walaupun dalam hati aku berharap tidak ada yang selamat selain aku.
"Just you hyung. Dari sekian banyak korban di sana, hanya kau yang bisa kami selamatkan. Kondisi korban yang kami temukan sudah sangat parah, mereka sudah meninggal. Waktu kami sampai, seolah di tempat itu baru saja terjadi pertarungan maut karena banyak darah dan mayat."
"Tidak adakah seorang laki-laki paruh baya yang selamat di sana?" tanyaku penasaran karena seingatku salah satu anak buah Mr. Yoon yang menusukku masih hidup dan sehat.
"Ani, semua yang kami temukan sudah tewas hyung."
"Hyung, apa hubunganmu dengan komplotan mafia itu?" tanya Seokmin yang melepaskan rangkulan lengannya di pundak Soonyoung dan duduk di kursi kosong dekat tempat tidurku dengan tatapan serius.
"A-aku, a-aku, Mr. Yoon," aku merasakan oksigen yang ada di paru-paruku mendadak hilang entah kemana, darah di jantungku rasanya berdesir dengan cepat dan tidak beraturan membuat detaknya bertambah cepat membuatku semakin susah bernapas.
Mendengar seseorang ingin mengetahui kejadian waktu itu membuat tubuhku bergetar hebat dan tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Rasa sakit itu perlahan kembali muncul dan menyeruak di dalam dada. Tanganku menggenggam erat dan sangat erat membuat warna putih pucat menyebar ke seluruh kulit tubuhku.
"Gyu…Gyu… di mana Gyu?" suaraku bergetar menyebutkan nama itu.
"Yah, neo gwaenchana?" Soonyoung panik dan menggoncang tubuhku perlahan,"Seokmin-ah, panggil dokter! Cepat!" Seokmin yang mendengar perintah kekasihnya itu segera melesat dan mencari dokter yang menanganiku barusan.
"Gyu? Gyu eodie? Gyuie…," aku terus memanggil namanya berharap dia akan datang padaku.
Rasa sakit yang sudah familiar di tubuhku itu seakan berlipat ganda dan tidak bisa dihentikan. Tubuhku mengejang, kakiku menendang apapun yang ada di jangkauan dan kepalaku menggeleng ke kanan dan kiri tidak beraturan. Dentuman demi dentuman seperti menghantam kepalaku menimbulkan rasa pusing yang amat sangat.
"Bertahanlah! Kuatkanlah dirimu!" pemuda yang baru saja kukenal itu menangis tapi aku tidak bisa menghentikan kepanikan yang melanda diriku. Aku ingin berteriak. Aku ingin Mingyu datang ke sisiku sekarang.
"Permisi sebentar Tuan. Kami perlu melakukan sesuatu," dokter yang tiba-tiba muncul memberikan isyarat pada suster untuk menyiapkan alat suntik dan sebuah botol yang aku tidak tahu namanya. Aku masih bergetar dan keringat dingin mulai bercucuran di keningku. Paru-paruku serasa menyempit dan dadaku terasa sangat sakit. Sakit seperti di saat aku kehilangan Mingyu.
Mungkin inikah saatnya? Inikah saatnya aku harus terpejam selamanya. Rasa sakit yang kutanggung ini sudah melampaui batas. Lagipula sudah tidak ada Mingyu di sampingku yang bisa mengurangi rasa sakit ini. Lagipula sudah tidak ada lagi Mingyu di sampingku yang membuatku merasakan detak jantung, denyut nadi, dan desah napas ini.
"Maaf, kami terpaksa menyuntikkan sedative untuk menenangkan pasien. Serangan panik yang melanda barusan mungkin membuatnya lepas control. Pasien akan tertidur untuk beberapa jam ke depan," ucapan dokter itu mulai samar-samar terdengar sebelum akhirnya aku jatuh ke alam mimpi.
Sayangnya kembali keinginanku untuk mati tidak terkabul. Terkadang aku heran dengan Tuhan. Apakah dia sangat membenciku sehingga keinginanku yang paling mudah saja tidak pernah dikabulkannya? Aku tidak meminta lebih. Aku tidak meminta Dia memberikanku kebahagiaan, keluarga, cinta, dan sahabat. Aku hanya meminta-Nya membuatku meninggalkan dunia yang kejam ini. Apakah begitu sulit mengabulkan doa seseorang sepertiku?
Mulai saat itu aku menjadi dekat dengan Seokmin dan Soonyoung. Mereka menemaniku melewati masa-masa sulit penyesuaian diriku dengan lingkungan baru. Ya, satu minggu setelah aku siuman aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Awalnya aku bingung karena aku tidak kenal dengan siapapun dan tidak tahu akan tinggal di mana, tapi Soonseok couple mengajakku untuk tinggal bersama dengan mereka sementara waktu.
Aku mendapat pekerjaan sebagai seorang barista di kafe dekat tempat tinggal kami. Kebetulan Soonyoung lah yang mengajakku bekerja di situ karena salah satu rekan kerjanya baru saja mengundurkan diri. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu karena dengan begitu aku bisa mengumpulkan uang sendiri untuk menyewa sebuah apartemen kecil yang kutinggali sampai sekarang. Setelah bekerja selama dua bulan aku memutuskan untuk pindah ke apartemenku dengan alasan aku tidak mau terus-terusan menyusahkan Soonseok couple.
End of flashback
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Soonyoung dan Seokmin yang menyaksikan tingkah kami yang mematung seperti itu hanya bisa saling tanya dalam diam sebelum akhirnya Seokmin memutuskan untuk memecah keheningan yang menyelimuti meja tempat kami berkumpul,"Jadi, kalian sudah saling kenal hyung?" Kami tersadar dan tanpa sengaja menjawab secara bersamaan,"Ani/Ne."
"Mwo? Mana yang benar?" Soonyoung melongo mendengar jawaban kami yang berbeda. Dengan cepat aku menyambar,"Ani Soonyoung-ah. Kami tidak saling mengenal."
"Wonwoo hyung? Waeyo? What's wrong?" Mingyu mendekat ke arahku dan hendak meraih tanganku tapi aku menariknya dan menggelengkan kepalaku pelan.
"Wonwoo hyung tapi kau tahu panggilan Mingyu, bagaimana bisa kau mengatakan kalau kau tidak mengenalnya?" Seokmin berkata disetujui oleh Soonyoung dengan anggukan kepalanya yang pelan.
"Ani. Aku tidak mengenalnya. Aku tidak pernah mengenal seseorang bernama Mingyu. Tidak pernah mengenal Kim Mingyu. Tidak pernah sama sekali," aku mengucapkan kalimat yang sudah aku yakini selama empat tahun ini seperti mantra yang akan selalu menemani hariku.
Mingyu yang heran mendengarkan ucapanku merangsek ke sisi tempatku duduk dan memegang kasar bahuku memaksaku untuk menatapnya,"Yah Jeon Wonwoo, bagaimana bisa kau mengatakan kalau kau tidak mengenalku eoh?" matanya menyiratkan kesedihan. Aku tidak tahu apakah dia sedang bersedih karena aku berusaha melupakannya? Atau ada hal lainnya?
"Ani, aku tidak mengenalmu," tiba-tiba saja tetesan air mata jatuh membasahi telapak tangan Mingyu yang masih memegang bahuku. Dia terkejut melihatku menangis. Dia mengendurkan cengkeramannya di bahuku dan menatapku lembut,"Wonwoo hyung, waegurae?"
"Ani. Kim Mingyu sudah pergi. Dia sudah bahagia bersama Jeonghan. Lupakan dia! Lupakan!" tubuhku bergetar seiring dengan derasnya air mata yang jatuh dari pelupuk mataku. Serangan panik itu datang lagi setelah sekian tahun tidak ada kabarnya.
Kurasakan pemuda yang tidak kutemui selama empat tahun lamanya itu menarik tubuhku yang lemah ke dalam pelukannya. Aku tahu, tubuhku semakin melemah setelah kejadian itu, tapi aku tidak peduli. Toh, impian terbesarku untuk beberapa tahun ini adalah mati. Jadi dengan melemahnya tubuhku aku tidak perlu bersusah payah mencari cara untuk mewujudkannya.
"Wonwoo hyung gwaenchana?" dia mengusap pelan punggungku dan menciumi puncak kepalaku,"Mianhae hyung, mianhae. Jeongmal mianhae."
"Lepaskan, lepaskan aku!" aku berusaha berontak dari pelukan Mingyu dan tanganku mendorong keras dada dongsaeng yang sudah sangat lama kucintai itu hingga dia terdorong ke belakang dan hampir terjatuh. Aku menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari cafe dan berlari dengan sekuat tenaga ke mana pun kakiku membawaku. Aku tidak tahu harus pergi ke mana, aku hanya ingin jauh dari Mingyu. Berada di dekatnya seakan merobek kembali luka lama yang telah kukubur dalam-dalam.
"Wonwoo hyung," samar-samar kudengar suara Mingyu di belakangku, tapi aku tidak menoleh. Pandangan mataku kabur karena air mata yang dengan bodohnya tidak mau berhenti mengalir membuatku beberapa kali terantuk batu yang ada di jalan, untung saja aku tidak jatuh. Dan sekarang aku sampai di sebuah taman yang sepi dan gelap. Aku menyandarkan tubuhku di bawah sebuah pohon besar dan terduduk lemas sambil terus terisak.
"Wae? Wae? Kenapa kau datang sekarang Mingyu-ah?" aku sesenggukan karena tangisan konyol ini tidak kunjung berhenti. Dadaku sakit dan rasanya tangan tak terlihat meremas jantung yang ada di dalam lindungan tulang rusukku. Sangat sakit.
Desir angin malam menyentuh kulitku yang hanya berbalut sweater tipis membuat bulu kudukku merinding kedinginan. Tapi herannya, rasa dingin itu terkalahkan oleh rasa sakit yang kurasakan. Kutarik kedua lututku dan mendekapnya erat di dadaku membuat tempat bersembunyi yang nyaman bagi kepalaku yang terasa berat dan pusing.
"Wae Mingyu-ah? WAE?" aku berteriak sekuat tenaga tanpa memedulikan apakah akan ada orang yang mendengar teriakan bodohku ini atau tidak karena aku benar-benar frustasi.
BANG
Suara tembakan yang tidak bisa dikatakan pelan itu membuatku segera bangkit dan berlari ke arah sumber suara dengan tergesa-gesa. Aku punya firasat buruk tentang hal ini. Dalam hati aku berdoa supaya apa yang aku pikirkan tidak menjadi kenyataan.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Mingyu POV
Aku, Kim Mingyu adalah orang paling beruntung sedunia. Bagaimana tidak? Aku mengalami sebuah kecelakaan parah dan terkena tusukan di punggungku tapi hebatnya aku tetap bertahan hidup. Orang bilang aku punya sembilan nyawa seperti seekor kucing, tapi aku hanya mengabaikan pendapat bodoh itu. Itu hanya keberuntungan yang Tuhan berikan padaku dan harus aku syukuri.
Tapi, bagaimana bisa aku bersyukur di saat seperti ini? Jeonghan, pemuda yang menjadi kekasihku tidak ada di saat aku membuka mata dan bahkan sampat empat tahun lamanya aku masih tidak bisa bertemu muka dengannya. Miris sekali. Sayangnya hal itu belum seberapa karena kesedihan terbesarku adalah Wonwoo hyung yang selama ini sangat kusayangi tidak ada di manapun aku mencarinya.
Flashback
Aku tersadar di sebuah kamar rumah sakit yang bisa langsung kukenali karena bau obat yang menyengat. Aku benci bau ini, Wonwoo hyung harusnya tahu kalau aku benci dengan rumah sakit, tapi kenapa dia membiarkan aku ada di sini. Kuedarkan pandangan mataku ke seluruh ruangan, tapi aku tidak menangkap sosok Wonwoo hyung di manapun. Yang kutemui hanya sosok kedua orangtuaku yang tertidur di sofa jauh di sisi ruangan, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan hyung yang sangat kusayangi.
Aku panik dan mencoba mengingat apa yang terjadi. Kuingat wajah Wonwoo hyung yang menyiratkan kesedihan mengusirku pergi dari markas Mr. Yoon. Apa itu artinya Wonwoo hyung masih di sana? Tidak. Tidak mungkin. Wonwoo hyung sangat pintar, dia pasti berhasil pergi dari tempat terkutuk itu. Aku yakin itu. Geundae, kalau hyung berhasil pergi dari sana, di mana dia sekarang?
Karena panik detak jantungku menjadi tidak teratur membuat alat pendeteksi detak jantung yang tersalur dengan tubuhku itu memberikan sinyal yang mengundang para dokter segera berlarian ke kamar rawatku. Wajah mereka yang dipenuhi kepanikan membuatku tidak nyaman. Ingin rasanya aku pergi dari tempat ini, tapi kulirik kedua orangtuaku yang sekarang sudah terbangun dengan raut wajah cemas mengetahui anak semata wayangnya sadar.
"Yeobo, eotteohke?" Eomma menangis di pundak appa, sedangkan appa hanya membisikkan kata-kata yang tidak bisa kutangkap untuk menenangkan Eomma. Seorang dokter beruban dan bertampang serius menyuruh suster cantik berambut cokelat caramel yang dengan sigap memeriksa bagian penting tubuhku, mulai dari jantung, nadi, dll.
Begitulah aku di rumah sakit dan setelah hampir tiga minggu aku baru diperbolehkan pulang. Selama di rumah sakit aku selalu menanti kedatangan Jeonghan maupun Wonwoo hyung. Aku yang sudah tahu dengan kebenaran bahwa Jeonghan adalah anak dari Mr. Yoon, seorang yang amat sangat kubenci, tidak menyurutkan rasa cintaku padanya. Tapi, kenapa dia tidak sekalipun menjengukku? Ke mana dia sebenarnya? Apakah dia sudah melupakanku? Seperti saat itu, saat aku berusaha menjangkaunya di halte tempat kami berjanji bertemu? Apakah semudah itu melenyapkan rasa cinta ini?
Lalu Wonwoo Hyung, di mana dia? Apa yang terjadi padanya sampai sekarang masih menghantui pikiranku, aku sangat khawatir jika terjadi hal yang buruk pada Wonwoo hyung. Aku tahu, Wonwoo hyung bisa menjaga dirinya sendiri karena dia ahli beladiri, tapi itu bukan jaminan bahwa ia sekarang dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana kalau dia kesepian? Bagaimana kalau dia kedinginan dan sendirian? Sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya.
Setelah keluar dari rumah sakit aku semakin panik karena saat kami pulang ke rumah aku tetap tidak menemukan Wonwoo hyung. Aku berlari ke kamarnya dan betapa kecewanya saat kutahu kamarnya kosong seperti tak berpenghuni. Aku berlari ke atap apartemen dan masih dengan kekecewaan mendalam karena tidak ada batang hidung Wonwoo hyung di sana. Hyung, neo eoddiya?
"Appa, dimana Wonwoo hyung?" tanyaku pada akhirnya setelah semua usahaku mencarinya sia-sia.
"Mingyu-ah, mianhae tapi appa dan eomma sama sekali tidak tahu di mana Wonwoo berada. Sejak kau masuk rumah sakit, Wonwoo tidak pulang ke rumah," wajah appa terlihat pucat, eomma juga tidak ada bedanya. Mungkin bukan hanya aku saja yang mengkhawatirkan keadaan Wonwoo hyung. Aku tahu hal itu karena kedua orangtuaku telah menganggap Wonwoo hyung sebagai anak mereka sendiri.
"Mingyu-ah apa kau merindukan Wonwoo?" eomma berjalan ke arahku dan menepuk pundakku pelan,"Ne eomma."
"Eomma juga merindukannya. Kita doakan saja tidak terjadi hal yang buruk pada Wonwoo."
"Tapi eomma, bagaimana kalau sekarang hyung sendirian? Bagaimana kalau hyung kedinginan dan kelaparan? Bagaimana kalau-," belum sempat melanjutkan perkataanku ayahku mendekat dan memeluk kami berdua membuat tangisku pecah. Kenapa semua yang berhubungan dengan Wonwoo akan membuatku terenyuh dan menangis?
"Wonwoo akan baik-baik saja. Kita doakan yang terbaik Mingyu-ah eoh?" ucap appa sembari mengeratkan pelukannya membuatku terisak.
"Hyung," aku menyebutkan namanya lirih, sangat lirih,"Wonwoo hyung neo eoddiya?"
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Satu minggu setelah kepulanganku aku tidak banyak melakukan kegiatan. Dokter masih melarangku melakukan beberapa aktivitas karena beberapa bagian tubuhku masih memerlukan pemulihan seutuhnya. Jadi, di sinilah aku sekarang. Berbaring bermalas-malasan di tempat tidur yang merupakan kamarku dan kamar Wonwoo hyung. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengisi kekosongan ini. Kutatap nyalang langit-langit yang warnanya sudah kusam dan di beberapa tempat warna catnya sudah memudar membayangkan hari-hariku yang membahagiakan bersama Wonwoo hyung.
Entah kenapa aku lebih banyak memikirkan Wonwoo hyung dibandingkan Jeonghan yang adalah kekasihku. Mungkin karena Wonwoo hyung sudah bersama denganku sejak aku kecil hingga sekarang sehingga aku lebih dekat dengannya. Dari kecil sampai sebesar ini aku selalu mengagumi sosok Wonwoo hyung, walaupun ia tidak mengetahuinya. Dia adalah hyung yang baik, pengertian, dan perhatian. Ya, walaupun terkadang ia berbicara kasar dan sengit, itu hanya caranya mengekspresikan sesuatu. Dia tipe orang yang blak-blakan dan agak sulit bergaul. Terkadang ia bersikap cuek dan sok tidak peduli, tapi kenyataannya dia adalah orang yang memiliki kepedulian sangat tinggi yang pernah kukenal.
Sepotong demi sepotong ingatanku tentang masa-masa kecil kami melintas di pikiranku seperti sebuah film documenter yang menarik. Saat kami masih sekolah bersama bagaimana kebersamaan kami yang tidak terpisahkan, bagaimana saat kami bercanda tawa dan berbahagia bersama, bagaimana kami menangis bersama saat menghadapi masa-masa sulit, bagaimana saat-saat kami bersusah payah mencari uang untuk membayar hutang, bagaimana kami menghabiskan waktu senggang dengan bernyanyi dan bermain gitar bersama di atap apartemen sampai larut malam.
Eh, tunggu. Ngomong-ngomong tentang music, aku dan Wonwoo hyung punya kesamaan. Kami berdua memiliki ketertarikan yang sama dalam music. Biasanya kalau sudah selesai makan malam, kami akan pergi ke atap aparteman dan menyanyi sampai suara kami serak diiringi dengan petikan gitar yang mengalun indah. Suara Wonwoo hyung benar-benar merdu dan membuatku merasa damai dan tenang. Aku ingin kembali ke saat-saat itu. Aku ingin Wonwoo hyung ada di sampingku. Aku tidak ingin sendirian dan kesepian seperti ini. Aku ingin hyung-ku kembali.
Wonwoo hyung berjanji suatu hari nanti dia akan menyanyikan lagu ciptaannya untukku. Ya, dia punya sebuah buku lagu yang selalu disembunyikannya dariku. Dia mengatakan kalau aku dilarang mengintip dan membaca isi buku itu. Katanya lagu-lagu yang ada di buku itu belum selesai digarapnya. Aku penasaran dan sudah beberapa kali aku mencoba mencarinya saat Wonwoo hyung tidak ada, tapi hasilnya nihil. Pernah suatu saat, aku agak beruntung dan menemukan buku itu terselip di bawah kasur Wonwoo hyung, namun belum sempat kubuka lembar pertamanya Wonwoo hyung datang dan memukul kepalaku kemudian mengomel selama satu jam lebih. Dia menceramahiku dan mengatakan kalau melihat milik orang lain tanpa izin itu dosa dan bla bla bla yang lain sampai telingaku berdenging mendengarkan ocehannya. Sejak saat itu, Wonwoo hyung sangat berhati-hati menyembunyikan benda bersampul hitam pekat itu.
Aku berpikir, apakah buku itu masih ada di sini sekarang? Haruskah aku mencarinya? Aku sangat ingin tahu lagu seperti apa yang sebenarnya sedang diciptakan oleh Wonwoo hyung. Semangat yang tiba-tiba menjalar di tubuhku membuatku berdiri dari rasa malas dan mulai menelusuri setiap lekungan kamar. Lemari, kasur, meja kecil, nihil. Di mana benda itu disembunyikan?
Aku berbaring di kasur Wonwoo hyung dan dari sudut mataku bisa kulihat sebuah benda yang tidak bisa kulihat dari kasurku. Aku melongok ke atas lemari pakaian dan menemukan sebuah kotak sepatu usang yang aku yakini dulu tidak ada di sana. Apakah di situ buku itu berada?
Kuraih kotak sepatu yang berdebu itu dan kutiup debu-debu sialan yang menempel dengan lekatnya membuatku sedikit terbatuk. Kubuka perlahan dan hatiku dag dig dug karena penasaran benda apa yang bersembunyi di balik kotak sepatu itu.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Kim Mingyu
Kim Mingyu
Kim Mingyu
Kim Mingyu
Apakah sudah cukup aku memanggil namanya?
Ani, tidak akan pernah cukup aku memanggil namanya seribu kali dalam sehari pun. Aku ingin bisa memanggilnya sebanyak itu. Aku ingin bisa memanggilnya dengan mesra. Aku ingin bisa memanggilnya dengan panggilan sayang layaknya sepasang kekasih. Aku ingin bisa memanggilnya dalam setiap desah napas yang kumiliki. Namamu bagaikan mantra yang terpatri jauh di dalam hatiku dan tak akan tergerak oleh apapun.
Kim Mingyu
Aku sakit. Tahukah kau kalau aku sakit? Aku sakit dan rasanya hatiku seperti ditusuk ribuan sembilu. Rasanya darah akan memuncrat dari setiap pori-pori yang ada di sana dan membuatku mati perlahan. Aku sakit tiap kali harus melihatmu Mingyu-ah. Tiap kali kau tersenyum padanya. Tiap kali kau tertawa pada apa yang dikatakannya. Tiap kali kau memandangnya kagum dan memuja.
Kim Mingyu
Aku takut Mingyu-ah. Aku takut apa yang kupendam selama ini akan meledak karena rasa sakit ini. Aku takut kau akan kecewa padaku. Aku takut semuanya tidak lagi berarti saat kau tahu. Aku takut kalau Jeon Wonwoo akan kehilangan artinya di hidupmu. Aku takut untuk terus hidup menyembunyikan perasaan seperti ini, tapi aku juga takut untuk mati dan membawa perasaan ini mati bersamaku.
Yoon Jeonghan
Dia yang tepat bagimu. Dia adalah idamanmu. Dia bisa mengisi kekosongan yang diciptakan oleh Jeon Wonwoo. Dia bisa menjadi duniamu. Dia bisa memilikimu dan mencintaimu. Dia bisa menjadi segalanya baginya, tidak seperti Jeon Wonwoo yang selamanya hanya akan menjadi hyung bagimu.
Kim Mingyu
Kim Mingyu
Kim Mingyu saranghae
Biarkan aku meneriakkannya di sini. Biarkan aku mengatakan ini padamu di sini. Mingyu-ah saranghae. Saranghae jeongmal saranghae. Mianhanda, nan neol saranghae. Appeuda Mingyu-ah. Loving you is hurt. Geundae, I'm not gonna stop loving you Mingyu-ah. Even if it's hurt like hell. I'm gonna love you forever and ever.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Sepucuk surat yang terlihat agak lusuh karena kemungkinan berulang kali diremas itu menarik perhatianku. Beberapa tetes air mata yang mengotori tulisan tangan di surat itu membuat beberapa kata menjadi kabur. Hatiku teriris saat membacanya. Saat membaca curahan hati Wonwoo hyung. Memang itu bukan surat cinta yang romantis seperti yang dulu sering kudapatkan sewaktu aku masih sekolah, tapi kata-kata yang tertuang di sana jauh lebih romantis dari kumpulan surat yang pernah kubaca.
Kertas lusuh itu kudekap erat ke dadaku dan aku menangis. Tetesan air mata itu ikut menambah jumlah tetesan lama di sana. Aku sadar kalau tindakanku ini akan semakin merusak nilai kertas berharga itu sehingga aku buru-buru mengusap airmataku. Kutatap pernuh arti kertas berisi puluhan kata jujur dari seorang Jeon Wonwoo yang selama ini merasa tersakiti oleh sikap bodohku yang hanya menganggapnya sebagai hyung. Kuselipkan kembali secarik kertas itu ke halaman pertama buku music yang ada di pangkuanku.
Buku bersampul hitam pekat yang selama ini selalu membuatku penasaran akhirnya tergeletak manis di pangkuanku. Aku memandangnya lekat dan membuka satu per satu halamannya membuatku terkejut karena disambut oleh tulisan-tulisan tangan Wonwoo hyung yang kebanyakan hanya bertuliskan 'KIM MINGYU' dengan berbagai ukuran, besar, kecil, tebal, tipis, tegak, miring.
"Hyung, Wonwoo hyung. Aku sangat bodoh. Aku telah menyakitimu. Aku berjanji pada diriku tidak akan membiarkan seorangpun menyakitimu, tetapi aku sendiri yang menyakitimu hyung. Aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku menyakitimu seperti itu, tidak seharusnya aku membuat hidupmu yang sudah menderita menjadi lebih seperti neraka bagimu. Oh God, seandainya kau ada di sini hyung. Aku akan melakukan apapun untuk menebus kesalahanku padamu hyung," ucapku saat menatap sebuah halaman yang bertuliskan Kim Mingyu, will you look at me?
Air mata yang terus berlinang tidak kuhiraukan lagi keberadaannya karena aku terlalu terlarut dalam kesedihan dan keperihan yang mendalam. Bahkan aku tidak sadar saat aku tertidur sambil mendekap buku bersampul hitam pekat itu dekat ke dadaku.
End of Flashback
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Tiap hari aku hidup dengan bayang-bayang seorang Jeon Wonwoo. Setiap hari aku berusaha untuk mencarinya, namun hasilnya nihil. Aku tidak tahu hyung ada di mana. Dia seperti hilang ditelan bumi karena tidak ada jejak keberadaannya sama sekali.
"Mingyu-ah, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Sebaiknya kita pulang dan beristirahat karena besok kita ada tugas lapangan," Seokmin, seniorku yang baru saja meletakkan perlengkapan persenjataannya menatap ke arahku dengan senyumnya yang tulus.
Ya, sekarang aku menjadi seorang agen. Bukan agen sembarangan, aku menjadi salah satu anggota NSS setelah melalui latihan keras selama dua tahun penuh. Aku tahu, aku tidak pernah bercita-cita menjadi polisi ataupun penegak hukum, tapi aku ingin membantu orang mendapatkan keadilan. Jadi, di sinilah aku sekarang. Di markas pusat NSS bersama dengan Seokmin seniorku yang umurnya tidak terpaut jauh denganku.
"Sebentar lagi Seokmin-ah. Kau pulang saja dulu! Aku akan ke ruang latihan menembak setelah ini," kukenakan rompi anti peluru yang baru kuambil dari dalam loker ke tubuhku.
"Mingyu-ah, ayolah! Kau sudah terlalu keras memaksakan diri. Kasihanilah tubuhmu yang juga perlu istirahat itu! Bagaimana bisa kita menangkap mafia, penjahat, dan teroris kalau kau saja tidak membiarkan tubuhmu beristirahat?" dia berjalan ke arahku setelah mengunci lokernya dan merangkulkan lengannya di pundakku.
"Tapi Seok, aku merasa kemampuan menembakku masih lemah," dia menatap mataku tajam dan segera berkacak pinggang di hadapanku,"Yah! Bagaimana bisa kau bilang kalau kemampuan menembakmu lemah seperti itu? Kau itu junior yang mendapatkan nilai A++ alias terlalu sempurna dalam hal menembak. Oh, come on untuk apa lagi kau latihan? Okay, mungkin latihan itu penting, tapi tidak sekarang!"
"Waeyo?"
"Ikutlah denganku. Kita akan bersenang-senang!" ajaknya sembari menyeret tanganku yang sedang menganggur.
"Tapi-."
"Tidak ada tapi-tapian. Ingat! Aku ini atasanmu, jadi menurutlah padaku!" ancamnya sambil terus menyeretku ke mobilnya yang terparkir di basement markas besar.
Di dalam mobil aku hanya bisa manyun karena seniorku yang baru kukenal satu minggu ini sudah menganggapku seperti teman akrab. Aku senang ada seseorang yang menerimaku dengan tangan terbuka karena selama ini aku tidak pernah mempunyai teman akrab selain Wonwoo hyung. Yah, kami sangat dekat sejak kecil membuatku merasa tidak nyaman ketika aku harus berteman dengan orang lain yang Wonwoo hyung tidak suka.
"Hey, jangan melamun! Apa kau pikir aku membawamu keluar untuk melamun sepanjang jalan? Hiduplah sedikit Kim Mingyu!" ujar Seokmin sambil berkonsentrasi menyetir.
"Seokmin-ah, kau kira aku mati apa?"
"Kau tidak tahu? Kau itu kelihatan seperti mayat hidup Mingyu-ah. Santailah sedikit."
"Ini aku sudah santai."
"Aish, anak ini. Terserah maumu. Yang jelas sekarang kau ikut ke mana aku pergi," sepertinya Seokmin kesal karena aku terlalu cuek kepadanya malam ini sehingga dia melengoskan mukanya tidak mau menatapku.
Tanpa kusadari sebuah mobil sedan hitam mengikuti kami dari belakang. Aku tidak menyadari keberadaan mereka karena aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Ya, aku jadi punya hobi melamun setelah kejadian empat tahun yang lalu. Hal yang kulamunkan tidak lain dan tidak bukan adalah Wonwoo hyung karena aku selalu merindukan kehadirannya. Musik hip hop yang mengalun membuatku semakin jauh ke dalam lamunan hingga tidak menyadari sekarang Seokmin sudah menghentikan mobilnya.
"Hey, jangan melamun terus! Cepat turun! Pacarku sudah menunggu di dalam," tunjuknya ke sebuah café, 'Jam Jam café' tepatnya.
"Siap komandan." Baru keluar dari mobil, kurasakan handphoneku bergetar menandakan ada panggilan masuk. Aku segera mengisyaratkan pada Seokmin bahwa aku harus mengangkat telepon dulu dan menyuruhnya masuk duluan. Dia memberikan death glare-nya seakan mengancamku 'awas-kalau-kau-kabur-Kim-Mingyu!' membuatku menggelengkan kepalaku.
"Yoboseyo," jawabku.
Tidak ada jawaban dari seberang sambungan membuatku terheran. Memang nomer yang masuk adalah nomer asing, tapi apakah ini cuma kerjaan orang iseng. Kuperhatikan sekelilingku dengan seksama, namun tidak ada yang mencurigakan. Sebagai seorang agen, aku memang dilatih untuk curiga di situasi apapun demi keamanan.
"Ah, mungkin memang orang iseng," ucapku santai sambil melenggang menuju pintu café. Kubuka perlahan pintu kaca itu dan kususuri tiap tempat duduk yang ada di situ mencari keberadaan seniorku yang terkadang agak menyebalkan itu. Rambut hitam pendeknya menyembul membuatku mudah mengenalinya dari kejauhan. Sesaat kemudian dia berbalik dan melambaikan tangannya ke arahku,"Gyu di sini!" panggilnya dari meja di sudut ruangan.
Aku segera bergerak dan sedikit membungkukkan badanku sesopan mungkin sambil berkata,"Maaf sudah mem-," ucapanku terhenti saat aku mengenali sosok yang sudah lama kurindukan menyempil di antara Seokmin dan pacarnya.
"GYU/WOO," ucap kami bersamaan.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Aku mengejar Wonwoo hyung yang terus berlari meninggalkan Seokmin dan kekasihnya yang hanya bisa melongo melihat tingkah kami. Damn, staminanya masih bagus seperti dulu membuatku agak kewalahan mengejarnya. "WONWOO HYUNG!" panggilku berusaha menghentikan langkahnya dengan teriakanku. Namun ternyata hal itu tidak berhasil. Dia terus berlari melewati jalanan dan aku kehilangan jejaknya.
BANG
Sebuah peluru menembus kulitku dan bersarang di pahaku mengakibatkanku jatuh terjungkal. Aku meringis kesakitan saat wajahku menghantam tanah keras. Kugunakan kedua tanganku sebagai tumpuan agar aku bisa berdiri dan betapa terkejutnya saat kulihat beberapa orang berjas hitam mengelilingiku sambil mengacungkan senjata mereka padaku. Mataku membulat sempurna saat seorang keluar dari mobil sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri diikuti oleh dua orang bodyguard atau anak buah yang setia di samping kanan dan kirinya.
"Oraenmanida Kim Mingyu!" sapanya sambil menghembuskan asap cerutu dari mulutnya. Bibirnya yang hitam karena kebanyakan merokok menyunggingkan seringaian licik. Pikiranku mulai memproses siapa lelaki paruh baya di hadapanku ini karena sepertinya aku pernah melihatnya. Kenapa aku tidak ingat siapa dia. Aish, aku pernah bertemu dengannya tapi siapa dia?
"Sepertinya kau tidak ingat siapa aku?" ucapnya seraya berjalan mendekat ke arahku dan meninggalkan kawalan anak buahnya. Bau asap cerutu itu benar-benar memuakkan, sama memuakkannya seperti saat Mr. Yoon masih hidup. Dia seringkali meninggalkan bau cerutu busuk saat mengganggu kami. Bau itu mengingatkanku pada perilaku kurang ajar Mr. Yoon dan anak buahnya.
"Aku heran kenapa kau tidak mati saat itu Kim Mingyu. Aku yakin aku sudah menusukmu saat itu. Bukankah harusnya kau mati di sana?" lelaki yang mengenakan mantel hitam itu berkata dengan sengitnya. MENUSUK? Itu berarti bajingan tengik di depanku ini adalah anak buah Mr. Yoon yang menusukku empat tahun yang lalu. Dia yang telah membuatku hampir mati. Mataku membulat marah padanya. Darah yang mengucur membasahi celanaku tidak kuhiraukan lagi saking marahnya aku melihat penampakan di depanku.
"Ah, aku lupa. Ada anak sialan yang datang menolongmu itu kan? Seandainya anak sialan itu tidak menolongmu, pasti kau sudah mati di tanganku. Tapi tak apa, toh bocah itu sudah kuhabisi. Hm, dia lebih ceroboh dari yang kukira," dia menghisap cerutunya sekali lagi kemudian menghembuskannya dan melanjutkan berbicara sambil terus mendekat ke arahku dengan gaya jalannya yang dianggapnya berwibawa itu,"Apa hyung-mu itu masih hidup setelah aku menusuknya juga Kim Mingyu?"
Aku tercengang. Dia menusuk Wonwoo hyung juga? Jadi, bukan hanya aku yang berakhir mengenaskan tetapi juga Wonwoo hyung? Dia telah mengorbankan dirinya untuk menolongku yang selalu menyakitinya ini? Tanganku mengepal sempurna hingga buku-buku jariku terlihat putih pucat karena aliran oksigen terhenti sesaat. Ingin rasanya kutonjok mukanya dan kubunuh dia seperti yang pernah kulakukan pada Mr. Yoon.
"Wae? Kau marah? Oh, Kim Mingyu kau bisa marah juga?" dia kembali meledekku mencoba menaikkan tensi darahku dan tingkat amarahku,"Well, mungkin waktu itu aku kurang beruntung. Tapi, kali ini aku akan melenyapkanmu dari muka bumi ini bocah tengik," cerutu yang terselip di jarinya dilempar ke tanah dan segera diinjaknya dengan ujung sepatunya seolah ia sedang membayangkan kalau kakinya menginjakku.
"Cih, lakukan itu di mimpimu pria busuk!" ucapku sambil meludah ke arahnya membuat anak buahnya siaga dan bersiap menarik pelatuk senjata yang ada di genggaman mereka.
Diusapnya kasar wajah yang barusan kuludahi dan dia mendelik ke arahku,"Habisi dia!" perintahnya pada anak buahnya sambil berjalan kembali ke dekat mobil sedannya. Cih, kenapa aku selalu berurusan dengan mafia dan anak buahnya? Aku heran apa aku ini magnet untuk mafia dan semacamnya?
Dia memang pengecut. Mafia selalu keroyokan saat menghajar musuh. Tidak bisakah mereka bersikap lebih gentleman dengan satu lawan satu maybe. Mereka mulai membentuk formasi dan seorang yang berada paling dekat denganku menendang perutku membuatku terjerembab ke tanah. Aku berguling menghindari tendangan yang kembali dilancarkannya dan segera menendang seorang berkumis tebal tepat di selangkangannya membuatnya mengaduh kesakitan dan berguling di tanah di dekatku. Aku segera bangkit dan berjalan ke arahnya kemudian mengunci kepalanya lalu kupelintir kepalanya dan kuambil senjata yang masih ada di genggamannya. Satu tumbang.
Kutarik pelatuk revolver yang sekarang ada di tanganku ke salah seorang yang bertubuh agak kurus tepat di jantungnya. Darahnya muncrat dari dada dan mulutnya. Tanpa basa-basi kugunakan tubuhnya sebagai tameng karena anak buah yang lain mulai menembakiku. Dari belakang tubuh mayat ini kuselipkan tanganku dan kuarahkan tembakan ke salah seorang yang berjenggot tepat di kepalanya membuatnya tumbang seketika.
Kudorong tubuh yang sudah tidak berguna itu ke lelaki yang terdekat membuatnya kelabakan. Kugunakan kesempatan itu untuk menendang seorang lagi yang berusaha menembakku di kepala. Kutangkap tangannya yang memegang senjata dan kupelintir tubuhnya membuat tangannya berada di balik punggungnya. Dengan santainya kutarik pelatuk yang ada di genggaman orang itu dan mengarahkannya tepat ke kepalanya sendiri.
BANG
Darahnya muncrat ke wajahku dan sebagian kemeja putihku. Kutendang tangan seorang anak buah yang kembali terjulur hendak menembakku hingga senjata di tangannya terpental jauh dari jangkauan. Segera kutembak kepalanya dan sekarang tinggal lima orang yang tersisa, tiga di dekatku dan dua di samping bajingan tengik itu. Aku tahu, aku kalah jumlah, tapi aku kan agen NSS. Masa aku kalah dengan cecunguk macam ini. Tidak akan terjadi.
Pria yang menusukku hanya berdiri menyaksikan pertarungan kami dari sisi mobilnya. Dia sudah mengeluarkan cerutu yang baru dan sedang menikmatinya sekarang. Aku melihat ke arahnya dan aku mulai muak dengan tingkahnya. Karena perhatianku teralihkan aku tidak mengadari sebuah tendangan telah mendarat di punggungku membuatku terjerembab mencium tanah untuk yang kesekian kalinya hari ini. Seorang yang ada di samping kananku menendang sisi tubuhku hingga aku terguling ke arah anak buah yang lain. Kini aku telentang dan menatap langit malam yang bertabur bintang.
Kaki besar anak buah brengsek mafia ini mencoba menginjak wajahku tapi dengan segera aku menahannya dengan kedua tanganku. Sekuat tenaga kudorong kakinya itu hingga ia yang badannya jauh lebih besar dariku terjungkal dan jatuh dengan bunyi debum keras. Rasa asin dan sedikit anyir mulai kurasakan di sudut bibirku menandakan darah merah segar sudah keluar di sana. Rambutku sudah acak-acakan dan pakaianku kotor saking seringnya aku terjatuh.
Seorang menembakkan senjatanya namun aku berguling menghindar dan tepat saja karena peluru itu bersarang di tanah dekat kepalaku. Coba kalau aku tidak berguling, sudah tamat riwayatku sekarang. Kuselipkan tanganku ke saku mantel yang kukenakan dan kutarik sebuah revolver yang selalu ada di sana menemaniku ke manapun aku pergi. Kutembak dua orang yang lengah tepat di kepala karena aku tidak mau bermain-main dan menunggu lama.
Seorang yang tampaknya sudah agak kelelahan melepaskan jas hitamnya dan melemparnya sembarangan. Aku tahu, dia anak buah terkuat bajingan tengik ini terlihat dari badannya yang paling bongsor dan otot-otot di tubuhnya seakan akan merobek kemeja putih yang dikenakannya.. Itulah sebabnya aku harus lebih berhati-hati. Kutodongkan revolver yang kupegang ke arahnya kemudian memasang posisi kuda-kuda bersiap menyerang. Dia juga melakukan hal yang sama.
BANG
Anak buah pria jahat yang berdiri di samping kanannya ambruk seketika membuat pandangan kami tertuju pada satu arah. Di sana, kulihat seorang Jeon Wonwoo mengarahkan senjata yang kemungkinan tadinya milik salah seorang anggota mafia. Mengetahui bahwa lawanku tengah lengah, aku segera menendang tangannya yang memegang senjata hingga benda sialan itu terpental menjauh dari pemiliknya.
"Shit! Yah, bocah tengik kau mau bermain-main denganku hah?" dia melotot dan mengepalkan kedua tangannya. Beberapa detik kemudian tinjunya melayang ke arahku namun aku menunduk dan selamat. Aku mengambil posisi jongkok dan kujegal kaki jenjangnya membuatnya jatuh telentang sehingga ia mengumpat keras,"DAMN YOU BASTARD!"
"Hanya itu yang kau bisa huh pria busuk?" dia bangkit dan berlari ke arahku sambil mengarahkan kepalan tangannya yang besar itu, dan sialnya aku kurang cepat menghindar membuatku terjatuh. Dia segera mencengkeram kerah kemejaku dan melayangkan tinjunya bertubi-tubi ke wajahku membuatku meringis kesakitan.
"MINGYU-AH!" suara itu. Wonwoo hyung. Dia menarik kerah kemeja pria gempal yang mendudukiku dan mendorongnya menyingkir dari tubuhku. Hyung yang sudah lama kurindukan itu mengulurkan tangannya mencoba membantuku berdiri. Kulihat wajahnya dalam dan tatapanku terhenti saat bekas air mata masih nampak jelas di wajahnya membuatku menangis dalam hati. Apakah aku kembali membuatnya menangis?
"Ireona Mingyu-ah!" kami sudah berdiri sekarang. Pandanganku teralihkan saat bos mafia sialan itu ternyata menargetkan senjatanya ke arah Wonwoo hyung. Aku panik dan langsung saja kudekap tubuh Wonwoo hyung erat dan kubalikkan badanku hingga sebuah peluru menembus punggungku.
"Ouch," Wonwoo hyung masih dalam keadaan shock,"Gyu-Mingyu-ah, gwaenchana?" dia mengguncang bahuku pelan. Tangannya bergetar menatap keadaanku. Aku tersenyum karena akhirnya orang yang kucintai selama ini mau kembali berbicara denganku."Uljima! Nan gwaenchana."
"BRENGSEK! MATILAH KALIAN BERDUA!"
BANG
BANG
BANG
Bos mafia itu jatuh terjerembab saat dia berhasil menarik pelatuk senjatanya membuat sebuah peluru melayang menerjang bagian punggungku lagi. Saat itu rasanya kakiku kehilangan kekuatan untuk menyangga tubuhku dan aku hampir saja jatuh kalau Wonwoo hyung tidak memegangi sisi tubuhku. Aku batuk kecil dan muntah darah. Dadaku rasanya sesak dan pandangan mataku mulai kabur.
"Mingyu-ah sadarlah. Mingyu-ah bertahanlah!" goncangan Wonwoo hyung pada tubuhku membuatku kembali tersenyum,"Hyung, uljima!"
"Paboya! Di saat seperti ini bagaimana bisa aku tidak menangis eoh?" dia memukul pelan pundakku yang bebas dari cedera,"Don't cry. Kau tidak kelihatan manis lagi kalau menangis," godaku.
"KIM MINGYU NEO PABOYA!"
"Hyung, saranghae."
"Kim Mingyu don't you dare to close your eyes!"
"Yah Kim Mingyu!" suara kuda. Oh, itu Seokmin sunbae. Kelopak mataku terasa semakin berat dan aku tidak bisa menahannya terbuka lebih lama lagi.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Rumah sakit, lagi-lagi aku terbaring dan terdaftar sebagai pasien salah satu rumah sakit di Seoul. Akan tetapi, beruntunglah karena kali ini aku menemukan Wonwoo hyung tengah tertidur di sofá dengan tenangnya. Aku tersenyum dan entah sudah berapa kali aku tersenyum bahagia sejak aku kembali bertemu dengan hyung.
"Lihat kan, dia sudah siuman?" Seokmin yang ternyata duduk di kursi samping tempat tidur mengagetkanku.
"Seokmin-ah, kenapa kau ada di sini?"
"Mwo? Yah, aku yang menelepon ambulans dan menyelamatkanmu dari bos mafia terkutuk itu tau! Bukannya berterima kasih malah bertanya hal aneh seperti itu padaku, dasar kau!"
"Seok baby, sabar sedikit. Mingyu kan sedang sakit," pria sipit yang merupakan kekasih senior kuda berusaha menenangkan Seokmin yang manyun.
"Mianhae, geurigo gomawo karena telah datang tepat waktu," ucapku tulus membuatnya agak melunak dan menepuk pundakku pelan,"Begitu baru benar."
"Dasar sunbae gila pujian," aku berucap lirih namun pendengaran Seokmin yang super tajam itu menangkap perkataanku barusan membuatnya menjewer telingaku,"Dasar bocah nakal!"
"Ampun ampun komandan, sumpah aku hanya bercanda," rengekku membuat Seokmin mengendurkan jewerannya dan mendengus kesal.
Wonwoo hyung terbangun mendengar keributan yang kami buat. Dia mengucek pelan kelopak matanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat kami bertiga berada. Dia kelihatan lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Setidaknya air matanya sudah tidak ada lagi.
"Oh, kau sudah sadar Mingyu-ah?" dia mendekat ke arahku dan seperti sebuah sinyal Seokmin dan kekasihnya izin keluar meninggalkan kami berdua. Pemuda yang kutemui sejak aku berumur enam tahun itu menempati tempat duduk yang tadinya digunakan oleh Seokmin. Dia mengulurkan tangannya ke arah perban yang membalut tubuhku, terutama bagian dada,"Apa ini sakit?"
Aku menggeleng pelan,"Jangan bohong Mingyu-ah! Mana yang sakit?" aku mengenggam tangannya dan membimbingnya ke dada bagian kiriku seolah menggambarkan jantung hatiku yang sakit. Wajahnya memerah karena aku masih belum melepaskan tangannya. Kami berdiam di posisi ini agak lama sebelum akhirnya aku menghela napas panjang dan berkata,"Mianhae hyung. Jeongmal mianhae."
Mata sipitnya menatapku tak percaya,"Untuk apa Mingyu-ah? Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Kau tidak pernah melakukan kesalahan apapun padaku."
"Ani," aku menggelengkan kepalaku menyadari bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan padanya,"Aku telah melukaimu hyung. Aku membuatmu menangis dan aku baru sadar betapa bodohnya aku setelah kau menghilang hyung."
"Mingyu-ah berhentilah mengatakan hal yang aneh seperti ini," dia mencoba menarik tangannya tapi aku justru mengeratkannya dengan menambahkan tanganku yang satunya ke atas tumpukan tangan kami.
"Hyung, dengarkan aku. Selama empat tahun aku mencarimu hyung, tapi aku tidak menemukan satu petunjuk pun tentangmu. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain berharap suatu hari kami dapat berjumpa denganmu hingga akhirnya kami memutuskan untuk menetap di Seoul sambil terus mencarimu," kutarik napasku menghentikan sementara perkataanku,"Hyung, kau tahu bagaimana rasanya hidup tanpamu? Hampa hyung. Aku seperti mayat hidup, bahkan Seokmin selalu memarahiku karena katanya aku tidak berekspresi sama sekali," aku tertawa kecil mengingat kejadian saat senior kudaku itu memarahiku karena aku tidak bisa diajak bercanda sama sekali.
Karena Wonwoo hyung masih tenang dan sudah agak rileks, kuputuskan untuk melanjutkan,"Hyung, saranghae."
"Mingyu-ah hentikan candaan konyolmu ini!" dia menarik paksa tangannya. Hm, aku tahu dia kuat dan bahkan terkadang lebih kuat dariku.
"Hyung, siapa yang bercanda? Aku serius, bahkan 1000% serius."
"Kau tidak tahu apa yang kau katakan Mingyu-ah. Berhati-hatilah dengan ucapanmu Kim Mingyu!" Wonwoo hyung sedikit meninggikan nada suaranya. Dia berbalik memunggungiku dan berniat untuk pergi keluar ruangan, namun segera kucegah sebelum semuanya terlambat. Oke, aku tidak ingin melihat Wonwoo hyung menangis lagi karena kebodohanku. Aku tidak ingin dia mengorbankan dirinya untukku lagi karena harusnya aku yang melindunginya seperti janjiku selama bertahun-tahun lalu.
"Hyung, aku benar-benar mencintaimu," aku berteriak agar dia mendengar jeritan hatiku.
"Hentikan Mingyu-ah! Kau harusnya mengatakan itu pada Jeonghan, bukan padaku!" suaranya terdengar agak parau, mungkinkah hyung menangis.
"Dengarkan aku hyung! Aku sudah tidak ada hubungan dengan Jeonghan sejak empat tahun yang lalu. Aku sadar bahwa aku tidak mencintainya hyung. Aku hanya mencintaimu. Dari dulu hingga sekarang perasaanku padamu tidak pernah berubah hyung," aku mencoba duduk walaupun rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku membuatku harus memegangi bekas lukaku dengan tangan kananku dan agak mendesis menahan sakit.
"Hyung aku tahu aku bodoh. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku tahu aku sudah salah mengambil keputusan, tapi tolong dengarkanlah aku. Aku mencintaimu bahkan jauh sebelum aku mengenal Jeonghan," kucabut selang infus yang tertancap di pergelangan tanganku membiarkan beberapa tetes darah menghiasi kulitku. Kulangkahkan kakiku ke arah Wonwoo hyung. Tubuh Wonwoo hyung bergetar. Aku tahu dia menangis. Aku benci hal itu, wae? Kenapa dia selalu menangis karena aku? Kenapa?
"Hyung, dari pertama kali aku melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu. Aku tahu aku bodoh, aku selalu mengelak dan menghindari kenyataan bahwa aku menyukaimu sejak saat itu. Kau tahu hyung betapa sulitnya aku mengucapkan mantra pada diriku sendiri bahwa kau adalah hyungku? Karena setiap kali aku melihatmu jantungku akan berdetak kencang, dadaku sesak, dan aku tidak bisa berpikir normal hyung," kuletakkan tanganku di pundak Wonwoo membuatnya berbalik menatapku horror karena melihat tetesan-tetesan darah di keramik putih rumah sakit.
"Yah! Apa yang kau lakukan Mingyu-ah? Apa kau sudah gila? Bagai-."
"Ya, aku memang gila. Gila karena aku terlalu mencintaimu hyung. Dulu aku mengira bahwa rasa sayangku padamu hanyalah rasa sayang adik terhadap kakaknya, tapi aku salah. Aku tidak ingin kau hanya menjadi hyungku. Aku ingin memiliki hubungan lebih denganmu hyung. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti untukmu hyung. Aku ingin terus melindungimu selamanya," kupotong perkataanya dengan lirihnya.
"Gyu, aku," dia meraih pergelangan tanganku pelan. Dia terlihat depresi dan aku sangat ingin memeluknya saat itu juga jadi kutarik tubuhnya membuat angan-anganku nyata.
"Hyung, I knew what you feel all this time. I knew I hurt you so much. I knew that you've cried because of me, because of the stupid me. I knew I promised you before that I'll always protect you but I'm the one made you hurt like that. I'm sorry. I'm so sorry," akhirnya air mata yang sedari tadi mendesak di pelupuk mataku metes juga.
"Now, I want to make it up to you hyung," kulepaskan pelukanku dan dengan segera aku berlutut di hadapannya. Aku masih tidak berani menatap matanya secara langsung karena aku takut tatapannya akan menciutkan nyaliku."Would you be my boyfriend Wonwoo hyung?"
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Semilir angin membelai pelan rambut hitam legam milik seorang barista manis bernama Jeon Wonwoo yang sedang terduduk di bawah pohon sakura di sebuah taman yang sedang agak sepi. Jari-jari jenjangnya menyusuri sampul hitam pekat sebuah buku yang ada di pangkuannya. Perlahan dibukanya sampul buku yang terbuat dari kulit sintetis itu hingga menampakkan sebuah foto yang sudah agak kusam. Senyumnya mengembang melihat salah satu kenangannya yang berharga.
"Wonwoo Hyung, kau sudah menunggu lama?" sebuah suara mengalihkan perhatiannya membuatnya terkejut dan segera menutup kembali sampul kulit ke tempatnya semula.
"Hey, apa yang kau sembunyikan dariku?" pemilik suara itu kini duduk di samping Wonwoo setelah menyibak mantel hitamnya. Tangannya ingin meraih sesuatu yang dipegang oleh kekasihnya itu namun Wonwoo lebih cepat menyembunyikan benda itu ke belakang tubuhnya.
"Ani. Kau tidak perlu tahu," ucapnya sambil menjulurkan lidahnya sesaat mengejek Mingyu yang segera membuat ekspresi cemberut.
"Begitukah? Aish aku malas sekali bermain rahasia-rahasiaan denganmu hyung," masih dengan cemberut Mingyu membalikkan tubuhnya hingga memunggungi Wonwoo. Padahal sebenarnya Mingyu sudah tahu rahasia Wonwoo, ya buku yang kata hyung (ani kekasihnya) itu sebut sebagai buku music, tapi ternyata hanya buku diary atau buku curhat atau semacam itulah.
"Gyu, itu bukan hal penting. Bisakah kau berhenti menunjukkan ekspresi seperti itu?" Wonwoo mencoba membalikkan tubuh Mingyu agar menghadap dirinya namun gagal karena Kim Mingyu bersikeras memunggungi Wonwoo.
"Okay, aku pergi kalau begitu," Wonwoo melepaskan tangannya dari pundak Mingyu dan berpura-pura berdiri namun Mingyu berbalik secepat kilat ke arahnya dan menarik tangannya hingga ia terjatuh di atas tubuh kekasihnya itu.
"Gajima! Don't leave me alone hyung," pipi putih Wonwoo merona mendengar permintaan Mingyu. Tangannya kini bersandar di dada bidang pria yang sudah bisa disebutnya sebagai miliknya itu. Pria yang sudah memberikan kesmpurnaan bagi hidupnya itu. Dia tidak sadar ketika wajah Mingyu sudah mendekat ke wajahnya karena ia sibuk melamunkan nasib mujurnya. Hembusan hangat napas Mingyu membuatnya membelalakkan mata karena sekarang Mingyu sudah menciumnya telak di bibir. Sensasi bibir tebal Mingyu yang menempel di bibir tipisnya memang masih sering membuatnya terkejut, tapi dalam artian yang baik.
Mingyu melingkarkan lengannya di pinggang Wonwoo dan menarik tubuhnya semakin dekat. Bibir tebalnya sekarang sibuk melumat bibir tipis milik Wonwoo membuat si pemilik mengerang pelan. Sapuan lidah basahnya ke bibir bawah Wonwoo membuat pemilik mata sipit itu mengeratkan cengkeraman tangannya di kemeja yang Mingyu kenakan. Dengan nakalnya Mingyu menggigit bibir bawah Wonwoo hingga si empunya terpaksa membukakan mulutnya membiarkan bibir nakal Mingyu melakukan apapun termasuk menghisap dan menjilat lidah dan rongga mulutnya.
"I love you hyung. Saranghae. Jeongmal saranghae," bisik Mingyu lembut saat tautan bibir mereka terlepas meninggalkan jejak saliva yang bercampur di dagu Wonwoo.
"I know that. Stop saying that, it's embarrassing!" Wonwoo menghapus saliva di dagunya dan berusaha berdiri namun Mingyu kembali menarik tubuhnya hingga lagi-lagi ia menempel ke tubuh kekar Mingyu seperti permen karet.
"Yah, ini romantis tau. Bagaimana bisa kau bilang ini memalukan hyung?" Mingyu mengedipkan matanya dan kembali melumat bibir Wonwoo. Keduanya berciuman di bawah pohon sakura yang sedang berkembang di tengah taman yang sedang sepi. Hanya suara erangan Wonwoo dan beberapa cicit burung kecil yang kebetulan beterbangan maupun hinggap di dahan pohon terdengar di taman itu.
Saat menghentikan ciuman kedua mereka Mingyu kembali membisikkan sesuatu di telinga Wonwoo,"Hyung, kau tak perlu lagi menyembunyikan BUKU MUSIK mu itu karena aku sudah melihat dan membaca isinya."
Wonwoo melotot tak percaya, namun sejurus kemudian ia berteriak,"YAH KIM MINGYU SUDAH KUBILANG JANGAN BUKA BUKU MILIKKU! KAU TAHU MEMBUKA MILIK ORANG LAIN ITU SAMA SAJA SEPERTI PENCURI! AISH," Mingyu segera melarikan diri dari kejaran Wonwoo sambil tertawa.
"Ternyata kau melankolis juga ya hyung?" Mingyu membuat wajah Wonwoo makin memerah dan kembali mengacungkan BUKU MUSIKnya tinggi-tinggi bersiap memukul kepala Kim Mingyu yang lari pontang-panting.
.
.
S.E.V.E.N.T.E.E.N
.
.
Jeon Wonwoo yang berusia tujuh tahun bergetar saat ia tiba di pintu depan rumah keluarga Kim. Dia tidak percaya ada seseorang yang mau mengangkatnya anak dan mengajaknya tinggal bersama mereka. Apakah ini sebuah keajaiban? Atau apakah ini hanya sebuah mimpi?
"Wonwoo-ah, sekarang kamu tidur di kamar Mingyu ya? Eomma sudah menyiapkan semuanya untukmu," ibu Mingyu membimbingku ke kamar anak semata wayangnya. Dia menyelimuti tubuh kecil Wonwoo yang sudah lama kedinginan dengan selimut tebal yang sangat hangat. Kemudian ibu Mingyu memberikan ciuman di kening anak kecil yang beberapa lama itu menjadi gelandangan, begitu juga dengan ayah Mingyu.
"Mimpi indah Wonwoo-ah," ayah Mingyu berkata kemudian tersenyum hangat padanya.
"Wonwoo Hyung apa kamu sudah tidur?" Wonwoo kecil mendengar Mingyu berbisik di tengah kegelapan sesaat setelah pintu kamar tertutup.
"Ani, Wonu belum bisa tidur."
Sesaat kemudian dia merasakan ada seseorang di kasurnya dan sepasang lengan melingkar dengan manisnya di pinggang ramping Wonwoo.
"Gyu-Mingyu," ucapnya terbata-bata.
"Hyung, eomma sering bilang kalau tidak bisa tidur akan lebih baik kalau seseorang memelukmu seperti ini," jawab Mingyu.
"Benarkah itu?"
"Eung," angguk Mingyu dengan antusiasnya.
"Gomawo Gyu."
"Mwo?"
"Karena Gyuie sudah baik pada Wonu. Kenapa Gyuie bersikap baik pada Wonu?"
"Karena Gyu menyukai Wonu Hyung. Gyu tidak ingin Wonu Hyung kedinginan seperti tadi. Gyu tidak ingin Wonu Hyung menatap semua orang dengan sedih lagi. Gyu ingin Wonu Hyung tersenyum bahagia selamanya," jawabnya dengan dada membusung bak pahlawan superhero membuat Wonwoo kecil tertawa pelan.
"Yah, hyung kamu tidak percaya kata-kata Gyu?"
"Ani. Wonu percaya. Tapi bukankah Gyu terlalu baik pada Wonu? Gyu sudah memberikan kuemu untuk Wonu, bukankah itu cukup?"
"Gyu sudah bilang kalau Gyu menyukai Wonu Hyung. Gyu akan melindungi Wonu Hyung dari semua penjahat. Gyu akan membantu Wonu Hyung setiap saat. Dan Gyu tidak akan membiarkan siapapun membuat Wonu Hyung menangis," lagi jawaban Mingyu membuat Wonwoo terharu.
"Gomawo Gyuie," Wonwoo balas memeluk Mingyu.
"Sama-sama Wonu Hyung," Mingyu kemudian dengan malu-malu mengecup pipi gembil Wonwoo membuat keduanya merona.
"Jja, sekarang kita tidur Wonu Hyung. Eomma akan marah kalau tahu kita belum tidur," buru-buru Mingyu memejamkan matanya karena malu akan perbuatannya sebelumnya.
"Eung. Jjaljayo Gyu," ucap Wonwoo ikut memejamkan matanya.
"Jjaljayo Wonu Hyung," ucap Mingyu lirih walaupun detak jantunya menjadi dua kali lebih cepat.
THE END
Sama sekali tidak teruji klinis ini cerita. RnR buat readerdeul.. Mian kalo sequelnya terkesan maksa dan jelek. Mian sekali lagi. Thanks buat yang udah support author…. See you di fanfic selanjutnya^^