PREVIOUS CHAPTER

.

.

.

Final result:

Positive for HIV antibody.

.

Tidak perlu menjadi super jenius untuk memahami kalimat itu.

Taehyung bisa merasakan dunianya berhenti berputar saat itu juga. Segalanya mendadak kabur, dan ia terombang-ambing, berulangkali mensugesti otaknya agar segera bangun, namun tentu saja gagal karena ini bukan mimpi.

Ini adalah kenyataan mengerikan yang tak akan bisa berubah, tak peduli seberapa jauh ia mencoba lari.

.

.

Taehyung terjatuh pada lututnya, menangkup wajah dengan kedua tangan, berharap itu akan membuatnya terbangun dari mimpi buruk ini. Ia tidak menangis, tentu saja. Taehyung tak pernah menangis. Tapi hatinya hancur lebih dari apapun.

Jimin berdiri di tempatnya, membiarkan Taehyung tenggelam dalam rasa penyesalan, suatu hal yang selalu ia rasakan setiap membiarkan emosi mengambil alih pengendalian dirinya.

Taehyung melampiaskan seluruh kemarahannya tanpa suara. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan, mengusap wajahnya kasar dengan helaan nafas kuat untuk berfikir jernih.

"Pulanglah. Ayahmu membutuhkanmu. Jungkook membutuhkanmu."

.

.

.

Jika bukan karena paksaan dan ceramah dari Jimin, Taehyung tak mungkin duduk dengan mempertahankan ketenangan palsu disini, berusaha menghisap teh dengan tangannya yang gemetaran.

Saat ia pulang tadi, dokter Kim Junmyeon, dokter keluarga mereka, sudah menunggu di ruang tengah. Ia seorang dokter umum yang sedang menjalani pendidikan lanjutannya sebagai spesialis penyakit dalam, jadi ia jelas mengetahui banyak hal tentang penyakit Jungkook walaupun tidak memiliki wewenang untuk menanganinya.

Ayahnya sudah masuk ke kamar sejak tadi, membiarkan Taehyung dan Junmyeon berbicara, berharap putra sulungnya segera mengerti agar mereka bisa lekas mengusahakan sesuatu untuk Jungkook.

Taehyung meletakkan cangkirnya di meja, menatap Junmyeon yang masih mempertahankan senyuman malaikatnya, menunggu Taehyung berbicara.

"Bagaimana bisa...saem?" Taehyung akhirnya bicara, suaranya pecah di ujung. Ia menggelengkan kepala, berusaha menahan emosi yang kembali muncul ke permukaan.. "Jungkook baik-baik saja, bagaimana mungkin ia menderita hal yang mengerikan seperti ini?"

"Dari data laboratorium, dan analisis dari dokter yang ayahmu datangi, kemungkinan besar Jungkook terinfeksi 5 tahun lalu, dan daya tahan setiap orang berbeda-beda, jadi hingga kini gejalanya belum timbul karena sistem limfatik Jungkook masih berfungsi dengan baik."

5 tahun yang lalu...

Itu berarti–

"Saat Jungkook kecelakaan?"

Junmyeon mengangguk,

dan Taehyung mendadak menunggunya tertawa dan mengatakan, "BERCANDA, TAE! APRIL MOP!"

Tapi ini bukan bulan April, dan sama sekali bukan lelucon.

5 tahun lalu saat Jungkook baru berusia 10 tahun, ia tertabrak mobil, cukup parah hingga butuh transfusi 3 kantong darah. Taehyung belum cukup umur untuk mendaftar; ayah mereka memiliki golongan darah yang berbeda dengan Jungkook, jadi mereka memakai persediaan yang tersisa dari bank darah.

Tapi siapa sangka darah yang harusnya menyelamatkan itu malah menjadi penghancur masa depan Jungkook?

Sekarang Taehyung mengerti kenapa ayahnya menangis tadi. Sekarang ia paham betul mengapa ayahnya berulang kali meneriakkan betapa tidak adilnya hidup. Karena rasanya, ia juga ingin melakukan hal yang sama. Memaki entah pada siapa. Menyalahkan apapun asal membuat perasaannya sedikit lega.

"Saem, aku benar-benar buruk dalam belajar, tapi aku yakin sekali pernah membaca sesuatu tentang betapa ketatnya sistem sortir di bank darah," Taehyung berkata tergesa, jelas sekali berusaha keras mempertahankan ketenangan palsunya, "tidak mungkin hal sekrusial itu lolos dari pemeriksaan kan?"

"Aku tahu…" Junmyeon menghela nafas, mencoba memikirkan penjelasan terbaik yang bisa diterima Taehyung. "Jadi begini, Tae, tes yang Jungkook lakukan kemarin, bukannya mencari Human Immunodeficiency Virus di tubuhnya, melainkan untuk mengecek keberadaan antibodi tertentu yang biasanya diproduksi tubuh ketika virus itu menyerang."

Mereka bertatapan beberapa saat, Taehyung mengangguk pelan memberi isyarat pada Junmyeon jika ia bisa menangkap apa yang dimaksudkan.

"Dan antibodi itu hanya bisa keluar ketika virus mulai merusak kekebalan tubuh, padahal virus itu mungkin sudah ada sejak lama, tapi berusaha bersembunyi karena belum memiliki koloni yang kuat. Pada fase itu, bisa saja darah menunjukkan hasil negatif ketika di tes, karena tubuh belum memberikan perlawanan dan tidak ada antibodi yang terdeteksi. Padahal virus itu sudah ada, dan dapat menular."

Taehyung sebisa mungkin fokus, mendengarkan suara Junmyeon yang semakin lama terdengar seperti gaung, berputar-putar di kepalanya bahkan ketika dokter muda itu sudah berhenti bicara.

"Besok kau dan appa-mu harus ke rumah sakit untuk medical check-up, aku yang akan mengatur janji temunya."

Taehyung menatap Junmyeon tak mengerti. "Dan bersikap seolah Jungkook adalah penebar virus mematikan?"

Junmyeon terdiam, tak lagi memasang senyuman simpul yang membuatnya terlihat luar biasa ramah. "Lalu kau akan membiarkan Jungkook hancur sendirian jika sampai terjadi hal buruk pada kau dan ayahmu?"

Dan sebenci apapun Taehyung pada kenyataan pahit yang Junmyeon lontarkan tanpa basa-basi, Taehyung tahu bahwa ia benar. Junmyeon dan otak dominan kiri penuh logika sialannya.

"Taehyung-ah, aku bekerja pada keluarga kalian sejak aku masih pemula yang payah, dan kalian sudah sangat membantuku sejak saat itu. Tapi aku membalas kalian dengan menjadi sangat ceroboh dan membiarkan penyakit Jungkook lolos dari penglihatanku, jadi aku tidak akan mengulang hal yang sama, oke?

Aku teledor, mengira bahwa gejala kelelahan, lesu, dan demam yang akhir-akhir ini Jungkook alami itu efek dari latihannya yang berat. Aku tidak akan istirahat sampai memastikan bahwa kau dan ayahmu negatif, serta Jungkook mendapat perawatan yang terbaik."

Melihat wajah sendu Junmyeon, Taehyung mendadak ingat bahwa bukan hanya ia sendiri yang terluka karena hal ini.

Ayahnya terluka, karena anak bungsunya menderita penyakit mematikan setelah ia baru saja berhasil merelakan kepergian istrinya.

Junmyeon terluka, karena ia seorang dokter dan datang ke rumah Taehyung hampir setiap Minggu, tapi tidak mengetahui ada penyakit itu di tubuh pasiennya.

Jimin terluka, karena ia sudah menganggap Jungkook seperti adiknya sendiri, menjadi kakak kedua Jungkook, menjaganya bersama Taehyung.

Dan terutama Jungkook…

terluka.

.

Hening lama. Taehyung akhirnya memberanikan diri mengangkat kepala, "Apa yang bisa kulakukan untuknya, saem?"

"Banyak," Junmyeon tersenyum, "banyak sekali yang bisa kau lakukan untuknya. Membangunkannya di pagi hari, mengantarnya ke sekolah, menunggunya untuk pulang bersama, dan masih banyak lagi."

Taehyung menatapnya tak mengerti.

"Bersikaplah seperti biasa, itu saja. Ia tidak perlu mendapatkan pertanyaan 'apa kau baik-baik saja?', atau 'apa ada yang sakit?' setiap saat. Ia tidak butuh diingatkan tentang penyakitnya. Kau malah harus membuatnya lupa, entah menggelitikinya hingga ia terlalu sibuk tertawa daripada mengingat, atau mengajaknya melakukan hal-hal menyenangkan."

Detik itu juga, Taehyung bertekad untuk mengubur kesedihannya dalam-dalam. Ia akan menangis, menjerit, memaki penyakit Jungkook hanya jika rasa sakit saat melihat adiknya menderita tak tertahankan lagi. Jungkook tak perlu melihatnya hancur, adiknya harus tetap menganggapnya benteng super kuat yang bisa mengatasi hal apapun juga,

tempat Jungkook bisa bergantung tanpa khawatir.

.

.


Setelah berdikusi lagi tentang beberapa hal, Junmyeon pamit pulang. Ketika Taehyung mengantarkannya hingga teras demi kesopanan, sebagai rasa terimakasih pula, ternyata ayahnya juga ada disana, menanti Junmyeon menghilang di persimpangan jalan, sebelum memberi Taehyung isyarat untuk duduk di sampingnya.

Rasanya masih canggung karena seumur hidup Taehyung belum pernah melihat ayahnya marah dan hilang kendali seperti tadi.
Ayahnya adalah tipe orang yang penuh kontrol diri, begitu tenang dan amat bijaksana. Ia paham benar bahwa ada dua anak kecil yang tumbuh dengan mencontohnya, jadi ia selalu berusaha menunjukkan bagaimana hidup dengan benar.

Baru kali ini ayahnya terlihat begitu terpukul. Menyalahkan apa yang tidak seharusnya disalahkan, padahal ayahnya benar-benar bukan tipe orang yang seperti itu.
Saat Taehyung mematahkan hidung temannya di bangku sekolah dasar, sang ayah tidak marah, lebih memilih menanyakan alasan perbuatan Taehyung, meminta anaknya mempertimbangkan apakah hal itu memang harus dilakukan; apakah tidak ada penyelesaian yang lebih baik dari itu.

Dari ayahnya pula Taehyung belajar bahwa beberapa hal lebih baik dipendam sendiri, karena meluapkan emosi tidak akan pernah berakhir baik, dan sama sekali bukan hal yang bijaksana untuk dilakukan.

Walaupun memang hanya butuh waktu setengah jam hingga ayahnya tenang kembali, namun sudah cukup untuk memberitahu Taehyung bahwa rasa sakitnya sama. Ia sama terlukanya dengan Taehyung. Sama terpukulnya.

"Jagoan appa yang hebat," bahu Taehyung ditepuk pelan, "hari yang melelahkan ya?" Ayahnya tersenyum, jadi Taehyung memaksakan seulas senyum pula.

"Setiap duduk di teras, appa jadi ingat betapa cerewetnya ibumu dulu jika bertemu dengan tetangga-tetangga di depan rumah, memamerkan 'uri Jungkook yang manis', 'Taehyung-ku yang ceria'."

Taehyung masih ingat saat-saat itu, ketika Jungkook sudah cukup besar untuk bermain bola, dan mereka menghabiskan sore dengan bertanding di halaman rumah. Ayah dan ibu mereka akan menjadi pemandu sorak, diiringi tawa pejalan kaki yang lewat setiap Jungkook protes dengan imut karena tendangannya tak pernah cukup kuat untuk menembus gawang Taehyung.

"Maafkan, appa, tak bisa memberimu sore-sore indah yang sama." Sepasang mata teduh itu menatap Taehyung dalam, menyiratkan penyesalan. "Maaf, appa tak bisa melakukan apapun saat kau dituntut keadaan untuk tumbuh dewasa dengan cepat. Seharusnya kau masih bermain dengan teman-temanmu hingga sore hari saat itu, bukannya menjemput adikmu di penitipan anak, membujuknya makan, menemaninya mandi, menjaganya sepanjang waktu."

Semuanya tahu bahwa Taehyung tak pernah keberatan. Karena baginya, Jungkook bukan beban; ia prioritas, kewajiban yang akan Taehyung jaga sebaik mungkin walaupun tak ada yang memintanya.

"Appa menyesal sekali." jeda sejenak, "Tapi, Taehyung-ah. Sepertinya appa membutuhkan bantuanmu sekali lagi. Tolong jaga Jungkook lebih lama lagi ya?"

Tentu saja Taehyung akan melakukannya. Ia akan terus melakukannya bahkan jika Jungkook masih sehat dan rajin memakinya seperti biasa, ia akan terus melakukannya walau mereka beranjak dewasa dan menemukan separuh jiwa lain yang harus mereka lindungi. Ia akan melakukan segala yang ia bisa untuk adiknya.

"Hyung-ah," rindu menyeruak ketika mendengar panggilan yang dulu sering diucapkan ayah dan ibunya untuk dicontohkan pada Jungkook. "Penyakit adikmu memang belum ditemukan obatnya, namun bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Appa tidak peduli berapa puluh persen kesempatannya hidup, appa juga tidak butuh sajian data jumlah orang yang selamat dari penyakit ini. Kita, dengan mengabaikan hal-hal itu, akan membantu Jungkook menjadi salah seorang pejuang yang selamat."

Sepasang mata dengan garis kerut usia disekitarnya menatap Taehyung mantap, tersenyum menguatkan. Senyuman serupa dengan yang ia berikan di rumah duka 10 tahun lalu, ketika meyakinkan kedua putranya bahwa mereka akan baik-baik saja walau hanya bertiga.

"Kita akan meraih keajaiban itu bersama."

Lalu bahu Taehyung ditepuk sekali lagi,dan walaupun Taehyung tak yakin keajaiban itu benar-benar ada, setidaknya sedikit harapan berhasil terselip di dadanya. Meski sulit, mungkin, mungkin saja, mereka benar-benar bisa melewatinya.

.

Setelah ditinggalkan sendirian, Taehyung baru menyadari bahwa gerimis tadi siang sudah selesai, entah sejak kapan.

Tetapi ketika ayahnya masuk ke dalam rumah, dan Taehyung berjalan untuk menutup gerbang yang lupa ditutup Junmyeon, hujan tiba-tiba saja turun.

Begitu deras, tanpa aba-aba, dan membuat sekujur tubuh Taehyung basah hanya dalam beberapa saat. Kebanyakan orang tentu saja akan berlari berteduh di saat seperti ini, apalagi dengan teras rumah yang hanya terletak 10 meter dari tempatnya berdiri.

Namun Taehyung hanya membeku ditempat.

Ingin menertawai diri sendiri ketika menyadari kesamaan antara hujan sore ini dengan kenyataan yang baru saja menamparnya telak. Begitu tiba-tiba, tanpa aba-aba, merubah Taehyung yang sebelumnya kering menjadi basah kuyup.

Kenapa kebahagiaan yang sudah susah payah mereka peroleh, direnggut kembali dengan begitu mudahnya?

.

.


TBC


.

.

Hai haiiii!

Nggak tau harus minta maaf macem gimana lagi atas kengaretan fic ini. Maaf banget yaaa.

Dan aku punya suatu pengumuman /ea/

Jadi cuy, aku berencana buat hiatus untuk beberapa bulan ke depan.

Aku udah bikin 3 fic baru, chaptered, tapi kayaknya baru bisa dishare tar pas balik TT MBHJ bakalan on-hold juga sampe aku balik, dan buat sequel LDRs…well, aku punya ide yang lain buat itu, jadi tunggu aku balik ya? :))

Huaaa, nulis di sini sebenernya kayak pelarian dari chaos-nya hidup, tapi sekarang udah bener bener nggak bisa lari ternyata /sobs/

Ada satu hal yang bener-bener penting yang udah waktunya aku kejar, like, super important. Bener-bener penting banget dan susah banget juga buat aku jadi aku mohon doanya ya :') Semoga hal itu terkejar dengan lancar, dan aku bisa balik lagi kesini. Satu doa dari kalian sangat berarti gaes /heart heart/

Bakalan kangen banget sama kerusuhan kalian di kolom review TT But, siapa tau ada yang kesurupan jadi khilaf terus kangen sama aku, bisa dm di instagram minseokbunxx. Walaupun aku jarang juga on disana, tapi diusahain dibales kok :') Asal jangan kirim pm di akun ffn ya, aku jarang buka soalnya TT

I LOVE YOU SO MUCH! SEE YOU IN FEW MONTHS!