Terima kasih untuk Event Miragen+ yang sudah membantu kami untuk menulis secara lengkap dari awal samapi akhir, perjuangan yang tidak sia-sia. Dan artis-artis yang sudah berjuang untuk menyelesaikan gambar2 kece!
Terima kasih untuk Arise Haruna yang sudah menggambar untuk ini. Kepada pada pembaca di ffn, untuk membaca fic ini beserta gambar, silahkan menuju profile AO3 saya dan membaca His Choice dari situ. :) Bila ingin melihat fanart nya juga tersedia di profile dalam bentuk link ^^
Fic ini memang dibagi menjadi 4 chapter, jika di AO3 dijadikan satu, maka di ffn dibagi menjadi 4.
Disclaimer: Kuroko no Basket adalah karya Fujimaki Tadatoshi. Fanfiksi ini adalah milik saya sendiri. Penulisan untuk 'Miragen+ Big Bang 2016'
Hic Choice
Chp 1: Rekomendasi
Aomine melempar bola basket ke ring, teriakan Kagami tidak dihiraukannya. Dia menatap lekat bola yang memantul pada permukaan lapangan. Memijit tengkuknya dan membunyikan lehernya dengan memiringkan kepala, Aomine menghela nafas panjang. Dia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari mulut lawannya itu.
"Oi, Aomine! Berhentilah bermain sejenak dan dengarkan aku!" Kagami melotot, cemberut pada tingkah laku pacarnya. Mereka sudah hampir setahun bersama, seharusnya Aomine tahu betul sifatnya disaat mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius.
"Aku mendengarkanmu, brengsek. Kenapa kau harus memberitahukan hal yang begitu mendesak sekarang? Terserah, sesukamu sajalah! Pergilah ke Amerika ataupun Eropa, aku tidak peduli." Aomine menggeleng kepala sembari mengambil bola basket yang menggelinding. Dia mengembalikan bola Kagami dengan melemparnya. Kagami menangkap bola tersebut, kaget oleh lemparan yang mendadak.
Kagami menggertakkan giginya, tangannya menekan bola dan bergetar. "Kau benar-benar ingin aku pergi, begitu? Baiklah jika kau mau, aku tidak mungkin meninggalkan tawaran sebagus ini, Aomine. Kukira kau akan memberikan kesan positif padaku. Aku sudah sangat salah mengharapkan dukunganmu."
"Ya, pergi saja. Aku tidak mungkin menahanmu, itu hidupmu." Aomine menghalau Kagami keluar lapangan. Kekasihnya tampak murka. Dia balik badan, mengambil tas dan pergi meninggalkan Aomine sendirian di lapangan basket. Di lapangan tempat mereka bertemu pertama kalinya.
Aomine menatap kepalan tangannya. Dia yang sekarang sudah tidak mungkin mendapatkan rekomendasi dari team mana pun. Dia yang sudah menggunakan kekerasan kepada sesama pemain basket, Haizaki Shougo, tidak mungkin bisa mengharumkan namanya kembali begitu saja. Jangankan tawaran tim NBA yang didapatkan Kagami, dia bahkan sudah membuat tim sekolahnya kewalahan akan kasus yang menjamur di media massa.
"Tim Touou, Daiki Aomine menggunakan kekerasan kepada tim lawan, Haizaki Shougo! Seusai pertandingan basket melawan sekolah Kaijo, rupanya ada sesuatu di antara mereka sebelum pertandingan usai. Aomine tampak menunggu Haizaki, saksi mengatakan bahwa mereka tampak bertengkar mulut. Pertengkaran itu kemudian berlanjut dengan Haizaki yang mencoba menyerang Aomine. Dengan mudah Ace Touou tersebut melancarkan tinjunya yang membuat Haizaki tidak sadarkan diri. Akhirnya, Aomine Daiki yang terkenal dengan sebutan 'monster di tengah pertandingan basket' itu menggunakan kekerasan! Beberapa tim lawan yang sudah pernah berhadapan dengannya tidak heran bila suatu hari Aomine akan menggunakan kekerasan baik di luar maupun di dalam pertandingan."
Aomine meremas koran yang baru saja diberikan ibunya saat dia memasuki kamar. Ibunya meninggalkan kamar anaknya tanpa mengatakan apapun, membiarkannya untuk berpikir sendiri dengan tenang. Aomine merebahkan diri di ranjang, menaruh tangan menutupi matanya diikuti dengan menghela nafas panjang. Sudah kesekian kalinya dia membaca surat kabar yang sangat menjatuhkan namanya. Kemungkinan banyaknya informasi buruk datang dari lawan yang sudah dikalahkannya. Bibirnya menyunging tipis.
'Dasar para pengecut. Mereka terlihat lemah dan hanya bisa berkoar di media massa, tidak berani berhadapan langsung denganku di pertandingan.'
Hanya satu orang yang sanggup menghadapinya dengan berani, atau bisa disebut bodoh karena tidak punya rasa takut kalah. Wajah ceria Kagami muncul dalam benaknya. Sejenak teringat pertengkaran mereka yang baru saja terjadi. Dia menggulingkan tubuh menyamping, menyangga kepalanya dengan lengan. Matanya menatap jarum jam yang berdetak, perlahan melahap waktu dalam tiap detik.
'Kagami… apa yang dilakukannya sekarang…'
Kagami bersin, dia mengusap hidungnya yang gatal. Setahunya, dia sudah membersihkan kamar kemarin, seharusnya tidak ada debu yang menumpuk. Memandang berkeliling, matanya menangkap pigura di atas meja. Kagami berfoto dengan piala Winter Cupnya bersama dengan team Seirin. Dia sudah memberitahukan rekomendasi dari NBA kepada teman satu tim. Mereka mendorongnya untuk maju, menerima tawaran sekali seumur hidup rekomendasi yang sulit didapat semua orang.
Kagami tersenyum, matanya bergulir pada pigura di sampingnya. Foto Aomine dan Kagami yang diambil Satsuki saat mereka memperebutkan bola demi sepatu basket Aomine. Kagami menghela nafas, bingung dengan keadaan yang sulit dipilih. Dia tahu desas desus mengenai Aomine yang menggunakan kekerasan dan ditangkap media massa. Seharusnya tidak akan sesulit ini untuk bicara soal NBA kepada Aomine apabila kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Kagami mengusap kepalanya gusar. Tidak mungkin dia meninggalkan tawaran sebaik ini dalam hidupnya. Dia berusaha untuk tidak mengajaknya bertengkar, namun keduanya mempunyai emosi yang mudah tersulut. Dia tidak ingin meninggalkan Aomine begitu saja dengan bertengkar. Kagami tahu betapa hebat Aomine dalam lapangan, dia mengerti bahwa tawaran yang ditujukan padanya bisa saja ditawarkan pada Aomine juga.
Kagami menarik cellphone-nya, menatap nomor Aomine sejenak. Jika dia bisa memberikan tawaran tersebut kepada Aomine, tentu dia sudah melakukannya. Menarik nafas, dia menekan nomer Aomine dan menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa saat sebelum suara kekasihnya terdengar di sisi lain telepon.
Kagami menelan ludah. 'Tetaplah tenang dan jangan menyulut api.'
"Aomine… ya. Aku mau bicara besok sepulang sekolah. Kau harus datang, dengar tidak?" Telinganya menangkap suara dengus nafas.
"Baiklah, Bakagami. Waktunya tidur." Jawabnya pendek.
"Cih… Ahomine…" bibir Kagami tertekuk ke atas. Setidaknya emosinya sudah turun, Kagami ingin bisa berbicara tanpa memancing emosi.
Hari senja, kedua insan bertemu. Kagami menatap Aomine yang memasuki lapangan basket tempat mereka biasa janjian. Menarik nafas panjang, Kagami berdiri tegak, menunduk menatap sepatu yang diberikan Aomine sebelum pertandingan terakhirnya pada Winter Cup. Kenangan hangat membuatnya melunak.
Aomine menatap Kagami dalam diam, dia tidak bisa mencegahnya untuk pergi kembali ke Amerika. Meskipun tujuannya sangat berbeda dari hanya sekedar kangen akan negara dimana dia bertumbuh, dia tidak menyesalinya. 'Apa yang akan kau lakukan Kagami? Kau tahu bahwa aku tidak mungkin menyusulmu dengan kondisiku yang sekarang.'
Kagami membungkuk rendah di depan Aomine, di hadapan kekasihnya, seolah meminta restu untuk menerima keputusan yang sudah dipertimbangkan dengan matang.
"Maafkan aku. Aku… memutuskan ini sendiri tanpa mendiskusikannya padamu, Aomine. Aku… mendapatkan tawaran untuk bermain NBA di Amerika dan hal ini tidak mungkin kulepaskan begitu saja…"
Aomine diam terkesima, matanya membelalak melihat Kagami merendah. Di luar dugaan, harimau yang sulit diatur pun takluk apabila itu menyangkut dirinya, Aomine Daiki. Aomine tertegun, sementara tidak berani mengeluarkan suaranya, takut parau dan terbata-bata. Sampai Kagami mendongak, Aomine masih menatapnya. Mata mereka bertemu, dadanya ngilu melihat Kagami nyengir lebar di hadapannya. Kekasihnya yang berambut merah itu mengulurkan tangannya, mencoba untuk menarik Aomine mendekat. Aomine menangkap tangannya, dia menarik Kagami ke dalam pelukannya, mendekapnya erat. Bibirnya menyungging tipis ketika mendengar Kagami tertawa saat dia menabrak dada Aomine.
"Kagami, bila kau kalah dalam satu pertandingan saja, aku akan marah besar." Aomine mengusap kepala Kagami.
"Jangan khawatir soal itu, Aomine. Daripada itu, kau harus menyusulku!"
"Tentu saja, bodoh. Aku tidak akan tinggal diam disini menunggumu. Tunggu saja, aku pasti akan mendapatkan rekomendasi dan akan berhadapan denganmu di Amerika nanti."
Kagami tersenyum, mengangguk setuju. "Tentu saja, akan kutunggu di Amerika, Aomine."
Jari kelingking mereka saling bertaut, membuat sebuah janji yang tidak mungkin diingkari. Janji yang tidak akan pernah dilupakan keduanya. Kagami juga berjanji untuk senantiasa menunggu Aomine segera setelah dia berhasil mendapatkan rekomendasi dan mendapatkan nama baiknya kembali bersih.
Kagami menyampirkan tasnya, dia melihat ke belakang. Tatapan Aomine hanya tertuju padanya. Kagami mengangkat tangan, melambai dengan senyuman riang. Dia akan pergi, keputusan yang dibuatnya sudah bulat. Janji untuk terus menang pun ditepati. Dengan mantap, Kagami melangkah menuju pintu yang memisahkan dia dan Aomine. Untuk sementara mereka akan terpisah, namun komunikasi jarak jauh tidaklah sulit untuk mereka. Walaupun dengan waktu yang berbeda, Kagami akan terus mengirim kabar pada Aomine.
'Akan kutunggu, Aomine. Akan kutunggu sampai kau berhadapan denganku di lapangan nanti.'
Kagami melakukan dunk, bunyi tanda berakhirnya pertandingan memberitahukan bahwa mereka baru saja memenangkan pertandingan terakhir. Tim bersorak, mereka saling berpelukan, beberapa meloncat kegirangan. Kagami sendiri menerima berbagai pelukan dan sapuan pada rambutnya yang klimis oleh keringat. Kagami tertawa. Timnya mendapatkan piala emas kehormatan yang kedua.
Dilihatnya lapangan pertandingan tempatnya bertanding. Dadanya ngilu melihat lawannya bukanlah yang selama ini ditunggu. Sudah hampir dua tahun, Kagami memasuki tahun kedua di Amerika. Dia akan memasuki kelas tiga bulan depan. Seharusnya dia senang dengan kegemilangan yang diraihnya. Hatinya berkata lain. Ekspresi Kagami menyambut piala dengan senyum terpaksa.
Aomine yang berjanji untuk menyusulnya sampai sekarang belum juga mengabari keadaannya di Jepang. Entah ada sebab apa yang mengakibatkan remaja berambut biru itu memutuskan kontak dengannya. Hati Kagami mulai gusar sejak setengah tahun terakhir. Dia menanyakan kabar mengenai Aomine pada rekan yang tahu hubungan mereka. Jawaban yang didapat tidak seperti keadaan yang tengah terjadi. Kagami tidak yakin mereka mau berterus terang. Berjanji bahwa dia akan melumat Aomine jika ketahuan sedang bermesraan dengan yang lain, Kagami menjadikan bola basketnya sebagai pelampiasan frustrasi. Di satu sisi remaja berambut merah itu berharap bahwa kekasihnya yang terpaut jauh sehat walafiat.
Walaupun kegusaran hatinya tidak membuatnya hilang fokus pada pertandingan basket mereka, namun tim NBA menyadari hal tersebut.
"Kembali ke Jepang?" Kagami menengadah pada pelatihnya.
"Benar, aku ingin kau sedikit refreshing. Sepertinya ada yang mengganggumu. Aku senang hal tersebut tidak membuatmu kehilangan kemampuanmu yang hebat dalam pertandingan kami. Namun, setelah meraih piala ini, kita akan tetap berlatih seperti biasa. Kau kuijinkan beristirahat. Jika kau mau kembali ke Jepang, akan kuperbolehkan, tentu saja. Lagipula, aku yakin sekolahmu juga akan libur setelah ujian kemarin, bukan?" Pelatih mengangguk, memperbolehkan Ace kesayangan mereka berlibur.
"Ah, aku tidak masalah."
"Terima saja, Kagami. Tidak ada salahnya kau kembali, bukan? Kami akan baik-baik saja. Pertandingan baru akan dimulai tiga bulan lagi. Aku yakin kita masih punya waktu untuk berlatih."
Kagami memandang kaptennya. Kapten sebayanya mengangguk, menyetujui ide pelatih. Kagami tersenyum.
"Baiklah, terima kasih. Aku akan kembali ke Jepang untuk sementara waktu."
Aomine menatap jam sekolah. Setengah jam lagi waktunya pulang. Yang diinginkannya hanyalah pulang dan tidur siang. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Aomine menunduk, menatap buku tulisnya yang minta diperhatikan. Dia mendengus, tidak satu pun dari tulisan salinan dari papan di depan kelas yang diingat. Tangannya bergerak namun tidak satu huruf pun nyangkut di dalam ingatannya. Semuanya hampa.
Dering lonceng tanda pelajaran usai memecahkan keheningan kelas dan menghentikan kicauan guru. Aomine yang pertama kali berdiri untuk beranjak keluar kelas.
"Tunggu, Dai-chan!" Satsuki, teman masa kecilnya sekaligus manager tim basket sekolah mencoba menghentikan langkahnya. Aomine tidak mengindahkan panggilannya.
"Kau… harus latihan…" Satsuki menatapnya kesal. Dia tidak mengikuti remaja itu, berhenti berjalan ketika teringat Kuroko Tetsuya.
"Tetsu-kun… Apa yang harus kulakukan…" Satsuki bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Kagami merebahkan diri pada ranjang. Dia melenguh, merasakan pegalnya tubuh pada perjalanan yang cukup panjang. Sambil menatap langit-langit, bibirnya menekuk membentuk senyum. Kagami sudah mengabari teman satu tim Seirin akan kepulangannya ke Jepang. Mereka berencana untuk bertemu keesokkan harinya setelah Kagami mengatasi jet lag. Pikirannya bergulir pada Aomine. Dia sudah mengabari melalui e-mail sebelum kembali ke Jepang, entah apakah Aomine sudah membaca pesannya atau belum.
Kagami merebahkan diri pada ranjang. Dia melenguh, merasakan pegalnya tubuh pada perjalanan yang cukup panjang. Sambil menatap langit-langit, bibirnya menekuk membentuk senyum. Kagami sudah mengabari teman satu tim Seirin akan kepulangannya ke Jepang. Mereka berencana untuk bertemu keesokkan harinya setelah Kagami mengatasi jet lag. Pikirannya bergulir pada Aomine. Dia sudah mengabari melalui e-mail sebelum kembali ke Jepang, entah apakah Aomine sudah membaca pesannya atau belum.
'Yah, dia pasti akan menyahut bila ada waktu…' Kagami menutup matanya, merasa kesal karena harus setiap kali menunggu balasan yang tidak kunjung tiba. Kagami mengerang, berguling menyamping dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Belum sempat dia menutup mata, seseorang seenaknya memasuki kamarnya. Tangan wanita berambut pirang itu memukul kepala Kagami.
"Bangun bodoh! Apa kau kembali hanya untuk tidur saja?!" Alex, wanita yang disebut sebagai guru sekaligus manager Kagami di tim NBA menarik selimut remaja itu dan menjatuhkannya ke lantai. Kagami terkesiap, matanya menatap Alex kaget.
"Kau- tunggu, apa yang kau lakukan di sini?! Apa kau mengikutiku, Alex?!" Jarinya menunjuk wanita yang lebih tua darinya beberapa tahun sambil melempar tatapan bingung.
"Kau ini… sangat tidak peka." Alex menghela nafas dan mengusap rambutnya. "Dengar, kau tidak punya banyak waktu di Jepang. Bukankah kau ingin menyadarkan kekasihmu itu? Cepatlah bergegas untuk menemuinya. Ini sudah senja, jika kau tidak menemuinya sekarang, tidak akan ada makan malam untukmu."
"Apa itu yang kau katakan padaku yang tiap kali memasak untukmu?!" Kagami melontarkan bantalnya ke lantai.
Kagami menatap gerbang sekolah SMU Touou. Menyender pada dinding sekolah menunggu anak-anak sekolah berjalan keluar gerbang, sekelebat rambut pink berjalan melewatinya sebelum mereka bertatap muka. Teman masa kecil Aomine memandang Kagami tidak percaya sebelum dia memekik kaget.
"Kagamin? Kau- tunggu, seharusnya kau ada di Amerika!" Katanya sambil menunjuk bingung. Kagami nyengir lebar, mengusap kepalanya sebelum berdiri tegak. Kagami mengulurkan tangannya untuk menyalami gadis itu.
"Yah, begitulah, aku dibolehkan libur untuk kembali kemari."
"Begitukah? Aku melihat pertandinganmu beberapa hari yang lalu, hebat sekali tim kalian." Satsuki tersenyum menyambut tangan Kagami.
"Terima kasih. Sebenarnya kepulanganku kemari adalah untuk bertemu Aomine…" Ucapan Kagami berhenti setelah melihat wajah Satsuki yang memucat. "Dia... tidak mengabari apa pun sejak setengah bulan lalu dan aku ingin mengunjunginya. Apakah dia masuk hari ini?"
"Dia… masuk tapi…" Satsuki menunduk.
Kagami berdetak. Gadis di hadapannya tampak enggan menjelaskan, matanya bergulir ke samping. Tiba-tiba saja jantung Kagami memompa lebih cepat. Tangannya berkeringat dan mulai bergetar. Kagami menyembunyikan tangannya ke dalam saku. Seharusnya dia tahu… menghilangnya Aomine dari dunia maya adalah pertanda.
"Apa yang terjadi padanya…" Kagami berbisik, dalam hati berdoa bahwa dia sehat walafiat.
"Aomine-" jawaban Satsuki terpotong ketika suara Aomine memanggilnya.
"Oi Satsuki, apa yang kau lakukan? Kau bilang ingin ditemani belanja makan malam?" Aomine berdiri di belakang Satsuki, menatap Kagami dengan heran.
"Aomine!"
"Dai-chan!"
Keduanya memanggil bersamaan. Kagami tampak lega melihat Aomine berdiri di hadapannya.
"Aomine! Kau- kenapa tidak mengabari apa pun padaku!" Kagami menarik lengannya, mencoba untuk merangkul kekasihnya sebelum Aomine dengan kasar mendorong Kagami.
"Siapa kau, jangan pegang sembarangan." Remaja yang lebih tinggi darinya itu menatap Kagami dingin.
Mata Kagami membesar, tidak percaya akan jawaban yang didengarnya.
Satsuki menggigit bibir, resah menatap kedua insan yang seharusnya berpelukan melepas kangen.
"Bicara apa kau, Aomine? Apa kau masih marah dengan kepergianku ke Amerika?!" Kagami menyambar bahu Aomine, memaksa mereka berpandangan.
"Amerika? Ah? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Apa kau tidak salah orang? Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu..." Aomine melepaskan tangan Kagami, mundur dua langkah sambil menatapnya janggal.
Horor terpatri pada wajah Kagami. Matanya membesar menatap Aomine seolah remaja di hadapannya tumbuh kepala ekstra. Keringat dingin, dia menatap Satsuki yang sedari tadi tidak bersuara. Gadis itu hampir menangis menatap Kagami.
"Dai-chan, dia… temanku… yang sering dibicarakan Tetsu-kun padamu, ingat?" Satsuki menyentuh lengan Aomine yang bingung, memaksa tersenyum.
"Oh? Aku ingat sekarang. Kalian memang pernah bilang padaku bahwa kalian punya teman berambut merah. Jadi ini Kagami? Hmm… tidak tampak kuat menurutku." Aomine bergumam sendiri, mengorek telinganya dengan jari kelingking. Mata birunya menimbang sosok Kagami di hadapannya.
"Apa?! Permainan apa yang hendak kau lakukan, Aomine?!" Kagami sontak kesal mendengarnya. Satsuki mengangkat tangannya, menghentikan Kagami yang emosi.
"Ah, karena ada temanku, bagaimana kalau kau duluan pulang? Aku akan menemaninya sejenak."
"Tunggu-"
Satsuki menahan Kagami, menggeleng kepala. Aomine sudah membalikkan badannya dan melangkah menjauh.
"Baiklah. Sampai besok." Dia melambai meninggalkan mereka berdua.
"Satsuki!"
"Akan kujelaskan! Sebelumnya, biarkan aku menelpon Tetsu-kun!"
Kagami menatap Aomine gusar. Mengepal tangan untuk menahan emosi, Kagami membuang muka ke samping. "Cih!"
Penjelasan Satsuki sejenak setelah dia menekan ponsel pada telinganya membuat Kagami shock.
"Aomine-kun… kehilangan ingatannya…" Satsuki berbisik sambil menatap lekat Kagami.
Hatinya mencelos. Mulut Kagami terbuka dan menutup beberapa kali, bingung bagaimana harus menjawab fakta yang baru saja diberikan padanya. Satsuki menjawab panggilan Kuroko di ponsel, menjelaskan keadaan dan menyuruhnya segera bertemu di Maji Burger. Berdiri kaku di depan gerbang, dia tidak menyadari beberapa rekan tim Touou yang tahu hubungan dia dan Aomine menatapnya simpatik.
TBC