"Sebentar lagi sudah mau kelulusan, ya." Entah atas dasar apa, Okajima tiba-tiba saja berbicara seperti itu.

Isogai mengangguk setuju. "Iya, ya. Gak kerasa udah setahun di kelas E."

Sekelas kompak menunduk, memikirkan kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang ketua kelas.

"Bagaimana jika kita melakukan pesta perpisahan besok?" Nagisa mengajukan pendapatnya. "Bukankah tiga hari lagi kita sudah wisuda? Waktu kita bersama di dalam kelas E sudah tinggal sedikit."

Semuanya menunduk semakin dalam. Entah mengapa, kalimat Nagisa sebelumnya terngiang-ngiang di masing-masing pikiran murid kelas end tersebut.

"Hmm.. kurasa, memang benar adanya perkataan Nagisa barusan. Kita– sebagai teman sekelas– memang sudah seharusnya untuk mengadakan perpisahan. Bagaimana? Kalian setuju dengan usul Nagisa?" Kataoka angkat suara.

Seluruh murid kelas E pun bertukar pandang satu sama lain sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk bersamaan.

"Tentu saja. Mana ada yang mau menolaknya."


.

Assassination Classroom – Yuusei Matsui

.

WARNING : gak ada humornya, OOC, gaje, typo, bahasa kasar, dll.

.

Mohon maaf bila ada kesamaan cerita. Cerita ini murni imajinasi saya, tidak ada niatan untuk meniru ataupun menjiplak.

.

Kehidupan Sehari-hari Warga Kunugigaoka

.

Enjoy!

.


Makan Bersama.

Lapangan di depan gedung kelas E kini sudah disulap menjadi seperti restoran dadakan. Tentu saja, hanya penghuni gedung lama Kunugigaoka yang boleh memasukinya.

Melihat hasil karya muridnya tersebut, Karasuma membatu di tempat, Irina melongo, Koro-sensei terbelalak. Siapa yang tidak terkejut jika mengetahui bahwa sekelompok remaja baru saja membuat tempat untuk makan bersama dalam waktu hanya semalam?

Mereka dibantu oleh pasukan jin? Tidak menutup kemungkinannya. Apalagi, Koro-sensei tidak campur tangan sedikit pun mengenai masalah tersebut.

"Kalian serius? Membuat ini semua dalam semalam– maksudku, kalian benar-benar serius?" Irina berulang kali menanyakannya. Rupanya, ia masih tidak mempercayai indra pendengarannya.

Nakamura– yang kebetulan berada di dekat sang guru pirang– menangguk pelan. "Iya, Bitch-sensei. Kita memang membuat ini semua dalam semalam."

Seketika itu juga, Irina bertepuk tangan seperti orang kesetanan. Terlalu kagum dengan bakat anak didiknya, mungkin.

Nakamura segera berjalan kembali ke teman-temannya, meninggalkan Irina sendiri bersama dengan tepuk tangan supernya.

"Lebih baik segera kita mulai acaranya," kode Nakamura pada Isogai. Sang ketua kelas pun mengacungkan kedua jempolnya– tanda mengerti.

Lelaki dengan pucuk kembar di kepalanya tersebut menepuk tangannya sekali. "Mohon perhatiannya teman-teman dan guru-guru!"

Kerumunan yang mulanya gaduh kembali tenang. Perhatian teralihkan menuju Isogai Yuuma.

"Pertama-tama, kami membuat acara ini dalam rangka acara perpisahan kelas E sebelum wisuda yang akan dilaksanakan dua hari lagi."

Ketiga guru kelas E mengangguk paham.

"Kami mengusahakan agar acara ini berjalan dengan sukses– seperti yang sudah terencana sebelumnya– agar menjadikan acara ini berkesan di hati teman-teman dan guru-guru sekalian. Semoga saja, acara ini cukup berkesan di hati dan tidak mudah untuk dilupakan."

Semuanya serempak meng-amin-i dalam hati.

"Kemudian, teman-teman dan guru-guru sekalian, mari kita–"

"KAPAN SELESAI PIDATONYA BAPAK KETUA KELAAASS?!" acara khidmad barusan harus dirusak oleh suara teriakan salah satu murid kelas E.

Isogai mendengus kesal. "Nunggu gedung kelas E direnovasi– ya, gak lah," jawabnya asal.

"Cepetan! Udah laper, nih!" sahut suara yang sama seperti sebelumnya.

Para hadirin menoleh ke arah pojokan kerumunan; sumber suara. Di sana, terdapat Hara Sumire yang sudah mencak-mencak. Di tangannya sudah terdapat piring beserta sendok dan garpu yang diambil belum pada waktunya.

Sang ketua kelas menggelengkan kepala keheranan.

"Baiklah, hadirin sekalian–" seluruh pasang mata kembali terfokus pada Isogai. "–Kalian dipersilahkan untuk makan, tapi– MOHON PERHATIANNYA SEBENTAR, BISA?"

Murid-murid kelas E yang baru saja berlari menuju barisan berbagai jenis makanan tersebut kembali menoleh ke arah sang ketua kelas.

"Tolong, mengambil makanannya jangan berdesakan; mengantri lebih baik."

Tak ingin mengecewakan sang Ketua Kelas disaat menjelang perpisahan, murid kelas memilih untuk menurut, walau perut sudah menuntut. Semuanya mengantri dengan rapi seraya menunggu giliran mengambil makanan.

Makanan yang tersaji di depan sana berasal dari berbagai belahan dunia. Ada yang berasal dari Asia, Australia, Amerika, Afrika, Eropa, bahkan dari Antartika pun juga ada. Es buah yang berada di ujung barisan makanan dan minuman tersebut, salah satu bahannya berasal dari benua Antartika.

Hanya es batunya, sih. Tapi murid-murid kelas E– yang notabene sebagai pihak yang sudah menyiapkan acara perpisahan– tetap bangga akan fakta tersebut.

Giliran pertama untuk mengambil makanan di tempati oleh Hara Sumire. Ia yang bergerak paling cepat jika sudah menyangkut urusan makanan. Murid-murid lain yang mengantri di belakangnya berani bersumpah bahwa mereka melihat Hara mengambil semua jenis makanan yang tersedia tanpa terlewat sedikit pun.

Barisan murid-murid yang mengantri di belakang Hara sweatdrop. Masih menjadi misteri mengenai besar perut Hara dan berapa banyak makanan yang bisa ditampung di dalamnya. Ya, masih menjadi salah satu misteri Kunugigaoka.

Berusaha melupakan pemandangan yang baru saja tersaji di hadapan mata, para hadirin acara perpisahan tersebut kembali melanjutkan sesi mengambil makanannya.

Seusai mengambil makanan masing-masing, semuanya mengambil tempat duduk yang sudah tersedia. Kursi-kursi empuk berwarna merah tersebut sudah terjejer rapi di halaman depan gedung kelas E.

Nagisa, Kayano, dan Karma pun ikut memilih-milih tempat untuk mengistirahatkan raga dan menikmati sajian.

"Di sana aja. Enak, dekat sama tempat mengambil minuman– biar gak jalan jauh-jauh."

"Jangan, di sana panas! Mending di sini aja– ketutupan pohon."

"Jangan di sana! Tempatnya terlalu rame. Sumpek! Enakan juga di sini."

Setelah mengalami perdebatan singkat, ketiganya memilih untuk duduk di barisan terdepan. Teduh, strategis, serta nyaman.

Nagisa mengaduk-aduk makanan yang baru saja diambilnya. Nasi goreng seafood. Kemudian, ia ambil sesuap dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Kunyah– baru sekali kunyah, ekspresi wajah Nagisa sudah berubah. Sikutnya digunakan untuk menyenggol kedua sahabatnya yang duduk di sebelahnya. "Coba, deh, nasi gorengnya."

Yang dimintai pun segera melakukan tanpa pikir panjang.

Tak berbeda dari Nagisa, Karma dan Kayano juga menunjukkan ekspresi 'tidak-enak' saat sesendok nasi baru masuk ke dalam mulut dan menyentuh lidah.

"Kok.. rasanya gini?"

"Rasanya kaya… ada manis-manisnya gitu."

"Benar, kan? Pasti ada yang salah dengan nasi gorengnya," tambah Nagisa.

Karma melirik ke arah gadis bersurai hijau yang duduk di samping Nagisa. "Kayano, bukannya kamu yang ngurus masakan 'Nasi Goreng Seafood'?"

Kayano mengangguk pelan. "Iya, memang aku yang mengurus masakan ini." Kemudain ia melanjutkan, "Tapi, aku tidak ingat sudah memasukkan bahan yang aneh-aneh ke dalam nasi gorengnya."

Ketiganya mengusap dagu bersamaan– membentuk gestur berpikir.

"Oh, sepertinya aku tahu penyebabnya!" sang gadis tiba-tiba saja memekik.

"Apa penyebabnya?"

"Sepertinya, aku sempat salah mengira gula itu garam, jadinya yang aku masukin ke situ bukan garam, tapi gula!" jawab Kayano dengan wajah polos tanpa rasa berdosa sedikitpun.

Samar-samar, terdengar suara muntah sebagai background suara.

.

.

Tukar Kado.

"Baiklah teman-teman, sekarang saatnya sesi bertukar kado." Isogai berkeliling seraya memberi tahu seluruh hadirin acara perpisahan kelas E. "Tolong disiapkan kadonya, ya."

Semuanya segera mengeluarkan kado yang dibawa masing-masing. Ada yang berbentuk kubus, balok, tak berbentuk pun juga ada. Ada yang berukuran besar, kecil, kelewat kecil, bahkan ada yang lupa membawa.

(Itona dengan santainya berkata bahwa ia lupa membawa kadonya kepada Koro-sensei dan tidak mengikuti sesi 'tukar kado' tersebut.)

"Akan dimainkan sebuah lagu. Saat lagu masih berjalan, kado akan terus digeser hingga lagu dihentikan. Saat lagu sudah berhenti, kado yang berada di genggaman tidak boleh dipindah tangankan ke orang lain. Begitu peraturannya," jelas Isogai panjang lebar. "Ada pertanyaan?"

Chiba mengangkat tangannya. "Bagaimana jika kado ditukar dengan persetujuan kedua pihak?"

Isogai menggeleng cepat. "Tidak boleh."

"Bagaimana jika pihak yang lain tersebut memaksakan kehendaknya?"

"Tetap tidak boleh."

"Bagaimana jika pihak yang dipaksa sampai diancam?"

"Jawaban tetap sama, yaitu tidak boleh."

"Bagaimana jika–"

Nakamura mendengus kesal. "Please, Chiba. Bisa setop tanyai pertanyaan-pertanyaan itu gak, sih? Emang penting? Udahlah, Isogai, cepet mulai aja!"

Chiba mingkem.

Isogai mulai menyalakan musiknya– pertanda dimulainya sesi 'tukar kado' tersebut.

Lagu terus mengalun dari speaker, begitu pula dengan kado yang terus berpindah tangan.

Jangan dapet punya Karma! Pokoknya jangan sampai dapat punya Karma!

Itu kado besar banget isinya apaan, ya? Pasti mahal! Harus dapet kado yang itu! Harus dapet pokoknya!

Semoga dapet kado yang isinya benda yang bermanfaat, Amin.

Semuanya berdoa dalam hati. Saat inilah, tingkat keberuntungan sangat diperlukan.

Tiba-tiba saja, lagu diberhentikan dari sumbernya. "Setop. Kado yang di tangan kalian sudah menjadi hak milik kalian. Jadi, sudah boleh kalian buka."

Tanpa berbasa-basi lagi, seluruh murid kelas E– minus Itona, tentu saja– membuka bungkus kado seraya terus memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.

Fuwa membuka kadonya yang berbentuk persegi panjang– tipis tetapi sedikit panjang dan lebar. Ia terus berharap bahwa hadiah yang didapatkannya adalah benda yang cukup bermanfaat baginya. Tapi–

Loh?

"Buku 'Cara untuk Melihat Setan'?" Fuwa bertanya.

"Oh, itu dari aku," jawab Nakamura seraya berjalan mendekati gadis berambut pendek yang tengah menatap kebingungan hadiah yang didapatnya.

Melihat Nakamura Rio yang berjalan ke arahnya, Fuwa terkekeh pelan. "Gak perlu buku ini buat melihat setan, kok."

Nakamura yang sudah sampai di tempat tujuannya pun mengernyitkan dahi. "Maksudmu apa, Fuwa?"

Yang ditanyai lagi-lagi terkekeh pelan. "Tuh, setannya ada di depanku."

"Eh, syalan."

Iseng, Fuwa membuka-buka buku pemberian dari gadis pirang yang tengah berdiri di hadapannya tersebut. Buku tersebut dibuka, namun–

Loh?

Dahi Fuwa berkerut. Isi dari buku berjudul 'Cara untuk Melihat Setan' tersebut tidak ada tulisan sama sekali. Ya, sama sekali tidak ada. Sebagai gantinya, isi dari buku tersebut adalah kertas mengkilap– hingga wajah Fuwa sendiri terpantulkan oleh kertas mengkilap tersebut– satu halaman penuh.

"Eh, Nakamura, Nakamura!" bahu sang gadis pirang diguncang-guncang. "Ini buku apaan? Kok gak ada tulisannya sama sekali?"

Nakamura menyeringai. "Buku itu judulnya apa?"

"Cara untuk Melihat Setan."

"Tujuan dari buku itu apa?"

"Agar pembaca dapat melihat setan? Kamu bicara apa, sih?"

"Nah, itu setannya sudah ada di buku. Berarti kamu sudah lihat setan." Nakamura Rio kemudian terkekeh pelan.

Fuwa nggak paham. Gadis tersebut menatap buku dihadapannya lekat-lekat.

Setan apanya? Di buku itu cuma ada kertas mengkilap yang bisa merefleksikan bayangan wajahku yangTUNGGU.

Fuwa tiba-tiba paham. Yang dimaksud oleh Nakamura dengan setan adalah dirinya sendiri. Lebih tepatnya, refleksi dirinya sendiri.

"Syalan kamu, Nakamura."

Tak berbeda jauh dari Fuwa, murid-murid yang lain juga banyak yang mendapatkan benda-benda yang aneh. Ada yang mendapat kaos dengan tandatangan artis yang tidak dikenal, pena dengan bandul tak berbentuk, makanan yang tidak jelas asal-usulnya, dan benda-benda aneh lainnya.

Seaneh-anehnya benda yang didapatkan, pasti akan tetap disimpan oleh murid kelas 3E tersebut.

Karena, itulah benda yang penuh dengan kenangan di kelas 3E– dan juga benda kenang-kenangan dari teman sekelas. Mana ada yang mau membuangnya.

.

.

END


Akhirnya sanggup juga menyelesaikan fic nista satu ini *elap keringet*

Terima kasih yang sudah mereview, mem-fav, mem-foll, serta membaca fic ini *kedip*

Mind to Review?;)