Pierce

Summary: Perjodohan. Tidak akan ada yang tahu, akan berakhir seperti apakah manusia yang mengalami hal bernama perjodohan. Kebahagiankah? Atau malah kesedihankah? Siapa yang bisa menebak. Semua kemungkinan bisa terjadi./R&R please/canon.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei

Warning: OOT, OOC, gaje, memungkinkan munculnya rasa bosan karena ketikan yang sangat panjang, dan sederet warning lainnya :p

Gaara x Hinata

Hope you like this!^_^

...

Suara shoji bermotifkan naga dan bonsai yang bergeser tak merubah posisi gadis itu. Ia terus menunduk. Walau tubuh semampainya bersimpuh tegak dengan anggun, namun mata bulan yang terus menatap ke bawah tetap berada pada posisinya. Rambut indigo seindah bak permata ungu lavender yang tersanggul rapi ke atas, berornamen bunga magnolia. Menunjukkan jenjang leher seputih susu nan bersihnya. Wajahnya datar, tak menampakkan ekspresi apapun.

Sebaris pelayan yang baru masuk mulai menghidangkan sajian tradisional khas Jepang berkualitas terbaik. Di hadapan para pria berhakama dan wanita yang berkimono indah. Pada sesosok berhakama hitam dan berkimono putih. Sebaris pria yang bermata bulan duduk mengapit seorang gadis berkimono sutera putih tanpa motif. Lalu sebaris pria dan wanita disisi lain yang mengapit seorang pemuda gagah berhakama hitam yang duduk tenang tanpa sepatah suara keluar dari mulutnya semenjak tadi.

Di sisi lain, pada masing-masing ujung meja berkaki rendah itu, seorang gadis berkimono merah muda dengan motif lili yang berhadapan dengan wanita berambut pirang yang mengenakan kimono hijau bermotif abstrak.

Ketika pelayan telah pergi dengan menutup kembali pintu shoji, salah satu manusia tertua yang ada disana bersuara.

"Silakan dinikmati, hidangannya,"

Mereka mulai makan dalam diam. Suasana yang tak nyaman bagi siapapun ynag belum pernah makan bersama sekelompok Hyuuga. Apalagi disini ada Hyuuga Hiashi, sang kepala klan yang tengah menjamu kerabat menantunya dari Suna.

Menantu?

Ya, menantu.

Hari ini, Konoha dan Suna telah resmi mengikat erat tali persaudaraan antar mereka. Dengan menggabungkan kekuatan untuk melawan kekuatan Akatsuki yang semakin merajalela. Demi meraih kepercayaan dan kekuatan sepenuhnya, muncullah suatu gagasan yang berakhir pada sebuah pernikahan antar desa ini. Perjodohan antara seorang pemimpin desa dan gadis dari klan paling berpengaruh di desa lainnya. Antara Kazekage Suna dan Hyuuga Hinata.

Inginnya sang Hokage -Tsunade- sendiri agak enggan menanggapi saran dari para tetua desa. Ia tahu apa itu perjodohan. Dan ia juga tahu, apa yang akan dirasakan muda-mudi yang dirasakannya jika mengalami hal tersebut. Perjodohan ini tidak main-main. Perjodohan antar desa yang akan melambangkan suatu ikatan daripada desa itu sendiri. Tapi mengingat para mempelai yang sebelumnya tak pernah berinteraksi atau akrab, atau menjalin suatu hubungan khusus sekalipun, membuat wanita yang berumur jauh dari apa yang terlihat itu sedikit kesal. Ia tahu maksud para tetua, itu semua demi kebaikan desa. Tapi lihat siapa yang hendak dijodohkan.

Seorang gadis pemalu yang terkenal menyukai pemuda ramen –Naruto-. Seorang Hyuuga yang tak diakui dan selalu dianggap lemah. Gadis tak percaya diri dengan semua kelembutannya. Ia adalah gadis yang terlampau baik. Hingga meski nyawa diminta –jika itu untuk kebaikan- pun, ia akan berikan. Ia tak akan pernah menolak. Tak akan pernah.

Lalu si pengantin prianya. Tsunade bahkan tak bisa membayangkan akan seperti apa pemuda itu ketika sudah menikah nanti. Memang benar kini ia sudah berubah, dari kejam menjadi seorang bijak nan dewasa yang bahkan melebihi dirinya sekalipun. Tapi Gaara adalah tipe workaholic yang lebih mementingkan desa daripada apapun di dunia. Tipe pria dingin, dan tak pernah terlihat tertarik pada lawan jenisnya.

Hokage ke lima itu mengenang rapat antar desa beberapa minggu lalu. Hendaknya Tsunade ingin para tetua Konoha dan Suna lebih memikirkan perasaan kedua belah pihak yang akan dinikahkan. Atau setidaknya beri mereka waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Perbincangan alot yang tak kunjung selesai. Namun melihat sang Kazekage yang berdiri dari kursi dan berkata bahwa ia tidak keberatan dengan pernikahan ini, dan meminta segera mengakhiri rapat karena ia masih memiliki banyak agenda penting, membuat Tsunade tak bisa mengelakkan lagi pendapat yang terus ia pertahankan berjam-jam lamanya.

Wanita yang sebenarnya berusia lebih dari setengah abad itu menghela nafas lelah. Keputusunan Kazekage tentu akan memengaruhi keputusan Hyuuga juga nantinya. Ia yakin bahwa Hiashi tidak akan menolak suatu kehormaan besar untuk menerima pinangan seorang Kazekage. Dan Hinata.

Ah, Hinata...

Tsunade kasihan dengan anak itu. Ia tahu ia sangat menyukai Naruto. Tapi ia juga tahu bahwa Naruto menyukai Sakura. Dan suatu pinangan Kazekage mau tak mau harus ia sanggupi, meski keadaan romansanya berbalik dimana ia dan Naruto saling menyukai sekalipun.

Hyuuga memang terkenal ketat. Tetua Hyuuga bahkan melebihi tetua desa. Mereka terlalu kolot. Dan terlalu membuat Tsunade sesak dengan semua peraturan yang mereka buat. Bahkan di acara yang sudah selesai dari kata 'sakral' pun, mereka masih mempertahankan kekolotannya. Benar-benar membuat sesak. Tsunade butuh sake sekarang.

"Tsunade-sama, anda terlihat tidak tertarik dengan makanannya. Apa anda kurang berkenan dengan makanan ini?"

Tsunade melirik Hiashi yang masih bertahan dengan posisi berwibawanya.

"Tidak. Aku hanya sedang tidak berselera saja,"

Wanita itu sangat tak nyaman dengan suasana ini. Terlalu formal dan mengekang. Tak habis pikir seperti apa hidup Hinata yang menjadi Hyuuga 'buangan' yang telah lama tinggal disini. Ditambah pernikahan yang... ah, pusing juga memikirkannya. Sungguh, Tsunade adalah seorang wanita yang pernah menjalin romansa –walau berakhir tragis-. Dan ia tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Hinata saat ini setelah menikah dengan Gaara. Memikirkannya saja membuat selera makannya hilang.

"Hinata,"

Yang dipanggil mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.

Nampak dandanan sederhana yang menampakkan keanggunan alami yang terpancar di wajah ayunya. Dandanan khas pengantin yang semakin membuat gadis itu semakin cantik dan sangat ranum. Membuat terpikat lelaki manapun yang melihatnya.

"A-ada apa, Temari-san?"

Ia sedikit gugup.

"Hora, jangan panggil aku begitu,"

Temari tertawa rendah. Sebisa mungkin menahan ledakannya di ruang serba penuh keformalan ini.

"Panggil aku Onee-san atau Temari-nee. Kita kan sudah menjadi keluarga,"

Tawa senang dan sumringah dari Temari, juga Kankuro, membuat Hinata tersipu malu. Para hadirin disana juga terlihat mulai berekspresi. Suasana sedikit cair dengan pernyataan Temari barusan.

"Te-te-temari-nee..."

Hinata tergagap akut saking malunya.

"...A-ada apa?"

"Kau manis sekali..."

Temari melirik adik bungsunya yang masih berwajah datar dengan obrolan ini.

"...Besok kita akan berangkat ke Suna. Apa kau siap?"

Hinata mematung. Sumpit terjatuh dari tangannya. Ia mengerjapkan mata pelan dan mulai berusaha mengendalikan diri seperti sedia kala. Walau hatinya sesak, mengingat kembali kenapa ia bisa menikah saat ini, dan kenapa mulai saat itu statusnya sebagai kunoichi Konoha berganti menjadi istri dari Kazekage Suna, ia berusaha tetap menegarkan ekspresi wajahnya.

"H-hai'... A-aku sudah siap, Temari-nee,"

Hinata tersenyum. Setidaknya ia tidak merasa seperti orang asing disana. Temari kelihatan lebih bersahabat dari yang ia kira.

"Baguslah,"

Makan bersama seusai upacara pernikahan ini berlangsung tidak lama. Yah, mungkin mereka sudah lelah dengan segala tetek bengek adat dan persiapan pernikahan sejak kemarin. Pinangan yang datang sebulan lalu sudah cukup membuat seluruh desa, terutama kediaman Hyuuga, kalang kabut mempersiapkan segala sesuatunya untuk upacara dan resepsi pernikahan akbar tersebut. Walau sudah dikabarkan jika Kazekage muda Suna akan dijodohkan dengan salah seorang Hyuuga sedari lama, namun pinangan resmi dan tanggal pernikahan belum secara lisan diumumkan. Hingga pinangan itu datang, mengatakan maksud mereka.

~~~~))))0((((~~~~

Hanya Temari, Kankurou, Gaara, dan beberapa pengawal desa. Kepala klan Hyuuga tak terkejut dengan kedatangan mereka tanpa kabar terlebih dahulu tersebut. Ia sudah menduga. Kazekage datang dengan waktu yang tak pasti. Ia adalah pemuda yang sibuk mengurus desa. Hanya jika ada waktu luang, kemungkian ia akan segera berangkat ke Konoha untuk melaksanakan apa yang sudah disepakati. Dan itu bisa sewaktu-waktu. Hiashi sudah menduganya.

Mereka datang, dan membuat Hiashi sedikit berpikir. Ia setuju dengan perjodohan ini. Ia setuju Kazekage akan dinikahkan oleh salah satu anggota klannya. Tapi ia belum memutuskan siapa yang akan mendampingi Kazekage muda itu kelak di pelaminan. Banyak kunoichi muda di klannya. Namun ia merasa tak pantas jika mendampingkan orang paling berpengaruh di Suna itu dengan Hyuuga yang bukan dari keluarga utama. Tentu saja, yang dimaksud keluarga utama disini adalah keluarga para Souke. Keluarganya. Keluarga dari Hyuuga Hiashi.

"Maaf, kami datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Hiashi-san,"

"Tidak apa-apa, Kazekage-sama. Anda adalah tamu terhormat bagi keluarga kami,"

Disana, di belakang Hiashi, ada dua orang gadis mengenakan kimono sutra terbaiknya. Di kanannya si sulung yang berusia 18 tahun, Hyuuga Hinata, dan adiknya, Hyuuga Hanabi, 15 tahun di sebelah kirinya. Usia mereka memang masih muda, namun bagi peraturan desa, usia mereka sudah dilegalkan untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Hiashi tidak tahu ingin memilih siapa untuk dijadikan istri oleh Kazekage muda di hadapannya. Semua orang mungkin berpikir Hinata lah yang cocok dengan pemuda Kazekage itu. Namun mengingat sifatnya yang lemah dan rasa cintanya pada Naruto, Hiashi tak yakin gadis itu bisa menyenangkan dan bertahan disisi Gaara. Sedang Hanabi... Ah, rasanya Hiashi sedikit tak rela putri kesayangannya tersebut menjadi istri Kazekage. Ia terlalu muda. Dan ia adalah harta yang terlalu berharga untuk diserahkan begitu saja pada Suna daripada dijadikan Heiress selanjutnya.

Mengenai Heiress, Hiashi telah berpikir jauh sebelumnya. Hinata memanglah anak sulung, ia memang ditakdirkan menjadi seorang Heiress. Tapi ia juga seorang gadis muda yang bisa jatuh cinta. Dan ia mencintai seorang pemuda yang bukan Hyuuga. Dan itu jelas akan menanggalkan gelar Hyuuga-nya kelak menjadi marga lain. Ia tak mungkin menjadi seorang Heiress Hyuuga tanpa gelar Hyuuga. Lagi pula, dibanding Hinata, Hanabi jauh lebih kuat dan terpercaya daripada kakaknya itu. Ia sangat cocok memimpin klannya di masa mendatang.

Bukannya Hiashi pilih kasih atau apa. Tapi ia telah berniat menyerahkan status Heiress pada Hanabi sejak lama. Hanabi adalah gadis berpendirian kuat dan tegas. Status itu sangat cocok dengannya. Sedang Hinata itu terlalu lembut untuk menghadapi segala keketatan Hyuuga. Hiashi hanya tak tega jika putri sulungnya itu menjadi bulan-bulanan yang akan menyakitinya. Hiasahi sayang pada kedua anaknya. Tapi ia terlalu sibuk untuk mematuhi segala aturan Hyuuga. Ia terlalu sibuk mendidik anaknya untuk menjadi Souke yang bisa menguasai. Dan ia sadar, dalam pelatihannya ini Hinata memang tak pantas untuk menjadi seorang Heiress. Hanabi lebih pantas dengan gelar itu. Ia mengesampingkan Hinata, dan lebih fokus pada Hanabi. Ia mendidik putri bungsunya itu dengan segala kemampuan yang ia punya. Ia jadi lebih dekat dengan Hanabi, dan semakin jauh dengan Hinata. Ia tahu putri sulungnya itu pasti terpukul dan sakit. Terlihat dari segala sifat sungkan dan patuhnya saat ia berhadapan dengan ayahnya sendiri.

Bukannya Hiashi pilih kasih atau apa. Ia hanya tak sempat menunjukkan segala afeksi yang memang seharusnya diberikan seorang ayah pada anaknya. Sangat menyesal ketika dengan lantang ia 'membuang' Hinata pada Kurenai untuk didiknya. Ia tahu Hinata pasti akan menangis. Ia tahu Hinata pasti akan merasa tersakiti. Hinata sangat mirip mendiang ibunya. Ia adalah wanita yang terlampau lembut, sampai-sampai tetap tersenyum walau berulang kali tersakiti.

Yah, mengenai istrinya, Hiashi tahu mendiang ibu dari anak-anaknya itu menyukai pria lain. Ya, ia tahu, bahkan semenjak sebelum pernikahan mereka dimulai. Namun sekali lagi karena kekolotan tetua, ia harus menjalani pernikahan paksa yang tak pernah diharapkannya. Hiashi tahu, wanita itu selalu menangis saat ia sedang sendiri. Walau pernikahan yang mereka jalani telah melahirkan buah hati pertama yang membuat ia sedikit terobati, namun Hiashi tahu istrinya masih mengharapkan kebahagiaan yang lain. Kebahagiaan yang hanya bisa didapat dari orang yang ia cintai.

Istrinya sangat menyayangi Hinata. Dan itu membuat Hiashi lega. Benih-benih cinta mulai tumbuh dalam hati pemimpin klan Hyuuga tersebut. Ia mencintai Hikari -istrinya-. Ia mencintai istrinya setelah Hinata lahir ke dunia. Ia pernah mengatakan perasaannya sekali –hanya sekali- pada istrinya tersebut. Tapi wanita itu hanya tersenyum. Senyum datar yang tak sampai ke mata.

Hingga kelahiran Hanabi, Hikari mulai sakit dan ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tentu saja Hiashi merasa sangat cemas. Ia selalu menyempatkan diri di sela kesibukan untuk menemani istrinya. Wanita itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa pada Hiashi. Sampai ajal menjemput pun, ia hanya berpesan untuk menjaga kedua putrinya baik-baik. Hiashi, untuk pertama kalinya mengeluarkan air mata semenjak menjadi kepala klan Hyuuga. Ia menangisi kematian Hikari. Ia menangis ketika melihat Hinata yang menangis pilu meratapi kematian ibunya. Ia menangis karena sampai akhir wanita itu tak membalas ungkapan cintanya. Ia menangis karena hingga ujung hidupnya pun, wanita itu masih mengharapkan orang yang ia cintai.

Sungguh sakitkah yang namanya perjodohan? Hiashi tak merasakannya karena ia hanya sebuah 'robot' yang dikendalikan para tetua Hyuuga. Hiashi tak pernah merasakan suatu perasaan apapun selain kasih sayang kepada adik dan rasa hormat kepada orang tua juga tetua. Ia tak tahu makna air mata dari wanita yang tengah bersanding di pelaminan bersamanya. Ia tak tahu apa itu rasa sakit dan cinta. Ia mulai tahu apa itu cinta ketika melihat istrinya mengafeksikan perasaannya pada putri kecil mereka. Ya, Hikari sangat menyayangi Hinata. Ia mencintai putri sulungnya itu. Tapi ia tak mencintai suaminya. Sejak itulah Hiashi mengenal rasa sakit. Sakit karena cinta yang tak terbalas dan sakit karena sejak itu ia mulai menyakiti putrinya.

Ia menyakiti Hinata, anak yang memulai semua perasaan kemanusiannya. Ia menyakiti Hinata, yang menjadi sumber segala kebahagiaan istrinya semenjak ia menikah dengannya. Ia menyakiti Hinata, yang menjadi cikal perasaan cintanya pada Hikari. Ia menyakiti Hinata, yang adalah buah hati pertamanya.

Hiashi sudah merasa cukup untuk menyakiti putri sulungnya itu. Hinata tidak salah apa-apa. Ia hanya terlalu frustasi saat itu. Ia tertekan oleh para tetua yang ingin melengserkan gelar Heiress Hinata saat itu juga. Mereka menganggap Hinata hanyalah sebuah aib bagi Souke Hyuuga. Meski pria itu memang telah berencana mengalihkan gelar tersebut, tapi Hiashi ingin mengubahnyan setelah mereka dewasa, dengan suatu alasan yang rasional tanpa menyakiti perasaan satu sama lain. Saat itu ia terlalu tertekan, hingga sebuah kalimat meluncur, menjadi awal penyesalan ketika Kurenai datang dan mengambil alih putri sulungnya.

Hiashi tahu, Hikari akan semakin membencinya dari alam sana. Ia tahu, istrinya itu tidak akan pernah menerima permintaan maafnya. Dan cukup dengan penyerahan gelar Heiress itu, cukup dengan sifat Hinataa yang takut padanya, cukup dengan semua perasaan bersalahnya. Hiashi hanya ingin semua putrinya bahagia. Hanabi yang mirip dengannya, pasti akan cocok dengan gelar Heiress. Ia akan menjadi gadis kuat yang kebal dengan semua keformalan Hyuuga. Dan Hinata...

Hah... Hiashi hanya ingin gadis itu menikah dengan pria yang ia cintai dan hidup berbahagia. Ia tak mau nasibnya sama dengan apa yang dialami Hikari. Ia tak mau menyakiti perasaannya lebih jauh lagi. Ia hanya ingin menjadi ayah yang baik.

Tapi kini Hiashi dihadapkan oleh pilihan yang sulit.

Ia harus melepas gelar Heiress pada Hanabi, atau menyakiti perasaan Hinata lagi? Hatinya berat. Ia ingin mengeluh, tapi pada siapa? Hikari sudah tiada. Hizashi juga sudah menyusul ke surga. Inginnya membatalkan perjodohan ini, tapi itu terlalu beresiko untuk kelangsungan desa. Terlalu memalukan untuk para Hyuuga –terutama tetua-.

Ia membawa semua putrinya. Ia tahu mereka pasti keberatan dengan perjodohan mendadak ini, tapi mereka pasti tidak akan berani untuk menolak. Karena mereka Hyuuga.

Para tetua Hyuuga yang berjajar di belakang dua gadis muda itu menambah suasana ini semakin serius. Hiashi tahu, ini bukan sebuah pernikahan main-main. Ini adalah pernikahan yang melambangkan ikatan antara Suna dan Konoha. Ini adalah ikatan sakral yang apabila tidak hati-hati dijaga, bisa-bisa kedua desa itu memulai peperangan -lagi-.

Hinata melirik sedikit Hanabi. Gadis belia itu bersikap tenang –saeperti ayahnya-, seolah tak akan terjadi apapun. Tidak seperti dirinya, yang dari tadi merasa tak nyaman dan sedikit gelisah. Ia tidak tahu jika akan ada perjodohan seperti ini. Ia tidak tahu jika perjodohan ini hanya para petinggi kedua desa dan petinggi Hyuuga yang tahu. Ia hanya bisa kaget dan pasrah, ketika tiba-tiba ayahnya menjelaskan tentang perjodohan dan menyuruhnya segera bergegas. Hingga tak sadar ia sudah berada disini. Mengenakan riasan dan kimono terbaiknya bersama Hanabi yang sedari tadi tak bisa ditebak seperti apa perasaannya sekarang.

"Kami kesini hendak melamar salah satu anggota kl-... ah, maksud saya putri anda,"

Hiashi berdehen sebentar. Sungguh, ia ingin mengutuk segala gengsi dan harga diri yang ia miliki saat ini. Inginnya ia memilih salah satu dari anggota klannya, tapi memang itu adalah sesuatu yang kurang pantas. Suna telah menyerahkan Kazekage mereka, dan Konoha tak mungkin menyerahkan Tsunade yang notabenenya lebih tua dari Hiashi. Itu akan menjadi sebuah hinaan. Dan karena sebagai klan terkuat dan berpengaruh, Hyuuga pun terpilih. Mereka harus menyerahkan salah satu gadisnya untuk dipersunting Kazekage. Dan tak mungkin pula orang dari Bunke yang menjadi pendamping Kazekage tersebut. Agar lebih meyakinkan, 'pernikahan besar' ini harus dijalani oleh orang yang 'besar' pula. Kazekage, dan Souke dari Hyuuga.

Meski kelihatannya pihak Suna tidak keberatan, walau bukan golongan Souke yang akan dijadikan calon mempelai. Tetap saja Hiashi masih kolot akan pengaruh para tetua. Oh, Hiashi ingin sekali mengumpat harga dirinya yang terlampau tinggi!

"Temari-san, seharusnya Kazekage-sama yang berbicara seperti itu,"

Tsunade yang duduk di antara rombongan Suna-Hyuuga paling ujung, menyela. Sebenarnya ia gatal berbicara seformal itu, tapi berhubung ia sedang berada di kediaman Hyuuga...

"Maafkan saya. Saya hanya ingin mewakili saja,"

Hiashi melirik Hinata yang mulai terlihat tidak tenang.

"Hiashi-sama,"

Gaara mulai angkat bicara. Menarok perhatian Hiashi pada calon menatunya itu. Ia membungkuk untuk menunjukkan hormat sebelum meminang salah satu putri pria yang sedang ia tunjukkan bungkukannya tersebut.

"Kedatangan saya kemari adalah untuk melamar putri anda,"

Singkat dan tegas. Kata-kata itu seolah tak terbantahkan dan membuat gadis di sebelah kanan Hiashi makin tegang.

Gaara menegakkan kembali badannya. Semua orang terkejut, tak terkecuali Temari dan Kankurou yang mengetahui sifat sopan yang ditunjukkan adik mereka -mereka terkejut mendapati Gaara yang bisa bersikap santun juga-. Gaara berkata dan bersikap seperti itu, seolah pinangan yang ia ajukan adalah sesuatu yang serius, yang harus ia dapatkan. Padahal tanpa membungkuk dan memohon pun pernikahan mereka juga pasti terlaksana. Temari yakin sifat liar Gaara sudah berubah. Ia kini menjadi pemuda 'normal' yang bisa bersikap sopan dan baik.

Hiashi kembali berdehem ringan.

Neji yang ada di sebelah Hinata sedari tadi diam, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Seperti yang engkau lihat, Kazekage-sama. Aku memiliki dua orang putri. Yang manakah yang berkenan dengan hati anda?"

Gaara melirik Hanabi yang duduk tenang tanpa ekspresi apapun. Lalu ia beralih pada Hinata yang menunduk dan sedikit menunjukkan kegusarannya. Gaara ingat gadis itu. Gadis pemalu yang selalu memakai jaket tebal. Gadis yang menyukai Naruto. Gadis lemah yang hampir mati melawan sepupunya sendiri di ujian Chuunin.

Gaara sedikit mendesah. Ia harus bijaksana. Hinata adalah gadis sepantarannya, ia sangat cocok menjadi pendampingnya. Tapi ia tahu jika Hinata menyukai Naruto, dan Gaara tak ingin menyakiti perasaan gadis itu. Walau Naruto sendiri belum tentu menyukai Hinata. Dan Hanabi, ia tahu gadis itu adalah seorang Heiress. Ia juga terlalu muda untuknya. Gadis seperti itu lebih baik menikmati masa mudanya daripada menjadi seorang istri. Hah...

Sebenarnya Gaara tak keberatan menikah dengan siapapun, asal itu bisa menjadikan desanya lebih maju bersama Konoha. Tapi jika di hadapkan pilihan seperti ini, ia bingung untuk memulai. Ia ragu.

Gaara melirik Temari. Ia meminta kakak perempuannya itu bisa membantunya dalam hal seperti ini. Ia adalah kakak tertua, ia yang paling bijaksana.

"Hiashi-san, dari kedua putrimu ini, siapakah yang telah siap untuk menikah?" Seperti yang Gaara duga, kakaknya segera tahu kode yang ia berikan.

"Tentu saja itu adalah Hinata-sama, Temari-dono,"

Semua terhenyak. Hiashi segera menelan kembali ucapan yang akan ia katakan setelah seorang tetua memberikan pendapatnya.

Hinata semakin cemas. Gadis itu mulai meremat kedua tangannya yang saling tertelungkup. Ia terlihat takut.

"Ya, gadis itu sepantaran dengan Kazekage-sama, sudah barang tentu ia sangat cocok dengan Kazekage-sama," tetua lain menyahuti.

"Menurutku Hanabi-sama lah yang seharusnya mendampingi Kazekage," tiba-tiba Neji bersuara. Ia yang sedari tadi diam memikirkan suatu cara, sudah tidak tahan dengan semua provokasi halus para tetua yang sedari dulu ingin menyingkirkan Hinata.

"Ia juga sudah cukup umur untuk menikah, tak ada alasan baginya untuk tak menerima pinangan ini,"

Hanabi melirik Neji dalam diam.

"Apa maksudmu Neji? Ini bukanlah sesuatu yang harus kau putuskan. Kau tidak berhak membuat suatu pernyataan pun," salah seorang tetua memulai.

"Lalu untuk apa aku disini? Aku disini untuk mewakili kedua pewaris Hyuuga. Aku adalah wali yang juga berhak untuk membuka suara," Neji berkata tanpa melihat ke belakang –tempat para tetua berada-.

"Pewaris Hyuuga hanyalah Hanabi-sama, Neji. Maka dari itu hanya Hinata-sama lah yang bisa menikah dengan Kazekage-sama,"

Hinata mengeratkan tangannya. Diam-diam Gaara melihat hal itu.

"Bukankah tidak ada syarat pernikahan ini harus dilangsungkan dengan seorang yang bukan Heiress? Hanabi-sama juga berhak untuk mendampingi Kazekage,"

"Jika Hanabi-sama menikah dengan Kazekage, maka siapa yang akan menggantikan gelar Heiress itu?!" suara tetua mulai meninggi.

"Kenapa harus bertanya lagi? Tentu saja Hinata-sama lah yang akan menggantikannya. Sedari dulu gelar itu memang ada hanya diperuntukan untuknya,"

"Lancang! Apa kau ingin membantah klanmu sendiri?!"

"Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya me-,"

"Kenapa kalian semua mulai membuat keributan?! Ini adalah pertemuan penting sebagai awal perikatan antar kedua desa besar! Jika Hyuuga tidak bisa menajaga segala tata kramanya, apa kalian tidak malu dengan Hokage-sama dan rombongan Desa Suna yang tengah melihat kalian sekarang?!" Hiashi mulai menyentakkan emosinya.

Semua terdiam cukup lama. Hinata sudah akan menangis. Hanabi tak bersuara. Semua yang ada disana enggan mencampuri kealotan para Hyuuga.

"Maaf atas semua keributan ini, Kazekage-sama,"

"Ie, aku maklum dengan semua keadaan ini," Gaara kembali melirik Hinata yang mulai berkaca-kaca.

Setelah keheningan yang cukup lama, Tsunade mulai kesal dengan pertemuan 'bodoh' yang tak juga berakhir. Tinggal memutuskan siapa yang akan menikah dan hari yang cocok untuk upacara pernikahan itu, kenapa bisa menghabiskan waktu hingga hampir dua jam seperti ini?

Mempertimbangkan segala hal, Hiashi mulai membuat keputusan. Ia tahu Neji berdebat karena ingin melindungi Hinata. Hanya ia yang tahu betapa menderitanya gadis itu selama ini. Tak dipungkiri pula, Neji juga memiliki rasa simpati dan kasih sayang yang lebih pada putri sulung Hyuuga Hiashi tersebut. Bagi Neji, Hinata sudah seperti adik kandungnya sendiri.

Di lain sisi, para tetua hanya tak ingin Hyuuga mendapat seorang pemimpin yang lemah, seperti Hinata –mereka bersikeras mempertahankan Hanabi-. Tapi mereka tak pernah tahu seperti apakah kekuatan gadis itu ketika ia melepas semua rasa lemah lembutnya. Ia adalah gadi kuat. Hiashi tahu betul akan hal itu. Ia sudah berubah. Ia adalah kunoichi yang hebat. Ia bukanlah Hinata yang sama seperti dulu.

Hiashi membuat keputusan...

"Kazekage-sama, jika anda berkenan, saya menyarankan agar Ha-"

"Aku sudah membuat keputusan,"

Sedari tadi pemuda berambut maroon itu menutup matanya. Ia juga tengah menimbang sesuatu. Ini adalah pernikahannya. Pernikahan seumur hidupnya. Walau tak tahu pasti akan seperti apakah kehidupan rumah tangganya kelak, ia tak ingin orang lain yang memutuskan sesuatu yang menyangkut masa depan pribadinya.

"Maaf memutus pernyataan anda, Hiashi-san. Tapi aku sudah memutuskan siapa yang akan menjadi pendampingku kelak,"

Semua diam. Semua mata tertuju ke arah Kazekage muda itu.

Hiashi mulai was-was.

Neji mengeratkan rahangnya.

Hanabi hanya menatap datar tanpa emosi.

Sedang, Hinata...

Gadis itu serasa ingin pingsan saat itu juga, ketika Gaara mulai mengucap:

"Aku memilih Hyuuga Hinata,"

~~~~))))0((((~~~~

"Minna! Kita berhenti setelah sampai di air terjun Manwa!" Kankurou berseru dari posisi terdepan.

"Yosh!"

Rombongan ninja dari Suna itu mulai kembali ke desa mereka setelah satu hari menginap di Konoha usai pernikahan Suna-Konoha. Tak lupa seorang kunoichi muda yang kini resmi menjadi bagian dari Suna berada di tengah-tengah mereka. Di kawal dua jounin dari Konoha untuk memastikan keselamatan pengantin muda itu.

"Hinata-sama, apa anda tidak merasa lelah?"

Neji melompat di antara cabang-cabang pohon lebih cepat. Menyusul Hinata yang berada di baris agak depan bersama Temari dan suaminya.

"Nii-san," Hinata agak terkejut dengan keberadaan Neji yang tiba-tiba muncul dan bertanya padanya.

"Jika anda lelah, aku bisa menggendongmu,"

"T-tidak perlu, nii-san. Daijoubu..."

Gaara melirik kedua Hyuuga itu.

"Kita hampir sampai di Manwa. Kau harus tetap kuat,"

"Hai',"

Setengah hari melakukan perjalanan menjelajah hutan, mereka mulai beristirahat di dekat air terjun Manwa. Penanda perjalanan mereka sudah hampir seperempat jalan. Beberapa dari mereka membasuh wajah dan melepas dahaga dengan kesegaran air Manwa. Sungai air terjun itu terkenal jernih dan menyegarkan. Sebagian juga mulai mencari ikan dengan peralatan dan jurus ninja mereka.

Hinata berjalan menuju sebuah bebatuan tinggi untuk mencari angin segar setelah membasuh wajah dan kakinya. Ia ingin melepas penat dengan bersantai di atas bebatuan tersebut. Ia memang selalu kesana ketika beristirahat di Manwa ketika menjalankan misi. Tempat itu sangat nyaman dan teduh oleh bayangan pepohonan.

Ketika sampai disana, ia mulai menyamankan posisi duduknya, berselonjor dan menikmati hembusan angin kencang yang menerpa. Seolah menerbangkan segala kepenatan dan letih yang mendera. Memandang langit biru yang bertebangan burung-burung kecil. Mengamati liuk awan yang berjalan pelan ke utara. Ya... ini masih Konoha. Ini masih di Konoha. Hutan hijau yang lebat, angin sejuk kencang, serta kesegaran suara gemericik air yang sejuk dinikmati. Ini masih Hi no Kuni. Hinata masih merasa ada di rumah.

Lalu gadis itu murung.

Sebentar lagi ia tidak akan ada di 'rumah'. Ia akan ke Suna. Ia akan tinggal disana selamanya. Ia sudah tidak melajang lagi. Ia telah mendahului semua teman seangkatannya untuk menapak jenjang berumah tangga. Ia sudah bersuami sekarang. Dan karena alasan itulah, ia mungkin tidak akan bisa berpulang lagi ke Konoha. Karena Suna akan menjadi rumah barunya.

Lalu Naruto. Pemuda ramen yang ia sukai sedari kecil itulah yang bisa membuat Hinata terpacu untuk menjadi kuat. Lebih-lebih saat pertarungannya melawan Neji yang jelas-jelas lebih hebat darinya. Namun sifat kukuh dan pantang menyerah yang ia miliki membuat semangat yang turut berkobar pula dalam hati Hinata. Apalagi gadis itu tahu Naruto melakukannya setelah melihat dirinya dihajar habis-habisan oleh Neji di ujian Chuunin tahap ketiga. Naruto... selalu berhasil membuat Hyuuga Hinata berdiri kembali dari keterpurukannya. Senyum cerahnya yang bagai mentari yang menyinari hati. Semakin hari rasa cintanya semakin tumbuh, walau ia tahu pemjuda itu selalu mengejar-ngejar rekan setimnya, Haruno Sakura.

Mengingat itu semua, Hinata menghela nafas. Bahkan dalam hal percintaan pun ia memiliki nasib naas. Lalu berakhir dengan sebuah pernikahan di usia dini yang tiba-tiba. Pernikahan ini ada bukan dilandaskan atas rasa suka sama suka. Ini hanyalah perjodohan agung yang menjadi simbol perikatan antar desa. Pernikahan yang harus Hinata terima, walau hatinya sakit bagai ditusuk sembilu.

Ia yakin tetua akan senang dengan kepergiannya. Ayahnya juga pasti tidak peduli. Hanabi mungkin akan sedikit khawatir. Dan Neji, mungkin pemuda itu akan selalu menceramahinya setiap kali mereka memiliki kesempatan bertemu kelak.

Ah, Hinata murung lagi...

"Apa kau menyesal dengan pernikahan ini?"

Hinata tersentak kaget bukan kepalang. Ia menolehkan kepalanya dan mendapati Kazekage Suna yang sudah ada tak jauh dari tempatnya duduk.

"K-kazekage-sama..."

"Kau menyesal menikah denganku?"

Hinata menggigit bibir bawahnya sedikit. Ia menunduk.

"Te-tentu saja tidak, Kazekage-sama,"

Bohong! Gaara tahu gadis itu bohong!

"Kau, terlihat tidak senang..." Gaara berkata dengan nada dingin.

Hinata tahu ia pasti tertangkap basah sedang berbohong. Sedari dulu ia tak pandai melakukan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mau dikatakan menyesal pun tak akan bisa mengembalikan semuanya sedari awal. Sebenarnya apa yang Hinata katakan tidak sepenuhnya bohong. Ia tidak menyesal. Ya, ia tidak menyesal dengan pernikahan ini. Dirinya sadar betul akan statusnya. Ia hanya bisa pasrah jika pernikahan ini membuatnya bisa lebih berguna. Lagi pula cintanya juga bertepuk sebelah tangan. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Tak ada alasan untuk menolak. Hinata tak menyesal. Hanya saja ia kecewa sedari awal, kenapa pernikahan seperti ini ada dan melibatkan dirinya.

"M-maaf, Kazekage-sama... A-aku hanya s-sulit berpisah dengan d-desaku,"

Kali ini Hinata berkata jujur sepenuhnya.

"Ya, itu adalah hal yang wajar,"

Hinata menatap pemuda yang tengah berdiri menatap langit itu. Rambut merahnya yang agak basah berkibar tertiup anagin. Mata berlingkar hitam yang menunjukkan iris jadenya. Wajah menawan meski tanpa alis yang berkilat tertimpa cahaya matahari. Kilatan itu yang menyadarkan Hinata bahwa pemuda itu tengah kelelahan, sama seperti dirinya.

"A-ano, Kazekage-sama,"

Gaara menoleh pada gadis yang kini menekuk kedua kakinya itu.

"B-bukankah disana panas? Du-duduklah disini, tempat ini sangat teduh dan nyaman untuk beristirahat,"

"Apa aku boleh?"

"T-tentu saja,"

Hinata merasa sedikit aneh dengan semua sifat santun Gaara. Pemuda itu terlalu beda dengan yang pernah Hinata lihat sewaktu ujian Chuunin dulu. Sikapnya itu yang membuatnya merasa tak enak ketika menerima suatu pertanyaan yang ia ajukan barusan. Atau saat malam pertama yang semestinya ia habiskan untuk melayaninya, pemuda itu malah lebih memilih tidak tidur semalaman di atas atap. Berkata pada Hinata bahwa ia tidak perlu memaksakan diri, dan ia juga maklum dengan semua ketidaksiapan gadis itu.

Hinata sedikit luluh dengan semua kelembutan di balik topeng stoik dan datarnya. Dan perasaan bersalah yang bergelayut mulai datang ketika ia sempat merasa takut pada pemuda yang justru bersikap sangat baik padanya.

Gaara mulai duduk di samping Hinata. Bersandar pada batu datar yang sama dengan gadis itu. Mulai memejamkan mata dengan tangan bersedekap. Ia menikmati hembus angin yang terasa sangat nyaman disana. Sembari menikmati tatapan penasaran istrinya yang melirik sedikit ke arahnya. Gaara tahu Hinata tengah memperhatikannya sekarang, walau dengan mata terpejam. Ia tahu gadis itu masih sungkan padanya. Mereka tak pernah dekat. Mereka bahkan hampir tak pernah bercakap. Dan mungkin belum terbiasa dengan status mereka yang telah resmi menjadi pasangan suami istri saat ini.

"Kau terlihat tidak tenang saat aku datang sebulan yang lalu,"

Gaara mulai membuka iris jadenya. Melirik gadis Hyuuga yang lagi-lagi terkejut karena pemuda itu mendapati ia yang sedang memperhatikan Kazekage muda tersebut.

"Aku tahu situasi apa yang tengah kau hadapi saat itu,"

"K-kaze-"

"Untuk itulah aku memilihmu, Hyuuga Hinata. Karena kau dan aku sama,"

"Ka-kazekage-sa-"

"Gaara. Panggil aku Gaara. Anggap saja aku temanmu, seperti Kiba dan Shino,"

Angin berhembus kencang. Meniup udara panas tengah hari. Menerbangkan helai daun kering dari rantingnya. Mengibarkan surai panjang berwarna indigo dan maroon dengan indahnya. Menjadi pengiring tatapan lebar iris amnethyst dan jade dingin yang bersirobok hendak mengungkapkan sesuatu di hati mereka lewat tatapan dalam yang mengartikan suatu perasaan lega. Entah kenapa Hinata merasa lega dengan ungkapan Gaara. Ia merasa telah memiliki seseorang yang senasib dengannya. Meski tak tahu apa yang membuat pemimpin Suna itu merasa sama dengan Hinata yang bernasib malang. Meski mereka tak akrab, setidaknya Hinata merasa Gaara adalah sosok yang bersahabat. Berharap bahwa pemuda itu senantiasa bisa menjadi temannya. Ya, hanya temannya saja. Seseorang yang mengerti dirinya. Seseorang yang tahu perasaannya setelah jauh dari Konoha. Seseorang yang tetap menerima Hinata yang lemah menjadi pendamping hidupnya.

Hinata hanya berharap Gaara bisa tetap menjadi teman yang baik untuknya.

"Hai'..."

Senyum binar nan cantik di musim panas yang mampu menggetarkan sebuah gunung es sekalipun.

~~~~))))0((((~~~~

Rombongan tiba di ujung tebing yang berbatasan langsung dengan gurun pasir tandus yang luas. Udara mulai terasa tak bersahabat. Sangat menyengat kulit. Terik panas bagai matahari berada tepat di atas kepala. Mereka kelelahan. Tiga hari dua malam melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di wilayah gurun pasir. Beberapa jam lagi hingga sampai di gerbang Desa Suna.

"Kazekage-sama..."

Shikamaru menghampiri Gaara yang menatap lurus ke arah gurun pasir itu. Inginnya rombongan beristirahat sebentar disini, namun tugas desa yang mungkin telah menumpuk membuat pemuda itu memutuskan melanjutkannya saja. Ia tahu shinobi dari Konoha akan mengantar mereka sampai disini saja. Karena selanjutnya, salah satu kunoichi mereka kini benar-benar resmi menjadi penduduk Suna.

"Jika kalian mau, kalian bisa beristirahat sebentar di Suna,"

"Terima kasih atas tawarannya, tapi tugas kami mengantar cukup sampai disini, dan..."

"Selebihnya saya percayakan Hinata-sama kepada anda, Kazekage,"

Neji menatap serius pemimpin Suna tersebut.

"Tentu saja Neji,"

Shikamaru menoleh ke arah Temari yang tersenyum miring melihat ke arahnya.

"Hati-hati di jalan, Shika,"

"Heh... mendokusai na..."

Pria itu melambai malas pada wanita yang sepertinya sudah tahu isi hatinya. Ya, si pemuda Nara yang memiliki sebuah rasa lebih pada kakak sulung Kazekage tersebut.

"Neji-nii,"

Hinata memanggil sepupunya itu. Keringat deras yang membasahi wajahnya tak membuat gadis itu mengeluh ataupun menunjukkan lelahnya yang ketara.

"Seringlah mengirimiku kabar, Hinata-sama,"

"Jangan panggil aku seperti itu, nii-san. Aku bukan lagi seorang Hyuuga,"

Gaara mulai menelisik perubahan raut istrinya.

Neji yang tertegun kemudian tersenyum sedikit ke arah gadis yang mulai menunduk itu. Beberapa waktu berlalu begitu saja. Dan kini, gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri telah resmi menjadi istri orang lain.

"Hinata,"

Hinata mendongak.

"Jaga dirimu baik-baik,"

Untuk pertama kalinya Neji bisa dengan leluasa mengusap pucuk kepala gadis indigo tersebut. Mengelusnya penuh sayang. Menunjukkan senyum kecilnya yang mengembang melihat adik sepupunya yang telah beranjak dewasa.

"Neji-nii..."

Tak kuasa lagi, Hinata menubruk tubuh Neji sambil menangis. Ia tahu Neji sangat menyayanginya. Hanya pemuda itu yang selalu ada ketika ia sedih dan berduka. Ia sudah seperti kakak bagi Hinata.

"Kenapa kau malah menangis, Hinata?"

"Ah... kapan kita akan kembali ke Konoha, Neji?"

Shikamaru yang tak mau terbawa suasana berlebih mengalihkan perhatian semua orang dengan ucapannya. Tentu saja deathglare Neji dan sikutan di perut dari Temari menjadi hadiah utamanya.

"Nmaa.. Hinata ada benarnya juga. Kita semua adalah rekan, sesungguhnya suatu embel-embel yang terlalu formal itu cukup terucapkan dalam suatu ruangan saja*,"

*maksud temari disini , mereka hanya perlu saling memanggil sebutan formal ketika dalam pertemuan/ acara penting aja.

"Itu benar,"

Neji menoleh ke arah Gaara.

"Cukup panggil namaku saja, karena kita semua masih sepantaran,"

"Gaara, memang aku selalu memanggilmu dengan ucapan yang formal?"

Kankurou yang berceletuk mendapat jitakan keras dari Temari. Wah, hari ini Temari sering sekali menghajar seseorang ya...

"Nee-san, itu sakit!"

"Diamlah!"

Hinata mulai beringsut dari pelukan Neji. Ia menatap pemuda tersebut dengan senyum tulusnya.

"Itterashai, nii-san,"

"Ittekimasu, Hinata..."

Neji menoleh ke arah Gaara sekilas.

"... Gaara,"

Kazekage muda itu hanya mengangguk sedikit sebagai balasan.

Para shinobi Konoha mulai melesat kembali ke dalam rimbunan pepohonan, kembali ke desa mereka. Meninggalkan rombongan Suna dengan seorang mantan Kunoichi mereka.

Hinata menghapus jejak air matanya, lalu berbalik untuk segera melanjutkan perjalanan. Temari mendekati gadis itu. Merangkul pundak dan memberinya senyum menenangkan.

"Tak perlu khawatir, kami adalah keluarga barumu,"

Hinata membalas senyuman kakak iparnya. Kankurou mulai memimpin perjalan mereka kembali. Formasi mereka tak berubah. Kankurou tetap memimpin di garis depan bersama dua shinobi. Di belakangnya ada Temari, Gaara, Hinata, dan beberapa Shinobi penjaga samping. Lalu di baris paling belakang ada lima orang Shinobi bertopeng.

Keringat bercucuran deras pada kulit porselen Hinata. Ia sudah lama tak melakukan perjalanan ke Suna semenjak ujian Chuunin kedua. Nafasnya sedikit sesak, mungkin karena lelah. Cukup lama pula dirinya tak melaksanakan misi keluar desa. Tubuhnya yang tak lama terlatih menjadi mudah lelah hanya karena perjalanan ini. Tapi ia tetap berlari bersama tanpa mengeluhkan keadaannya. Hinata yakin sudah menjadi gadis kuat melebihi dirinya yang dulu. Tak tahu jika sedari tadi pemuda yang ada di sampingnya terus memperhatikan keadaannya.

Gaara tahu Hinata adalah gadis yang sok kuat. Sebagai gadis lemah yang telah lama tinggal dalam lingkup Hyuuga, gadis itu berusaha keras menjadi sosok yang kuat. Ia hanyalah gadis terbuang yang tak diinginkan. Setidaknya Gaara memilih Hinata menjadi istrinya untuk mengentaskan semua tekanan yang selama ini ia hadapi. Gaara tahu apa itu rasa terkucilkan dan diasingkan. Dan ia tidak mau orang yang bernasib sama dengannya itu mengalami hal tersebut lebih lama lagi.

"Kau lelah?"

Hinata menoleh ke arah Kazekage muda yang menatapnya datar.

"T-tidak, aku tidak lelah, Gaa-,"

"Aneue, aku akan ke desa lebih dulu,"

Temari yang tahu apa maksud perkataan adiknya itu hanya tersenyum jahil berniat menggoda. Meski senyum itu tak digubris Gaara dan menganggapnya sebagai angin lalu.

Wussshhh!

Sebuah permadani pasir terbentuk di bawah kaki Gaara. Hinata yang masih terfokus untuk berlari tak menyadari sebuah tarikan tangan di pinggangnya, yang ketika sadar dirinya sudah berada di atas permadani pasir tersebut.

"E-eh?!"

"Nee-san, aku pergi dulu,"

"Gaara, jangan terlalu mengumbar kemesraanmu pada penduduk de-"

Sebelum kalimat Temari selesai, permadani pasir itu sudah melesat cepat meninggalkan rombongan yang mengawal Kazekage Suna. Kankurou yang melihat adiknya pergi dengan benda terbang itu hanya bisa mencak-mencak tak karuan.

"Hoi, Gaara-teme! Untuk apa semua shinobi disini jika kau pergi dengan pasirmu itu, hah?!"

Rombongan itu berhenti ketika Kankurou mulai berhenti untuk menyerapahi adik bungsunya. Para shinobi hanya bisa mengambil nafas karena kelelahan. Menatap Kazekage mereka yang terbang bersama istrinya. Temari menghampiri Kankurou dan menjitak kembali kepala kucing adiknya itu.

"Biarkan saja mereka, bodoh! Gaara cuma khawatir dengan keadaan Hinata,"

"Nee-san, bukankah lebih baik bocah itu membawa kita semua sekalian? Dengan begitu kita sudah bi-"

Duakkh!

"Baka! Itu sama saja merendahkan harga diri Shinobi kita! Lagi pula apa yang akan dikatakan para penduduk jika melihat shinobi pengawal yang malah menumpang pasir terbang orang yang harus mereka kawal, hah?!"

"Nee-san, kau memukulku terlalu keras..."

.

.

.

"Ga-gaara-san, i-ini..."

"Wajahmu terlihat pucat,"

"A-aku tidak apa-apa, Gaara-san. Kita meninggalkan romb-"

"Tidak apa. Mereka adalah shinobi terbaik Suna, kau harus percaya pada mereka,"

Kecepatan tak terduga mengibarkan rambut indigo panjang Hinata. Hembusan angin menerpa keringat di wajahnya. Membuatnya sedikit merasa lebih baik. Sesak di dadanya juga agak berkurang. Terik gurun masih menyengat, tapi Hinata tetap menatap ke depan tak menghiraukan kondisi tubuhnya. Ia hanya ingin menjadi gadis yang kuat. Diliriknya Gaara yang duduk santai dengan kaki kiri tertekuk di bawah menyentuh pasir dan kaki kanan yang menekuk lutut. Posisi yang biasa Hinata lihat ketika Kazekage muda itu mengendarai pasirnya.

"Ya, tentu saja a-aku percaya kepada mereka,"

Dari kejauhan siluet sebuah gundukan batu berwarna coklat pasir terlihat. Yang diketahui sebagai gerbang depan Sunagakure. Celah sempit yang menghubungkan desa dengan dunia luar yang dijaga ketat oleh para shinobi desa. Gaara melewati bagian atas gundukan itu. melewati ketinggian untuk bisa segera mencapai tempat tujuan. Para penjaga gerbang yang tahu Kazekage mereka telah kembali, hanya membiarkan saja Gaara lewat di atas mereka. Celah penghubung itu terlalu sempit untuk dilewati oleh dua orang sekaligus. Itu tidak mengherankan. Yang mebuat mereka heran adalah kenapa Kazekage muda mereka itu menggunakan pasirnya dan tidak bersama lagi dengan pengawalnya. Baru diketahui jika ada seorang gadis muda yang menumpang bersamanya, barulah mereka maklum dengan keadaan tersebut. 'Ah, mungkin Kazekage ingin segera memboyong serta istrinya', mereka pikir.

Hinata mengamati pemandangan Sunagakure dari atas. Desa itu begitu tandus. Tanpa pepohonan, tumbuhan, atau apapun itu yang biasa ada di Konoha. Rumah-rumah terdiri dari bangunan lonjong berwarna serupa satu sama lain, dengan jendela-jendela kaca kecil sebagai kancah melihat dunia luar. Ada satu bangunan paling besar mencolok yang diketahui sebagai bangunan kebesaran desa, tempat Gaara biasa bekerja. Melihat itu, Hinata teringat statusnya sekarang yang sebagai istri seorang Kazekage. Ia tak tahu seperti apakah sikap penduduk Suna padanya nanti. Berpikir terlalu lama, hingga tak sadar ia sudah sampai pada sebuah bangunan -rumah- berukuran sedang yang sepertinya masih baru di bangun.

Mereka mulai turun. Pasir yang semula berbentuk itu kini hancur dan perlahan kembali ke dalam guci besar tuannya. Membuat suara berdesir saat mata amnethyst yang memandang penasaran bangunan di hadapannya.

"I-ini rumah kita, Gaara-san?"

"Hm,"

Bangunan itu tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil. Terdiri dari dua lantai. Bentuk yang sama dengan bangunan sekitarnya, hanya saja bangunan ini memiliki pekarangan yang lebih luas. Nampak sederhana dan tidak terlalu mencolok. Meski Hinata tak mengharapkan suatu kemewahan dalam kehidupan berumah tangganya, tapi melihat bangunan itu sungguh berjauhan dengan ekspektasinya semula. Gaara adalah seorang Kage, dan terlihat dari selera pemuda itu, sepertinya suaminya itu adalah seorang pemimpin sederhana dan bersahaja. Entah kenapa Hinata mulai menyukai hal tersebut.

"Kau tidak suka?"

"I-ie... aku menyukainya,"

"Aku, Temari, dan Kankurou tinggal di apartemen dinas desa. Tapi setelah menikah aku hanya ingin hidup biasa seperti orang biasa lainnya,"

"Aku juga sama, Gaara-san. A-aku ingin hidup biasa seperti orang lain kebanyakan. Hanya saja, lama mimpi itu tak terwujud karena aku harus tinggal di kediaman Hyuuga,"

Hinata menunduk. Ah... kenapa di saat seperti ini ia mulai mengenang masa-masa pahitnya lagi?

"Masuklah, aku ingin tahu pendapatmu,"

Entah siapa yang memulai, Gaara serasa tak nyaman melihat gadis itu terus murung menunduk. Ia tahu memang sulit menghilangkan kepahitan hati yang telah lama bercokol begitu saja. Butuh tekad dan keteguhan yang luar biasa kuat. Dirinya bisa menjadi Gaara yang sekarang karena ia berjuang keras di atas kakinya sendiri, juga penyemangat dari Naruto. Sangat tak mudah memang. Tapi ia adalah laki-laki, dan mungkin hal tersebut akan berkali-kali lipat lebih sulit ketika kau seorang perempuan.

Entah apa yang memulai, tangan putih pemuda itu terulur menggenggam tangan pucat gadis indigo yang notabenenya adalah istrinya itu, dan membawa ia memasuki kediaman baru mereka. Rumah sederhana yang ia bangun menggunakan hasil jerih payah sendiri. Tak mau menguras kas desa yang diberikan tetua untuk memiliki sebuah kediaman yang indah, Gaara memilih untuk mengatur sendiri urusan hidupnya. Cukup dengan perjodohan ini, ia tak mau orang lain yang mengurus lebih jauh urusan pribadinya.

Mereka masuk, ke dalam ruangan yang bersuhu lebih sejuk daripada udara luar yang membakar –kelebihan rumah gurun Suna-. Ruang tamu tanpa hiasan dinding, selera khas seorang pria macam Gaara. Dengan sofa abu-abu berjajar dan sebuah meja kayu. Sangat simpel. Dilanjut ruang tengah yang terdapat meja makan dan terhubung langsung dengan lorong pendek menuju dapur. Ada sebuah kamar disini. Lalu kamar mandi juga gudang penyimpanan kecil. Di pintu belakang dapur, halaman belakang yang bersih, masih kosong tanpa objek apapun. Hinata melihat-lihat rumah ini sedang Gaara meneguk air putih.

Menuju lantai dua, ada tiga ruangan yang masih terkunci dan Hinata tak mau berlama-lama ingin memasukinya karena ia mulai merasa pening. Dehidrasi yang biasa dialami orang awam ketika berada di Suna. Gadis itu memilih turun dan mendapati Gaara yang menyodorkan segelas air ketika ia hendak mengambil gelas.

"Minumlah,"

"A-arigatou,"

Hinata meminum air itu hingga tandas. Segarnya air membuat rasa peningnya sedikit hilang. Mencuci gelas dalam washtafel dan sekilas melihat jam yang berdetak menunjuk waktu makan siang.

"Ga-"

"Akan kutunjukkan kamarmu,"

Inginnya Hinata menanyakan makanan apa yang ingin suaminya makan. Namun mendengar pernyataan pemuda itu barusan, Hinata mengurungkan pertanyaannya. Mau tak mau ia mulai mengikuti arah pemuda itu yang mulai mengambil ransel Hinata dan membawanya ke lantai atas. Ke pintu nomor dua dari arah tangga, pemuda itu memasukkan kunci dan memutar kenop pintu. Memperlihatkan isi kamar yang cukup luas dengan sebuah kasur besar, lemari berpintu dua, meja rias, dan sebuah jendela balkon dengan sebuah meja dan sepasang kursi kayu. Di samping lemari, ada sebuah pintu kayu yang diketahui adalah sebuah kamar mandi. Kamar itu lebih dari cukup untuk dikatakan sebagai kamar utama. Gorden krem tipis yang melambai ketika Hinata membuka jendela balkon. Angin bertiup meski udara panas masih setia membakar bumi.

Melihat pemandangan Sunagakure dengan leluasa karena letak tempat tinggal mereka yang berada di dataran yang lebih tinggi. Tempat yang masih jarang dari rumah lain dan sedikit terpencil. Tempat yang tenang dan damai. Tempat teraman yang mungkin sengaja dipilih Gaara untuknya. Hinata menoleh ke arah pemuda itu yang membuka lemari berpintu dua. Seolah memeriksa sesuatu dalam lemari itu dengan wajah datar yang tak pernah berubah. Hinata menghampiri suaminya. Ketika langkah kecilnya sampai, pemuda itu beralih pada Hinata.

"Hanya ada beberapa baju yang disiapkan pengurus desa. Ukurannya juga masih dikira-kira. Akan kusuruh nee-san untuk mengurus sisanya. Lagi pula pakaian untuk..."

Gaara tak meneruskan ucapannya.

Hinata masih setia mematung ingin mendengar kelanjutan ucapan Gaara. Tak tahu kalau suaminya itu masih menimbang-nimbang ucapan yang tepat untuk meneruskan ucapannya.

Gaara adalah pemuda balig. Ia tentu sudah tahu apa saja yang harus dipakai seorang perempuan ketika sudah masanya. Walau tidak tahu secara langsung, ia tinggal dalam satu apartemen dengan kedua kakaknya. Yang tentu saja Temari yang adalah seorang wanita selalu mengurus segala keperluan adik laki-lakinya dari memasak hingga mencuci baju. Menjemur pakaian mereka dalam kawat yang sama. Dan ketika waktu mengangkat jemuran, tidak selalu Temari yang melakukan. Kadang Kankurou, atau Gaara ketika sudah usai bertugas. Mengangkat jemuran yang terdapat segala macam jenis pakaian. Dari jubah kebesaran Kage hingga pakaian dalam wanita.

Ya, pakaian dalam.

Yang jika ditilik dari punya Temari, pakaian dalam kakaknya itu berubah ukuran seiring berjalannya waktu. Gaara tahu pubertas. Dan sebagai laki-laki ia mafhum dengan hal itu. Itu adalah hal yang lumrah untuk setiap manusia. Tapi itu adalah kaknya, Gaara tak merasa sungkan atau apapun. Namun jika menyangkut gadis lain –meski itu adalah istri sahnya sendiri-, Gaara masih ragu untuk membicarakan masalah pakaian dalam. Apalagi jika menanyakan ukurannya. Lebih baik ia menyerahkan semua hal itu pada Temari saja.

"Akan kusuruh nee-san mengurus semua itu setelah kembali ke desa," Gaara tak jadi meneruskan kalimatnya dan beralih ke hal lain.

Hinata hanya mengangguk setuju walau sedikit ada yang mengganjal di hatinya.

Gadis pemilik Byakugan itu mulai heran melihat Gaara yang keluar dari kamar. Hingga tak sadar langkah kakinya mengikuti pemuda itu menuju sebuah pintu nomor tiga dari tangga dan membukanya. Walau Hinata mengikuti tanpa suara, Kazekage muda itu berbalik ketika menyadari ada orang lain bersamanya.

"Ini kamarku. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu,"seolah tahu apa yang akan ditanyakan, Gaara cepat-cepat menjawab.

Hinata terbelalak mendengarnya. Melihat sebuah kamar berukuran sedang yang minim perabotan. Ruangan ini lebih sederhana dari yang tadi. Menciut hatinya mengetahui sifat pengalah Gaara. Menelusupkan perasaan bersalah yang membuat Gadis itu bertanya.

"Ga-gaara-san, ti-tidak tidur d-de-denganku?"

Walau malu Hinata harus menahannya.

Gaara yang mulai melepas guci pasirnya menoleh sejenak ke arah Hinata yang menatapnya khawatir.

"Aku tahu kau belum siap. Aku hanya tak ingin membuatmu tak nyaman,"

Hinata tersentuh.

"I-ie, daijoubu... K-kita tidak harus 'melakukannya' meski dalam satu kamar, Ga-gaara-san," setelah semua yang dilakukan pria itu, kebaikannya, sifat pengertiannya, bahkan kerelaan dalam hal ini, Hinata tak mau terus membebani seorang yang mustinya harus ia layani.

"Jangan memaksakan diri,"

"Ti-tidak, aku t-tidak memaksakan diri!"

Hinata membungkam mulutnya cepat. Barusan ia berseru pada Gaara. Wajahnya memerah. Kenapa justru ia yang terlihat memaksa pemuda itu untuk sekamar dengannya?

"Ti-tidak... etto... bu-bukan itu maksudku..." Hinata menggigit bibir bawahnya.

Gaara masih setia mendengarkan gadis yang mudah gugup itu.

"...A-anda sudah sangat baik padaku, G-gaara-san. A-anda tak pernah memaksaku, m-menerimaku yang lemah dan tak berguna ini menjadi pendampingmu... a-aku sangat berterima kasih padamu, mau memilihku s-saat p-pertunangan waktu itu. A-anda memilihku karena ti-tidak ingin membuatku lebih lama ter-..." Hinata menggeleng cepat.

"... -dan w-waktu itu! S-saat kita berada di M-manwa, a-aku sangat terharu mendengar penuturanmu, Gaara-san..."

Mata hinata mulai berkaca-kaca.

"... A-anda membandingkan diriku yang l-lemah dan tak berguna ini de-denganmu..."

Gaara tetap memperhatikan.

"... Aku sangat berterima kasih padamu, G-gaara-san..." matanya mulai berkaca.

"... Anda sudah sangat b-baik padaku. Rasanya akan sangat tak pantas j-jika aku menerima kamar yang bahkan j-jauh lebih baik d-dari kamar ini. A-atau aku saja yang tidur di-,"

"Itu tidak perlu," Gaara memotong cepat.

Hinata mendongak. Menatap wajah pria yang beberapa senti lebih tinggi darinya.

"D-daijoubu, lagi pula kamar ini ju-"

"Tidak perlu!"

Nada pemuda itu sedikit meninggi. Gadis ini begitu keras kepala.

Hinata yang semula sedikit memaksakan senyumnya hanya bisa menelan ludah gugup.

"Ka-kalau begitu, ti-tidurlah bersamaku, G-gaara-san," Hinata menelan ludahnya. Ia baru saja meninggikan suaranya -lagi-.

"Kau yakin?"

Hinata mengangguk.

"Baiklah,"

Perbincangan yang sedikit alot itu terselesaikan. Gaara mulai mengambil gucinya dan berjalan keluar kamar.

Entah kenapa melihat Gaara yang mulai beralih lagi ke kamar sebelumnya, membuat wajah Hinata memanas berkali-kali lipat. Ia sangat malu. Ia merasa suasana canggung nan aneh ini berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan. Menyembunyikan wajah merahnya ke dalam helai indigo tebalnya.

"Istirahatlah, kau pasti lelah,"

"E-eh?" Hinata mendongak cepat.

"Gaara-san mau kemana?" Hinata segera beralih ke kamar mereka.

"Aku harus kembali bekerja," Gaara mulai beranjak keluar menuruni tangga.

"Ga-gaara-san, istirahatlah sebentar, akan kumasakkan makan siang untukmu,"

"Tak perlu, kau pasti lelah setelah perjalanan kemari, istirahatlah," pemuda itu mulai memasang sepatunya di genkan depan. Hinata yang menyusul di belakang masih menatap cemas ke arah punggung suaminya.

"S-sebentar saja, anda pasti juga masih lel-"

Entah kenapa pemuda itu suka sekali memotong ucapannya.

"Tidak usah. Aku sudah terbiasa dengan perjalanan seperti ini. Aku tidak merasa lelah sedikit pun," Gaara berdiri dan sebelum benar-benar pergi, pemuda itu berpamitan dengan istrinya.

"Ittekimasu,"

"T-tunggu!"

Gaara berhenti memutar kenop ketika merasa terpanggil.

"Ja-jangan pulang terlalu larut, G-gaara-san..." wajah Hinata kembali memerah.

"... A-akan kumasakkan makan m-malam u-untukmu," wajahnya menunduk lagi. Bukan menunduk yang biasa Gaara lihat ketika gadis itu murung. Tapi tundukan yang mencoba menyembunyikan sesuatu dalam wajah manisnya. Sebuah tundukan malu untuk menyembunyikan rona merah yang samar terlihat di kedua lesung chubby pipinya.

Gaara menatap agak lama perubahan sikap Hinata. Merasakan hawa yang sama, pemuda itu berdehem kecil.

"Akan kuusahakan," dan dengan cepat ia keluar dan menutup pintu kembali. Berusaha keras tak menunjukkan wajahnya yang mulai memanas pula entah karena apa.

"Itterashai..." Hinata berbisik pelan melihat kepergian Gaara.

~~~~))))0((((~~~~

Tak seperti siang hari, udara malam di Suna berubah 180 derajat ketika matahari telah raib dari angkasa. Dari hawa panas yang menyengat hingga membuat sesak, menjadi dingin menusuk sampai menembus ke sumsum tulang. Hinata tak begitu berani keluar rumah, ia belum terbiasa tinggal disini. Begitu istirahat sebentar setelah perjalanan jauhnya, ia berbelanja beberapa barang bersama Temari. Langsung pulang ketika sore menjelang dan segera beres-beres rumah.

Temari bilang Gaara selalu pulang larut, atau paling awal sekitar jam 10 malam. Bahkan terkadang ia tidak pulang sama sekali. Hinata mafhum akan hal tersebut. Meski masih muda, tak bisa dielakkan jika pekerjaan Gaara tak pernah memberikan toleransi usia sama sekali.

Usai membersihkan diri, Hinata bersiap memasak makanan, ketika ia mendengar suara pintu depan terbuka. Tak berselang lama, sebuah suara baritone yang Hinata kenal membuat gadis itu menuju ke arah suara berasal.

"Tadaima,"

"Okaerinasai, Gaara-san,"

Hinata membantu melepas jubah Kage Gaara. Membuat pemuda itu sedikit tersentak karena tak terbiasa dengan hal itu. Ia biasa pulang dalam keadaan larut. Tanpa sambutan, tanpa pelayanan. Melepas sepatu, caping dan jubah Kagenya seorang diri. Selalu makan masakan yang telah dipanaskan. Atau memasak sendiri ketika Temari menjalankan misi. Ia masih belum terbiasa dengan keadaan dirinya sekarang. Yang sudah berumah tangga, dan tentu saja ada seorang istri yang siap melayani segala kebutuhannya. Gaara tahu mereka masih belum ada rasa saling suka ataupun cinta. Tapi melihat sikap Hinata yang berusaha menjadi seorang istri yang baik untuknya, mau tak mau membuat pemuda itu luluh juga.

"Apa Aneue tadi sudah kemari?"

Saat melepas jubah itu tak sengaja telapak tangan Hinata menyentuh punggung Gaara. Membuat pemuda itu merasakan gelenyar aneh yang tiba-tiba menyerang.

"U-um... kami belanja banyak hal hari ini,"

Menggantung jubah biru itu bersama caping Kage di sebuah tiang gantungan.

Gaara melangkah masuk menuju kamar membawa sekoper besar berisi berkas pekerjaan, ketika Hinata berseru kepadanya dari arah bawah tangga.

"Ga-gaara-san, anda ingin m-makan atau mandi dulu?"

"Mandi,"

"A-akan kusiapkan air hangat kalau begitu,"

"Hm," Pemuda itu benar-benar belum terbiasa dengan keadaan ini. Perasaannya serasa aneh setiap kali menerima perlakuan dari Hinata.

Menghadapi sebuah bak mandi dengan air hangat yang terasa nyaman. Seumur-umur Gaara selalu mandi dengan air dingin jika Temari tidak sedang berbaik hati sekali merebuskannya air panas. Memikirkan Hinata, entah kenapa selalu membuat jantungnya berdebar. Ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Mereka masih satu hari bersama, dan Gaara mulai merasakan perasaan aneh ini. Sebelum-sebelumnya, ia tak merasakan suatu keganjilan pun dengan gadis Hyuuga itu. Saat peminangan, saat pernikahan, atau saat perjalanan panjang mereka ke Suna. Gaara hanya merasa simpatik dengan gadis itu. Ia merasakan rasa yang sama dengan keadaannya. Hanya itu.

Tapi ketika menerima semua perlakuan seorang Hinata sebagai istrinya, tanpa disadari oleh pemuda itu, ia mulai membuka celah kecil dalam hati kerasnya.

"Ittadakimasu,"

"Ittadakimasu,"

Masakannya pun sangat lezat. Gaara berpikir bahwa Temari harus belajar memasak dari istrinya tersebut. Melihat tatanan masakan rumah yang beraneka ragam yang menguarkan rasa dan aroma nikmat. Berbeda sekali dengan kakak sulungnya yang selalu memasak makanan yang hampir monoton setiap hari.

Melihat Gaara yang mulai menyuap makanannya, Hinata yang sedari tadi memperhatikan takut-takut, berani mengeluarkan suara.

"B-bagaimana rasanya?" sambil menautkan kedua ujung telunjuknya di depan dada, Hinata menunggu jawaban Gaara dengan berdebar.

"Enak,"

Gadis itu sedikit lega.

"B-benarkah? Syukurlah..."

"Hm,"

Mengambil potongan hati ayam yang terasa menggiurkan, Gaara makan dengan perlahan.

"Gaara-san, a-apa makanan kesukaanmu?"

Gaara berhenti sejenak untuk menjawab. Ditatapnya Hinata yang masih berwajah takut-takut ketika berbicara dengannya. Apa gadis itu masih takut dengannya? Atau ia hanya merasa sungkan saja padanya?

"Apa saja, aku tak pilih-pilih makanan,"

Hinata merasa ringan mendengarnya. Ia tak perlu pusing untuk memikirkan menu makan setiap hari.

"Tapi aku sangat suka jenis makanan yang asin,"

"Oh..."

Mereka kembali makan. Dalam diam. Hanya suara denting sendok dan sumpit dengan piring. Hinata mengambil porsi makan seperti biasanya. Tak memperhatikan gerak tangan Gaara yang terus mengambil berbagai lauk yang ia buat. Mencicipi masakan istrinya yang begitu nikmat di lidah. Ketagihan untuk merasakan masakan yang lain, hingga tanpa sadar ia terus menghabiskan makanan yang ada di meja. Hingga butir nasi terakhir di mangkuknya tandas.

Selesai dengan makan malam, Hinata membersihkan peralatan makan dan Gaara memasuki ruang pertama dari tangga. Memulai aktivitasnya dalam ruangan yang ternyata adalah ruang kerja. Segera menyelesaikan pekerjaan yang sempat ia tinggal untuk menepati janjinya pada Hinata. Pemuda itu terfokus pada tumpukan dokumen warna-warni yang memuat seluruh laporan, keluhan, atau permasalahan yang berkaitan dengan desa. Tibalah pada sebuah map biru yang kemudian menyita perhatiannya ketika ia mulai membaca.

'Akatsuki terlihat di perbatasan desa?'

Wajah dingin itu nampak serius.

'Mereka sudah mengambil Shukaku dariku, untuk apa mereka kembali ke Suna?'

Membalik halaman per halaman.

'Apa itu berhubungan dengan-...'

Tok tok tok!

"Masuk,"

"Gaa-gaara-san?"

Hinata pikir Gaara berubah pikiran dan menolak tidur dalam satu kamar yang sama dengannya. Ia melihat pria itu memasuki ruangan yang berbeda dengan kamar utama. Namun begitu melihat isi dalam ruangan yang memperlihatkan berkas-berkas dan dokumen dalam tiap sudut lemari, brankas, dan mejanya, Hinata jadi merasa bersalah telah memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Gaara.

"A-anda belum tidur?"

"Aku masih ada pekerjaan,"

Hinata memberanikan diri masuk dalam ruangan itu setelah menutup pintu di belakangnya.

"Ada apa?"

Melihat istrinya yang berdiri mematung, Gaara mulai bertanya.

"I-ie, h-hanya saja kukira Gaa-gaara-san t-tidak mau tidur b-bb-be-bersamaku..."

Semburat merah yang dahsyat menghias pipi chubbynya. Mau tak mau hal tersebut berdampak pula pada Gaara.

"Ah, maaf. Aku hanya melanjutkan pekerjaanku tadi,"

Kazekage muda itu berusaha mati-mati tidak memperlihatkan gestur gugupnya.

Hinata yang mendengar hal tersebut berkali-kali lipat rasa bersalahnya. Gaara sengaja meninggalkan pekerjaannya di kantor untuk menepati perkataannya. Membuat pemuda itu berkutat kembali dengan kesibukan penat di malam yang seharusnya ia pergunakan untuk istirahat.

"G-gomen..."

"Untuk apa?" Gaara mengerutkan dahinya.

"M-membuatmu bekerja l-lagi..." gadis itu menunduk.

"Tak apa, aku sudah terbiasa melakukannya,"

Hinata masih menunduk. Ia melirik takut-takut pada suaminya itu.

"Duduklah, kau pasti pegal berdiri begitu saja," Hinata tersentak dan merona malu. Pasti akan sangat memalukan mendapatinya berdiri tanpa tujuan yang jelas seperti tadi.

Mengambil tempat di sebuah sofa, Hinata berdiam diri tanpa tahu harus melakukan apa. Ia meremas ujung tangannya. Ingin ia keluar, tapi melihat serakan kertas-kertas penting di hadapannya membuat hatinya serasa berdenyut nyeri. Gaara harus melakukan pekerjaan sebanyak ini sementara ia dengan santainya menyuruh ia pulang untuk makan malam. Mencuri lihat ke arah Gaara, Hinata menemukan pemuda itu masih berkutat serius dengan dokumen-dokumen di mejanya. Merasa Gaara tak terusik dengan kehadirannya, gadis indigo itu memberanikan diri bertanya.

"G-gaara-san, adakah yang bisa a-aku bantu?"

Gaara menghentikan aktifitasnya sejenak.

"Tidak perlu. Tidurlah saja, ini sudah malam,"

"A-aku juga seorang kunoichi, Ga-gaara-san... m-mungkin aku bisa sedikit membantumu..."

Gaara berpikir sejenak. Melihat raut harap dan wajah takut-takut itu, membuatnya menghela nafas.

"Baiklah,"

Hinata tersenyum sumringah. Cukup membuat pria di hadapannya itu merasakan gelenyar aneh yang mendera kembali, ditambah langkah kecil Hinata yang menuju ke arahnya.

"Ne, apa yang bisa k-kubantu?"

"Kau hanya perlu memisahkan data yang sudah direvisi dan berstempel dengan yang belum," Gaara menyerahkan setumpuk berkas berat ke tangan mungil Hinata. Merasakan kulit sehalus sutra gadis lembut itu ketika tangan mereka tak sengaja bersentuhan.

"Hai'.."

"Walau ini tugas yang mudah, isi berkas itu sangat banyak, Hinata. Kau bisa pergi tidur jika bosan melakukannya."

"Ie, a-aku akan sangat senang jika bisa membantumu, Gaara-san,"

Hinata mulai melakukan tugasnya dengan baik. Menyortir bertumpuk-tumpuk kertas itu lalu menyerahkannya pada Gaara. Mereka melakukan semua pekerjaan hingga malam semakin tenggelam dalam kegelapan pekatnya. Jam sudah menunjuk angka tunggal kembali setelah melewati angka ganda terakhir dalam lingkarnya. Gaara juga sudah menyelesaikan semua tugasnya. Hanya menunggu beberapa sortiran lagi dari Hinata untuk ia kerjakan. Menggerakan kepalanya untuk menghilangkan rasa pegal, pria itu menoleh ke arah gadis yang ternyata sudah hanyut dalam mimpi lelapnya.

Gadis itu tertidur begitu pulas ketika ia kelelahan dan bersandar pada punggung sofa. Meninggalkan setumpuk kertas di tangan yang belum sempat disortirnya.

Gaara mendekat ke arah Hinata. Menatap wajah damai gadis itu yang begitu menghanyutkan. Tenang dan suci, tanpa dosa, seperti malaikat penenang jiwa. Wajah cantik yang tertimpa sinar lembut rembulan dari celah-celah jendela, membuat tangan Gaara tak sadar menyibak helai indigo yang menutup sebagian wajah pulas itu. Merasakan betapa lembutnya wajah itu, betapa halus dan harumnya surai-surai itu. Gaara memandang gadis itu lama. Lekat oleh pesona yang terpancar darinya.

Udara malam di Suna yang begitu dingin membuat Kage muda itu memutuskan memindahkan tubuh pulas Hinata. Mengangkat tubuh ringannya menuju kamar mereka. Berat tubuh gadis itu, serta aroma lavender yang menguar darinya, entah kenapa membuat Gaara kembali berdesir merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Hingga saat meletakkan tubuh mungil gadis itu pada ranjang, secara tak sengaja wajah mereka saling berdekatan. Menghirup oksigen dalam lingkup yang sama. Melihat kelentikan bulu mata yang menghias kelopak mata yang tertutup itu. Semakin menguatkan aroma tubuhnya yang menggoda. Tanpa sadar Gaara mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya pada selengkung bibir ranum semerah mawar yang sedari tadi menarik perhatiannya. Memejamkan mata menikmati sensasi lembut saat kulit sensitiv mereka itu saling bergesekan. Membuat gerakan mengecup yang bahkan membuat seorang Gaara terlena.

Lalu saat merasa ada pergolakan kecil dari lawan mainnya, mata Jinchuuriki itu membuka kelopak matanya melihat reaksi Hinata yang sedikit terganggu karena ulahnya. Cepat-cepat Kage itu sadar dan segera melepaskan diri.

'Apa yang telah kulakukan?'

Sebisa mungkin ia tak membuat gerakan apapun. Tangannya yang masih memeluk gadis di bawahnya itu terpaksa mengatung saat empunya mematung tak bergerak. Saat Hinata mulai berhenti menggumam, Gaara kembali terfokus memperhatikan wajah bak malaikat itu. Meremas tubuh mungilnya ketika mengingat sikapnya beberapa waktu lalu.

Mereka sudah menikah. Apa yang telah ia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Kenapa ia harus mengendap-endap dan takut seperti seorang pencuri? Jika apa yang ia curi adalah sesuatu yang menjadi hak miliknya?

Gaara tahu Hinata belum siap. Ia juga tak tahu apa yang mendasarinya melakukan hal tadi. Gaara belum memastikan, bahwa Hinata telah benar-benar membuka hati seorang Gaara atau belum. Yang jelas, jika pun Hinata menolaknya ataupun Gaara yang merelakannya, toh pernikahan mereka tak akan pernah putus untuk selamanya. Mereka sudah terikat mutlak. Bahkan semua orang tidak akan mengijinkan mereka berpisah. Tidak akan pernah. Jadi tidak ada salahnya untuk mencoba sebuah hal baru yang belum pernah dilakukan, bukan?

Memulai kehidupan seperti orang biasa lainnya. Mencoba saling mengerti, mengisi, menyayangi, dan tentu... mencintai. Seperti pasangan pasutri lainnya.

Ya, itu benar.

Tidak ada salahnya untuk mencoba. Mereka memang harus mencoba, karena selamanya takdir yang mengikat berdua dalam sebuah tali suci bernama pernikahan ini, tidak akan putus, sampai kapanpun juga.

Menyamankan dirinya, Gaara menarik selimut untuk menutupi tubuh dari hawa dingin yang menusuk. Berbagi selimut dan ranjang yang sama dengan Hinata. Bungsu tiga bersaudara paling disegani di Suna itu mencoba memejamkan mata. Kantuk yang tak pernah menghampiri karena insomnia, selalu membuatnya menghabiskan waktu berkutat dengan lemba-lembar kertas kerja. Mungkin meninggalkan beberapa sisa pekerjaan yang tinggal sedikit adalah ide yang bagus. Ia ingin mencoba tidur. Setidaknya memejamkan mata sambil memeluk tubuh mungil yang serasa sangat nyaman dipeluknya. Semakin mendekapkan hidung mancungnya pada lipatan leher putih yang menguarkan aroma lavender menenangkan. Bagai aroma terapi, tanpa sadar harum itu membuat kesadarannya perlahan raib.

Akhirnya ia bisa pergi ke alam mimpi setelah sekian lama.

~~~~))))0((((~~~~

Hinata menggeliat. Mengeratkan selimut dan menggelung badan. Wajahnya yang tak tertutupi serasa lebih dingin dari tubuhnya. Terutama bagian hidung mancung yang kini terlihat memerah karena udara pagi yang menusuk. Dalam keadaan mata yang masih terpejam, ia mendempetkan diri pada sesuatu yang terasa nyaman di belakangnya. Sumber panas yang begitu hangat dan menghalau hawa dingin yang mendera. Semakin ia mendekatkan dirinya, semakin ia merasakan suatu perasaan yang ganjil. Kenapa ada sesuatu yang seperti ini di tempat tidurnya?

Ia masih belum sadar benar. Hanya mengikuti insting untuk membuat nyaman dirinya. Lalu saat mulai merasa aneh, gadis itu berhenti menggeliat. Mencoba diam dan mencerna dengan pikirnya yang baru terbangun.

Ada suatu denyutan di punggungnya.

Denyutan sesuatu.

Sesuatu seperti...

... detak jantung?

Perlahan ia membuka mata. Amnethyst yang masih sedikit mengantuk itu langsung terbuka lebar ketika merasakan suatu pergerakan di perutnya. Ia diam mematung. Dan dengan was-was mulai memutar kepala ke arah belakang.

Hinata membelalakkan matanya.

Begitu ia melihat kelebatan surai merah yang mendekapnya dengan posesif di belakang. Meski wajah itu tak terlihat, gadis itu yakin 100% siapa pelakunya.

"Enghh..."

'Dia mengerang!' Hinata masih dalam posisi terkejutnya ketika tiba-tiba surai merah itu bergerak dan memperlihatkan iris jadenya. Mata sayu yang mengunci pergerakan gadis yang ada dalam kungkungannya.

"Kau sudah bangun?" suara serak khas bangun tidur menyadarkan kembali Hinata ke alam nyata. Muka gadis itu memerah cepat. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Keringat dingin datang mendera wajah putih pucatnya di pagi yang dingin ini.

"I-iya..."

'A-apa aku sudah melakukannya?' batin Hinata takut-takut. Ia menggigit bibirnya sendiri. Mata bulannya bergerak gelisah. Namun ketika merasakan kain yang masih utuh melekat di tubuh, Hinata merasa lega. Tapi entah mengapa hatinya sedikit nyeri merasakan suatu perasaan bersalah -lagi-.

Gaara masih bergeming dari posisi nyamannya. Ia mengeratkan pelukannya pada gadis yang mulai gugup tak karuan itu. Menghirup dalam aroma yang mampu membuatnya pulas semalaman. Memejamkan mata setiap gelitik ekstrak bau menggoda itu melewati setiap inci indra pemciumnya. Sungguh aroma yang luar biasa hingga membuat insomnia akut Gaara menghilang begitu saja. Ia sudah sangat lama tidak tertidur pulas seperti ini.

Gaara membuka mata. Menyadari Hinata yang sedikit bergetar dalam pelukannya.

"Apa aku membuatmu tak nyaman?"

Hinata berjengit mendengarnya.

"Eh? A-ano, d-da-daijoubu..."

"Kau... keberatan jika aku melakukan hal ini?" Hinata meneguk ludah gugup. Ia semakin bersalah dengan nada pertanyaan Gaara.

"T-tentu saja tidak, G-gaara-san..."

Gaara akan membuka suara lagi ketika gadis itu melanjutkan perkataannya.

"... G-gomensai... seharusnya aku bisa me-melayanimu lebih baik..."

"Hn... aku tahu kau belum siap. Kau juga masih gugup jika berhadapan denganku,"

Hinata terkesiap. Ia mencoba bangun dari posisi tidurnya. Suara selimut dan sprei yang bergesek menandakan jika pemuda di belakang Hinata juga ikut terbangun. Gadis itu menggigit bibirnya. Menimbang sesuatu. Ia memejamkan mata erat sebelum dengan perlahan menolehkan wajahnya menghadap Gaara. Mencoba tersenyum kecil dan sesekali mencuri lihat pemuda yang menatapnya datar dengan rambut maroon acak-acakan.

"M-maaf..."

Satu kata yang tak membuat tangan kekar itu raib dari pinggang ramping istrinya.

"A-aku hanya belum terbisa, Gaara-san,"

Hinata tertunduk.

"Sekarang cobalah. Bukankah aku sudah bilang, anggap saja aku temanmu, seperti Kiba dan Shino,"

Tubuh mereka yang masih begitu dekat, seakan bisa merasakan degup jantung masing-masing.

"A-aku ingin, ta-tapi itu sulit... Kita belum pernah berbicara a-akrab, Gaara-san. A-aku belum bisa..."

Bahkan suara nafas masing-masing pun bisa mereka dengar.

"... Gomenasai... Aku menjadi i-istri yang buruk. Se-seharusnya aku bersyukur, b-bisa menikah dengan orang hebat sepertimu..."

Gigitan di bibirnya semakin keras.

"... O-orang lemah sepertiku..."

Mata yang mulai menampakkan air mata.

"... Yang tidak pernah diakui..."

Tangan di perutnya semakin mengerat.

"... A-aku... sungguh... t-terima kasih sudah m-menerimaku..."

Satu tetes air lolos dari kelopak matanya.

"... M-memilihku yang tidak berguna ini..."

Gaara mendekatkan tubuhnya pada tubuh ringkih yang mulai bergetar menahan tangis.

"... Menghargaiku..."

"Cukup,"

"... Te-terima kasih Gaara-san... G-gomen-"

"Cukup, Hinata... Jangan bahas itu lagi..." bisik Gaara.

Pelukan erat yang ia terima semakin membuat gadis itu menambah tetes air yang lolos dari matanya. Ia tak sanggup lagi menahan semua perasaan meluap yang ia pendam sendiri. Suatu rasa terima kasih yang tak terhingga... sampai perasaan bersalah dan maaf yang seolah tak cukup untuk membayar semua kebaikan yang membuat gadis itu merasa dihargai selama ini. Perlakuan Gaara terlampau baik. Seakan Hinata tak pantas untuk mendapat semua itu. Dirinya yang selalu berada di bawah. Tak pernah dianggap dan selalu mengecewakan. Klan yang mencoba menyingkirkannya. Hingga suatu perasaan cinta yang seolah sulit untuk ia dapatkan. Bahkan pada orang yang ia sukai.

"Jangan berpikiran bahwa hanya kau yang mengalami hal itu, Hinata," bisik Gaara di sela pundak istrinya.

"Hiks..."

"Aku juga sama. Mereka memperlakukanku seolah aku ini adalah monster..."

"Hiks..."

"... Tapi itu dulu. Sekarang mereka menghormatiku sebagai pemimpin mereka. Aku tahu apa yang mereka dulu lakukan padaku ada dasarnya..."

Nada datarnya tak berubah.

"... Mereka hanya ingin melindungi diri, mereka tak salah. Dan mungkin apa yang terjadi padamu saat di Konoha, pasti juga ada alasannya,"

"D-demo..."

"... Aku yakin tidak semua orang yang terlihat membencimu tidak benar-benar membencimu,"

"A-aku-"

"Aku hanya ingin membuat seseorang yang mengalami hal yang sama sepertiku, bisa bangkit dari keterpurukannya. Menjadi seorang yang bahkan bisa membuat orang yang dulu memandang remeh dirimu menjadi takluk, dan segan padamu,"

"A-anda terlalu baik, G-gaara-san... A-aku merasa sangat berterima kasih padamu..."

"Jadi cobalah, Hinata. Coba terima apa yang menjadi takdirmu saat ini,"

Hinata mencoba membalikkan tubuhnya. Gaara melepas pelukannya dan beralih menatap wajah yang telah basah oleh air mata tersebut.

"Walau itu sulit, kau harus mencoba,"

"Y-ya..."

Menghapus air matanya, Hinata memberanikan diri menatap jade di depannya.

"Aku juga sedang mencoba,"

Gadis Hyuuga itu mematung menatap raut serius yang terpancar dari manik hijau suaminya.

"Mencoba hidup seperti manusia pada umumnya. Merasakan bagaimana rasanya hidup berkeluarga,"

"A-akan aku coba," semburat merah menghias kedua pipi basahnya.

Hening kembali.

Matahari mulai nampak dengan hadirnya sinar pada celah-celah yang membatasi dunia luar dengan ruangan yang kini mulai menghangat. Pada sepasang insan yang mencoba memahami kehidupan baru mereka. Pada ruangan dengan dinding dingin yang terasa kosong sebelum Hinata merasa bahwa Gaara bukanlah orang yang tak akan mau menerimanya. Justru karena hal itulah, gadis indigo tersebut bertekat untuk menjadi sosok istri yang lebih baik bagi suaminya.

"Mungkin pernyataanku sebelumnya salah," Gaara memecah keheningan.

"Eh?"

"Tentang bagimana kau harus bersikap padaku." Hinata sedikit was-was.

"..."

"Kau tidak harus menganggapku selayaknya teman..." Gadis itu menelah ludah untuk membasahi kerongkongannya yang serasa kering mencekik.

"... Anggaplah aku suamimu. Karena impresi itu lebih tepat daripada teman terbaik sekalipun,"

"A-aa..." Hinata tak tahu apa yang harus ia katakan. Membuka tutup mulutnya dengan wajah yang 100% merah padam karena malu. Merona hebat dengan gestur gugup yang membuat Gaara kelabakan menutupi semburat tipisnya yang mulai ketara.

"Lupakan saja. Mungkin itu hal yang terlalu sulit untukmu."

"I-ie..."

"..."

"A-anda benar Gaara-san. M-memang seharusnya begitu... mulai sekarang, a-aku akan me-menganggapmu sebagai s-su-suami-k-ku..." Hinata ingin hilang dari dunia saat itu juga. Ia sungguh malu.

Gaara yang melihat tingkah malu-malu Hinata yakin jika pernyataan gadis itu tulus tanpa dibuat-buat.

"-..."

Seperti akan mengatakan atau melakukan sesuatu, Hinata urung melakukannya. Gaara memperhatikan. Ya, sadar atau tidak ia selalu memperhatikan gadisnya.

"Jangan seperti itu,"

"Eh?"

"Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, jangan takut untuk bertanya padaku."

Manik pucat itu mengerjap beberapa saat.

"O-oh... Mm, b-baik..."

Hinata merenung sejenak. Menatap lengan kokoh suaminya yang menempel pada pinggang rampingnya. Menimbang sesuatu yang harus ia lakukan atau tidak. Detak jarum jam di dinding memenuhi keheningan dalam kamar itu. Menghantarkan sedikit kemeriahan seiring semakin naiknya matahari menuju angkasa. Hingga terapaan hangat nafas Gaara yang menerpa samar poni tebalnya, membuat gadis itu membulatkan keputusannya. Ia telah memutuskan. Ia harus berani.

"Ga-gaara-k-kun..." walau kegugupan selalu menyertainya.

Gaara melebarkan iris jadenya.

"A-ah, g-gomen memanggilmu se-"

"Tidak apa-apa," Gaara membalas cepat. Hinata meremat selimut yang melingkupi kakinya.

"Mm..." Hinata harus berani.

Gadis itu mengarahkan tangannya perlahan ke arah Gaara. Menangkupkan tangan seputih susu itu pada salah satu pipi Gaara yang terasa hangat di tangannya. Berdiri di atas lututnya sendikit.

Pemuda pengendali pasir itu merasakan desiran aneh lagi yang menerpa di hati. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukan istrinya secara tiba-tiba dengan tangan bergetar di pipinya. Jantungnya mulai bereaksi. Memompa aliran darahnya dengan kecepatan yang sama dengan Hinata. Gadis itu berdebar hebat. Ia ragu untuk melakukannya, tapi ia sudah bertekad untuk memulai semua ini seperti yang dikatakan suaminya. Cara inilah yang menurut Hinata bisa mengawali perubahan kehidupan mereka. Berusaha menjadi mesra. Layaknya pasangan suami istri pada umumnya.

Kecupan singkat dari bibir lembut Hinata seolah membuat suara jarum jam di dinding berhenti berdetak. Suara aktivitas di luar sana, hingga pancaran mentari yang seolah membatu tak berkutik. Hembus angin yang mematung dan hanya suara degup jantung yang bagai slowmotion dalam kancah iris jade itu. Hembus nafas lembut yang memabukkannya, dan rasa yang masih tercecap di bibir tipisnya. Semua itu seakan membuat dunia hanya berputar pada mereka berdua saja. Mengantarkan pada suatu tempat kosong berwarna putih yang luas, tak berbatas. Hanya mereka berdua. Ya, mereka berdua yang duduk dalam suatu tempat imajiner itu. Dengan Hinata yang menatapnya. Menatap dengan iris indahnya yang membesar. Bibir yang sedikit terbuka. Lalu seulas senyum kecil malu-malu disertai semburat merah yang begitu manis.

Gaara terpesona.

Ya, tak dipunkiri lagi Kazekage muda itu terpesona. Terpesona pada istrinya sendiri. Hingga ruang dan waktu seolah-olah berhenti, dan hanya ada mereka berdua. Mereka berdua yang terpusat dalam suatu gelombang atmosfer lembut pengunci hati. Yang membuat jantung terpacu kuat dan saling mengeluarkan aura hangat berwarna merah muda pada kedua lesung pipi. Hinata kembali terduduk. Ia menunduk malu dan bersiap melepaskan tangannya, ketika sebuah tangkupan lain menggenggam hangat tangan mungilnya.

Ditatapnya wajah takjub Gaara. Pemuda itu masih berwajah datar. Tapi tak dielak lagi dari kedua iris jadenya, ia terkesima dengan semua tindakan Hinata. Mereka bertahan dengan posisi itu cukup lama. Hingga tangan yang menangkup tangannya itu beralih pada belakang kepala Hinata. Menariknya mendekat, membagi oksigen untuk dihirup bersama, menghantarkan perasaan hangat pada masing-masing hati. Memejamkan mata dan melemaskan tangannya hingga terkulai lemah pada pundak kekar Gaara, ketika ciuman itu datang, melumat lembut bibir istrinya yang terasa manis bagai candu. Kecupan ringan yang terjadi, suasana romantis yang tercipta, membuat mereka terbawa suasana. Gaara mulai beralih pada leher jenjang gadis yang meraup udara sebanyaknya ketika pemuda itu melepas pagutannya. Menciptakan beberapa kissmark sebagai tanda bahwa dia miliknya. Gadis itu miliknya. Hinata adalah miliknya.

"Gaaraaaa...!"

Hinata tersentak mendengar suara melengking itu. Ia mulai panik, karena surai maroon itu sudah berada tepat di dadanya dan pakaiannya sedikit terbuka di bagian atas. Takut jika mereka terpergok tengah melakukan hal yang membuatnya serasa ingin mengubur diri sekarang juga. Ia terlalu malu. Seakan ingin pingsan ketika raut merahnya sudah melewati batas, bahkan hampir melampaui rambut suaminya.

Gaara masih bertahan dengan posisinya. Mata yang semula terpejam menikmati kulit halus istrinya itu kini terbuka dan menampakkan raut tak suka.

"Tch! Mengganggu saja," suaranya yang dalam justru membuat Hinata mematung tak berani bergerak.

BRAKK!

"Oi, Gaara! Kau masih tidur y-"

Kankurou mematung.

Melihat adik bungsunya berada dalam posisi yang ehm, sangat, ehm... ya, itu...

"A-aa... Maaf mengganggu kegiatan kalian..." dengan wajah horor Kankurou mulai mundur perlahan bersiap mengambil ancang-ancang untuk kabur ketika melihat raut membunuh adiknya.

"Ky-..."

"Kalian bisa melanjutkannya, aku pergi dulu! Jaa~!"

"...-kyaaaaaa...!"

"Gomenasai...!" Kankurou terbirit keluar dari rumah adiknya ketika melihat ombak pasir yang siap menerpa.

Keadaan kacau yang memalukan itu akhirnya berlalu. Hinata yang hampir menangis dengan wajah merah padam mulai merasa tenang ketika Gaara menutupi tubuhnya dengan selimut. Pria itu beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.

"Mungkin kita lanjutkan nanti malam saja."

Hinata tercekat. Ia semakin malu. Menyembunyikan wajahnya pada gumpalan selimut untuk menutupi semburatnya.

"Aku akan berangkat bekerja. Jika kau bosan di rumah, ajaklah Temari-nee bersamamu. Kau tahu harus pergi kemana untuk menemuinya,"

Hinata turun cepat dari ranjang. Tak memperhatikan bahwa dirinya masih acak-acakan dengan baju dan wajah memerah yang kacau. Walau justru itu terlihat sangat manis di mata Gaara.

"A-akan kusiapkan sarapan,"

~~~~))))0((((~~~~

"O baka! Seharusnya kau ketuk pintu dulu, aho!" sebuah jitakan keras menghantam kepala Kankurou hingga menimbulkan benjolan berwarna merah muda.

"Nee-san ittai!"

"Teme! Kita tidak tahu jika mereka bisa sedekat itu dalam waktu yang singkat ini. Jika kau tak mengganggu, mungkin sebentar lagi aku sudah punya keponakan yang lucu, tidak seperti pamannya yang jelek ini!" Temari mengacungkan telunjuknya tepat ke hidung Kankurou.

"Onee-san hidoi ne..."

"Tapi aku sungguh tak menyangka Gaara akan benar-benar menyukai Hinata..."

Tap tap tap...

"Hoi, Gaara!" Kankurou urung meledek adiknya ketika masih mendapat tatapan membunuh seperti pagi tadi.

"Kenapa kau tadi datang ke rumahku?"

""E-etto, dokumen yang seharusnya ada di kantormu kulihat tidak ada. Jadi kupikir itu ada di rumahmu," Kankurou menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia masih takut berhadapan dengan adiknya sendiri.

"Ne, Gaara. Apa kau benar-benar sudah 'melakukannya' dengan Hinata? Kupikir kau tidak akan pernah tertarik pada perempuan manapun. Nmaa... Walau itu hal yang sangat baik jika kau menyukai istrimu sendiri," Temari menyenggol lengan Gaara.

"Belum. Kami juga masih dalam tahap pengenalan."

"Hora, jangan malu-malu, Gaara-chan... Tahap pengenalan kalian ekstrim sekali, sampai-sampai kau sudah membuka bajunya lebih dulu..." seringai jahil Temari muncul.

"Apa Kankurou-nii yang mengatakannya padamu?"

Kankurou meneguk ludahnya.

"Hei Gaara, tadi itu aku benar-benar tak sengaja,"

"Sama saja, itu sangat tidak sopan,"

"Gomen... Habisnya kau tidak biasanya belum datang ke kan-"

"Itu bukan urusanmu,"

"Gaara-teme! Ka-"

"Omae-tachi! Berhentilah bertengkar! Seperti anak-anak saja," Temari yang diabaikan mulai mengeluarkan aura iblisnya.

"Gaara, jangan hiraukan aniki bodohmu itu. Aku hanya ingin bertanya, apa kau sudah mulai serius dengan pernikahanmu? Apa Hinata tak keberatan melakukannya? Bukan maksudku menghalang-halangi kalian, tapi... kau tahu, Hinata masih memiliki rasa pada Naruto. Kau juga harus mempertimbangkan perasaannya. Kalian bisa menumbuhkan rasa cinta jika dijalani dengan pelan-pelan. Tak usah terburu, lagi pula istrimu itu tak akan ada yang berani mengganggu," raut Temari berubah serius.

"Aneue, kami belum melakukannya. Aku juga tidak ingin terburu-buru. Kami sudah sepakat untuk mulai mencoba hidup baru kami. Hinata setuju, ia tak keberatan sama sekali. Lebih baik kami jalani atau tidak sama sekali. Kami sudah sepakat, akan melakukannya malam ini,"

"Huakkh!" Kankurou nosebleed. Temari menganga dengan wajah memerah. Sedang Gaara hanya berwajah datar tanpa merasa kalau perkataannya itu terlalu vulgar untuk dibicarakan di lorong kantor Kazekage ini.

"A.. A-aa... Souka... Lebih baik dijalani saja daripada tidak sama sekali. Ganbatte ne! Segera berikan aku keponakan yang lucu, ya!" Gaara mendapat tepukan takjub dari Temari. Wanita itu memeluknya erat sejenak sebelum menggeret Kankurou yang masih nosebleed mendengar Gaara yang bicara terlalu jujur. Jika si maroon itu mengatakan hal seperti itu, sudah barang tentu si pirang dan si muka kucing merencanakan suatu penguntitan ala Anbu untuk mengintip adiknya. Ah, tapi sial sekali karena mereka segera mendapat misi hingga keesokan hari. Dewi fortuna yang tidak berpihak atau Gaara yang sudah tahu otak mesum kedua kakaknya, kah? Siapa yang tahu?

TBC

Pengennya oneshot, tapi kenapa jadi kepanjangan yah? Ah, mungkin 2shot aja, hehe...

#plakk!

Bingung pingin kasih rated apa. Sekarang masih gak bisa update rated M, tapi kalo dikasih T kayaknya isi kepala Uma gak kesampaian keseluruhannya. Bingung ah, tapi tetep up aja, biar bisa nambah koleksi ff

Masih dalam pengerjaan sih, gak tau juga end nya kayak gimana, yang jelas Uma pengen nulis fantasi tentang GaaHina yang Uma idam-idamin. Kalo ada kesamaan ide sih, ya maaf... :D

Tapi suwer deh, ini semua crita Uma buat sendiri berdasar imajinasi Uma.

Yosh, sudahi saja ending dari author abal ini pemirsa, dan sampai jumpa di chapter selanjutnya...! See ya... :*