Kuroko Tetsuya mendesah lirih. Ia mengeraskan rahang, menjambak seprai dengan begitu kalap saat lelaki besar itu mendorong semakin dalam, membuat tubuh keduanya semakin menyatu. Tangan besar itu terasa hangat, bahkan panas bagaikan cetakan bara. Tangan itu menyeka air matanya, meremas payudaranya—tapi tangan itu terasa tak nyaman. Hawa yang begitu dikenalnya, namun begitu pula ingin ia lenyapkan. Kuroko lebih memilih merunduk, tenggelam dalam helai rambut kusut yang membuat wajahnya semakin lusuh dan berantakan.

"Tetsu, ada apa?" suara dalam itu menyapa lembut telinganya beriring kecupan di telinga. "Tidak biasanya kau mengacuhkanku."

"Ngh…" Kuroko meringis ketika lelaki besar yang ia panggil Daiki itu mulai mengayuh pinggangnya. Sensasi keluar-masuk yang menyakitkan membuatnya sulit bernafas.

"Tidak mau bicara?" Daiki menelusuri belahan dada Kuroko dengan ujung hidungnya.

Wanita berambut baby blue itu terkesiap ketika luapan cairan hangat membanjiri selangkangannya. Daiki menggeram pelan, kayuhan pinggangnya melambat perlahan. Ia mengatur nafas perlahan sebelum melanjutkan dominasinya, dengan merentangkan kedua tungkai Kuroko lebih lebar dan mempercepat tempo. Bunyi aneh yang tak nyaman membuat Kuroko jijik sendiri. Ia mengerenyit, memilih memejamkan mata dan berpura-pura tidak terjadi apapun pada dirinya, pada tubuhnya, pada jiwanya yang remuk berkeping-keping. Lenguhan pelan Daiki yang dipenuhi hawa nafsu terdengar kosong di telinga Kuroko. Hangat tubuh dan deru nafasnya terdengar samar, seakan Kuroko takut bahwa laki-laki yang sibuk menjamah tubuhnya ini tidak benar-benar nyata, tidak benar-benar ada. Ketika Daiki menghentakkannya sedikit lebih keras, Kuroko terkesiap. Teriakan kecilnya malah membuat Daiki semakin bersemangat.

Kuroko menggigil ketika perasaan aneh mulai merayapi hatinya.

Daiki seharusnya adalah pria yang paling ia rindukan di seluruh alam semesta ini. Lelaki ini mengajarkan Kuroko banyak hal. Bagaimana rasanya bahagia hidup sederhana bersama orang yang paling kita cintai. Ia seharusnya merindukan hangat tubuhnya, deru nafasnya, bagaimana ia melafalkan suku kata "Tetsu", bagaimana ia memberikan senyuman lembut dan kata cinta tanpa makna di setiap hubungan intim mereka.

"Tetsu…"

Tangan hangat berkulit coklat itu menyingkap helai rambut Kuroko yang kusut masai menutupi wajah. Mata beriris biru gelap tanpa jiwa, menatapnya dengan raut wajah yang sulit dimengerti. Bukan datar, bukan malas.

Seperti hampa tanpa jiwa.

"Ya…." Lirih Kuroko. "Kau sudah selesai, Daiki?"


"Adik ipar..."

Akashi mengangguk.

Dua kata itu adalah salah satu istilah yang tidak dimengerti Kagami. Adik ipar berarti suami dari Kuroko adalah kakak dari Akashi, atau sebaliknya—kakak dari Kuroko adalah istrinya Akashi. Kagami tidak yakin Kuroko sudah menikah—lebih tepatnya ia tidak tahu. Tetapi perempuan yang sudah menikah tidak tinggal di apartemen sendirian seperti yang Kuroko lakukan.

"Tampaknya kau tidak tahu banyak tentang Tetsuya." Celetuk Akashi.

Kagami menggeleng.

"Kenapa kau mendekatinya?"

"Karena dia cantik." Gumam Kagami polos. "Aku suka."

Tawa Akashi menyembur, terdengar menghina. "Berapa umurmu? 13 tahun?"

"21 tahun." Balas Kagami ketus.

"Oh, pantas. Anak muda yang masih gegabah dan naif. Masa-masa dimana tagihan kartu kredit hanyalah mitos semata."

"Akashi-san, usiamu 33 tahun juga?" tanya Kagami gamblang.

"Kurang lebih. Usiaku kepala tiga. Berapa belakangnya aku tak mau sebut."

Kagami menyesap kembali minumannya.

"Kau bilang Kuroko itu adik iparmu. Jadi, dia punya kakak perempuan?"

"Tidak ada." Akashi menggeleng. "Tetsuya anak bungsu. Kakaknya laki-laki. Namanya Mayuzumi Chihiro."

"Kenapa nama keluarga mereka berbeda?" tanya Kagami bingung.

"Istri pertama ayah Tetsuya adalah seorang janda satu anak, yaitu ibunya Mayuzumi-san. Beliau meninggal karena sakit. Lalu ayah Tetsuya menikah lagi, dan lahirlah Kuroko Tetsuya."

"Perempuan bernama laki-laki?" Kagami mengelus dagunya.

"Tua bangka itu senang sekali punya anak, dan sang istri bahkan tidak sempat memberitahukan jenis kelamin anaknya sebelum meninggal karena syok kehabisan darah. Meskipun perempuan, ayahnya Tetsuya terlajur menulis nama tersebut di akte kelahirannya." Akashi meminta Miyaji mengisi kembali gelasnya yang kosong.

"Jadi, kau menikahi kakak laki-lakinya Kuroko?" tanya Kagami. Alisnya bertaut karena pelik.

"Benar. Ayahnya merestui kami karena hubungan bisnis."

"Aneh." Gumam Kagami. "Bisnis macam apa yang membuat seorang ayah melegalkan putranya menjadi gay?"

"Gokudō." Jawab Akashi muram. "Selama aku menyuplai klan Kuroko 65% dari pendapatanku, aku mendapat restu yang resmi."

Ketika Akashi menyebutkan kata klan dan suplai, Kagami mulai menyimpulkan bahwa baik Akashi dan Kuroko sebenarnya memiliki latar belakang dunia yakuza. Istilah Gokudō terlalu halus untuk menyamarkan organisasi seperti apa yakuza itu.

"Ano..." Kagami menandaskan minumannya. "Terima kasih atas minumannya. Aku permisi."

"Kau mau kemana?" tanya Akashi sinis.

"Aku mau mencari Kuroko ke apartemennya. Itu pun kalau kau tidak keberatan."

"Tetsuya sudah dewasa." Akashi mengulum senyumnya. "Urusannya denganmu tidak ada hubungannya denganku."

Sosok besar berambut merah itu melangkah pergi. Akashi membayar minumannya, namun ia tidak pergi. Miyaji menawarkannya penganan ringan atau minuman lagi. Akashi menolak dengan halus, dan ia hanya ingin menikmati menit-menit kesendiriannya untuk istirahat.

"Tidak apa kalau Anda bicara begitu dengannya, Akashi-san?" tanya Miyaji bingung.

"Santai saja." Akashi tersenyum sinis. "Reo bilang laki-laki itu yang sekarang didekati Tetsuya. Cuma bocah biasa."

Miyaji mengangguk paham dengan begitu sopan.

Lalu, di menit berikutnya ponselnya berdering. Hayama Kotaro menelponnya dengan nafas memburu.

"Sei, maaf. Aku nggak mau kena marah. Tetapi, bedebah itu ada di sini."

Akashi terdiam. "Dia kesana?"

"Ya. Dia di sana."

"Kau habisi dia?"

"Tidak. Ruang serangan terlalu sempit. Aku tidak mau menyakiti—"

Di menit selanjutnya Akashi melangkah keluar dari Teiko.


Suara desisan ketel air terdengar.

Kuroko Tetsuya duduk di pinggir ranjang. Tubuhnya lemas, tremor tak karuan. Dengan sisa tenaganya ia meraih sekotak rokok yang tergeletak di lantai dan mengambil sebatang. Susah payah ia sulut rokoknya, lalu Lokomotif Tetsuya mulai menguar. Wanita pucat itu mengusap-usap wajahnya dengan frustasi. Pikirannya keruh, ia bahkan tidak mau berpikir saat ini. Soal bagaimana Daiki bisa menemukannya ia tidak mau tahu. Banyak luka basah di tubuhnya yang berkulit coklat eksotis itu. Pasti sebuah perjuangan yang besar.

Perjuangan yang pantas dihadiahi hubungan intim seperti tadi.

"Tetsu, kau mau kopi?"

Kuroko terdiam.

"Tetsu!" teriak Daiki lebih keras.

"Hmm." Kuroko menggeram pelan, namun cukup keras sehingga Daiki membuat secangkir kopi lagi.

Kuroko merebahkan diri di ranjang, tangan kanan bertumpu pada siku untuk menopang rokok. Serpihan abu jatuh di lekukan payudaranya. Pikirannya mengawang, membumbung jauh berkelana ke masa dimana ia belum mengenal rokok sebagai teman sejati. Entah sejak kapan, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti perempuan lacur—yang hanya disetubuhi lalu ditinggalkan. Sejenak terdengar menyakitkan, namun Kuroko sudah lebih dari sekedar hancur untuk merasakan lagi sakit. Yang ia yakini, semakin banyak ia bercinta dengan lelaki yang berbeda, semakin mudah baginya menghilangkan bayang-bayang Daiki.

Nyatanya tidak.

Daiki kembali padanya sebagai entitas nyata yang tak terbantahkan.

Bajingan.

TING TONG!

Hening.

Kuroko mematikan rokoknya dan meraih pakaian sekenanya, karena ia yakin Daiki tidak akan membukakan pintunya.

TING TONG! TING TONG!

"Oy, oy~~" Daiki melangkah mendekati pintu.

PRANG!

Kuroko terperangah. Daiki mengangkat kedua tangannya sebatas telinga. Tangan ramping menodong sebilah pisau lipat serbaguna tepat di depan jakunnya.

"Begitukah caramu menyambut adik ipar, Sei?" Daiki tertawa hambar.

"Jangan. Pernah. Kau. Sebut. Dirimu. Adik. Iparku." Akashi Seijuuro mendesis. Pupil matanya menyempit.

Daiki melirik Kuroko. Wanita itu bahkan hanya mengenakkan kaos asal-asalan, telanjang dari pinggang kebawah. Ekspresi wajahnya nampak campur aduk. Akashi menurunkan todongannya dari leher Daiki dan menghampiri Kuroko.

"Tetsuya..." lirihnya. Ia mengusap wajah Kuroko. "Kau oke? Apakah bajingan ini memperkosamu?"

Kuroko terkekeh pelan. "Konyol sekali."

Tangan pucat itu mengusap kembali wajah Kuroko. "Bersihkan dirimu. Kumohon...demi arwah Hiro, aku tidak tega melihatmu begini."

Kuroko tersenyum. Ia mencium pipi Akashi dan mengangguk. "Daiki, buatkan kopi untuk Akashi-kun."

Meski enggan, Daiki menurut. Akashi duduk di sofa dengan nyaman namun tetap waspada. Sementara Kuroko melempar pakaiannya ke dalam keranjang baju kotor dan mulai membilas diri di bawah pancuran shower. Titik-titik air hangat menyapa kulitnya, bergulir cepat lalu jatuh ke lantai menciptakan suara gemericik halus. Kuroko bersandar di tembok kamar mandi, perlahan merosot.

Tidak bisakah segalanya jadi jauh lebih rumit?

"Sei, ayolah. Akankah lebih baik kau berusaha melupakan Hiro? Laki-laki itu tidak pantas dihadiahi kesetiaanmu."

"Bicaramu seakan kau mengenal Hiro saja." Suara Akashi masih sedingin es. "Kurasa, bajingan sepertimu tidak pantas mengucapakan kata 'setia'."

Kuroko tidak benar-benar mendengarkan apa yang mereka ucapkan. Ia keluar kamar mandi, berpakaian dan menghampiri keduanya dalam keadaan rambut basah. Daiki menuntun Kuroko untuk duduk di pangkuannya. Wanita itu tidak melawan sama sekali.

"Apakah salah aku menemuinya?" tanya Daiki.

"Kalau kuanggap benar, aku tidak akan mengirim Kotaro untuk memenggalmu." Gumam Akashi.

"Seram."

Rahang Akashi menggigil ketika melihat Daiki menelusupkan tangan besarnya yang berbalut kulit coklat terbakar ke dalam pakaian Kuroko. Ia mengendus tengkuk wanita itu, terlihat perlahan namun bernafsu. Tangan itu meremas payudara Kuroko, menyingkap pakaiannya hingga lekuk tubuh berkulit putih pucat itu terpampang di wajah Akashi. Kuroko hanya merintih kecil ketika Daiki mencubit putingnya.

"Hentikan." Akashi memejamkan matanya. "Daiki, kau tidak pantas memperlakukan Tetsuya seperti itu."

"Masa bodoh." Daiki terkekeh. "Tubuh Tetsu itu indah. Semua laki-laki menyukainya, kau tahu?"

Akashi masih bungkam.

"Kau sudah coba kakaknya, kan? Kau tidak mau mencoba adiknya?"

Akashi sudah setengah beranjak ketika tangan kurus Kuroko menepis tangan Daiki. Ia kembali membetulkan pakaiannya. Wanita itu menghela nafas.

"Daiki..." lirihnya. "Jangan pernah membahasnya di depan Akashi-kun."

Meski tampak tidak terima, nyatanya Daiki mundur untuk memprovokasi Akashi. Kuroko bangkit dari pangkuan Daiki dan membuka pintu.

"Pergilah."katanya.

"Lihat. Dia mengusirmu." Daiki tertawa menghina. Akashi tertegun sejenak sebelum benar-benar melangkah mendekati pintu.

"Bukan kau." Kuroko menahan bahu Akashi. "Pergilah, Daiki."

"Apa?!"

"Kau dengar aku." Kuroko memejamkan matanya. "Kau bisa kembali lagi besok. Aku akan meladeni apapun yang kau mau. Malam ini, tinggalkan aku dengan Akashi-kun."

Daiki mendecih. Ia menyambar jaketnya dan berbenah diri seadanya. Kuroko mundur selangkah agar lelaki itu bisa pergi. Tangannya mengusap wajah Kuroko dengan penuh kasih, namun ekspresi wajahnya tidak demikian.

"Aku tidak mau kau dihamili laki-laki gay. Ingat itu, Tetsu."


[Flashback]


Akashi sering pulang tengah malam. Pekerjaannya menggunung, membukit dan melembah. Jalanan macet sekali seakan seluruh penghuni Jepang tumpah ke jalanan dan membawa serta kendaraan mereka. Maka Ketika sampai, apartemennya sudah gelap. Langkah demi langkah ia memasuki rumahnya, tanda kehidupan mulai tampak. Ada tumpukan kecil piring kotor. Televisi menyala, tetapi tak ada yang menonton. Sosok lelaki jangkung tertidur pulas di sofa, dengan kaus oblong dan celana piyama. Akashi melepas jasnya, dan merunduk. Kecupan kecil di bibir dan bisikan 'tadaima' adalah ritual kecilnya ketika pulang kerja sebagai bentuk cinta dan pengabdiannya kepada lelaki itu.

Lelaki itu menggeliut. Matanya memicing, lalu terbuka perlahan-lahan. "...okaeri..."

"Aku lapar." Akashi berbisik. "Kau pasti sudah makan."

"Uhm..." lelaki itu beringsut duduk. "Kau mau kubuatkan ramen?"

"Tidak usah." Akashi meraih tangan lelaki itu, menciumnya dengan penuh kasih. "Aku mau oden. Kau mau temani aku keluar?"

"Malas..." lelaki itu melemparkan dirinya ke pelukan Akashi. "Makan oden dirumah saja. Kalau cuma lobak, telur dan kamaboko, aku bisa buat oden."

"Oden buatanmu tidak enak, Hiro." Akashi terkekeh.

"Aku akan tetap membuatmu memakannya." Gumam lelaki bernama Hiro itu. "Karena aku masih menyembunyikan sake enak."

"Brengsek." Akashi mendecih. "Oke, kau menang."

Mayuzumi Chihiro merenggangkan lengan dan tungkainya yang panjang, lalu bangkit dari sofa. Ia memanaskan air dan menuangkan bumbu dashi instan, lalu merebus telur. Ia juga memotong lobak dan kamaboko, yang lalu direbusnya bersama kuah dashi tadi. Akashi menunggu dengan sabar. Harumnya mungkin tidak semenggugah warung oden yang ia lewati tadi, namun jika Hiro akan menemaninya makan dengan minum sake berdua, Akashi merasa begitu saja sudah cukup.

"Tetsuya bulan depan di wisuda." Kata Hiro dengan nada hampa. "Aku mau datang."

"Apa otou-sama membolehkanmu?" tanya Akashi.

"Kurasa." Hiro menoleh. "Tidak ada salahnya menjenguk adik sendiri, toh?"

Akashi tersenyum. "Aku akan urus tiket pesawat dan hotelnya."

"Aku senang kau dan Tetsuya bisa akrab." Hiro terkekeh lagi. "Kupikir dia akan memandang kita sebagai dua orang tolol."

"Tetsuya bukan orang yang seperti itu." Akashi melepas jas dan dasinya dengan lelah. "Karena dia adikmu."

Dua mangkuk oden tersaji bersama satu botol kecil sake yang baru keluar dari kulkas. Akashi membelah telur rebusnya yang masih terasa empuk dengan satu jepitan sumpit. Kuning telur cair membuncah, membuat kuah oden di mangkuk Akashi menjadi kuning keruh.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Akashi santai.

"Reo dan Kotaro sedang membantu otou-sama. Nebuya-san yang sekarang ada di kediaman membantuku. Sejauh ini lancar. Relasi kami di Hongkong dan Monte Carlo semakin kuat dan besar berkat bantuanmu, Sei."

Hening. Keduanya makan dan minum sake dalam diam.

"Otou-sama..." cengkraman jemari Akashi pada sumpitnya menguat hingga buku jarinya memutih. "...memintamu mencari selir...kan?"

"He'eh." Hiro membalas santai. "Aku belum mau mencarinya."

"Kenapa?"

Hiro mengangkat wajahnya. "Karena itu membuat Sei sedih, kan?"

Akashi semakin tertunduk.

Mayuzumi Chihiro mendekat, berlutut di dekat Akashi dan membelai halus dagunya. Kelabu awan badai bertumbuk rubi dan merkuri yang selaras. Mayuzumi mempertemukan keningnya dengan kening Akashi.

"Otou-sama bilang harus anak kandung. Itu mutlak." Hiro diam sejenak. "Aku tidak mau tua bangka bajingan itu menghancurkan hidup Tetsuya."

Akashi mengangguk.

"Satu saja cukup." Ucap Hiro. "Kau bantu aku mengurus anakku nanti, nee-sama."

Akashi mencium kening Hiro. "Aku akan dengan senang hati mengurus anak itu."

"Maafkan aku, Sei." Lirihnya. "Aku harus mengorbankanmu demi seorang anak."

Menyakitkan sekali.

Harusnya Hiro tidak perlu mengatakan hal itu. Akashi sudah tahu, segala konsekuensi yang ditawarkan klan Kuroko ketika mereka menerimanya dengan tangan terbuka. Ia hanya perlu berkorban perasaan, sementara ia melihat banyak anggota klan yang bahkan harus mengorbankan jiwa raganya.

"Daijobu..." bisiknya, seraya membelai wajah Hiro. "Oyassan..."


Hai hai readers yang terkasih. Dari sekian banyak fanfic saya yang terbengkalai nggak karuan, saya memutuskan untuk meneruskan Tart karena saya udah bisa menentukan endingnya seperti apa. Mungkin di chapter ini banyak sekali twist, yang nggak menyangka gimana bisa Akashi jadi kakak iparnya Kuroko.

Hubungan aomine dan Kuroko akan dibahas di chapter-chapter selanjutnya. Pokoknya, kerjaannya Kuroko yang sekarang berhubungan dengan hubungannya dia dengan aomine dan mayuaka #spoiler

Yosh. Segitu saja dulu bacotannya. See you on the next chapter ya gengs~