"Cepat, Nao-kun! Jangan pedulikan apa yang terjadi di belakangmu!"

Kaizuka Yuki tidak tahu mengapa dirinya justru membantu Inaho mencari Nina, sedangkan orpheus manis itu bilang hidup Inaho akan berakhir bila ia ikut campur dalam perang.

"Oy! Lebih cepat!"

Di belakang mereka Calm menjaga, sesekali menembak atau melemparkan sebuah granat— atau flashbang.

Inaho masih berlari, tak peduli luka di tangannya semakin memberikan rasa sakit yang menyengat meski Yuki telah membalutnya untuk menghentikan pendarahan. Inaho masih terus berlari, firasatnya buruk.

"Oh sial! Itu herla Saazbaum!" Calm berseru kesal, sedikit ia lirik kakak adik di depannya sebelum kembali fokus pada Harklight yang mengejar bersama enam orang bawahannya. "Pergilah! Biar aku yang tahan!"

Inaho menggigit bibir, mengangguk dengan sorot mata yakin, lalu kembali berlari.

"Yuki-san?! Kenapa tidak ikut dengan Ina—"

"Dan membiarkanmu mati menghadapi mereka?"

Sedikitnya Calm tertawa, ia tahu benar bahwa Yuki lebih khawatir pada adik kesayangannya itu dibandingkan nyawa Calm. Tapi ia tak menyangka justru Yuki akan berhenti dan malah membantu Calm dibanding menemani Inaho pergi menemui Nina.


Meski sebenarnya itu adalah pilihan yang salah.


Nina tidak mengerti, kenapa Slaine terlihat begitu gusar? Kenapa Slaine terlihat seperti akan menangis? Sebenarnya ada apa?

"Slaine Troyard, aku benar-benar tidak paham apa maksudmu." Nina memposisikan senapannya. "Tapi sebaiknya kau memberikan perintah untuk mundur sebelum aku membunuhmu."

Slaine hanya menatap Nina dalam diam, entah kenapa rasanya... Slaine lelah sekali...

"Nina!"

Pintu di belakang Slaine menjeblak terbuka, membuat perhatian keduanya teralihkan. Berdiri di sana, seorang Kaizuka Inaho dengan nafas terengah dan tubuh yang penuh luka.

"In— Inaho?!"

"Orenji...?"

Mengabaikan ekspresi terkejut kedua orpheus muda, Inaho menarik pistol yang diberikan Yuki. Mulai menyerang Slaine yang terus menghindar. Membuat pemuda tampan itu menjauh dari Nina.

"Kau baik-baik saja?" Inaho bertanya datar, fokusnya pada Slaine tak teralihkan.

"Kenapa kau ke sini, bodoh?!" jerit kesal itu sempat membuat Inaho terkejut, namun kembali diabaikan.

"Kaizuka Inaho..."

Inaho diam tak menanggapi, ia hanya memandang Slaine dengan tajam. Pistolnya kembali ia arahkan pada Slaine, berjaga-jaga selagi ia menunggu Slaine untuk bicara.

"Sebenarnya siapa kau?"

Inaho mengernyit, bingung. "Aku hanyalah salah satu herla keluarga Klein." katanya.

Inaho heran, tentu saja. Slaine Troyard pastilah sudah tahu siapa dirinya. Pasalnya, mereka bertemu tak hanya hari ini, tapi hari-hari yang lalu juga. Lantas— mengapa Slaine mempertanyakan hal itu? Hal yang sama yang sempat bergumul dalam benak Inaho. Siapa dirinya sebenarnya?

"Kau... Kaizuka Inaho..." lagi, Slaine memanggilnya dengan pelan. "Apa kau... apa kau ingat mawar biru di hari itu?"

Mendadak, rentetan memori yang bagai kaset rusak saling berlomba merasuki pikiran Inaho. Mawar biru, Inaho ingat dia pernah memiliki hubungan yang berkaitan dengan mawar biru. Mawar biru yang disukai seseorang.

Slaine memandang penuh harap pada Inaho yang diam, bengong dengan pandangan kosong. Dia berharap, semoga yang ada di hadapannya benar-benar sosok yang dia kenal. Anak laki-laki yang dulu selalu bersembunyi di balik punggungnya. Slaine berharap, keajaiban akan datang.

"Maaf mengecewakan." Inaho tersadar dari lamunannya dan mengucap dengan cepat. "Tapi aku tidak mengerti maksudmu. Aku rasa, aku tidak pernah memiliki kenangan yang berhubungan dengan mawar biru." dustanya.

Mata Slaine berkilat kecewa, tapi Inaho memang terpaksa mengatakannya. Ia masih belum yakin. Inaho tidak memiliki banyak kenangan masa kecil. Yang Inaho tahu hanya dirinya dan Yuki, sejak dulu sudah menjadi bagian dari Klein. Hanya itu. Inaho tidak mau dia salah langkah, Inaho tidak mau jika dia mengatakan ya, dia akan ditarik dan diminta memusuhi Nina.

"Kau sudah mendengarnya, Troyard." suara Nina sedikit bergetar, tapi gadis itu mampu berdiri tegak dan mengucapkannya secara tegas. "Sudahi rencana busukmu yang hendak memengaruhi keluargaku."

Hati Slaine berkecamuk. Ingin rasanya dia menyembur Nina Klein dengan rentetan kalimat pedas nan hina. Keluarga katanya, Slaine tertawa dalam hati, Klein terlampau busuk dan Nina masih menyebut-nyebut keluarga alih-alih budak. Slaine sudah mendengar banyak hal tentang Klein, terlalu banyak, dan tak satu pun terdengar bagus di telinganya.

Slaine sudah membenci Klein Famiglia hingga ke akar-akarnya semenjak malam itu. Malam ketika nyawa Kaizuka Inaho— Nao-nya yang asli —direbut paksa. Slaine baru menyadari, betapa bodohnya dia berharap sahabatnya masih hidup. Dia merasa tolol telah mengharapkan suatu keajaiban.

Yuki waktu itu mengusirnya dan mewanti-wanti dirinya agar tidak pernah mendekati Kaizuka Inaho. Oh wajar saja, bisa jadi dia sebenarnya bukan Kaizuka Inaho. Bisa jadi dia adalah seseorang dari panti asuhan yang kebetulan mirip dengan Kaizuka Inaho yang asli dan Yuki telah mencuci otaknya— kasus yang sering Slaine temui dari para don atau donna dalam beberapa famili mafia sekutunya.

"Oh, benar juga." Slaine tertawa setengah hati, setengah dari dirinya masih mengharapkan keajaiban, tapi setengah dari dirinya yang lain mengingatkan bahwa keajaiban itu tak pernah ada untuknya. "Kurasa inilah akhir dari keluargamu, Nina Klein."


Sejak awal Slaine sudah menduga dua hal. Pertama, sahabat tercintanya tidak mati pada penembakan enam tahun lalu dan kini hanya mengalami amnesia. Kedua, sahabat tercintanya memang tewas dan seorang pemuda lain yang begitu mirip dengannya muncul.

Tapi Slaine akhirnya memilih opsi kedua. Kenyataannya, dia memang terlalu berharap. Jelas pemuda itu— Kaizuka Inaho —bukanlah sosok yang dia kenal. Kaizuka Inaho yang Slaine kenal adalah anak pemalu, murah senyum, dan berwatak manis. Tapi pemuda di hadapannya justru— seolah-olah —merupakan kebalikannya. Dia datar, tak pernah berekspresi, dingin dan kelewat serius.

Slaine hanya terlalu berharap.

Suara tembakan menggaung tiada henti, mereka bertiga, dua lawan satu, terus menembakkan amunisi masing-masing. Secara visual, pertarungan ini tampak tidak seimbang, Slaine mungkin akan kalah dengan mudah. Tapi sebenarnya, bagi Slaine, kekuatan dua orang tak ada apa-apanya.

Mungkin, Kaizuka Inaho— salah satu herla terhormat dari pihak Klein —memiliki kemampuan menembak dengan akurasi yang luar biasa sempurna dan Nina— sang orpheus Klein —juga biasa menembak menggunakan senapan laras panjang sambil bermanuver di udara. Mereka memang hampir-hampir membuat Slaine kewalahan dan tak bisa berkutik.

Tapi dia adalah Slaine. Seorang Slaine Saazbaum Troyard, orpheus yang disegani oleh famili manapun. Dia lebih berpengalaman dibanding keduanya dalam hal melumuri tangan dengan darah. Dia bisa memperhitungkan arah tembakan dengan cepat. Walau hanya Slaine seorang, perbandingannya akan berbalik menjadi lima lawan dua.

Dan mereka, tidak akan pernah bisa bertahan.

Slaine kesal, dia ingin menangis.

Kenapa takdir terus mempermainkan perasaannya?!

"Kenapa..."


Slaine Troyard...

Takdir... bisa menjadi lebih kejam dari ini.


Inaho kelelahan. Mau bagaimana pun akurasi tembakannya yang luar biasa dan kecerdasan yang dimilikinya, Slaine Troyard terlalu kuat. Terlebih lagi, luka yang telah Inaho terima sebelumnya semakin menghambatnya.

Selalu saja begini.

Selalu saja Inaho menjadi lemah.

"Slaine Troyard..." Nina kembali berdiri, menjadikan pilar sebagai tumpuannya dan membidik Slaine. "Kita akhiri semuanya di sini."

"SLAINE!"

Dan suara rentetan peluru menggaung.


Harklight telah menyerahkan bagian lain pada anak buahnya. Dia kini berlari, menuju aula utama dimana Slaine berada. Firasatnya buruk, sesuatu pasti terjadi pada Slaine dan Harklight tidak suka itu. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Slaine.

"Kita akhiri semuanya di sini."

"SLAINE!"

Harklight menerobos masuk, tanpa pikir panjang menembaki sang Putri Klein tepat sebelum gadis itu sempat menembak Slaine.

"Harklight?!"

"Inaho!"


Nina melihatnya. Nina menyaksikan semuanya.

Dobrakan pintu.

Peluru yang ditembakkan.

Semuanya bergerak seolah-olah waktu dibuat menjadi sangat lambat.

Dan Inaho mendorong tubuhnya ke belakang.

Melindunginya.

Membiarkan peluru-peluru itu menembus tubuhnya.

"Inaho!"

Inaho ambruk, terbaring di atas lantai dengan napas yang putus-putus. Darahnya terus mengalir dan matanya semakin sayu.

"Inaho! Inaho bertahanlah!"

Nina berusaha menghentikan pendarahan Inaho. Dia mulai menangis. Nina takut sekali, dia takut sekali bila Inaho akan pergi.

"Bertahanlah... kumohon... kumohon..."


Slaine tercekat, tak bisa mengeluarkan suaranya. Semua terjadi begitu cepat sehingga Slaine butuh waktu untuk mencerna semuanya.

"Hentikan, Harklight." di sebelahnya, Harklight menurunkan tangannya. "Ayo."

"Slaine..."

"Kita sudah menang." Slaine melangkah meninggalkan aula, "ini adalah peringatan bagi Klein. Bila mereka tetap membangkang, saat itulah kita akan benar-benar memusnahkan mereka."

Harklight mendengus geli, "Khas seorang Slaine Troyard."

Dan mereka semua pergi. Meninggalkan puri Klein Famiglia yang porak poranda.


Klein Famiglia telah hancur.

Ratusan anggotanya telah tewas dan sebagian mengalami luka berat.

Kemenangan diraih oleh Saazbaum Famiglia, atas nama Slaine Saazbaum Troyard.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tapi tak satu pun tahu, seberapa besar luka yang Slaine torehkan sendiri di dalam hatinya.


A/N Yeay tamat... asique... akhirnya uhuy~

Terima kasih bagi para pembaca yang telah setia menunggu. Uhu, aku terharu :" /si kmprt

Inilah sisen 1 a/z ala mafia!au yeiy~

maap aku lama apdetnya huhu