Come Back Is Real

[Balada Big Family: Series]

Dan rupanya saya masih belum move on dari judul yang satu ini.

Apa kabar sayang-sayangku di sini? Saya kembali lagi dong, setelah ngilang... gatau malu banget. #nggak

Kita langsung cus aja ya, marhaban ya Ramadhan teman-teman. Selamat berpuasa untuk yang melaksanakan.

You know its love,

When all you want is that person to be happy. Even you are not part of their happines.

APH © Hidekaz Himaruya

Balada Big Family © Bosondeicus

Panca Ajriandharma © Yumi Murakami

Genre: Humor, Family, Historical, lawak tandus.

Warning: Typo(s), OC, sho-ai, chapter pertama full of Banten—Inderapura ya xD aw saya suka interaksi mereka berdua yang sama-sama gak bener idupnya #bukan.


[Come Back Is Real]

"Hari pertama puasa wa," Inderapura mengipasi dirinya sambil tiduran di lantai. Netranya tidak terlepas dari televisi layar datar sekian inchi yang sedang menayangkan film India yang kabarnya jumlah episodenya mencapai seribu. Siapa pun sutradara filmnya, Inderapura yakin orangnya sangat greget dan niat menggarap film itu.

Atau mungkin, dia kurang kerjaan.

"Iya wa," Banten menyahut dari atas sofa. Tangannya masih sibuk bergerak lincah di atas ponsel pintarnya, bermain game mungkin akan membuat perutnya berhenti meraung. "Gak kerasa, lebaran tinggal satu bulan lagi."

Inderapura menahan diri agar tidak melempar remot di tangannya ke kepala sang sohib.

"Lucu anjay."

[Tahu Bulat]

"Lu tau si fenomenal yang enyoi itu, kan?"

"Oh, yang lembut dan empuk ya."

"Yang hangat juga. Ajib lah."

Cirebon yang tidak sengaja lewat merasa telinganya kotor seketika karena kosa kata dua kerajaan yang barusan berbicara.

[Gak Lelah Sama Sekali]

Inderapura, duduk di atas kursi di ruang baca milik Putra. Jarum jam di dinding menunjuk angka lima, maksudnya jarum jam yang panjangnya. Jarum jam pendeknya baru menunjuk angka sebelas.

Dengan kata lain, buka puasa masih jauh.

Hanya ada dirinya seorang di sini, kerajaan lain entah ada di mana. Rumah Putra hening—dan ini sangat tidak biasa. Masalahnya suasana rumah ini jadi lebih mencekam. Meski pun para pengikut setia Putra—ya, maksud Inderapura itu para dedemit yang selalu mengekorinya ke mana-mana—sedang cuti dan tidak bisa berkeliaran seperti biasa, ternyata tetap saja nuansa horor rumah ini tidak berkurang sedikit pun.

Mungkin memang sudah bawaan dari sananya ya.

Ndatau juga.

"Gusti," Banten mendadak muncul dari balik rak seperti setan—bukan, yah, perumpamaan yang lebih cocok untuknya tidak ada lagi. Inderapura menoleh padanya. "Kau ini gagal move on atau apa sih? Gak lelah apa mengingat masa lalu terus?"

Lalu Inderapura melirik buku usang di pangkuannya. Terdiam sebentar, kemudian tertawa renyah. Banten menatap pemuda itu dengan tidak mengerti.

"Tidak," Inderapura menggeleng, belum melunturkan senyumnya. "Tidak sama sekali!" lanjutnya riang seperti anak gembala.

Banten membatin, sepertinya ketika kanak-kanak Inderapura itu kelebihan gula. Kemudian pemuda itu diam-diam mengintip judul buku di pangkuan Inderapura.

Kesultanan Aceh. Seperti itulah judulnya.

[Buka Puasa]

"Allahumma barik lana—"

Kemudian Aceh menempeleng kepala Inderapura.

"Maksudku Allahumma lakasumtu, lidahku kepeleset tadi—"

"HALAH, ALASAN."

[Selamat Berbuka Puasa]

"Bahkan tahun ini juga masih sama."

"Apanya?"

"Yang ngucapin selamat berbuka puasa, masih aja iklan sirop di tv. Hiks."

"... euh."

[Petasan]

Suara ledakan petasan terdengar dari luar rumah—tentu saja. Putra tidak segila itu membiarkan siapa pun meledakkan petasan—tidak peduli sekecil apa pun daya ledaknya—dia tidak akan tinggal diam jika ada yang berani meledakkan petasan di tempat tinggalnya. Dia tidak mau harus mengeluarkan biaya lebih untuk perbaikan rumah pribadinya.

Dia tidak digaji, masalahnya.

"Yaela, lebaran juga masih lama," gumam Banten sambil memilah channel mana yang layak untuk ditonton. Di sampingnya Inderapura duduk sambil ngeteh dengan kalem, sekilas, dia terlihat seperti Samudra Pasai ketika membaca koran di pagi hari.

Di dalam mushola, Samudra Pasai mendadak bersin.

"Biasa, orang kaya," kata Inderapura kalem. "Atau orang sok kaya."

Banten mengangguk-angguk setuju terhadap perkataan pemuda yang belakangan ini terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Sampai kemudian Aceh muncul dan menghancurkan kharisma yang sudah Inderapura buat sedemikian rupa.

"Halah, seperti kau tidak suka main petasan saja."

"YAELA ACEH."

"APA?!"

[Baju Lebaran]

"Orang-orang udah beli baju lebaran dong, kita kapan?"

Inderapura melirik Banten yang barusan bicara sambil menatap jalanan dari teras rumah. Ceritanya mereka sedang bersantai sambil mengapresiasi keagungan Tuhan dengan cara menikmati keindahan alam yang ada di sekitar mereka.

Atau singkatnya, mereka sedang malas-malasan.

Mau ngabuburit, belum terlalu burit. Sekarang masih tengah hari, matahari sedang panas-panasnya. Berdiri sebentar di bawah langit tanpa penutup kepala saja rasanya badan jadi gosong. Berdiam di dalam ruangan juga tidak ada bedanya, keringat sebesar biji jagung tetap menuruni punggung mereka.

Lagi pula ruang keluarga yang biasa dikuasai oleh dua kecoak—Banten dan Inderapura—itu sedang diinvasi Aceh dan Samudra Pasai. Dua kerajaan yang sama-sama terletak di Sumatera itu sedang menonton berita yang terlalu membosankan untuk pemuda semacam Banten dan Inderapura.

Sudahlah, lagi pula bukan itu inti masalahnya.

"HAHAHAHAHAHA," Inderapura mendadak tertawa seolah perkataan Banten barusan adalah lawakan paling lucu sepanjang masa. Banten menatap Inderapura dengan sejuta tanda tanya, kenapa dia tertawa? Jangan-jangan Inderapura jadi gila karena tidak kuat puasa.

Lah, mana mungkin ya.

"Hahahaha," tawanya lumayan mereda. Kemudian mendadak wajah Inderapura tidak memasang ekspresi apa-apa. "Mereka kan mudik dan ada yang ngapel,"

Banten merasa menyesal sudah bertanya. Karena dia tahu betul apa kalimat kelanjutannya—

"—lah kita? Mertua aja gak punya."

"Kuat sob."

[Godaan]

"Astagfirullah."

Netra bergulir menatap Inderapura yang barusan beristigfar. Kening Aceh berkerut tak mengerti.

"Kenapa?"

Inderapura menggeleng.

"Barusan aku lihat paha sama dada—"

"ASTAGFIRULLAH—"

"... ayam."

Selanjutnya sarung Aceh yang berbicara.

"ADUDUDUDUH ACEH LEHERKU JANGAN DIBELIT GINI— AKH AKU MATI."

"BODO AMAT. BODO AMAT!"

[Selain]

"Tahu apa yang bikin batal puasa selain makanan?"

"Apa?"

"Minuman."

"LUCU. BANTEN SERIUS INI LUCU BANGET, KENAPA DIA GAK IKUTAN AUDISI JADI PELAWAK AJA YA ALLAH KENAPA."

[Sriwijaya]

Tangan membenarkan letak kopeah, kemudian mengencangkan ikatan sarung. Netranya menatap cermin, lalu menilai penampilannya yang rapi.

Rupanya selain memakai pakaian perang, dia juga bisa terlihat gagah ketika memakai baju koko. Atau mungkin, memang sudah takdirnya terlihat gagah ya. Setidaknya begitulah isi pikirannya.

Dan juga Kalingga.

Perempuan itu memalingkan muka dan berjalan seolah tidak melihat Sriwijaya sebelumnya.

Tapi tidak dengan Majapahit. Baginya, segagah apa pun Sriwijaya tidak akan menghilangkan fakta bahwa kerajaan itu pernah berada di bawah kakinya.

Sriwijaya lalu memutuskan untuk menutup pintu kamarnya, karena merasa ada berpasang-pasang mata yang memperhatikannya. Mungkin karena terbiasa diikuti pengikut Putra, dia jadi merasa diperhatikan setiap saat oleh sesuatu yang tidak ia ketahui. Padahal dedemit itu kan sedang pergi selama satu bulan, mungkin benar, ini hanya perasaannya saja.

"Aku harus banyak dzikir kayaknya."

Seandainya Sriwijaya tahu, siapa yang sebenenarnya selalu membuntutinya. Seandainya.

"Emang Mbak yang jualan pulsanya—eh, itu Majapahit lagi apa?"

Singhasari melirik Inderapura yang barusan bertanya. Kedua sudut bibir ditarik—membentuk seringai biasa yang selalu ia tampilkan ketika ada hal yang ia suka. Untuk kasus ini, entah kenapa dia selalu memasangnya ketika Inderapura bertanya.

"Dia sedang menjaga apa yang pernah jadi miliknya."

Kening Inderapura mengkerut karena mendengar jawaban ambigu pria di depannya.

"Hah?"

"Sama sepertiku."

Kemudian Inderapura merinding tanpa tahu kenapa.

[Cuti]

Mereka mau cuti selama satu bulan. Tidak akan ada lagi tuyul yang berkeliaran mencuri barang. Atau kuntilanak yang tertawa mendadak di kala sunyi meraja. Atau hantu Jeruk Purut yang bolak-balik mengelilingi kuburan. Atau pocong yang loncat-loncat tidak karuan.

Atau setan-setan lainnya.

Untuk satu bulan, Sriwijaya bisa tenang karena bebas dari ancaman diperawani dedemit yang suka pada auranya. Begitu juga dengan Panca, yang bersyukur mampu tidur dengan nyaman karena pengganggunya akan menghilang.

Dengan catatan, hanya sementara waktu.

"Kenapa, sih? Mereka gak pernah ganggu aku tuh."

Panca menatap Putra skeptis. Tentu saja, Putra bosnya. Mana ada bawahan yang berani melakukan hal-hal tidak senonoh pada bosnya—tidak peduli semenggoda apa pun Putra penampilannya. Kalau mau hidup tenang dan mendapat pasokan darah ayam, ya lebih baik diam saja.

Ultimatum Putra yang jarang dikeluarkan itu bukan main-main lho.

"Iya lah, mereka kan demen yang berkualitas Put."

Oh, tidak, Panca salah bicara—

"Ohohoho, oke."

"Nggak, Put—"

"Tidur di luar."

Kemudian, yang tersisa hanya helaan napas putus asa.


Kenapa tidak membahas sejarah saja, sih?

"Kalau chapter satu sudah membahas sejarah," Inderapura berkata sambil mengunyah permen karet. "Penulisnya mabok nanti."

Banten menganggukkan kepala beberapa kali. "Lagi pula genre-nya kan humor dan family, tidak usah berat-berat lah."

Meski begitu, tentu saja unsur sejarahnya tidak akan dilupakan. Karena, hell yeah, ini Hetalia!

Omong-omong, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang mengerjakan :)

Penuh cinta,

Bosondeicus.