Imperfect Angel

HunKai or Sekai fanfiction

GS!

Chapter 1

Disclaimer : saya hanya meremake novel karya Nureesh Vhalega dengan judul yang sama ^^

.

.

.

Kim Jongin

Seoul, Januari 2007

Jongin menghentikan mobilnya, lalu melangkah keluar menuju rumahnya yang bercat putih sempurna. Rumah yang baru enam bulan menjadi tempatnya untuk pulang. Setelah melalui negosiasi yang panjang, akhirnya ibunya bersedia menetap di negara asal ayahnya ini. Bukan berarti Jongin lebih memilih Seoul dibanding New York.

Jongin suka keduanya karena itu adalah bagian tak terelakkan darinya. Jongin hanya menyukai perubahan dan rumah baru, juga lingkungan hidup baru merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang disukainya. Masih dengan langkah ringan juga bibir yang bersenandung, Jongin memasuki rumah. Segalanya tertata rapi juga harmonis.

Sebuah foto keluarga berbingkai indah berisi dirinya juga kedua orangtuanya-Kim Jongwoon dan Kim Kyuhyun-menjadi titik sentral dari tema ruang tamu itu. Jongin tersenyum ketika melihatnya. Foto itu juga baru diambil beberapa minggu yang lalu. Ia nampak begitu bahagia, diimbangi dengan senyum orangtuanya yang terlihat amat menenangkan.

Mengisyaratkan bahwa kehidupan mereka akan terus seperti itu, bahagia dan tenang. Jongin mengerutkan kening ketika melihat pintu ruang keluarga terbuka lebar. Mengikuti bisikkan hatinya, Jongin mengubah arahnya dan berdiri di depan pintu. Segalanya tampak aneh di mata Jongin, ayahnya berdiri kaku, sementara ibunya duduk dengan wajah pucat juga tangan terkepal di dada.

Kemudian ada Paman Jonghyun -kakak ayahnya-yang berdiri menghalangi pintu. Jongin tidak mengerti apa yang menjadi penyebab keganjilan itu, hingga Paman Jonghyun bergeser dan memberi Jongin pandangan yang lebih luas. Ada seorang gadis berdiri di tengah ruangan itu. Seorang gadis yang mungkin seusianya, dengan tubuh tinggi juga rambut merah gelap.

Dengan perasaan familiar yang aneh, Jongin terus mengamati gadis itu bersama suasana tegang yang mewarnai ruang keluarganya. Seakan-akan mereka semua sedang berada di tengah medan pertempuran. Jongin tersentak ketika gadis itu berbalik menatapnya, dengan mata berwarna hitam kelam yang merefleksikan warna mata Jongin sendiri.

Perlahan, seulas senyum tersungging di wajah gadis itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Jongin merasa tidak tenang. Pertanyaan demi pertanyaan datang memenuhi benak Jongin. Dan seluruh pertanyaan Jongin terjawab dengan satu sapaan ramah dari gadis itu. "Halo, Adik." Seluruh mata di ruangan itu beralih pada Jongin dengan ekspresi syok dan panik menjadi satu.

Jongin membeku sepenuhnya, tak memercayai pendengarannya. Tiba-tiba segalanya nampak kabur. Ibunya berseru memanggilnya, sementara Paman Jonghyun berusaha meraihnya ke dalam pelukan. Namun Jongin menolaknya. Ia melangkah mendekat dan terus menatap gadis itu, yang kini senyumnya berubah menjadi lebih dingin.

"Apa maksudmu?" tanya Jongin dengan suara yang dipaksakan datar. Lalu penjelasan itu mengalir dengan lancar. Selayaknya cerita pengantar tidur lengkap dengan nada yang terkontrol. Jongin tetap mendengarkan dengan seksama, tak peduli pada rasa sakit yang terus menggerus hatinya seiring berjalannya cerita itu.

Cerita yang terasa seperti mimpi buruk, namun memberi fakta tak terbantahkan, segalanya masuk akal. Gadis berambut merah gelap itu bernama Kim Baekhyun dan mengaku sebagai anak dari Kim Jongwoon. Usianya genap delapan belas tahun tiga bulan yang lalu. Hanya tiga bulan lebih tua dari Jongin yang akan berulang tahun besok.

Sekarang Jongin mengerti perasaan familiar yang dirasakannya, karena ternyata mereka berbagi darah yang sama. Seakan fakta itu belum cukup menghancurkan, Baekhyun mengatakan fakta lainnya. Bahwa ibu kandungnya adalah Cho Jaejoong-adik kandung dari Cho -Kim- Kyuhyun, ibu Jongin-yang menghilang bahkan sejak sebelum Jongin lahir.

Jaejoong pergi untuk menyembunyikan fakta bahwa dirinya mengandung anak dari suami kakaknya. Kini, semua benar-benar masuk akal. Setelah Baekhyun menyelesaikan ceritanya, yang ditutup dengan kesediaannya untuk menjalani tes DNA, keheningan membalut dengan sempurna. Keheningan yang menyimpan duka, sesak, juga jeritan.

Keheningan yang menggambarkan satu realita tanpa bantahan bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai harapan. Keheningan yang sekali lagi, membuat mereka semua membeku tak berdaya sementara luka menganga jauh di lubuk hati terdalam.

oOoOoOo

Suara pecahan barang yang diikuti jeritan penuh amarah kembali memenuhi rumah itu. Tak ada lagi bahagia, apalagi ketenangan. Semuanya terbakar habis bersama perdebatan demi perdebatan yang seakan tak menemukan titik akhir. Selembar kertas berisi pernyataan bahwa ayahnya benar-benar memiliki anak selain dirinya menjadi inti dari segala perdebatan itu.

Sudah hampir dua minggu dan tetap tak ada harapan bahwa badai yang kini sedang menerjang keluarga mereka akan berlalu. Jongin memeluk lututnya erat-erat sementara air mata mengaliri wajahnya. Kalimat-kalimat yang diucapkan kedua orangtuanya terasa bagaikan sayatan pisau di dadanya. Mereka saling menyalahkan dan mengucapkan sumpah serapah.

Seumur hidupnya, Jongin tidak pernah mendengar ayahnya berteriak apalagi mendengar ibunya menyumpah. Seburuk apa pun masalahnya, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan tenang. Jongin tidak percaya, dua orang dengan cinta yang begitu pekat bisa bertengkar hingga saling menyakiti dengan begitu dalam. Ke mana perginya semua cinta itu?

Kembali terdengar suara barang yang pecah dan Jongin berjengit. Terlebih ketika didengarnya jeritan histeris ibunya, Jongin menggigit bibir kuat-kuat demi mengalihkan rasa sakit dari dadanya. Ini semua tidak mungkin terjadi. Jongin pasti bermimpi. Hanya saja mimpi itu telah berlangsung selama dua minggu dan menerakan luka tak tertanggung di hatinya.

Jongin mencoba menulikan pendengarannya, namun pertengkaran itu justru semakin jelas terdengar. Sekali lagi ibunya mengutuk ayahnya, lalu tak terdengar apa pun. Jongin tersentak. Secepat kilat ia berlari keluar dari kamarnya. Tak lagi dipedulikannya segala barang yang menghalangi langkah. Jongin hanya tahu ia harus segera melihat orangtuanya.

Pemandangan yang menyambut Jongin sama sekali tidak diduganya, ibunya tergeletak pucat di lantai bersama genangan darah. Kedua mata ibunya tertutup rapat dan pergelangan tangannya tersayat begitu dalam hingga darah terus mengalir keluar tanpa henti. Jongin jatuh berlutut. Dengan tangan gemetar Jongin menyentuh wajah ibunya.

"I-ibu, baik-baik saja? Buka matamu. I-ibu.." Bulir-bulir air mata semakin deras melintasi wajahnya dan Jongin berusaha sekuat tenaga menelan isaknya. Jongin mendongak untuk menatap ayahnya, tak percaya ketika ia melihat ayahnya hanya berdiri membeku tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Tak ada kecemasan, apalagi air mata. Seakan-akan ayahnya telah menyerah.

Betapa Jongin berharap semua ini hanya mimpi. Namun cairan merah gelap yang kini ikut menggenanginya memberitahu Jongin bahwa semua ini bukan mimpi. Dan detik itu juga Jongin tahu, ia benar-benar telah kehilangan hidupnya.

oOoOoOo

Jongin memandang ibunya yang duduk tak bergerak dengan nanar. Sudah satu bulan berlalu sejak insiden percobaan bunuh diri yang dilakukan ibunya dan kini keadaannya semakin memburuk. Dokter bahkan tidak memperbolehkan siapapun masuk ke kamar rawat ibunya selain petugas medis. Depresi yang dialami ibunya begitu parah hingga dorongan untuk menyakiti diri sendiri sangat besar.

Dan karena itu, dalam waktu beberapa hari ibunya akan dipindahkan ke panti rehabilitasi. "Ia pantas mendapatkannya," ucap seseorang di sisi Jongin. Jongin menoleh dan matanya segera memancarkan amarah yang menyala pada orang di sisinya itu. Baekhyun, tentu saja. Gadis itu tak henti menghantui Jongin.

Baekhyun tersenyum manis, tak memedulikan ekspresi Jongin yang seperti ingin mencabiknya. "Setelah semua hal yang ia lakukan padaku-delapan belas tahun hidup penuh penderitaan-pembalasan semacam ini tidak ada apa-apanya. Kau akan melihat bahwa semua ini hanyalah awal, karena aku baru saja mulai. Aku akan mengambil segala hal yang kau renggut dan aku tidak akan berhenti hingga aku mendapatkan semuanya. Aku tidak akan berhenti hingga kau merasakan rasa sakit yang sama dengan yang kurasakan. Hidupmu yang sesungguhnya baru saja dimulai. Bersiaplah, Adikku," lanjut Baekhyun tenang.

oOoOoOo

Jongin baru saja melewati pintu utama rumahnya ketika ia mendengar suara tawa dari ruang makan. Mengabaikan rasa lelahnya setelah satu hari penuh mengurusi kepindahan ibunya ke panti rehabilitasi, Jongin melangkah menuju ruang makan. Jongin berdiri diam selama beberapa saat, terpana melihat ayahnya tertawa bersama Baekhyun di tengah kegiatan makan malam.

Jongin tidak menyangka ayahnya bisa menerima Baekhyun semudah itu setelah segala hal yang terjadi. Tidakkah ayahnya tahu seperti apa Baekhyun sebenarnya? Bagaimana bisa ayahnya duduk dan menikmati makanan, sementara ibunya kini terkurung di rumah sakit jiwa? Tanpa berpikir Jongin menghampiri Baekhyun dan menarik tangannya hingga gadis itu berdiri.

Jongin tidak mempedulikan teguran ayahnya, ia tetap hanya melihat Baekhyun. "Cepat pergi sebelum aku mengusirmu," ucap Jongin penuh amarah. Baekhyun mengangkat alisnya, lalu kembali duduk. "Apa kau tuli? Pergi sekarang juga!" Seru Jongin, kembali menarik tangan Baekhyun. Menarik kembali tangannya, Baekhyun bersikeras tetap duduk.

Jongin segera meraih gelas berisi air di dekatnya kemudian menyiram Baekhyun tanpa ragu. "Apa kau masih tidak mau pergi? Kau lihat, aku masih memiliki banyak air di sini." "Jongin, hentikan!" Jongin menoleh pada ayahnya dengan pandangan tidak percaya. "Mulai saat ini Baekhyun akan tinggal di sini. Rumah ini adalah rumah Baekhyun juga. Kau harus bisa menerimanya, suka tidak suka. Sekarang, minta maaf pada Baekhyun," lanjut Jongwoon dengan nada tak terbantahkan.

Ketika Jongin tidak juga meminta maaf, Jongwoon mengulangi perintahnya. "Apa yang terjadi padamu, Ayah?" tanya Jongin dengan nada terluka. Jongin menolak untuk menangis meski gumpalan di tenggorokannya terasa amat menyakitkan. Baginya, semua itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini menggerogoti hatinya.

Jongin menatap ayahnya, yang selama delapan belas tahun ini selalu melindunginya, juga membuatnya merasa sebagai anak paling bahagia di dunia. Jongin pikir ia telah mengenal ayahnya sebaik ia mengenal dirinya sendiri, namun jawaban yang ia dengar selanjutnya membuat Jongin sadar bahwa ia sudah salah besar.

"Aku menjadi adalah anakku. Ia bagian dari keluarga Kim dan kau harus memperlakukannya seperti itu. Baekhyun akan mendapatkan haknya, sama sepertimu," jawab Jongwoon. "Aku tidak percaya kau lebih memilih anak yang sama sekali tidak kau kenal dibandingkan dengan anak yang telah bersamamu selama ini," balas Jongin.

"Jika kau tetap ingin menjadi pewarisku, kau harus menerima keputusanku," sahut Jongwoon. Mengepalkan tangan, Jongin berseru, "Aku tidak peduli pada hartamu, Ayah!" "Maka kau bisa keluar dari rumah ini sekarang juga!" "Apa?" tanya Jongin syok. "Kau mendengarku. Jika kau tidak peduli pada hartaku, maka kau bisa keluar dari rumah ini sekarang juga. Tinggalkan semua fasilitas yang kau dapatkan dariku. Aku tidak membutuhkan pewaris yang bahkan tidak berminat sejak awal. Kini kau bukan satu-satunya anakku. Aku bisa memberikannya pada anakku yang lain," jawab Jongwoon tanpa ragu.

Jongin membeku seutuhnya. "Semua keputusan ada di tanganmu. Kau hanya harus mengingat satu hal, sekali kau pergi dari rumah ini, kau tidak akan pernah bisa kembali. Dan jangan harap kau bisa bertemu dengan ibumu. Begitu kau pergi, kau bukan bagian dari keluarga Kim lagi," ucap Jongwoon sebelum melangkah keluar dari ruang makan.

Suara tawa pelan mengisi keheningan ruangan itu sesudahnya. Jongin tetap diam, membiarkan Baekhyun terus tertawa. Bahkan ketika Baekhyun menghampirinya dan membisikkan kata-kata itu, Jongin tetap diam. "Terima kasih. Kau baru saja mempermudah jalanku. Tidak kukira mengalahkanmu akan semudah ini. Kau lihat, aku bisa merebut segala hal yang kau miliki dengan mudah. Berhenti meremehkanku atau kau akan menyesal."

Jongin mengepalkan tangannya erat-erat. Tanpa mengatakan apa pun, bahkan tanpa melihat Baekhyun sedikit pun, Jongin melangkah pergi menuju kamarnya. Begitu masuk ke dalam kegelapan dan mengunci pintunya, Jongin jatuh terduduk. Namun kali ini, tak ada lagi air mata. Jongin hanya terus duduk.

Memandangi kegelapan di sekitarnya seraya menerima tanpa perlawanan rasa sakit yang berkecamuk di hatinya. Kini Jongin mengerti. Inilah hidupnya sekarang. Ibunya berada di rumah sakit jiwa, ayahnya berubah menjadi kejam, dan ia memiliki seorang kakak yang mengerikan. Dengan segala sesuatu yang berubah, Jongin berusaha menyerapnya menjadi satu pemahaman.

Dan ketika pemahaman itu datang, Jongin memutuskan bahwa ia akan bertahan. Ia akan tetap berdiri, memperjuangkan seluruh haknya. Ia tidak akan pergi hanya karena seseorang datang dan menghancurkan hidupnya. Kim Jongin akan mengajarkan Kim Baekhyun arti kehancuran yang sesungguhnya.

To be continued ^^

Review untuk menghargai yang membuat novel ini.

Aku benar-benar suka dengan karakter Jongin di sini hihi

Aku bukan author, dan juga bukan plagiator ya, aku hanya meremake novel-novel yang menurut aku bagus dan ditulis ulang dengan cast HunKai ^^

See u~~~