"Hyung…" Ten menangis sejadi-jadinya saat mengetahui Taeyong terbaring lemah di rumah sakit, perban di kepalanya dan jarum infus yang menusuk punggung tangannya memperjelas keadaan bahwa Taeyong tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Ten semakin merasakan sakit saat Yuta memberitahunya bahwa Taeyong sudah tiga hari ini tidak membuka mata sama sekali. Luka pada kepalanya lah yang membuatnya banyak kehilangan darah, beruntung pertolongan segera tiba, namun sesampainya di rumah sakit Taeyong dinyatakan dalam keadaan kritis dan kemungkinan besar ia akan kehilangan nyawanya akibat terlalu banyak darah yang ia keluarkan. Namun dewi fortuna lagi-lagi berpihak padanya, dua puluh empat jam berada di ruang ICU dan tidak seorangpun boleh menjenguk Taeyong membuat Yuta sangat frustasi, tapi begitu dokter yang menangani Taeyong keluar dari ruang ICU tempat dimana Taeyong dirawat, Yuta buru-buru berdiri dan menghampiri sang dokter, ia baru bisa bernafas lega saat dokter berkata "Syukurlah, temanmu sudah melewati masa kritisnya"
.
.
.
I LOVE YOU too
.
.
.
"Kenapa kau menangis?" Ten bertanya lembut dan mengusap airmata Soe Jun
"Hikss…Hyung…hikss hikss...Hyung Junnie..hikss hiksss" airmata Soe Jun semakin deras, ia berusaha berbicara ditengah isakannya
"K-kenapa dengan Hyung Junnie?" Ten bertanya hati-hati
"SOE JUN-AH" suara dari seberang jalan mengejutkan kedua nya, mereka serempak menoleh ke sumber suara
"Kenapa kau bisa sampai kesini?" Yuta- laki-laki yang baru saja meneriakkan nama Soe Jun- kini sudah berada di hadapan mereka.
"kalian—" Ucapnya ragu, saat melihat Ten dan Soe Jun bersama
Soe Jun buru-buru berlindung di belakang punggung Ten begitu mengetahui jika itu adalah Yuta
"Iya, kami saling mengenal" - Ten
"Bagaimana bi—"
"Yuta Hyung tidak mengijinkan Junnie bertemu Hyung Junnie" ujar Soe Jun sedih, masih bersembunyi dibelakang punggung Ten
"Bukan begitu, hanya saja Hyung tidak mau membuatmu khawatir"
"Kalau begitu bawa Junnie pergi menemui Hyung Junnie" Soe Jun maju selangkah dan berteriak
"Aku ..Tidak bisa"
"Kenapa Hyung?" Kali ini Ten yang angkat bicara
"Hiks..Yuta Hyung jahat..Junnie hanya inging Hyung Junnie"
"Hyung Junnie sebenarnya kenapa? Hyung Junnie tidak pergi meninggalakan Junnie kan?" Kini Soe Jun semakin terisak dengan menarik-narik ujung baju Yuta
"Tentu saja tidak..hanya saja…"
"Hyung…bawa kami menemui Taeyong Hyung"
Yuta menatap Ten dan Soe Ju bergantian sebelum akhirnya menghela nafas dan mengangguk
.
.
"Yuta Hyung…Hyung Junnie kenapa? Kenapa dia tidak bangun?"
"Hyung…bangun Hyung…ayo pulang.."
"Hikss..jangan tinggalkan Junnie"
Tangis Soe Jun semakin pecah saat melihat Hyung nya terbaring lemah dengan selang infus dan perban yang menemaninya. Ia terus menggoyang-goyangkan lengan Taeyong yang belum juga membuka mata walau sudah melewati masa kritisnya.
Yuta yang tidak tahan melihat Soe Jun terus menangis, akhirnya menggendong Soe Jun dengan paksa meski Soe jun terus meronta.
Yuta berulang kali meminta maaf atas keributan yang terjadi, dan membawa paksa Soe Jun keluar dari rumah sakit, membawanya jalan-jalan sebentar dan mencoba memberi penjelasan yang mampu di mengerti oleh bocah usia SD, agar ia berhenti menangis dan tidak khawatir.
Ia sebelumnya juga meminta Ten untuk menjaga Taeyong selagi ia pergi menenangkan Soe Jun.
"Hyung…a-aku minta maaf" Ten terduduk lemah di samping tempat tidur, airmata yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos juga. Tidak kuasa melihat kondisi Taeyong yang sekarang.
"Maaf telah membuat Hyung menderita"
"Bangunlah Hyung..a-aku berjanji akan mendengarkan Hyung, menuruti kata-kata Hyung" Ten menggenggam erat tangan Taeyong dengan kedua tangannya, mengucapkan berbagai janji yang mungkin saja dapat membuat Taeyong terbangun dari tidur panjangnya.
"A-aku juga berjanji tidak akan sering minum Americano lagi"
"Hyung..kumohon bangunlah,,hiks" Ten tahu semua janjinya sia-sia, Taeyong tidak mendengarnya, bahkan mengetahui saat ini ia tengah menunduk dalam tangisnya pun Taeyong tidak tahu.
.
.
Setiap hari Yuta dan Ten bergantian menjaga Taeyong, terhitung sudah hampir memasuki hari ke tujuh Taeyong belum juga membuka mata. Yuta sudah berusaha menghubungi orang tua Taeyong, namun hasilnya nihil. Kontak yang ia punya sama sekali tidak bisa dihubungi. Soe Jun juga bersikeras ingin menjaga Hyungnya setiap hari, namun Yuta tidak mengijinkannya, karena ia harus pergi ke sekolah dan istirahat yang cukup karena Soe Jun masih sangat kecil.
"Kalau Soe Jun tidak pergi ke sekolah pasti Hyung Junnie sangat sedih sekali" begitulah yang diucapkan yuta pada Soe sangat tahu kalau Soe Jun paling tidak suka membuat Hyungnya sedih.
Maka dari itu ia setiap hari tetap pergi ke sekolah dan sepulang sekolah ia akan menemui Hyungnya. Dan ketika hari menjelang senja, Soe Jun harus pulang karena Appa nya Jinki menjempuntnya, karena untuk sementara ini Soe jun tinggal dengan tetangga nya itu, selain itu juga ada Jinki sebagai teman yang menemani dan menghiburnya untuk melupakan sedikit tentang Hyung nya.
Lalu bagaimana dengan Ten?
Yuta sudah mendengar cerita dari Ten bagaimana ia bisa mengenal Soe Jun, semua ia ceritakan tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikitpun.
Dan tentu saja setiap pulang sekolah Ten selalu datang menemui Taeyong, menceritakan hal-hal yang menarik walau ia tahu Taeyong tidak akan merespon dan mendengar ceritanya, tetapi ia tetap melakukan itu. Berharap Taeyong akan segera membuka mata.
"Hyung…hari ini aku tidak membeli Americano, yah..walaupun pelajaran Kang Saem sangat membosankan, tapi aku tidak mengantuk sama sekali" Ten menarik kursi ke sisi ranjang Taeyong dan memulai ceritanya, setiap apapun yang ia ucapkan selalu ada ekpresi di dalamnya entah itu sedih atau senang semua ia ungkapkan, ia hanya berharap Taeyong mendengar ceritanya dan merasakan emosi dalam setiap ucapannya walau matanya masih terpejam.
Yuta memasuki ruangan Taeyong dan tersenyum melihat Ten yang tertidur disamping ranjang dengan mengenggam tangan Taeyong.
Ia lalu berjalan mendekat dan nepuk pundak Ten pelan, Ten terbangun dan melihat Yuta yang mengisyaratkannya untuk menyuruhnya pulang dan beristirahat
Namun Ten menggelang
"Besok hari libur Hyung, aku akan tetap disini"
"Aku sudah meminta ijin orang tuaku" lanjutnya, seakan mengerti apa yang akan Yuta katakan selanjutnya.
"Baiklah"
.
.
Taeyong berada di ruangan serba hitam dan gelap, memandang ke arah manapun tetap sama- gelap. Ia terus berjalan walaupun ia sendiri tak tahu kemana ia harus berjalan dan kemana tujuannya, ia hanya berjalan dan terus berjalan berharap menemukan ujung dari kegelapan ini.
Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan dan seberapa jauh kakinya membawanya pergi, namun anehnya ia tidak merasakan lelah sedikitpun. Jauh di depannya, sangat jauh dari tempatnya berdiri sekarang Taeyong bisa melihat setitik cahaya putih. Tanpa berpikir panjang Taeyong berlari sekuat tenaga menuju cahaya putih tersebut berharap itu adalah ujung dari kegelapan. Dekat dan semakin dekat, cahaya putih itu mulai terlihat lebih terang, hanya butuh beberapa langkah lagi ia akan mencapai cahaya terang itu dan berda di tempat yang berbeda.
"Taeyong Hyung"
Ia mendengar seseorang memanggilnya
"Taeyong Hyung"
Lagi
Taeyong sangat mengenal suara itu.
Itu seperti suara
TEN
Kini ia berada dalam kebimbangan. Suara itu terdengar jauh di belakangnya, dalam kegelapan yang berhasil ia lalui. Ia bingung harus kemana, terus maju kedepan menuju cahaya terang yang mungkin saja itu adalah ujung dari kegelapan ini atau kembali lagi untuk memastikan jika suara yang ia dengar adalah suara orang yang sangat-sangat ia cintai.
Taeyong berpikir sejenak dan ia menarik nafas panjang, berharap pilihannya adalah yang terbaik.
.
.
Elektrokardiogram [EKG] di samping tempat tidur pasien menunjukkan pergerakan grafik yang semakin menurun menandakan detak jantung si pasien melemah.
Ten terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara BEEP panjang di sebelahnya, ia sepenuhnya tersadar ketika mengetahui bunyi nyaring itu berasal dari EKG di meja Taeyong.
Grafik pada monitor menunjukkan garis lurus pada layar. Ten panik, ia memutar kepala ke segala arah di ruangan dimana Taeyong tengah berbaring, kosong tidak ada siapapun. Dengan debaran jantung yang tak karuan dan pikirannya yang mulai rancu ia berlari sekuat tenaga dengan ber-urai airmata menyusuri koridor mencari perawat atau pun dokter.
Dari kejauhan ia melihat seorang dokter baru saja keluar dari ruangannya,
"Dokter..tolong" Ten terisak
"Tenangkan dirimu dulu nak, ada pa?" sang Dokter mencoba menenangkannya
"Tolong dok..pasien di ruang 202..tolong" Ten tidak mampu menjelaskan, pikirannya kalut, semua pikiran negative bersarang di otaknya. Dengan tidak sabaran ia menarik lengan Dokter menuju ruang 202.
"Dokter..tolong selamatkan Taeyong Hyung, tolong lakukan apapun untuknya Dok" Ten memohon masih dengan airmata yang setia membasahi pipi mulusnya
Dokter dan salah seorang perawat yang masuk segera menyiapkan defibrillator atau alat kejut jantung.
Dokter menyuruh Ten untuk menjauh dari ranjang, dan setelahnya sang Dokter melakuakn tugasnya.
Kedua bilah alat kejut jantung yang berbentuk seperti setrika di tempelkan ke dada Taeyong. Kejang dan kemudian lunglai itulah yang terjadi pada Taeyong. Dokter mengamati monitor EKG yang masih menunjukkan garis datar.
"360 joule" Dokter berteriak sebagai perintah pada si perawat untuk menaikkan volume kejutan.
Untuk kedua kalinya Dokter kembali menempelkan defibrillator ke dada Taeyong, dan respon yang ditunjukkan masih sama- kejang dan kemudian lunglai.
Dokter kembali mengamati monitor EKG, garis yang muncul masih sama –datar- dan tidak menunjukkan adanya perubahan yang menunjukkan adanya aktifitas kerja jantung.
Dokter menatap Ten dan menggelengkan kepalanya, memberi isyarat bahwa pasien tidak bisa lagi diselamatkan. Sudah tidak ada lagi harapan hidup.
DEG
Seakan tersambat petir Ten jatuh terduduk lemas, tak kuasa menahan bobot tubuhnya sendiri.
Ia meraung-raung menyuruh dokter untuk melakukannya sekali lagi, tapi lagi-lagi Dokter menggelengkan kepala dan menyuruhnya untuk bersabar dan menerima kenyataan.
Di depannya ia dapat melihat seorang perawat bergerak untuk menutup wajah pucat itu dengan kain putih. Ten berdiri dan berjalan tertatih mendekat ke ranjang. Ia masih tidak percaya Taeyong meninggalkannya secepat ini, padahal ia belum sempat untuk mengungkapkan perasaanya, perasaan bahwa ia sangat mencintai Taeyong. Kini yang tersisa hanya sebuah penyesalan yang tidak berguna.
Memang benar kata pepatah kita akan merasa kehilangan saat orang itu telah pergi meninggalkan kita
Ten masih mencoba menggoyang-goyangkan badan Taeyong, berharap masih ada kehidupan didalamnya namun sia-sia, tubuh didepannya sudah dingin tak lagi bernyawa.
Semua yang ada di dalam ruang itu larut dalam kesedihan , terlebih Soe Jun yang baru saja memasuki ruangan dan langsung menghambur memeluk tubuh Taeyong. Ia meraung-raung memanggil nama Hyungnya, sama halnya dengan Soe Jun, Yuta juga larut dalam kesedihan ia tak mampu menahan airmatanya saat sosok didepannya benar-benar pergi untuk selamanya. Ia berjalan mendekat ke ranjang dan mengangkat Soe Jun dari ranjang, memeluk dan meggendong Soe Jun dengan erat sebagai pelampiasan kesedihannya. Sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai keluarga kini benar-benar sudah pergi untuk selamanya, rencana indah pergi ke Jepang yang sudah mereka susun dengan baik dan akan menjadi perjalanan yang menyenangkan kini hanya tinggal rencana yang sudah menguap di awan.
.
.
Ten dengan cepat membuka matanya, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahi dan sekujur tubuhnya, jangan lupakan nafasnya yang terengah-engah seperti penjahat yang sedang dikejar polisi
"Hahh….hahh…hahhh.." dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya tersengal-sengal
Ia terduduk dan mengusap peluhnya
KRIEETTTT
Ten menoleh dengan cepat saat mendengar suara pintu dibuka
"Ten..kau sudah sadar?"
DEG
Jantungnya berpacu dengan cepat, matanya membola sempurna, nafasnya tertahan dan badannya menegang.
Apakah Tuhan tengah mempermainkannya sekarang?
Laki-laki didepannya berjalan mendekat dengan membawa nampan di tangannya
Taeyong Hyung…
Laki-laki itu kemudian menyimpan nampan di meja nakas dan duduk di tepi ranjang.
"Kau baik-baik saja?" Laki-laki itu tersenyum dan mengelus lembut pipi Ten
"Taeyong Hyung? Ini benar kau kan?" Ten meraba wajah laki-laki didepannya yang ia panggil Taeyong Hyung
"Huh? Tentu saja ini aku, kekasihmu yang paling tampan" Laki-laki itu tertawa kecil
Laki-laki didepannya itu memang benar Taeyong, Ten tidak sedang berimajinasi atau berhalusinasi. Semuanya nyata. Taeyong ada didepannya
"Syukurlah" Ten menghambur kepelukan Taeyong dan bernafas lega
"Apa kau mimpi buruk?"
Ten mengangguk dalam pelukan Taeyong
"Hikss.." lalu terdengar isakan kecil dari bibir Ten
"K-kenapa kau menagis? Apa ada yang sakit?" Taeyong panik sekaligus bingung karena tiba-tiba saja Ten menangis, ia kemudian mendorong tubuh Ten pelan
"Kenapa menangis hmm?" Tanyanya lembut, tangannya tergerak untuk menghapus lelehan airmata yang mengotori wajah manis kekasihnya
"Mimpi itu seperti nyata—" Menatap Taeyong dengan tatapan sedih
"Di dalam mimpiku Hyung bukan kekasihku dan Hyung meninggalkanku selamanya" Ten bercerita dengan raut muka sedih dan airmata masih setia membasahi pipinya
"Ya Tuhan~~ kau jahat sekali bermimpi seperti itu, padahal aku sudah resmi menjadi kekasihmu 5 bulan yang lalu dan kau – ah sudahlah" Taeyong berusaha membuat suasana menjadi lebih hidup, tidak melankolis, ingin membuat kekasih mungilnya tertawa namun gagal.
"Bodoh !" Ten berteriak
"Siapa juga yang mau bermimpi seperti itu" Ten memukul lengan Taeyong main-main
"Jangan pernah meninggalkanku Hyung" Ten menatap Taeyong sungguh-sungguh
Taeyong tersenyum dan menarik tengkuk Ten kepelukannya
"Mana mungkin aku melakukannya" Ten tersenyum mendengarnya
Ten kemudian mendorong Taeyong menjauh, melepas pelukannya ketika menyadari suatu hal.
"Kenapa aku ada di kamar Hyung?"
"Kau tidak ingat?"
Ten menggeleng
"Kau tiba-tiba pingsan di kelas. Lalu Jaehyun datang ke kelasku dengan raut muka panik dan aku langsung membawamu kerumah karena kau bilang seminggu ini orangtua mu tidak ada dirumah" Ten hanya mengangguk paham
Jaehyun ~ Ah—benar, orang itu adalah sahabat terbaik yang pernah dimiliki Ten, lagipula dia juga sudah mempunyai kekasih, sungguh mimpi yang sangat konyol
"Aku tertidur berapa lama?"
"hmmm..sekitar 2 jam" Taeyong melihat jam dinding untuk memastikan
2 jam untuk mimpi yang sangat panjang dan terlihat nyata
"kenapa?" Taeyong mengerutkan dahi saat melihat Ten yang tiba-tiba terdiam
"Ah- tidak" Ten tertawa kecil
"Apa kau tidak apa-apa?"
"Ehm..sedikit pusing, mungkin karena kurang istirahat" Menyentuh keningnya yang sedikit hangat
"Aku membawakanmu vitamin dan obat"
"Tidak mau" Ten menjulurkan lidah seolah ingin muntah
"Baiklah, hanya vitamin saja" Taeyong menghela nafas dan mengambil sebutir vitamin dan segelas air minum yang ia simpan di atas nakas
"Sudah kubilang aku tidak mau" Ten melipat kedua tangannya didepan dada, mem-poutkan bibirnya. Mode merajuknya keluar
"Apa boleh buat" Taeyong memasukkan vitamin dan sedikit air ke dalam mulutnya lalu menarik tengkuk Ten.
Menyatukan bibirnya dengan bibir Ten, mencoba memberikan vitamin lewat bibirnya. Dan berhasil. Ten yang terkejut mau tidak mau menelan vitamin itu. Lelehan air menetes dari ujung bibir mereka dan melewati leher jenjang masing-masing.
"Sudah kan?" Taeyong tersenyum penuh kemenangan
"Sialan" Ten mengumpat namun wajah dan telinganya memerah.
"Mau di lanjutkan?" Taeyong tersenyum mesum
"Tid-"
Belum sempat Ten membalas ucapannya Taeyong tiba-tiba mendorongnya berbaring di ranjang dan memulai aksinya.
Saling melumat, menghisap, mengigit dan bertarung lidah. Lidah Taeyong semakin turun kebawah mencicipi leher mulus Ten yang masih terdapat bekas tanda kepemilikannya yang hampir memudar. Ini harus diperbaharui – pikir Taeyong
Tangan Ten meremas surai hitam Taeyong saat Taeyong mulai menjilat dan mengigit daerah sensitifnya, ia hanya sibuk mendesah dan merasakan nikmat , namun aksi mereka tidak berlangsung lama saat tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh seseorang
"HYUNG" Soe Jun berteriak dan berlari mendekat
"Apa yang kau lakukan pada Ten Hyung, Hyung menyakitinya" Soe Jun tiba-tiba terisak
"Hyung mengigit Ten Hyung, aku mendengar Ten Hyung kesakitan" Soe Jun menangis dipelukan Ten yang sudah berada dalam posisi duduk, karena ia reflek terduduk dan mendorong Taeyong saat mendengar teriakan Soe Jun
Keduanya cengo, bingung harus berkata apa
"I-ini tidak sakit, Hyung hanya- hanya…" Ten menyentuh lehernya, ia bingung mencari alasan
Taeyong memutar bola matanya, ia segera berdiri dari posisinya dan mengangkat tubuh Soe Jun hanya dengan satu tangannya
"Lebih baik kau main ke rumah Jinki"
"Tidak mau, aku mau main dengan Ten Hyung" Soe Jun meronta namun Taeyong tetap keukeh mengirim/? Soe Jun ke rumah tetangganya
Ten tersenyum melihat dua saudara itu, keduanya menghilang dibalik tembok dan suara gaduh mereka semakin mengecil.
Ten berdiri dan berjalan menuju balkon, mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya. Ia menatap langit sore yang cerah dan lagi-lagi tersenyum,
Sepasang lengan kokoh melingkar dipinggangnya siapa lagi pelakunya kalau bukan kekasihnya yang paling tampan.
Taeyong menuntun Ten untuk berbalik dan menghadapnya, dengan lembut ia menarik tengkuk Ten dan lagi-lagi menyatukan bibir mereka, hanya ciuman lembut dan manis. Ten tersenyum di tengah-tengah ciumannya. Diam-diam bersyukur semua kejadian yang seperti nyata itu ternyata hanya sebuah mimpi. Dan ia lebih bersyukur karena memiliki Taeyong sebagai kekasihnya.
.
.
END
.
.
Ebuseeetttt~~~
Author malu /.\
Endingnya absurb bin ajaib /.\
Inilah yang bikin Author gak pede buat nge-post -_-
Semakin dibaca semakin absurd /.\
Maafkan Author yang merusak feel Raeders-nim T.T
Gak nyangka kan kalo Endingnya ajaib kaya gini T.T
Tapi Author berterimakasih sangat banyak buat yang uda follow, fav, dan review Ff ini sampai tetes terakhir.
Gomawoyo *bow*
Dan untuk yang terakhir, silahkan kalian tulis unek-unek kalian di kotak review
Maaf sekali jika –sangat- tidak memuaskan dan jauh dari ekspekstasi T.T
Mianhae ~~
.
Review juseyoo ~~