Dear, SOO (CentricSoo)

Title : Secret Love Affairs

Rating : Teen

Genre : Romance/Drama

Pairing : Xiuhan (As Main Pair) Hunkai, ETC

WARNING : Kyungsoo Centric, CRACK PAIR, MalePreg, BL, OOC, AU, NO BASH, ALUR CEPAT, GAJE

ALL CHARA ARE NOT BELONG TO ME, but STORY IS MINE

Summary :

Hanya sudut pandang seorang Kyungsoo yang menceritakan kisah cinta orang-orang disekitarnya yang penuh dengan lika-liku, drama, dan airmata, serta perjuangan untuk mendapatkan kebahagian.

.

.

.

.

Prolog

USIAKU sudah 17 tahun. Dimana hidupku sudah berubah untuk selamanya dan tidak lagi dikatakan anak-anak. Aku sudah memasuki usia remaja.

Orang-orang akan menatapku heran, seakan mencoba membayangkan apa yang akan terjadi ketika seorang anak memasuki usia 17 tahun. Karena selama aku hidup, aku sudah harus mengerti bagaimana kondisi keluargaku.

Ayah dan Ibu bercerai, dan ibu membawaku ke Haeundae saat usiaku 5 tahun.

Ayahku seorang pewaris muda keluarga kaya raya yang terlalu sibuk dengan bisnisnya. Sementara ibuku hanya ingin dimengerti dan dicintai sebagai layaknya seorang istri.

Hidupku tak pernah seistimewa anak-anak orang kaya kebanyakannya. Aku selalu hidup sederhana bersama ibuku dan tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandangku.

SEOUL, aku tidak pernah membayangkan bagaimana hidup di sebuah kota metropolitan sebagaimana ayah yang sudah terbiasa hidup di sana. Apalagi saat ayah mendaftarkan aku ke sekolah khusus namja elite dan bertemu banyak teman di sana.

Aku juga bertemu teman lamaku di sana. Teman masa kecilku yang sama sekali tak ku ingat bagaimana kami menjalani kehidupan bahagia kami bersama.

Keluarga Xi

.

.

"Aku yakin Kyungsoo adalah anak yang paling mungil di sekolah"

Well..

Ini sudah satu bulan lamanya ibu dan ayah kembali meresmikan hubungan mereka lagi.

"IBU" Aku merenggut kesal.

"ibukan Cuma bercanda, baby" sahutnya.

Ibu duduk di jok depan, di samping ayah yang sedang fokus mengemudi. sebagai siswa kelas 3 SMU, ada kalanya aku merasa kesal kalau ada yang membahas pertumbuhanku yang tidak semampai seperti kedua orang tuaku.

"Tapi anak ayah tetap anak termanis yang pernah ayah miliki"

Aku tertawa pelan, kemudian mengecup kecil pipi ayahku sambil mengucapkan kata terimakasih.

"Well, ada yang cemburu di sini" goda ayah.

Ibu memang akan merenggut kesal jika aku lebih membela ayahku. Dan mengatakan jika aku tak lagi menyayanginya. Tentu saja aku sayang ibuku, ibuku Kim—ani, Oh Jongin, adalah ibu yang paling istimewa yang pernah ku miliki.

Cupp..

"jangan ngambek lagi, bu" ucapku. "aku juga sayang ibu"

Ibu mengusap sayang pipiku.

"ibu pun juga"

Aku kembali duduk di kursi belakang.

Aku memang agak badung, karena tidak menggunakan sabuk pengaman. Padahal itukan penting.

Ayah dan ibu berjanji, akan mengulang semuanya dari awal lagi. Mencoba memperbaiki ikatan yang pernah rusak. Mencoba untuk lebih sabar, dan mengerti, mencoba untuk jadi dewasa dan orangtua yang baik untukku—putranya.

Aku senang mendapati keluargaku utuh kembali.

Dengan kedua sifat baru mereka yang kembali berkomitmen untuk membesarkan putra mereka berdua. Tapi hal yang paling ku harapkan adalah; seorang adik laki-laki yang bisa ku ajak bermain dan menghapus penatku dengan senyum polosnya. Ah, aku selalu menantinya, by the way.

...

Berdasarkan apa yang pernah ku baca di buku-buku kehidupan yang dibelikan paman Jongdae untukku. Aku tahu hidup ini memang tidak pernah adil. Pelajaran di sekolah itu sangat berbeda dengan pelajaran hidup. Dimana pengalaman adalah guru terbaik yang pernah ada.

Keluarga Xi adalah keluarga tiri ayahku.

Maksudnya kakak tiri ayah. Dimana ibunya ayah menikah lagi dengan seorang namja asal Beijing bermarga Xi yang sudah memiliki seorang anak yang lebih tua 3 tahun dari ayahku.

Xi Luhan dan istrinya Xi Minseok. Seorang yeoja berpipi tembam dengan wajah manisnya. Ayah bilang bibi Minseok adalah guru taman kanak-kanak, dimana ia mengabdikan dirinya sebagai seorang guru, di daerah Dalseong, Daegu.

Pertama kali tiba di sini, paman dan bibi menyapaku ramah. Keduanya memelukku bergantian. Paman bilang pipiku tembam seperti bakpao, makanan kesukaannya saat masih kuliah di Beijing.

Halamannya luas, bahkan rumah mereka tak jauh dari perkebunan apel yang membuat rumah minimalis mereka terasa sejuk dan sumpah, mungkin aku akan merasa betah jika tinggal di sini.

Bibi Jessica dan paman Luhan sepakat untuk memberikan hadiah pernikahan untuk ayah dan ibu berbulan madu ke Pulau Jeju. Astaga, mereka memang kakak-kakak yang super usil dan membuat ibu dan ayahku malu-malu seperti pasangan remaja.

Aku tidak diajak.

Malahan paman Luhan bersedia menampungku di sini—yang juga sedang menghabiskan libur musim panasku di sini. Seandainya aku bisa menolak, aku ingin berlibur dengan teman-temanku saja. Mereka sepakat pergi ke pantai selama seminggu.

Tapi ayah dan ibu melarangku.

Okey, mereka jadi semakin protektif sekali menjagaku. Kompak sekali kan?

'berbahagialah di sana! Jangan lupa bawa adik untuk Kyungsoo!' aku mendengar paman Luhan berteriak jenaka. Ah, iya, cepat pulang dan bawa adik untukku, aku tertawa licik dalam hati.

...

From : Zitao Wu

Kau sedang apa di sana?

Kau tahu?

Di sini aku sedang membantu nenekku menjemur pakaian.

Hah? Yang benar saja?

Orang tampan seperti aku disuruh menjemur pakaian.

Atau pesan dari Baekhyun..

From : Baekhyun Byun

Kyungsoo-yaa..

Di pantai panas sekali, tapi aku suka..

Bagaimana dengan Daegu?

Ah, andai kau ikut kemari..

Chanyeol ikut serta, ngomong-ngomong..

Mungkin juga dari Park Chanyeol atau pun dari Kim Wonshik yang menanyakan kabarku dan libur musim panasku di Daegu.

Aku mendapatkan kamar yang berhadapan langsung dengan kebun apel milik paman Luhan. Mereka tidak mengelolanya sendiri. Ada banyak buruh tani yang paman bayar untuk mengelola kebunnya.

Ayah bilang, pamanku adalah orang dermawan.

Dia seorang dokter yang akan selalu menolong siapa saja yang membutuhkannya. Itulah mengapa banyak penduduk desa yang respect padanya.

"Tidak usah, Kyungsoo. Seharusnya kau istirahat saja" kata bibi Minseok. "Bibi Jeon akan datang pukul 11 nanti, kau pasti lelahkan"

Aku merasa lelah, tapi melihat bibi Minseok yang harus beres-beres rumah tidak tega juga. Aku sudah terbiasa diperintah ibu untuk merapihkan apa saja sendiri, dan melihat sesuatu yang berantakan sebenarnya membuat kedua mataku sakit.

"Kyungsoo, apa kau mau ikut paman berjalan-jalan?" Paman Luhan datang dari arah pintu dapur, dengan sekeranjang apel di tangannya.

Namja 37 tahun itu tertawa pelan, seraya berjalan ke arah sang istri. "Sayang, bisa kau buatkan Kyungsoo jus apel? Dia harus mencoba jus terenak yang pernah kau buat" katanya.

Bibi Minseok tersenyum. "kau tunggu di sini ya, jus apel segar akan segera datang"

...

"Ibu gulu Min..Ibu gulu Min"

Suara cadel anak-anak kecil membuatku turun dari kamarku. Sekitar 5 orang anak kecil berdiri di depan pintu dengan tas punggung lucu di punggungnya.

Aku tidak akan menebak siapa namanya. Aku sama sekali tidak ahli untuk ini.

Bibi Minseok keluar dari arah dapur dengan senyum keibuannya. Ia terlihat sangat cantik, apalagi dengan gaun selutut berwarna pink dan cardigan-nya yang berwarna peach. Sosoknya sudah terlihat begitu elegant, memang benar-benar seorang guru, pikirku.

"Kyungsoo, mau bantu bibi mengajar?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan..

Ternyata berada di sekitar anak-anak kecil itu menyenangkan ya.

Bibi bilang kalau sore begini, akan ada anak-anak didiknya yang datang. Untuk belajar tambahan secara Cuma-Cuma, itu pun kalau yang mau saja. Bibi mengajar ditemani oleh seorang gadis berusia 25 tahun, Kim Sohee namanya. Aku memanggilnya noona.

"kau terlihat senang sekali" kata bibi Minseok. Anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing diantar oleh Kim Sohee.

"Aku tidak tahu kalau anak-anak kecil begitu lucu dan menyenangkan" sahutku.

"Sohee adalah adikku. Adik bungsuku itu juga tadinya tidak suka anak-anak"

Aku merah padam dan memandang ke luar jendela. Pasti bibi bisa menebak jika awalnya aku tidak terlalu menyukai anak-anak.

"tapi kau jadi ingin punya adik ya? Tenang saja, ayo kita berdoa supaya ibu dan ayahmu membawakan adik untukmu" canda bibi Minseok.

Aku bisa melihat nada resah saat ia bicara.

Aku mengerti, bibi Minseok pasti sedang memikirkan keluarganya yang tak kunjung memiliki momongan. Bukan bermaksud lancang, tapi aku juga merasa bersalah juga melihatnya jadi seperti ini.

"Kyungsoo, kau suka pie apel?"

Aku mendongak, berusaha biasa-biasa saja.

"jangan heran ya! Di sini kan ada kebun apel. Semua yang ada di sini rasa apel" kata bibi Minseok, sambil tertawa kecil.

...

'KYUNGSOOO~'

Ibu terlihat bahagia sekali.

'ibu rindu padamu, baby'

Di laptopku terlihat ibu sedang duduk di sofa. Seperti biasa, ia hanya memakai kemeja longgar yang aku yakini milik ayahku.

"Ibu, kita baru berpisah 12 jam" kataku. Kita masih punya waktu 29 hari lagi setelah ini.

'Aduduuhhh' ibu meringis pelan, saat memperbaiki posisi duduknya.

"Ibu, Are you Ok?" menatap layar dengan wajah panik.

'SAYANG, BOKONGMU BAIK-BAIK SAJA KAN?' itu suara ayah, dia berteriak entah darimana.

Bokong?

Mengapa mereka membicarakan Bokong?

'OH SEHUN SIALAN'

"Ibu..ibu baru saja bicara banmal"

'Oh, astaga..Soo-ah, maafkan ibu, sayang'

Aku menarik napas pelan.

Ibu dan ayah memang agak aneh kalau sedang berdua.

"bokong ibu kram lagi?"

'OH SEHUN JANGAN TERIAK MACAM-MACAM! AKU SEDANG BICARA DENGAN KYUNGSOO'

Ayolah..

Ibu jadi agak bar-bar dan suka berteriak sejak menikah dengan ayah.

"Ibu"

'bagaimana dengan Daegu? Kau tidak disajikan menu-menu apel kan, Baby?'

Sayangnya iya, bu..

Anakmu ini bahkan sudah lebih dari 3x mencicipi resep-resep apel buatan bibi Minseok yang rasanya manis itu. Tapi aku tidak keberatan, bu. Karena apel itukan enak.

...

"Paman"

"Astaga, Kyungsoo"

Paman Luhan mengusap dadanya, terkejut.

"kau sedang apa?" tanya paman, gugup.

Aku pikir dia sudah tidur.

Ini pukul 2 pagi, dan aku berniat untuk mengambil minum di dapur—tiba-tiba merasa haus.

Aku tidak akan menyangka jika mendapati pamanku duduk di kolong meja dengan ponsel yang menyala. Aku juga sempat mendengarnya berbicara, tapi mungkin dengan seorang teman.

Paman keluar dari kolong meja, dan berdiri seraya mengantungkan ponselnya ke dalam saku piyamanya.

"aku haus, jadi aku turun" jawabku. "paman mengapa bersembunyi begitu?"

"eh..itu..ehhmm.. tidak ada, hanya ingin saja"

Wajahnya memancarkan kegugupan yang luar biasa. Aku sedikit was-was melihatnya. Dia seperti seorang pencuri yang kepergok mencuri oleh banyak masa.

"habis minum, lekaslah tidur" kata Paman, ia mengulas senyum simpul dan mengusap kepalaku. "besok siang paman akan mengajakmu memancing"

"aku tidak bisa memancing, paman"

"benarkah?"

"tidak"kataku, pelan. "tapi mungkin aku akan ikut dan merasakan bagaimana rasanya memancing"

Paman tertawa kecil. "baiklah, paman tidur dulu, ya" pamitnya.

...

'Keluarga Xi orang yang baik-baik, terhormat, dan selalu menjaga moralnya' itulah yang akan ku dengar setiap kali orang-orang desa memuji keluarga kecil ini.

Mereka semua selalu menganggap itu adalah kata yang sempurna. Pamanku seorang dokter, dan bibiku seorang guru taman kanak-kanak yang bersahaja dan ramah pada anak-anak kecil di desa ini.

Nyaris kebun-kebun apel ini milik pamanku. Dia mendapatkannya dari warisan keluarga Xi yang juragan tanah itu. dan masih ada lagi tanah-tanah di Jinan yang mengatasnamakan keluarga Xi sebagai pemiliknya.

Sebelum menikah, Bibi Minseok adalah asli warga Dalseong. Dia putri dari seorang guru yang mengajar di pinggir kota. Semua keluarganya berpredikat pengajar dan memiliki status baik-baik di desa ini.

Sementara keluarga Xi adalah keluarga asal Beijing yang membeli banyak tanah dan kebun apel di daerah ini. Serta kerap kali dijuluki makelar tanah oleh orang-orang setempat.

Mereka menikah diusia 24 tahun. Saat itu Paman Luhan sudah menjadi seorang dokter, dan bibi Minseok yang sudah menjadi seorang guru. Mereka menikah di desa ini, serta membangun sebuah rumah minimalis—sementara keluarga bibi Minseok yang tinggal terpisah dengan jarak 1 Km dari rumah sulung keluarga Kim dan suaminya itu.

"Sohee noona" aku menyapa gadis itu. dia tengah memasuki dapur dengan semangkuk sup di tangannya. Aku mulai menerka-nerka, apakah itu sup apel? Mengingat apa saja yang dibuat oleh bibi Minseok pasti berbahan dasar apel-apel yang ia petik di halaman belakang rumahnya sendiri.

"Oh hey, Kyungsoo" dia menyapaku. Wajah dan senyumnya sangat mirip dengan bibiku.

"dimana Min eonnie?" tanyanya.

Aku juga tidak menemukan siapapun di sini, kecuali nota kecil yang tertempel di kulkas yang berisi jika bibi Minseok harus pergi ke pasar membeli berbagai macam bahan-bahan dapur untuk makan malam nanti.

"Sepertinya bibi pergi ke pasar" jawabku. Sohee noona meletakan mangkuk itu di atas meja makan.

"kau sudah makan?" dia bertanya lagi.

"Sudah" aku berbohong. Hari ini aku akan pergi memancing bersama paman dan teman-temannya. Bibi memang menyiapkan sarapan untukku—sandwich. Tapi aku malah menaruhnya ke dalam bentoku untuk makan siang nanti.

"well" dia berkata perlahan. "kapan kakakku akan kembali?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

Aku tak tahu kapan bibi Minseok akan kembali.

"Kyungsoo-ya"

Aku menoleh, itu paman Luhan dengan alat-alat memancingnya. Matanya nampak terkejut mendapati Bibi Sohee mengobrol bersamaku.

"Katakan pada kakakku, aku meletakan sup di kulkas" seru bibi Sohee.

Ku tolehan kepalaku ke arahnya. Yeoja itu nampak menatap tak suka ke arah paman Luhan. "Aku pulang dulu, Kyungsoo" pamitnya.

...

Dan di bawah pengawasan langsung dari pamanku. Kami akhirnya memancing di dekat danau yang mengalir tenang. Beserta teman-teman paman yang selalu menemani pamanku memancing di hari libur.

Aku menarik napas pelan.

Ku pikir memancing akan menyenangkan, nyatanya, yang akan kau lakukan adalah duduk menunggu dan merasa bosan.

Mungkin tidak untuk pamanku dan ketiga temannya itu. dia akan mengobrol apa saja, seperti bapak-bapak dewasa kebanyakan. Tapi apa? Aku hanya satu-satunya remaja di antara mereka.

"Anak yang malang" itu suara laki-laki yang ku ketahui bernama Kim Yoojin. Dia terus-terusan bangga dengan tangkapannya yang lebih banyak dari kami. Aku nyaris berdecak, sampai suaranya memotong decakanku lebih dulu. "dia harus mati tenggelam diusia muda"

"Ya, padahal usianya masih sangat muda" yang ini paman Park WonGuk. "Byeolie yang malang" lanjutnya.

Paman Luhan sibuk menarik strike nya.

"Oh, putrinya Kim Wonho itu ya?" Paman bertubuh tambun yang ku ketahui bernama Shindong itu menyahut. Wajahnya yang ramah dan selalu melontarkan lelucon sepanjang perjalanan.

"Iya, kasihan sekali" wajahnya jadi sendu. "Oi, Luhan! Keponakanmu pendiam sekali!" serunya.

Paman Luhan menoleh ke arah mereka. "dia memang seperti itu, hyung!" kata paman. "tidak seperti kalian yang selalu berisik" yang disambut tawa oleh teman-temannya.

"Oh, yeah" gumamku, senang. Akhirnya aku berhasil strike, seekor ikan tersangkut di kailku.

"oh, sepertinya si kecil soo menangkap ikan besar" ujar paman Shindong.

"Wow, kau hebat, soo"

"Ya, Tuhan benar-benar memberkatimu"

"Tarik ikannya..Tarik"

"Ugh, berat" aku bergumam.

Paman Shindong yang berdiri di belakangku membantuku. "berat juga ya" katanya. "dia menangkap buaya mungkin" Paman WonGuk berkata asal.

"ku harap bukan" gumam paman Kim.

Aku bergidik ngeri.

Membayangkan moncong besar buaya saja sudah membuatku nyaris hilang fokus. Apalagi jika yang ku tangkap benar-benar buaya, well, aku akan pingsan di tempat.

"Wah..Giant Snakehead~"

"sepertinya masih anakan" kata paman Park. Ia membantu paman Shindong menarik ikanku dengan jaring besar yang ia bawa.

"Kau tahu, soo? Ikan ini akan tumbuh lebih besar lagi" kata paman Kim, diselingi tawa.

"Mau dilepas atau di bawa pulang?" tanya paman Shindong.

Melihat ikan sepanjang lenganku saja membuatku bergidik ngeri. Aku menggeleng, "Kalau begitu di lepas saja" kata paman Shindong.

"Jangan!" seru paman Kim Wonho. "biarkan Kyungsoo berfoto dengan ikan pertamanya" dia menggodaku.

Wajahku yang pucat mungkin lucu untuk orang-orang itu. Paman Shindong yang tengah menggendong ikan itu memberikannya padaku, tentu saja tidak sepenuhnya aku yang menggendong.

"Katakan Kimchi!" seru paman Park seraya mengarahkan kameranya ke arah kami.

"dimana Luhan?" tiba-tiba saja paman Kim bertanya.

Aku celingak-celinguk, sejak tadi aku tidak mendengar suaranya.

"seperti biasa" sahut paman Shindong.

Dia tengah melepaskan ikan itu ke danau.

"Shindong" paman Park mendelik ke arahnya.

"Apa?" tanyanya.

Paman Park seperti memberi kode.

Kemudian paman Shindong menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang basah. "Upps, spontanitas" sahutnya.

Ku edarkan pandanganku kemana saja.

Hingga sosok yang ku cari terlihat di pinggir danau tengah berbicara dengan seorang wanita. Tunggu, siapa wanita itu? Aku menyipitkan kedua mataku—berusaha untuk memperjelas pandanganku.

"Paman Luhan" gumamku.

Iya, itu pamanku.

Paman Luhan tertawa, kemudian mengecup mesra pipi wanita itu. Dia..dia bukan Bibi Minseok..

.

.

The Households

...

Aku pernah berpikir jika Tuhan tidak pernah adil kepadaku dan kedua orangtuaku.

Rumah tangga mereka yang pernah hancur sekali, membuatku malu terhadap dunia untuk mengakui siapa aku.

Aku hanya seorang anak broken home yang terlalu malu untuk bersosialisasi. Selama di Busan, tak satupun anak-anak yang mau menjadi teman baikku.

Tapi kemudian aku berpikir—setelah dewasa, jika menyalahkan kehendak Tuhan hanya akan membuatku terlihat seperti orang bodoh yang tak pernah bersyukur.

Ku singkirkan bukuku saat mendengar bibi Minseok mulai mengajakku berbicara. "bagaimana dengan Gone Fishing-nya?" Bibi Minseok bertanya, seperti biasa, ia akan selalu memamerkan senyum keibuannya yang nyaris mirip dengan ibuku.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat kejadian satu hari yang lalu. Sejak pulang dari memancing aku tidak berbicara lagi dengan pamanku. Bukan..Paman tidak menghindariku, tapi akulah yang menghindarinya. Aku hanya merasa aneh, iya, aneh..terasa aneh saat mengingat bagaimana ia mencium mesra pipi wanita yang bukan istri sahnya.

"Kyungsoo?"

Bibi Minseok menatapku khawatir.

"tidak apa-apa, bi" aku meringis, wajahku pasti berubah kecut.

"Luhan bilang seharian kau tidak makan apa-apa, ya?" tanyanya.

Aku nyaris lupa.

Aku memang tidak makan apapun, bahkan Bentoku saja ku biarkan basi di dalamnya. Aku hanya minum jus kotak yang diberikan paman Shindong saat kami pergi memancing.

"Aku minta maaf, bi" ucapku. "bukannya aku tidak menghargai, tapi, aku benar-benar lupa"

Bibi Minseok menatapku semakin khawatir. Ia segera meletakan semangkuk bubur gandum yang baru saja ia buat. "dimakan, Kyung" katanya. "kau bisa sakit nanti"

Aku mengangguk.

Aku jadi tidak enak hati padanya.

Dia duduk berhadapan denganku setelah meletakan segelas air putih di atas meja.

"Kau ada masalah?" tanyanya. Dia sangat perhatian—mirip sekali dengan ibuku. Keduanya orang yang peka, dan sampai kapanpun sebenarnya aku agak risih jika ada orang yang mempertanyakan apa yang terjadi padaku.

"Kyung, kau melamun" katanya.

Aku tersadar..

Aku jadi sering melamun seperti orang linglung.

Apa dia tak tahu yang dilakukan suaminya selama di luar rumah? Hati kecilku bertanya. Ada rasa kasihan, dan murka. Tapi aku tepis rasa murka itu, aku tak perlu memaki pamanku dengan kalimat-kalimat pedas dan Banmal seperti orang-orang di luar sana.

"Bibi"

"sayang"

Paman Luhan sudah pulang dari tempat prakteknya. Aku menatapnya tanpa ekpresi. Dia memang akan pulang pada pukul 5 sore. Tempat prakteknya akan tutup di jam segitu, tapi ada juga beberapa penduduk desa yang mengunjungi rumahnya untuk berobat.

"hey, Kyungsoo" ia menyapaku. Tapi jelas sekali dia terlihat kikuk, apalagi saat dia mengusap rambutku.

"Hey, apa kau lapar?" tanya bibi. Paman mendudukan dirinya di samping bibi.

...

'Wow Kyung, itu ikan yang besar' Baekhyun mengomentari foto baruku yang ku unggah sehari yang lalu di salah satu akun sosial mediaku.

'That's my son (y)' ayah sok ikut-ikutan berkomentar. Tapi kemudian aku tersenyum geli, itu bukan ayah, tapi ibu. Ibu memang sering menggunakan akun media sosial ayah untuk menjelajah sosial media yang membuatnya kepo.

Kemudian ibu menghubungiku via video call. Aku buru-buru mengangkatya, tapi kemudian ada wajah tampan ayah dan ibu yang sedang, apa itu? ibuku menggendong sebuah gumpalan berwarna biru cerah yang baru saja ku perhatikan ada seorang bayi mungil dengan wajahnya yang menggemaskan.

"Ayah"

"Hey, Kyungsoo..Ayah dengar kau pergi memancing, ya"

Aku mengangguk pelan. Pasti paman Luhan sudah memberitahu mereka bagaimana caraku menghabiskan libur musim panasku.

"tangkapan yang bagus" puji ibu. "ayahmu bahkan tak jago menangkap ikan" ibu berkomentar.

Aku terkekeh pelan.

Wajah ayah berubah masam, sepertinya ia tidak menyukai apa yang baru saja ibu katakan.

"tapi aku berhasil menangkap dirimu, sayang" ayah berkata asal. Yang langsung dihadiah cubitan kecil di lengannya dari ibu. 'Jangan bicara macam-macam' ibu berkata, kemudian tersenyum manis ke arahku.

"Kyungsoo, apa kau mulai merasa bosan?" ibu tiba-tiba bertanya.

Aku mau jawab apa?

Bosan pun juga biasa saja, dibilang senang pun juga tidak. Tapi hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku bercampur aduk adalah kejadian saat paman Luhan mencium pipi seorang yeoja. Aku yakin itu bukan bibi Minseok. Bagiku ciuman antara namja dan seorang yeoja itu harusnya dilakukan jika keduanya saling mencintai.

"Ibu"

"ya, Soo hyung?" tanya ibu. Aku menatap ibu serius. "hun, bisa gendong Hansol sebentar?" tanya ibu. Seraya menyerahkan gumpalan itu pada ayah. Ayah menggendong bayi itu disertai kecupan-kecupan kecil di pipi gempal bayi itu.

"Hansol namanya" kata ibu. "dia lucu sekali. Dan sebentar lagi dia akan jadi adikmu" lanjutnya, disertai senyuman manis.

Aku tidak fokus.

Sampai ibu mengucapkan kata maaf dan mengira aku tidak menyukai keberadaan Hansol yang kata ibu akan segera menjadi adik kecilku. Aku menggeleng, bukan itu yang membuatku begini.

"Ibu, boleh aku bertanya?"

Bisa ku lihat ayah dan ibu saling bertatapan.

"sayang, apa ada masalah?" tanya ayah.

"kita bisa pulang besok dan akan segera menjemputmu" ayah berkata lagi.

Aku menggeleng.

"Apa kita boleh mencium mesra seseorang yang bukan pasangan kita?"

Orangtuaku melotot mendengar pertanyaanku.

Ibu mengambil bayi itu dan menggendongnya, beranjak pergi seolah meminta ayah untuk menjawab pertanyaanku.

"Soo" ayah menyebut namaku. "ibumu paling benci jika kau bertanya hal-hal orang dewasa seperti itu" dia berkata.

"Aku tahu kok"

"katakan apa yang terjadi" ayah berbisik, ia mengalihkan layar iPad-nya close up, sehingga hanya wajah ayah saja yang terlihat.

"Aku tak bisa mengatakannya" ku gigit pelan bibir bawahku. "ini rahasia"

Aku tahu, ayahku bukanlah orang yang selalu memaksaku untuk bercerita. Namun melihat tatapan mengintimidasi seolah ayah ingin aku cepat-cepat cerita.

"kau selalu menyembunyikan ceritamu, Soo" kata ayah. Dia menarik napas pelan, "ayah akan pulang besok, dan menjemputmu"

Itu artinya aku akan kembali lagi ke Seoul.

Sementara waktu liburanku kira-kira masih 3 minggu lagi. Aku akan merasa bosan jika hanya menghabiskan masa liburku di kota besar yang menyebalkan. Paling-paling Namsan Tower, atau paling tidak sungai Han. Itu sudah cukup mainstream.

...

Pagi itu aku hendak membantu bibi Minseok menyiapkan sarapan. Bibi Minseok menyapaku, bertanya apakah tidurku semalam nyenyak—seperti biasa yang akan ia lakukan.

Dia selalu membuatkan makanan yang enak untukku.

Sudah seperti seorang ibu bagiku. Tapi jika ditegaskan sekali lagi, dia hanya bibiku. Namun dari matanya ia sangat menyayangiku. Aku tidak keberatan soal itu, karena ibu bilang aku harus menerima sikap bibiku yang cenderung perhatian seperti ibuku karena bibi tidak memiliki seorang anak.

Aku merasa kasihan padanya.

Tapi ibu dan ayahku melarangku merasa seperti itu, karena bibi Minseok benci sekali jika ada yang mengasihaninya.

"Tadi ayahmu telpon" kata bibi Minseok.

Aku tengah memotong tomat untuk membuat sup tomat pagi ini. Wah, pasti ayah bertanya apa yang terjadi.

"Apa kau bosan di sini, Soo?"

Aku menggeleng. "tidak, bi" jawabku cepat. "aku hanya..aku..aku hanya" aduh, harus jawab seperti apa? aku kan jadi tidak enak kalau begini jadinya.

"Kau pasti bosan ya? Di sini tidak punya teman ya? Maafkan kami, Soo-ah"

"Bi, jangan dengarkan ayah" kataku. "ayah memang selalu seenaknya mengartikan sikap seseorang" aku merenggut kesal.

"ya, Kyungsoo..tapi biar begitu kau harus cerita pada kami apa yang kau rasakan" ujarnya. Bibi Minseok mencuci talenan di tempat cucian piring. "jangan menyimpannya sendiri"

...

Pranggg...

Seluruh tubuhku seolah bergetar, bahkan kedua kakiku seperti tak mau menopong berat badanku.

Mataku membulat sempurna, di hadapanku pun juga sama. dua orang dewasa itu terlihat gugup melihatku. Si namja yang terkejut, serta yeojanya yang panik dan ketakutan.

Ini semua tidak normal, dan sulit sekali untuk diatasi. Aku masih mematung, bento yang ku bawa sudah tergeletak pasrah di bawah lantai. Semua isinya sudah berhambur tidak beraturan seperti kudapan kucing.

Sepertinya keputusan bibi Minseok memintaku untuk menyambangi klinik kesehatan suaminya adalah keputusan yang salah. Aku kembali melihatnya, melihat pamanku bercumbu mesra dengan seorang yeoja yang tidak ku ketahui asal-usulnya.

"Kyungsoo"

Aku berlari kencang, menuju halaman klinik—dimana sepedaku terparkir. Ku kayuh pedal sepedaku mengabaikan panggilan-panggilan paman Luhan yang terus meneriaki namaku.

Aku tidak peduli, aku mau pulang, begitulah pikirku.

...

Aku mencoba untuk tidak meringis. Dadaku terasa sesak, seperti teman sekelasku Kirin yang menderita penyakit asma.

Bibi tersenyum padaku, tapi melihat senyumnya itu malah membuatku sakit. Apalagi mengingat apa yang dilakukan pamanku di belakangnya selama ini.

Aku tidak peduli, aku mau pulang.

Batinku menjerit terus, inginku hanyalah ibu, ayah, dan rumah. Aku tak mau di sini, terus-terusan menyembunyikan kebusukan hati seorang Xi Luhan.

'Kyungsoo..Kyungsoo' bibi mengetuk pintu kamarku. Aku terus menangis, mengucap maaf yang entah pada siapa harus ku ucapkan. Bibi, maafkan aku..

Ku tekan nomor ponsel ayahku, suara tut..tut..tut.. terdengar beberapa saat. Kemudian terdengar suara berat ayah berkata Hallo. Dan saat itu juga aku berteriak keras, "AYAH, AKU MAU PULANG, Hiks"

...

Makan malam pun tiba.

Aku hanya diam, begitu pun dengan paman dan bibi. Mereka terlihat sibuk dengan dunia masing-masing.

Tadinya ku kira liburanku akan membawa banyak moment-moment indah yang bisa ku ingat selamanya. Tapi nyatanya momen perselingkuhan seperti inilah yang ku rasakan.

Aku harus menjadi saksi perselingkuhan pamanku dengan seorang yeoja yang mungkin saja lebih muda dari bibiku.

Aku tak tahu apa alasan kuat paman Luhan menduakan istrinya. Bertingkah seolah bersih di dalam rumah, sementara saat diluar dia bertindak tak lebih dari ayam jantan yang senang menunjuk dada di hadapan para betina. Itu menjijikan, dan aku benci perselingkuhan.

"Aku selesai" ucapku pelan.

Aku membungkuk hormat, dan segera pergi menuju kamarku. Ku dengar bibi menghela napas pelan. Kalau boleh jujur, aku juga tidak enak hati pada bibiku yang baik hati itu.

...

Pagi itu aku menyelinap pergi ke taman belakang, dimana ditumbuhi pohon-pohon apel yang beberapa sudah ditumbuhi merah kehijauan pertanda belum cukup matang untuk dipanen.

Lalu aku mulai menapaki jalan kecil dan tiba di sebuah sungai kecil yang dangkal dan jernih.

Aku merenung disana, cuitan burung cukup jelas ku dengar. Aku tidak merasa takut, karena entah mengapa aku yakin tak ada yang perlu ditakuti selama Tuhan bersamaku.

Krekk..

Langkah kaki seseorang membuatku menoleh.

Itu paman Luhan tengah berjalan sambil membawa sebuah keranjang. Mungkin dia hendak memetik apel yang layak untuk di panen.

"kau membuatku khawatir, Kyungsoo" ia menatapku, dia memang khawatir dan aku tidak akan menampiknya.

Mungkin selama aku disini dia telah diberi kepercayaan dari ayah untuk menjagaku. Dan dia benar-benar menjagaku, merawatku, dan berusaha untuk menyenangkan aku seperti pergi memancing beberapa waktu yang lalu.

"bibimu akan membuat apel karamel. Kau pasti suka" ujarnya.

Aku masih diam, tak berminat untuk menyahut.

Alisnya yang berwarna pualam itu mengerut, lalu menghela napas pelan dengan keranjang di tangannya. "kau sudah melihat rahasia besarku" katanya. Aku menoleh, paman Luhan mendudukan tubuhnya di sampingku.

"ini lebih rumit dari yang pernah ku pikirkan" gumamnya pada diri sendiri.

Aku hanya diam. Toh menyahut juga tidak tahu apa yang harus ku katakan. Aku bertanya-tanya, kapan saat yang tepat untuk membicarakan perselingkuhannya itu dengan yeoja lain.

"tak usah merasa tidak enak" tukasnya, seolah bisa membaca pikiranku. "Kau sudah melihatnya, dan aku tidak akan menepisnya"

"Mengapa paman lakukan itu?"

"Apa?"

"Apa karena bibi Minseok tak bisa memberikan seorang anak?" tanyaku.

"kurang ajar sekali pertanyaanmu itu" dia tersenyum sinis. Tapi kemudian ia mengacak pelan rambutku.

"akulah yang tidak bisa memberinya kebahagian untuk menjadi seorang ibu, soo" jawabnya. Mata bambinya menatap sendu tanpa arah.

Aku terkesiap mendengarnya. Kemudian yang ku dengar dari bibirnya adalah: 'aku mandul, tidak bisa punya anak' dengan senyum mirisnya.

"dia wanita yang sempurna" dia berkata perlahan. "dia cantik, dia lahir dari keluarga terhormat, dia baik hati, dan juga tak pernah menuntut apa-apa dariku"

Matanya menyipit. "sementara aku hanya seorang yang tak bisa memberikannya kebahagian sebagaimana wanita yang sudah berumah tangga"

"bibi menerima paman apa adanya"

"tapi itu yang jadi masalah"

Aku memulai dengan yang sangat sederhana. Atau begitulah menurutku. "masalah?"

Paman menunduk, perlahan-lahan melipat tangannya seperti tengah berpikir. "aku tak sempurna, sementara dia masih bisa mendapatkan apa yang ia inginkan—anak. Aku memintanya untuk menceraikan aku, tapi dia tak mau"

"Itu artinya bibi sangat mencintai paman" kataku.

Matanya berkilat, menatapku mengejek.

"tahu apa kau soal cinta?"

"aku tidak tahu apa itu cinta" jawabku. "tapi jika aku melihat seseorang bertahan pada kekurangan pasangannya dan tidak mencoba untuk mengubahnya—tetapi malah melengkapi. Itulah sebuah perjuangan, perjuangan yang sangat besar melebihi rasa cintanya sendiri"

"cinta bukan hanya sekedar ego, aku tahu itu. mengapa orang dewasa selalu meremehkan anak-anak seperti aku" Aku memandangnya marah.

"kau membuatku terlihat bodoh, Kyungsoo" dia berkata.

Dia mungkin tersinggung.

Tapi bodo amat, aku tidak peduli. Aku hanya mempedulikan perasaan bibi Minseok yang terkhianati oleh orang yang ia cintai. Apakah hidup seperti ini yang paman Luhan inginkan?

"aku selingkuh darinya agar ia meninggalkan aku, kemudian menikah dengan laki-laki yang bisa membuatnya bahagia"

"apa setelah bibi Minseok pergi paman akan bahagia?"

"jujur saja tidak" paman Luhan menjawab. "Aku masih mencintainya, sangat"

Paman Luhan tersenyum ironis. "Logikanya saja, wanita mana yang mau menikahi namja yang memiliki masalah reproduksi seperti aku" gumamnya.

"tentu saja ada" timpalku.

Ia menatapku penuh tanya.

"tapi yang bisa mencintai paman apa adanya hanya bibi"

"sudah terlambat" ia tertawa, matanya menghangat. "bibimu sudah tahu perselingkuhan itu"

Aku tak mampu membendung rasa penasaranku. Aku menyadari jika apa yang dikatakan paman Luhan sama sekali bukan kebohongan seperti mengarang cerita.

"belum" kataku pelan. "belum ada kata terlambat jika belum dicoba"

Paman Luhan tersenyum. "Aku jadi benar-benar ingin mengadopsi mu, Kyung" katanya.

Aku merasakan sekelumit perasaan bahagia saat ia berkata seperti itu. aku benar-benar berada di tengah-tengah orang-orang dewasa yang amat menyayangiku.

"paman dan bibi adalah orangtua keduaku setelah ayah dan ibu"

Paman Luhan terkekeh pelan. "menurutmu bagaimana kalau paman dan bibi mengadopsi anak?" tanyanya.

Aku mengangguk setuju.

"itu lebih bagus" ujarku.

"tapi sebelumnya aku harus memutuskan hubunganku dengan Nari"

"semudah itu?" tanyaku.

Ia berhenti, kemudian mengambil ponsel di saku kemejanya. "tidak" jawabnya. "tapi dia akan mengerti. Nari sendiri juga sudah punya kehidupan lain dengan suaminya yang tampan itu"

"kalian sama-sama selingkuh?"

Aku nyaris memukulnya.

"ya" jawabnya. "tapi sekarang tidak. Berkat kau aku jadi tersadar jika Minseok adalah segalanya bagiku"

END

.

.

A/n :

Hey..Thx buat semua review yang kalian berikan.

Ok, anggap aja ini semacam drabble ya..Gak ada Istilah Sequel dan semacamnya. Aku Cuma mau buat FF yg sedikit berbeda dari ff karyaku yang lain.

Dan khusus Chapter ini ya termasuk ke dalam FF drabble Centric Soo.

Masih bingung?

Nih, aku kasih Judul-judul dan tema Chapternya.

The Lonely Stone : Kisah seorang mafia dan seorang pemuda desa yang sama-sama memiliki problem keluarga dan merasakan kesepian. (Pairing Hunkai)

Dear, Soo (Mom and Dad's Problem): Ini Centric Kyungsoo. Dimana dia hidup sebagai seorang anak Broken home yang mengisolasikan dirinya dari Lingkungan. Dia selalu berharap orangtuanya kembali bersatu. (Pairing Hunkai) Gak ada sangkut pautnya sama The Lonely Stone ya..

Dear, Soo (Secret Love Affairs): Ini seri kedua Kyungsoo. Dimana Orangtuanya udah bersatu. Dan suatu hari dia dititipkan di rumah paman dan bibinya sementara orangtuanya pergi berbulan madu. Saat itulah Kyungsoo tahu rahasia terbesar pamannya.

Ada yg mau request untuk Chapter kelimanya? Karena aku sudah menyelesaikan chapter ke-4 nya.