The Lonely Stone (HUNKAI)

Genre : Romance/Family

Rating : T

Pairing : HunKai (As Main Pair FOR THIS CHAPTER)

WARNING : BL, GS (for Mommies), AU, OOC, TYPO, ALUR CEPAT, GAJE, NO BASH PLEASE, Crossdressing, Death Chara, SERIES ONE SHOOT

ALL CHARA ARE NOT BELONG TO ME, BUT STORY IS MINE

.

.

.


For anyone Who such a great help, terimakasih untuk semua readers yang selalu membaca, memberikan review, dan senior-senior.. Terimakasih untuk semuanya...

.

.

.

Summary :

Hanya kisah dua orang kesepian yang berasal dari dunia yang berbeda dan tak sengaja dipertemukan oleh takdir yang terikat. Sanggupkah keduanya bertahan untuk saling melengkapi?

.

.

.

Prolog

Ku rasa aku akan mati..

Mati, ya mati di atas tumpukan bunga-bunga sakura yang berjatuhan di musim semi.

Tapi tak apa, tak apa jika aku harus mati di sini. Mungkin inilah akhir dari kehidupan seorang ketua mafia seperti aku.

Aku akan menyusul ayah, ayahku yang tewas di ruang kerjanya dengan luka tembak tepat di jantung.

Aku meringis, rasa sakit di perutku semakin menjadi. Timah panas yang menembus perutku membuat aku ingin cepat-cepat mati. Ya, dibandingkan merasakan sakit seperti ini lebih baik aku mati.

"Tuan..Tuan" suara lembut itu.

Aku membuka kedua mataku, mendapati seorang namja dengan yukata putih membalut tubuhnya.

"Tuan..apa kau baik-baik saja?"

Aku tersenyum lirih.

Tidakah dia lihat jika aku sedang sekarat?

"K..Kau terluka" katanya.

"A..aku"

"Jangan banyak bergerak! Aku akan menolongmu"

.

.

.

.


THE FIRST SIGHT (BAB 1)

...

Author POV

"Dia bangun" kata seorang laki-laki tua. Di sebelahnya ada seorang wanita yang juga sudah memasuki usia lansia menatap ke arah seorang pria muda yang baru saja membuka kelopak matanya—perlahan.

"Wah, hyung ini tampan sekali" teriak seorang anak kecil yang duduk tepat di hadapan Sehun—lelaki muda yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya, sambil merintih perih.

"sst, jangan berisik, Jongdae" Wanita tua itu mengingatkan. Anak kecil bernama Jongdae itu merenggut lucu, tapi kemudian beranjak dari duduknya berlari kecil keluar kamar.

'Jongin hyung..Jongin hyung.. hyung tampannya sudah bangun' begitulah teriakan nyaring yang terdengar dari rumah tradisional itu.

"kau tak apa, anak muda?" tanya lelaki tua itu.

Sehun mencoba bangun dari futon—dimana ia berbaring. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya berdenyut sakit. Tapi kemudian, "dimana ini?" tanyanya, serak.

Yeoja tua yang masih memiliki gurat-gurat cantik di wajahnya itu tersenyum simpul. "Tenanglah, anak muda" yeoja tua itu berkata. "nanti lukamu akan terasa semakin sakit"

"Dae, pelan-pelan saja!" suara halus itu berseru.

"Hyung, jangan lelet! Nanti hyung tampan itu luka lagi, bagaimana?"

Seorang namja bertubuh ramping dengan yukata berwarna biru berjalan perlahan, dengan seorang anak kecil yang menggandeng tangannya dan tak berhenti berceloteh.

"Nenek..nenek..nenek" anak kecil itu memanggil sang nenek. Yeoja tua itu tersenyum, ia berjalan mendekati cucunya dan berkata, "jangan mengganggu, Dae! Hyung ini butuh istirahat"

...

Kim Jongin..

Seorang namja berkulit tan, dengan tubuh rampingnya yang selalu dibalut Yukata-Yukata indah.

Wajahnya yang manis, surai hitam kecoklatannya, serta poni mangkuknya yang menutupi dahinya. Tak ada yang tidak mengenalnya, semua di desa nelayan ini mengenal remaja 18 tahun itu dengan sangat baik.

Namja baik hati dan gemar menolong orang itu tinggal dengan kakek dan nenek Kim, kedua pengasuhnya yang telah mengasuhnya sejak ia masih sangat kecil.

Ia putra dari seorang pengusaha budidaya ikan laut yang amat kaya raya. Nyaris semua kapal-kapal kecil di desa ini milik ayahnya yang tampan asal negeri China. perawakannya yang tinggi dengan aksen yang aneh, serta wajahnya yang blasteran bule itu membuat Wu Yifan mudah dikenali oleh masyrakat setempat.

Ibunya Kim Kyungsoo adalah istri kedua Yifan, sementara di lain tempat Yifan memiliki seorang istri lainnya yang amat ia cintai. Sebut ia Wu Junmyeon, si yeoja cantik yang selalu mendapatkan segalanya dari lelaki tampan itu.

Sayangnya Junmyeon bukan yeoja yang sempurna. Dia divonis mengidap kanker rahim sehingga rahimnya pun harus diangkat dan tak bisa memiliki anak. Itulah sebabnya mengapa Yifan dipaksa menikahi putri seorang makelar tambak asal pulau Jeju oleh para tetua klan.

Kyungsoo memberikannya dua orang putra. Kim Jongin, dan si kecil Jongdae yang sekarang sudah berusia 8 tahun. Itu artinya sudah 8 tahun Kyungsoo pergi, meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya.

Yeoja mungil dengan mata bulatnya yang indah itu adalah seorang yeoja yang tangguh. Berani mengorbankan nyawanya demi putra bungsunya. Jongin selalu mengingat ungkapan indah yang kerap kali ibunya katakan tentang kehidupan. Salah satunya seperti ini: Kebahagian itu kecil seperti batu pasir, sementara kesedihan itu sebesar batu karang.

Orang-orang Jeju adalah orang-orang yang tabah dan mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Mereka selalu belajar dari pengalaman keras yang pernah mereka rasakan pada masa perang dulu.

"Mengapa kau menolongku?"

Kedua tangannya yang sedang menata makanan di meja lipat kecil itu terhenti. Ia mendongak, dan mendapati tatapan dingin dari namja yang 5 hari lalu ia tolong. Saat itu Jongin hendak mengantar bubur Jeonbokjuk untuk nenek Noh yang sedang sakit. Lalu

mendapati seorang namja terkapar tak berdaya di atas kelopak-kelopak bunga sakura dengan luka tembak di perut.

"Maaf?"

Sehun memasuki satu tangannya ke dalam Hakama yang ia kenakan. Ia tatap terus laki-laki manis yang tengah menata makanan di hadapannya. "Kau tidak mengenalku" katanya.

"tapi ibuku selalu menasihatiku agar selalu menolong sesama" Jongin duduk bersimpuh. Senyum mengembang di wajahnya.

"kau bahkan tidak tahu bahaya apa yang tengah mengincarmu" Sehun tersenyum meremehkan.

"memang" katanya, perlahan. "tapi aku tidak akan menyesal telah menolong tuan"

"makanlah" Jongin tersenyum, meminta agar namja tampan di depannya itu bersedia untuk memakan jeonbokjuk hangat buatan nenek Kim.

Sehun segera memakan bubur hangat itu. dia tidak mau bertingkah sok menahan lapar, karena nyatanya dia sangat kelaparan dan membutuhkan energinya kembali untuk beranjak dari atas futon.

Melihat Sehun yang sudah memakan buburnya. Jongin berdiri, hendak meninggalkan ruangan itu.

"Namamu" Sehun berseru.

Jongin membatu, kemudian berbalik badan. "Kim Jongin" jawabnya.

"Sehun"

Jongin mengangguk.

Ia membungkuk hormat dan pergi meninggalkan Sehun seorang diri untuk lebih leluasa menikmati jeonbokjuk-nya.

.

.

.

"Hyung"

"hmm?"

Jongdae kecil semakin merapatkan pelukannya pada tubuh ramping sang kakak yang terasa begitu hangat. Jika hatinya merasa tak tenang, kakaknya akan menghibur Jongdae dan memeluknya ketika tidur.

Jongin juga akan menyanyikan lagu pengantar tidur yang selalu ibu mereka nyanyikan. Tapi sayangnya Jongdae tak pernah mendengar nyanyian merdu itu dari bibir sang ibu. Ia hanya mendengarkan apa yang Jongin ceritakan tentang ibu mereka yang cantik dan baik hati.

"apa ibu juga merindukan kita?" tanyanya.

"Jika Jongdae selalu merindukan ibu, ibu juga akan merindukan Jongdae" jawabnya.

Ini pertanyaan yang wajar, karena diantara mereka berdua hanya Jongin sajalah yang sempat diasuh lama oleh ibu mereka. Sementara saat Jongdae lahir, Kyungsoo meninggal dunia—tepatnya beberapa menit Jongdae lahir.

"Jongdae selalu rindu ibu" katanya. "Jongdae juga selalu berdoa pada Tuhan supaya ibu selalu berada di surga" dia berkata polos.

Jongin tersenyum simpul. Senyumnya mirip sekali ibu mereka. Sementara Jongdae cenderung mirip ayah mereka, dan sedikit dipadukan wajah ibunya. Sehingga wajah Jongdae terlihat manis dan menggemaskan. Andai dia mirip ayahnya, pasti dia akan memiliki wajah tampan dengan sedikit ekpresi dan jarang sekali tersenyum.

"Apa Jongdae kesepian?" tanya Jongin. Dia takut adiknya merasakan kesepian seperti yang pernah Jongin rasakan saat kecil dulu. Ayah mereka nyaris tak pernah ada waktu untuk berkunjung. Dan Jongin kecil selalu bermain dengan ibunya di halaman rumah mereka yang sejuk.

Jongdae menggeleng pelan. Ia tatap wajah manis kakaknya dengan senyum riang seperti biasa. "Karena kan ada Jongin hyung yang mirip ibu. Makanya aku tidak merasa kesepian"

Ucapan itu membuat Jongin menahan tetesan airmata haru. Dia tak mau Jongdae mengira jika ia sedang menangis. Karena terakhir kali ia menangis, adalah saat ayah mereka mengabaikan Jongin saat pesta minum teh. Saat itu Jongin menangis di kamarnya, Jongdae kecil yang baru berusia 3 tahun itu berlari dan merusak peralatan minum teh di rumah ayah mereka dan menghancurkan pesta tersebut. itulah sebabnya Jongin tak mau sembarangan menangis di hadapan adik kecilnya.

"hyung cantik mirip ibu" kata Jongdae. Ia menenggelamkan kepala kecilnya pada dada sang kakak. Mencari kehangatan yang selalu ia sukai dari segala hal yang dimiliki oleh sang kakak.

Jongin mengusap penuh kasih punggung sempit itu. Perlahan mata sempit Jongdae tertutup sambil mengemut ibu jarinya. Itu sangat menggemaskan, dan selalu membuat Jongin mengecup gemas wajah imut adiknya.

"sleep well, Jongdae-ah" ucap Jongin, mengecup singkat kening adiknya.

...

Malam ini Jongin tak bisa tidur.

Sementara Jongdae sudah tertidur nyenyak di dalam kamar dengan boneka bebek kuning kesayangannya. Jongin merasa aneh, ini sudah pukul 12 malam. Seharusnya dia merasa kantuk dan terlelap di samping sang adik.

Tapi kali ini ia malah duduk di teras belakang rumahnya dengan jeruk hangat. Sambil menatap langit malam dengan berjuta kelap-kelip bintang. Dia tidak merasa kedinginan, karena mengenakan mantel milik ibunya saat masih muda dulu.

Dia begitu bangga pada ibunya. Bahkan saking bangganya Jongin selalu ingin terlihat sama dengan sang ibu. Dengan menggunakan yukata-yukata milik ibunya, serta beberapa hakama peninggalan sang ibu saat ibunya masih tinggal di Pulau Hokaido.

Dia akan terlihat manis, dan berkali-kali berhasil membuat beberapa rekan kerja ayahnya berdecak kagum melihat paras rupawannya. Pernah sekali ada yang mencoba meminangnya, namun Yifan menolak. Dia tidak mau Jonginnya menikahi namja yang menurutnya tidak pantas untuk putra manisnya itu.

"ku pikir hanya aku yang tidak bisa tidur"

Jongin menoleh, mendapati Oh Sehun tengah berjalan tertatih mendekatinya. Namja tampan itu pun mendudukan bokongnya di samping Jongin. Kruk yang ia gunakan tadi ia sandarkan pada tiang penyangga rumah tradisional ini.

"Sehun-ssi" Jongin sebut nama itu. "kenapa belum tidur?"

Namja itu menoleh.

"kau sendiri juga belum tidur" berkata santai. Namun suaranya masih terdengar serak. Dan perban putih masih melilit perutnya. Jongin baru mengganti lilitan perban itu tadi sore.

"aku tidak bisa tidur" Jongin berkata pelan. Kalimat ini sebenarnya tidak perlu, karena Sehun sendiri pun sudah melihat hal itu. Ia juga tidak bisa tidur, karena kebiasaannya selalu terjaga di malam hari dan apabila siang hari, Sehun akan terlelap di kamar apartmentnya (di Seoul) dengan begitu nyenyak dan terbangun di sore hari.

Melihat Jongin dan keluarganya—serta beberapa penduduk desa yang masih mempertahankan kebiasaan adat. Sehun jadi merasakan jaman Jaeseon yang sama sekali belum pernah ia rasakan. Tapi selama di Daepo, Sehun jadi merasakan bagaimana hidup sederhana di desa yang mayoritasnya bekerja sebagai nelayan.

"kau menyulitkan aku" kata Sehun. Ini adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh dirinya sendiri, namun tidak dengan Jongin. Namja 18 tahun itu menoleh dan menatap Sehun dengan penuh tanda tanya.

"Kau sudah menolongku" dia berkata, tak panjang, namun bisa menjelaskan jika sebenarnya Sehun sama sekali tidak ingin Jongin menolongnya saat itu.

"kenapa?" tanya Jongin. "kau bisa mati jika aku tak menolongmu"

Sehun menutup kedua matanya, merasakan angin malam menerpa lembut wajahnya. "itu lebih baik" ujarnya.

Jongin terbelalak mendengarnya.

"Sehun-ssi"

"Aku sudah tak punya alasan untuk hidup"

Jongin menggelengkan kepalanya pelan. "Jika kau tak punya alasan, mengapa tidak mencoba membuat alasan sendiri?"

Dia pun berpikir, tentang Sehun yang menginginkan kematiannya. Padahal akan lebih baik jika ia memperbaiki kesalahannya dan menabung amal akhirat nanti. Namun Jongin tidak akan sanggup berkhotbah seperti Father Cha, dan bertingkah seolah dirinya yang paling benar.

"kau benar" Sehun mengangguk pelan.

"tapi butuh waktu lama bagiku untuk menemukan sebuah alasan" dia berkata lagi.

Sehun bukan orang yang pendiam, bukan juga orang yang banyak bicara. Jadi ia tak perlu canggung untuk mengajak namja muda itu untuk berbincang-bincang menghabiskan malam mereka. Jongin pun juga menduga, jika dibandingkan orang-orang yang selalu menunjukan kepintaran mereka, Sehun adalah orang-orang yang selalu mencari fakta-fakta menarik atau pun alasan selama ia hidup. Dia tipe yang menarik, karena tak ada namja seperti Sehun di desa Daepo.

"Ya, aku paham" Jongin menggigit bibir bawahnya. Jeruk hangatnya masih sisa setengah, dan sudah agak berembun yang pertanda airnya sudah tidak hangat lagi.

Sehun menyunggingkan senyum getir, seolah kehilangan harapan. "saat kau menolongku" ada jeda di antara kalimatnya.

Jongin menoleh ke arah Sehun, menatap kedua maniks hitam nan tajam itu. "mengapa kau tidak membawaku ke rumah sakit?" Sehun bertanya. Ia pikir setelah aksi penembakan itu, ia akan mati. Tapi entah berapa lama ia menutup matanya dan ketika terbangun ia mendapati tubuhnya menggunakan celana hakama dan lilitan-lilitan perban di sekitar pinggangnya.

Jongin membulatkan kedua matanya.

"Ku rasa kau tahu siapa aku" katanya, mendengus pelan.

Jongin meremas-remas kecil jemari-jemari tangannya. itu adalah kebiasaannya sejak kecil jika dihadapkan oleh sesuatu yang membuatnya gugup.

"Kalau aku membawamu ke rumah sakit, pihak polisi akan tahu siapa dirimu" Jongin berkata pelan.

Sehun mengangguk. Padahal jika waktu itu Jongin membawanya ke rumah sakit sekalipun Sehun juga tak mengapa. Paling-paling ia hanya akan mendekam dijeruji besi setelah mengatakan siapa sebenarnya dia. Hidup bebas pun juga percuma, tak ada lagi panutan yang amat ia hormati selama ini.

"banyak orang-orang yang bukan penduduk Daepo ditemukan tewas terdampar di pantai" Jongin mulai bercerita. Penduduk desa Daepo sudah tidak kaget lagi kalau menemukan mayat terdampar. Seperti mati dibunuh, mati tenggelam, atau pun memang sengaja dibuang di tepi pantai. Itu semua tak pernah jauh-jauh dari kasus mafia.

"jadi saat kau menemukanku kau sudah tahu siapa aku?" Sehun merasa agak bingung, namun tidak terkejut. Hidupnya sejak kecil memang tak pernah berjalan mulus-mulus saja dan tanpa masalah. Tapi jika pack-pack mafia tahu dimana keberadaannya dan siapa yang telah menolongnya, Jongin pasti akan dibunuh. Tidak hanya Jongin, bahkan suami istri Kim dan juga adik kecil Jongin yang sama sekali tak tahu apa-apa.

Jongin mengangguk pelan.

Iris kelam Sehun membuat jantungnya berdegup kencang. Sehun bukan salah satu penduduk Daepo, dan Jongin tahu betul itu. Tapi Jongin sama sekali tidak peduli—tidak takut juga. Karena baginya, menolong hidup orang lain sudah menjadi kewajibannya yang memang putra dari mendiang seorang dokter baik hati di desa itu.

"Aku tidak perlu mengatakan siapa sebenarnya aku, karena ku yakin kau tahu siapa aku"

"Bahkan jika aku harus mati, aku tidak takut" Jongin berkata. Dari tadi ia hanya mendengarkan Sehun yang berbicara tentang kekonyolannya yang telah menyelamatkan seorang mafia.

Sehun menatap maniks hitam kecoklatan itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa seperti orang bodoh ketika matanya menatap mata Jongin. Diusianya yang baru 26 tahun, sama sekali belum berpengalaman seperti ayahnya.

Senyum Jongin yang sering terlihat seperti kata minta maaf untuk segala sesuatu yang bahkan bukan kesalahannya mampu menggugah perasaan namja berkulit pucat itu. "aku minta maaf telah membawa kesulitan untuk kalian" ucap Sehun.

Jongin menggelengan kepalanya pelan. "Tidak..Tidak seperti itu" sahutnya. "Aku senang membantu anda, Sehun-ssi"

...

(Gangnam Gu, Seoul—Malam Hari)

"Hey, Chan..Chan..Apa kau dengar aku?"

Lagi-lagi dia harus berdecak kesal. Tubuh mungilnya harus dibalut pakaian minim wanita yang dan membuatnya menggigil. Belum lagi remasan-remasan dari tangan jahil terus ia dapati selama ia berusaha menemukan sosok namja bertubuh jangkung yang entah berada dimana.

"Chan..Chan..Kau dengar aku ti—eunggh" seseorang meremas bokong sintalnya, ia menggigit bibir bawahnya. Ponselnya nyaris terlepas andai ia tidak menggenggamnya erat.

Ia menoleh, mendapati seorang ahjussi berwajah mesum menatap ke arahnya. "Hey, manis" sapanya.

Andai dia tidak menggunakan dress merah yang minim seperti ini, sudah ia tendang selangkangan lelaki berumur itu.

Pak tua itu berniat meremas kembali bokongnya. Namun secepat kilat seorang namja menarik pergelangan tangannya dan mengendusi leher putihnya. "aku mencarimu, sayang" bisiknya.

Lelaki berumur itu terlihat salah tingkah.

Belum lagi ketika tatapan tajam namja jangkung itu membuat tubuhnya bergetar. Matanya menatap 'mine' itu dengan begitu tajam. Sehingga membuat lelaki tua itu buru-buru pergi dari hadapan mereka.

"sial, kemana saja kau tadi?" dia nyaris menampar wajah tampan itu.

"aku harus menemani yeoja mabuk itu agar tidak ada namja brengsek yang memperkosanya. Aku minta maaf, Baek" ucapnya.

Baekhyun..

Namja yang sedang ber-crossdressing itu terlihat kesal. "kau melindungi seorang perempuan dari pria hidung belang, tapi kau membiarkan aku nyaris ditiduri pria hidung belang" ia berdecak kesal.

Park Chanyeol terkekeh geli. "tapi aku menyelamatkanmu, kan? Kenapa masih marah"

"konyol" Baekhyun mendesis pelan. "lepaskan tanganmu dari pinggangku!" serunya.

Mata bulat Chanyeol menyipit saat dia tertawa. Ia masih enggan melepas dekapannya pada pinggang ramping Baekhyun. Ia malah sengaja menggesekan selangkangannya yang agak menggembung itu pada selangkangan Baekhyun.

"sial, kau hard" Katanya, nyaris memekik.

Klub malam seperti ini memang dipenuhi oleh orang-orang mabuk yang menggila di lantai dansa. Bahkan jika Baekhyun memekik saja pun tidak masalah, toh tak ada yang mendengar.

"Heheh" tertawa polos.

"Tau begini biar Yixing hyung saja yang menemaniku" dia menggerutu kesal.

...

Jongdae menemani sang kakak yang tengah menjemur pakaian di halaman belakang rumah mereka. Bocah cilik itu berlarian ke sana kemari dengan air sabun yang ia mainkan dan membuatnya menjadi gelembung-gelembung kecil.

"hyung, lihat ini!" Jongdae berseru, ia telah berhasil meniup gelembung sabun besar yang mengawang di atas udara.

Sang kakak tersenyum manis, mengingatkan adiknya untuk berhati-hati agar tidak tersandung. 12 tahun yang lalu Jongin juga seperti itu, memainkan gelembung sabun sementara ibunya yang cantik tengah menjemur pakaian.

Dibandingkan seorang kakak, Jongin lebih terlihat seperti ibunya Jongdae karena perbedaan usia yang lumayan jauh. Jongdae yang manja dan memiliki tubuh mungil pun selalu dikira anaknya Jongin, bilamana keduanya pergi ke pasar.

"Jangan terlalu mencemaskannya" Ujar Sehun, yang tiba-tiba saja datang dari arah pintu. Kruk menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Sehun-ssi" Jongin terlihat khawatir, Sehun belum benar-benar sembuh. Lengannya yang tanpa hakama, sementara lengan panjang hakama itu menjuntai lemas ke bawah.

"Aku tidak apa-apa" katanya. Jongin membantu Sehun untuk duduk di saung kayu dimana kebiasaan kakek Kim duduk dan membuat jaring ikannya sendiri.

Jongin tidak mau mengoreksi pendapat Sehun yang menganggapnya terlalu panik. Karena nyatanya dia memang selalu mengkhawatirkan orang lain. "dibandingkan adik, dia lebih terlihat seperti anakmu" kata Sehun, dia mungkin bermaksud bercanda, namun tak ada tawa di wajahnya.

"Ah, begitu ya" Jongin menunduk malu.

Wajah Jongin sangat manis dan terlihat terawat. Tak jauh beda dari anak-anak konglomerat di Kota Seoul. Namun bedanya Jongin masih terlihat begitu polos dan Sehun berani bertaruh, jika Jongin belum pernah bepergian kemana pun selain ke pasar Seogwipo.

"kami memang berbeda jauh" katanya, malu-malu.

Jongin bukan hanya kakak, tapi memang sudah menjadi ibu kedua Jongdae yang selalu membantu nenek Kim merawat adiknya sejak kecil. Sehun tak kan mau bertanya, bagaimana rasanya menjadi kakak sekaligus seorang ibu. Dia pikir tidaklah penting mengulik kehidupan pribadi seseorang yang telah berbaik hati menyelematkan hidupmu dan merawat lukamu dengan penuh welas asih.

"Sehun-ssi"

"hm?"

"Apa kau sudah makan?"

Siang begini kota besar seperti Seoul sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang akan terlihat membereskan urusannya masing-masing. Berlalu lalang dan terlihat tak peduli pada sekitar, sehingga membuat Sehun merasa aneh jika menemukan sosok perhatian seperti Jongin. Ini tidak biasanya untuk dirinya yang terbiasa hidup di kota besar yang jika merasa bosan baru akan mencari teman kencan di klub malam.

Seperti Bae Irene mungkin? Yeoja pertama yang ia kencani saat usianya baru 19. Irene mungkin jatuh cinta, atau merasa perlu memperhatikan Oh Sehun karena namja itu telah membayarnya. Sehingga akan mempedulikan Sehun tentang pakaian kotornya, makanannya, dan juga kebersihan apartment-nya.

Tapi Jongin berbeda.

Dia tak pernah merasa membayar Jongin untuk merawatnya. Jongin dengan secara sukarelawan bertingkah seperti pengasuh bayi besar seperti dirinya yang tengah terluka begini. Bahkan kalau ingat ponsel dan juga dompetnya yang hilang entah kemana, membuat Sehun bertanya-tanya, seperti; Mau sampai kapan dia seperti ini terus?

"pelan-pelan, Sehun-ssi" Jongin tertawa pelan, saat mendapati Sehun memakan sup rumput laut dan aneka lauk pauk serba seafood dengan cara yang sama sekali tidak bisa dibilang elit. "lauknya tidak akan kemana-mana" katanya.

Nenek Kim tertawa geli melihatnya. Dia bilang, Sehun punya selera makan yang bagus dibandingkan adik kecil Jongin yang suka pilih-pilih makanan. Ini kali pertama mereka makan bersama di meja makan sambil duduk bersimpuh di atas tatami.

Keluarga ini begitu hangat, meskipun Sehun tahu jika suami istri Kim itu bukanlah keluarga kandung Jongin—melainkan hanya seperti pengasuh anak-anak dokter Kim Kyungsoo yang sudah meninggal dunia 8 tahun yang lalu.

Nenek Kim memasukan potongan kecil daging abalon matang ke dalam mangkuk Sehun dan Jongdae kecil bergantian. Jongdae merengek kekenyangan, padahal baru beberapa suap nasi masuk ke dalam perutnya.

"Dae, kau harus makan!" kata Kakek Kim. Dia salah satu nelayan tambak yang bekerja di bawah perintah Wu Yifan, ayah dari Kim bersaudara itu. "kalau kau tidak makan kau tidak akan tinggi seperti Sehun hyung"

"Ayo makan, Dae" Nenek Kim berusaha membujuk Jongdae.

Anak kecil memang seperti itu. susah sekali kalau sudah disuruh makan. Tapi Jongin selalu punya cara, seperti menyuapi adiknya makan dan menghabiskan makanannya.

"Kau harus makan" Sehun berkata, dia duduk tepat di samping Jongdae kecil. Tubuh kecilnya berada di tengah-tengah Jongin (di samping kirinya) dan Sehun yang berada di samping kanannya.

Jongdae menoleh, menatap hyung tampan (dia menyebutnya) dengan bibir yang mengerucut. "kalau tidak makan kau tidak bisa jadi namja yang kuat" kata lelaki 26 tahun itu.

Bocah 8 tahun itu terkejut mendengarnya. Buru-buru ia memasukan nasi ke dalam mulutnya sehingga pipinya menggembung penuh makanan.

"Wah, hebat sekali, nak Sehun" Nenek Kim berkata.

"dia harus disuapi dulu baru mau makan biasanya" Kakek Kim ikut menimpali.

Jongin tersenyum simpul melihatnya. Dia kembali menikmati sup rumput lautnya. Merasakan kelembutan tofu dan kuah kedelai yang beraroma khas. Ini adalah makanan favoritnya diantara makanan-makanan buatan nenek Kim.

...

Musim semi tidak pernah terasa sangat dingin di desa Daepo. Di desa yang penuh kehangatan inilah Sehun harus tinggal dan menghabiskan waktu pulihnya selama tak ada satupun anak buahnya yang mengetahui keberadaannya. Dia memang pergi ke Jeju tanpa pamitan, tepatnya saat pulang dari prosesi kremasi ayahnya, Sehun buru-buru ke Pulau Jeju setelah mengetahui kemana orang-orang yang telah menghabisi nyawa ayahnya.

Jika di Seoul ia bisa bertindak semaunya, atau tak pernah berinteraksi dengan tetangga—seperti bertegur sapa. Namun di Daepo dia tidak bisa seperti itu. dia mempelajari bagaimana cara tersenyum pada orang-orang sekitar dari Jongin, remaja baik hati yang ternyata banyak dikenal oleh tetangga-tetangganya.

Kakek dan Nenek Kim pun juga sangat dihormati di sini. Belum lagi Jongin yang sudah seperti seorang dokter, dia selalu dimintai pertolongan orang-orang sekitar jika ada yang terluka.

Pandangannya tentang orang-orang desa yang terisolasi ternyata salah. Nyatanya Jongin adalah anak dari seorang dokter berbakat dan mewarisi kepintaran ibunya yang gemar sekali belajar. Jongin suka buku, ada banyak buku-buku tebal nan usang yang tertata rapih di rak-rak buku besar di rumah ini. Itu semua milik dokter Kim (almarhumah) yang masih dibaca oleh putranya yang manis itu.

"Jongin"

Sehun dengan hakama abu-abu berjalan mendekat. Dilihatnya Jongin sedang menjahit sesuatu di teras rumah. Dan kalau ditelisik lebih mendalam lagi, ternyata mendiang kakeknya Jongin pernah menetap lama di Pulau Hokkaido sehingga nyaris beberapa pakaian yang muat ditubuh jangkungnya adalah hakama peninggalan laki-laki tua itu. Kakek kandung Jongin orangnya tinggi dan gagah, dia juga bukan asli Jeju melainkan pendatang dari Seoul—sama seperti dirinya. Kim Siwon namanya, seorang namja tampan dan bersahaja. Neneknya yang cantik bernama Kim Kibum, juga sudah meninggal 10 tahun yang lalu.

"hm?"

"Apa di sini tidak ada telepon rumah?" Sehun bertanya. Dia ingin menghubungi Chanyeol atau pun Yixing hyung, atau siapa saja yang bisa ia percayakan tentang keberadaannya di salah satu Desa di Seogwipo.

Jongin menggelengkan kepalanya pelan. "Tapi ayahku ada" kata Jongin. Namja manis itu meletakan kain jahitannya di samping kanannya. "kau pasti rindu keluargamu ya" tebaknya. Matanya yang sayu menjadi sendu.

"Tidak" Sehun berkata cepat.

"Oh, kalau begitu aku bisa membawamu ke sana" ujarnya.

Sehun terlihat berpikir.

Dia tidak mau identitasnya sebagai mafia diketahui siapapun selain Jongin.

"Tapi hari sudah mulai petang" kata Sehun. Dia lihat warna jingga mulai mewarnai langit biru.

Jongin mendongak, benar juga.

Tapi ada Sehun bersamanya, dia rasa dia akan baik-baik saja. Lagipula sebagian penduduk desa Daepo juga sudah menggunakan listrik dan kebetulan jalur ke tempat penjagaan tambak ayahnya juga sudah dialiri listrik, sehingga malam pun tidak akan terlalu gelap.

"tunggu di sini" pintanya.

Sehun menurut, terdengar suara Jongin yang berpamitan dan suara rengekan Jongdae kecil yang ingin ikut. Jongin melarangnya, tapi Jongdae menangis. Akhirnya Jongin keluar dan sudah mengenakan mantel yang menutupi tubuhnya yang sudah dibalut yukata. Kemudian ada Jongdae yang sedang ia gandeng dengan wajahnya yang sembab.

"dia merengek minta ikut" kata Jongin.

"Tidak apa-apa"

Tiba-tiba saja Jongdae berlari dan memeluk pinggang Sehun. "Arrghh" Sehun merintih pelan, Jongdae kecil tak sengaja mengenai lukanya yang belum terlalu kering.

"Jongdae!" Seru Jongin.

Jongdae kecil ingin menangis. Tapi Sehun mengusap lembut kepalanya dan berkata jika ia baik-baik saja.

...

(Gangnam Gu, Seoul)

Zhang Yixing adalah dokter kepercayaan keluarga Oh sejak pertama kali ia lulus dari Universitas ternama di Kota Seoul. Dia anak yang pintar, dan mengingat hari dimana ia tengah kesusahan biaya hidup di kota besar—negara Orang. Ia dipertemukan oleh Oh Kyuhyun, seorang namja baik hati yang bersedia menolongnya dengan catatan jika sudah lulus nanti ia harus menemui Kyuhyun di alamat yang tertera.

Dan sebagai manusia yang tak pernah melupakan jasa orang lain. Yixing mendatangi alamat tersebut dan mengetahui jika selama ini, orang yang menolongnya adalah seorang alpha mafia yang sangat terkenal. Kyuhyun tersenyum dan meminta Yixing untuk bekerja menjadi seorang dokter keluarga untuknya dan juga putra semata wayangnya.

Kebutuhannya selalu tercukupi. Kyuhyun adalah orang yang konyol dengan selera humor yang tinggi meskipun nyatanya dia adalah seorang alpha mafia. Mungkin itulah sebabnya mengapa anak buahnya bersikap sungkan, dan setia padanya. Tapi suatu hari hal yang paling menyedihkan pun terjadi. Saat itu ia tengah bekerja menyelesaikan laporan-laporan bisnis halal—ditengah bisnis haram yang dikelola Oh Kyuhyun. Dan mendengar suara gaduh dari mansion besar itu. Namun saat ia masuk, beberapa butler dan maid berusaha menyelamatkan diri dari berondongan senjata orang-orang bertopeng. Dengan ilmu bela diri yang pernah ia pelajari saat di Changsa, diam-diam ia masuk ke dalam kamar Oh Kyuhyun dan mendapati namja 45 tahun itu sudah tewas dengan luka tembak di kepala dan di dada.

"Dia selamat" kata Yixing.

Chanyeol dan Baekhyun menghela napas pelan. Saat ini beberapa anak buah dan pelayan yang masih hidup tinggal di Mansion besar Oh yang terletak di daerah Daegu.

"Syukurlah" Zitao, anggota termuda diantara mereka berkata.

"Kami sempat menghubungi ponsel dan melacak GPS-nya, tapi tidak bisa" Baekhyun, si namja cantik pun ikut menimpali.

Yixing meletakan dokumen-dokumen yang berhasil di kumpulkan oleh beberapa anak buah mengenai perkembangan yang terjadi di luar sana. "ponselnya hilang. Dia sempat teluka, tapi dia baik-baik saja saat ini" kata Yixing.

"apa kita harus menyusulnya? Dia seorang alpha sekarang" Chanyeol bertanya, wajahnya terlihat serius.

Yixing menggeleng, "Sehun meminta kita untuk tidak menyusulnya. Tunggu sampai benar-benar pulih, baru dia akan meminta kita untuk menyusulnya"

...


THE FIRST SIGHT (BAB 2)

"Dia tidur" Sehun baru saja tiba di ruang tunggu. Sementara ia menelpon, Jongin dan adiknya menunggu di ruang tunggu sambil mengobrol dengan seorang resepsionis wanita bernama Nara.

"Oh, iya..tadi dia cerewet sekali" kata Jongin, seraya mengusap sayang rambut hitam Jongdae.

"mungkin Jongdae lelah" ujar Nara. Sambil tersenyum salah tingkah melihat Sehun.

Jongdae tertidur di pangkuan Jongin, sedangkan kedua kakinya berada di antara dua tempat duduk yang disediakan di ruang tunggu. "Dia tidak tidur siang tadi" timpal Jongin, berusaha mengangkat tubuh Jongdae.

"aku bisa menggendongnya" Sehun berkata, menawarkan diri untuk menggendong tubuh kecil Jongdae.

"Tapi lukamu"

"tidak apa-apa" kata Sehun. "lagipula dia kurus, dan tidak masalah bagiku"

Jongin melepas mantelnya dan memakaikannya pada tubuh kecil Jongdae supaya adiknya tidak kedinginan. Sehun benar-benar menggendong Jongdae di punggungnya. Sedikit meringis pelan, namun setelahnya dia tidak merasakan apa-apa. Mungkin Sehun benar, Jongdae terlalu kecil untuk anak seusianya.

...

Lima hari berlalu dari hari dimana Sehun menghubungi rumah. Dan sebuah paket pun datang ke rumah keluarga Kim atas nama OdultOh, nama singkatan supaya tak ada yang bisa melacak namja 26 tahun itu.

2 minggu berada di rumah ini, membawa kenyamanan sendiri bagi Oh Sehun. Dia benar-benar merasakan sesuatu yang namanya keluarga tanpa senjata di sini.

"Sehunie hyung..Sehunie hyung.." suara cempreng Jongdae mengalihkan Sehun dari kotak di tangannya.

"Hm?" tanyanya.

Jongdae mendudukan tubuh kecilnya di samping Sehun. Meskipun Jongin selalu mengenakan Yukata atau pun Hakama, bocah manis ini selalu mengenakan pakaian-pakaian santai seperti kaos oblong dengan celana selutut saat bermain. Atau malah mengenakan piyama tidur kalau sudah sore. Anak ini sangat menggemaskan, dan selalu berceloteh ria sampai Oh Sehun yang kaku di hadapan anak kecil saja jadi terbiasa dengan kehadirannya.

"Kata nenek ada paket untukmu ya? Apa itu hadiah dari ayahmu?" tanyanya, dengan tatapan polos.

Ayah, ya?

Mungkin hadiah yang ada di pikiran polos Jongdae adalah mainan-mainan lucu yang selalu didapatkan Jongdae sebagai hadiah natal dari ayahnya. Itu adalah hal yang umum, di Seoul bahkan banyak para ayah yang selalu memberikan hadiah berupa mobil-mobilan untuk anak laki-lakinya.

Tapi Ayahnya?

Sehun tidak ingat kapan ia pernah memainkan boneka ataupun mobil remot kontrol dari ayahnya. Pertama kali ia dapatkan hadiah dari ayahnya adalah sebuah airsoft gun untuk mendukung hobi menembaknya. Sebuah hobi yang tidak lazim untuk seorang bocah 7 tahun saat itu.

"bukan" Sehun menggelengkan kepalanya. Lelaki berhakama biru tua itu membuka kotak putih di tangannya dan menunjukan sebuah benda persegi panjang berwarna putih metalic.

"Huwoohh, ponsel" Jongdae berseru. "Mirip punya ayah" katanya lagi. Dia mulai berceloteh tentang ponsel ayahnya yang canggih dan bisa memotret dirinya atau permainan-permainan game di ponsel itu.

"Jongdae mau punya ponsel" katanya. "tapi Jongie hyung tidak mengizinkan Jongdae punya ponsel"

"kenapa?"

"katanya Jongdae masih kecil" ia merenggut lucu.

"kau bisa pinjam milikku" ujar Sehun.

Jongdae membulatkan kedua matanya. "benarkah? Tapi kan musim panas nanti Jongdae memasuki sekolah ajaran baru, itu artinya Jongdae harus belajar" katanya.

"Kau tetap bisa memainkan ponselku tanpa sepengetahuan kakakmu"

Mata hitamnya terlihat bersinar.

"Aaaaa, Jongdae sayang hyung" bocah kecil itu memeluk pinggang Sehun.

...

Tidak banyak kejutan yang terjadi hari ini. Hanya Sehun yang mendapati dirinya terbangun di pagi hari dan mendapati Jongin tengah menimba air di sumur. Jongin selalu melakukannya, meskipun yang Sehun tahu tidak di pagi hari yang dingin ini.

"Jongin-ah"

Jongin menjatuhkan ember di tangannya hingga terbelah menjadi dua. Air tumpah kemana-mana, bahkan yukata yang ia kenakan pun basah dan menjiplak tubuh rampingnya.

"Se..Sehun-ssi" ia tergagap.

Tubuhnya agak bergetar—ketakutan. Berupaya sekuat tenaga untuk menyembunyikan ketakutannya, namun Sehun tetap tahu apa yang terjadi pada namja manis itu.

"Ini masih pagi" kata Sehun. Wajahnya yang pucat menatap Jongin yang menundukan kepalanya.

Ya, pagi sekali.

Bahkan matahari masih malu-malu menunjukan dirinya di ufuk timur.

"a..aku"

"hey?"

Terdengar isakan kecil yang membuat Sehun terkejut mendengarnya. "Jongin?" ia memiringkan kepalanya mencoba melihat wajah sembab itu.

"Sehun-ssi"

Dengan tiba-tiba Jongin memeluk tubuhnya. Membuat Sehun terkejut bukan main dan nyaris saja jatuh jika tidak sigap. Jongin menangis sesunggukan, tubuhnya bergetar seolah ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.

.

.


In The Silent (BAB 1)

.

.

.

Sehun sedang memikirkan apa yang baru saja Nenek Kim katakan mengenai trauma yang pernah Jongin alami.

Kejadian tadi pagi membuat Jongin mengurung diri di kamar, entah merasa takut, atau pun malu karena tanpa sengaja telah menunjukan betapa lemahnya dia.

"nenek harap kehadiran nak Sehun di sini bisa menjaga Jonginie dan juga Daeie dari orang-orang yang berniat jahat padanya" kata nenek Kim.

Selama Jongin mengurung diri, Sehun lah yang membantu nenek Kim menyiapkan makan siang untuk keluarga ini.

"saat itu Jonginie masih berusia 13 tahun" Nenek Kim bercerita.

Masih sangat muda, pikir Sehun.

Sampai nenek Kim bercerita tentang trauma Jongin saat anak itu berusia 13 tahun. Jongin pernah nyaris diperkosa saat tengah mengambil air di sumur. Pagi hari, atau malah pagi buta saat kejadian itu terjadi.

Seseorang mendekap tubuhnya dari belakang dan mencumbui tubuh rampingnya setelah merobek yukatanya. Untung saja Paman Jang, yang tinggal tak jauh dari rumah Jongin pun melihatnya. Ia berteriak minta tolong sehingga para penduduk pun berkumpul dan memukuli namja mesum itu sambil merutuk. Jongin menangis sesunggukan di pelukan nenek Kim. Dia masih sangat kecil saat itu, jadi yang bisa ia lakukan hanya menangis dan menyesali apa yang telah terjadi padanya.

...

"Hey" Sehun berjalan dengan sebuah nampan dan meja kecil pada masing-masing tangannya. dia terlihat kesusahan, namun tak terdengar komplain dari bibirnya.

Jongin tengah duduk bersimpuh—menghadap keluar jendela, sambil melamun sedih. Dia menoleh dan mendapati Oh Sehun tengah menata meja lipat kecil dan menata makanan di atasnya.

"ayo makan" ajak Sehun. Dia sengaja membawa dua piring makanan sekaligus untuk menemani Jongin menikmati makan siangnya.

"aku minta maaf" ucap Sehun. Dia duduk di samping Jongin. Biar bagaimana pun kejadian tadi pagi itu adalah kesalahannya. Dia mengagetkan Jongin, dan membuat Jongin teringat kembali akan kejadian 5 tahun silam yang pernah menimpanya.

Jongin menoleh, "i..itu bukan kesalahanmu, Sehun-ssi" sahutnya. Meralat permintaan maaf Sehun padanya.

"Aku hanya terkejut dan kejadian itu seperti terulang kembali di dalam otakku" ia berkata pelan.

Suasana sudah tidak canggung, Jongin sudah mau bicara padanya. Dalam keheningan Jongin menikmati makan siangnya, sementara Oh Sehun duduk bersila di hadapannya persis.

Jika para yeoja melihatnya, mungkin akan berteriak gila dan menyatakan cinta. Tubuh tegap, putih bersih bak porselein itu terbalut baju hakama biru muda yang tampak cocok untuk tubuh tinggi dan tegapnya itu.

"Jongin"

Jongin mendongak, bibirnya basah karena menyeruput kuah sup rumput laut. Sehun terlihat sangat tampan, dan membuat wajah manisnya terasa panas. Mungkin saja akan ada efek rona merah seperti udang rebus.

"Y..ya?"

"apa kau mau menemaniku ke dermaga ikan?"

"dermaga ikan? Apa Sehun-ssi ingin membeli ikan?"

Wajahnya terlihat polos. Sehun menggelengkan kepalanya dengan senyum terpatri. Aigoo, Sehun tahu alasan pria itu nyaris memperkosa Jongin. Sayangnya Oh Sehun namja kuat yang bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"Tentu saja tidak" katanya. Ada banyak ikan yang bisa ia beli dari tetangga-tetangga Jongin. Bahkan kakek Kim saja juga sering berlaut di malam hari untuk mencari ikan bersama paman Jang dan beberapa warga desa lainnya.

"ada sesuatu yang harus ku lakukan di sana" kata Sehun, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Jongin, berbisik.

...

(Pengawasan Tambak Ikan, Seogwipo)

"Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari ku kan?" Wu Yifan menatap tajam putra tertuanya yang tengah menundukan kepalanya.

"JONGIN!"

Jongin mendongak, tapi tidak untuk menatap mata ayahnya karena rasa takutnya. Ayahnya orang yang tegas, dengan mata yang tajam dan penuh intimidasi bisa membuat nyali orang-orang ciut.

"A..aku"

Yifan tidak pernah habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang naif seperti mendiang istrinya yang selalu menolong orang lain—bahkan orang-orang yang baru ia kenal. Dan sekarang putranya sendirilah yang menuruni sifat terpuji itu.

Bilamana disandingkan dengan Kyungsoo, Yifan selalu merasa malu. Seolah Kyungsoo adalah lambang dari segala yang baik-baik, sementara Yifan hanya sosok namja egois dan keras kepala.

Ia pikir Jongin akan tumbuh menjadi seorang namja egois dan keras hati seperti dirinya. Namun entah bagaimana bisa sifat Kyungsoo malah lebih mendominasi putra sulung mereka yang tumbuh menjadi remaja manis yang pernah nyaris diperkosa orang.

"kau menolong orang lain yang tidak kau kenal? Dan kau membiarkannya tinggal bersama kalian?" Yifan bertanya, raut wajahnya mengeras.

"kau tahu apa yang kau lakukan ini adalah suatu kesalahan?"

Jongin mengangguk pelan.

"Tapi—"

Yifan mengusap kasar wajahnya.

Dia memang tidak pernah punya waktu untuk menilik bagaimana kedua putranya tumbuh. Dan itulah sebabnya mengapa ia tak berani memarahi putra-putranya karena merasa tak punya cukup andil dalam merawat mereka.

"Kim Jongin, apa yang membuatmu sebodoh ini"

Banyak hal yang tidak masuk akal (menurutnya) yang selalu dilakukan Jongin sejak ia kecil. Seperti menolong cacing di lumpur tanah, atau menolong anak penyu yang tersesat di pantai. Padahal jika dipikir sekali lagi, penyu yang baru menetas kan memang dengan sendirinya berjalan menuju pantai ke laut lepas kan?

"kau sadar tidak?"

Jongin mengangguk.

"tapi orang itu terluka" katanya. "A..aku tidak tega membiarkannya mati. Ibu bilang kita harus saling menolong" seolah memberikan penjelasan pada Yifan, jika ia hanya mengikuti kata-kata ibunya dibandingkan ayahnya.

"Siapa namanya?" tanya sang ayah, akhirnya pasrah dengan segala sifat polos dan kebaikan putranya.

Jongin nampak berpikir. "Dia amnesia" kata Jongin, dari semua sifat terpujinya baru kali ini ia berbohong. Dalam hati ia berdoa, agar ayahnya tidak tahu jika ia tengah berbohong.

"nenek Kim memberinya nama Sehun" katanya lagi.

Ia menggigit bibir bawahnya tanpa ada niatan melukainya.

Yifan menghela napas pelan.

Ia pun memberikan sebuah bungkusan berisi beberapa mainan untuk putra bungsunya.

"ibu tidak suka ada banyak mainan di rumah" kata Jongin.

Mendiang ibunya memang sangat kolot dan suka mengajari putra sulungnya bermain dengan alam.

"ini untuk adikmu" ujar Yifan. "lagipula ibumu juga sudah tidak ada. Siapa yang akan melarangnya bermain?"

Jongin mengepalkan kedua tangannya hingga buku jarinya memutih. "Ibu memang sudah tidak ada. Tapi ibu selalu ada di hati kami" kata Jongin, dengan senyum terpatri.

Yifan terlihat salah tingkah. Dia menyadari jika apa yang telah ia katakan adalah kesalahan

"Aku permisi, Tuan Wu" Ia membungkuk hormat.

Tatapan namja 40 tahun itu terlihat sendu menatap punggung sempit putranya. 'Aku ayahmu, Jongin' batinnya berkata sedih.

...

"Jongdae bilang ayahmu tidak menyukai keberadaanku, ya?"

Jongin yang sedang menjemur rumput laut menoleh, terkejut mendengar pertanyaan Sehun yang terdengar seperti menuntut jawaban Ya atau Tidak, tanpa alasan yang berbelit-belit.

"Ah, itu" Jongin menjeda kalimatnya. Kemudian berbalik badan setelah meletakan sejumput rumput laut ke atas tiang penjemur khusus untuk menjemur rumput laut.

Terdengar helaan napas pelan dari hidung bangir namja itu. "Tuan Wu pikir keberadaanmu bisa membahayakan untuk kami"

"Tuan Wu?"

"Ayahku" Jongin meralat. "Ibu selalu memanggilnya dengan sebutan Tuan—aku juga"

Sehun merpikan rambut dark blue-nya yang diterpa angin. "dia benar" katanya, dengan senyum di wajah tampannya.

Ya, pikir Jongin sambil merenung. Tapi keberadaan Sehun di sini entah mengapa membuatnya merasa terlindungi terlepas status Sehun sebagai salah satu anggota mafia. Itu artinya hidup bersama Sehun tidak selalu aman, kan.

"aku seorang alpha, Jongin. Seorang pemimpin"

"Kau pasti bercanda" kata Jongin, terkejut.

Sehun menggeleng, "dibagian mananya aku bercanda?"

Ini terlalu dramatis, pikir Jongin. Dia menolong seseorang yang tidak ia kenal, merawatnya, berkawan dekatnya, dan kemudian dengan gamblangnya orang itu berkata 'Aku seorang alpha mafia, Jongin' nice, lelucon macam apa itu?

Jongin tatapi dua maniks hitam milik Oh Sehun. Tidak ada tanda-tanda candaan di sana. Sehun mendesah pelan, "kau mungkin tidak percaya" katanya, pasrah.

"makanya besok pagi antar aku ke dermaga" katanya lagi.

Ah, iya..

Sehun memang memintanya untuk ditemani pergi ke dermaga ikan yang terletak di bagian Utara. Dibagian itulah yang agak sepi. Seingat Jongin di sana juga sering ditemukan mayat-mayat mengambang tanpa identitas.

'dia tidak mungkin membunuhku, kan?' batinnya bermonolog.

"kakakku akan datang" ujar Sehun.

Jongin menatap Sehun tak percaya. "kau punya kakak?"

"kau akan tahu kakak seperti apa yang ku maksud" ujar laki-laki yang selama tinggal di Daepo harus mengenakan hakama peninggalan makelar terhormat di desa ini.

.

.

.


In The Silent (Bab II)

"Well" Chanyeol menatap Sehun dari atas ke bawah.

"Demi apa ini kau, Sehun?" tanyanya.

Sehun memutar mata bosan. Di sampingnya ada Kim Jongin yang mengenakan yukata bermotif floral dengan warna dasar putih. Dia juga mengenakan mantel untuk mencegah tubuhnya menggigil mengingat hari ini masih sangat pagi, dan air laut di bawah sana terlihat biru gelap seperti cermin. Mungkin jika salah satu dari mereka terjatuh rasanya seperti beku.

Yixing menepuk pelan bahu Sehun. "aku senang kau baik-baik saja" katanya, ia berikan pelukan BroHug pada laki-laki yang lebih muda 2 tahun darinya itu.

Ada Chanyeol, Yixing, dan beberapa anak buahnya yang menyamar menjadi nelayan ikan dengan sebuah kapal pencari ikan yang Sehun tidak tahu dapat darimana. Tapi selama ada Chanyeol dan ide gilanya itu tidak akan dipermasalahkan. Chanyeol memang gila, tapi idenya itu sangat bermanfaat untuk mereka.

"dan siapa ini?" Yixing beralih menatap Jongin.

"ini Kim Jongin, dia yang merawatku selama ini" Sehun berkata.

Jongin terlihat malu.

"dia manis. kau pintar sekali, Sehun" kata Chanyeol. "dia juga tidak cerewet seperti Baekhyun"

"Aku dengar itu, Yoda idiot!" seruan cempreng terdengar dari dalam kapal.

Chanyeol tertawa salah tingkah.

"Aku Chanyeol" (menyebut marga pada orang yang baru tidak dikenal itu tidak disarankan untuk mafia seperti mereka)

Ia hendak menyalami Jongin, namun Sehun buru-buru menepis tangan Yoda itu. matanya sedari tadi menatap seolah ingin menelanjangi tubuh ramping Jongin yang dibalut yukata.

"Yixing" Yixing berhasil menyalami Jongin, dia yang paling dewasa meskipun agak pelupa.

"Sehun pilih kasih, Yixing hyung boleh, aku tidak" Chanyeol mencebikan bibirnya—sok ngambek.

"Well, mungkin Jongin bisa mengobrol dengan Baekhyun dulu di dalam" kata Yixing, mengingatkan mereka untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting.

...

Di dalam kapal Jongin tidak tahu harus bagaimana, sesekali ia menanggapi tingkah Baekhyun yang nyaris sebelas dua belas dengan adik kecilnya di rumah.

"kau manis, pasti Sehun sangat betah berada di dekatmu ya" Baekhyun berkata, terkikik geli akan kata-katanya itu.

Amber noona, salah satu yeoja berwajah tomboy pun hanya menghela napas pelan. Baekhyun memang centil dan cerewet. Melihat Jongin yang kebingungan pun membuat yeoja tomboy itu mengambil sepiring cheese cake yang ia beli saat di Mokpo.

"Abaikan saja Baekhyun" ujarnya. "kau mau cheese cake? Aku membelinya saat di Mokpo"

"t..terimakasih noona" ucapnya.

Jongin menolak, dia tidak lapar. Amber tersenyum manis, "berapa usiamu?" tanyanya.

"18 tahun"

"Wah, muda sekali ya" gumam Amber.

"Ahh..kita sepantaran Jongin" Baekhyun berkedip-kedip imut.

Amber berdecih pelan, "sadar usia, Byun!" serunya.

...

"Kau yakin akan tinggal di sini?" Yixing menatap sanksi namja muda itu.

Chanyeol bergidik ngeri saat Sehun berkata jika ia ingin tinggal di Daepo untuk beberapa waktu.

"kau tidak sedang menghindari kenyataan jika kau seorang alpha, kan?" namja Yoda itu bertanya.

Sehun menggeleng, "tentu saja tidak" katanya.

Lalu berkata, "entah kenapa aku merasa jika aku pergi mereka tidak akan baik-baik saja"

"justru karena kau disini dia dalam bahaya" desis Yixing.

Sehun tersenyum sekilas. "sejak bersamanya entah mengapa naluriku seolah kembali berfungsi"

"kau tidak sedang jatuh cinta kan?" Chanyeol berusaha menebak.

Akan jadi seperti apa kalau Mafia seperti Oh Sehun yang terkenal tangan dingin dalam membunuh orang itu jatuh cinta? Pada seorang namja polos macam Kim Jongin lagi.

Sangat tidak masuk akal, pikir Yixing sambil memperhatikan profil sempurna wajah tampan kedua adiknya itu.

"jangan gegabah, Hun" hanya itu yang ia katakan.

Chanyeol tampak jengkel. "aku tak mengerti apa yang sedang kau pikirkan, Hun" tukasnya.

"aku akan memantaunya lewat ini" Sehun menunjukan ponsel mahalnya yang dikirimkan Yixing beberapa waktu yang lalu.

"benar" Yixing menyahut. Dia memberikan sebuah pistol ke tangan Sehun. "jaga dia baik-baik" pesannya.

...

Hari sudah menjelang malam. Nenek sudah tidur, Jongdae pun juga. Sementara kakek Kim sedang pergi mencari ikan bersama teman-temannya.

Hanya tersisa Jongin dan Sehun saja yang masih terjaga, duduk-duduk di atas gubuk kecil dimana kakek Kim menyiapkan jaring ikan sebelum pergi ke laut.

"kakak-kakakmu tidak menyeramkan" ujar Jongin, memecah keheningan malam.

Sehun menoleh, "kau tidak tahu seberapa sering darah mengotori tangan mereka"

Jongin mengangguk, dia mengerti maksud Sehun. Tapi dari semua gambaran-gambaran seram mengenai pack-pack mafia, melihat kakak-kakak Sehun, Jongin rasa mungkin itulah yang akan ia sebut 'Mafia Untold Story'.

"Jongin" Sehun sebut nama itu.

"hm?"

"Apa kau senang aku ada di antara kalian?"

"tentu saja" jawabnya. Namja manis itu menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh Sehun. "aku senang kau di sini. Kau orang yang dewasa, dan selalu membantuku menghadapi manjanya Jongdae"

Sehun tersenyum, "jika aku pergi?"

"A..apa?" Jongin mengangkat kepalanya, dan menatap tak percaya.

"Kau akan pergi?" tanyanya.

"entahlah" kata Sehun. "jika aku pergi, aku takut jika ada pack lain yang mengganggu keluargamu"

"Jangan pergi!" bisik Jongin. "Aku tak mau sendiri"

...

Naluri keibuan Jongin tersalurkan sepenuhnya untuk sang adik yang tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Dia selalu berkata pada nenek Kim seperti, "Aku senang memiliki seorang adik seperti Jongdae. Tapi dibandingkan adik, orang lain lebih mengira dia anakku" diselingi tawa di wajah manisnya.

Jongin pergi ke dapur untuk meletakan barang-barang belanjaan yang ia beli di pasar bersama Jongdae. Adik kecilnya itu terlihat sedang asyik bermain yuyu (kepiting-kepiting kecil) yang mereka beli di pasar.

"kau baru bangun?" tanya Jongin, sekaligus sapaan untuk namja tampan yang baru saja keluar dari kamar tamu dengan rambut dark blue nya yang masih terlihat acak-acakan.

Sehun menguap, "dimana nenek dan kakek?" tanya Sehun, biasanya pagi-pagi begini Sehun akan pergi membantu nenek Kim mengupas cangkang abalon di depan rumah atau malah membantu kakek Kim membuat jaring-jaring ikan untuk mencari ikan di laut.

"mereka akan menginap di rumah bibi Noh" ujar Jongin.

"menginap?"

"hum" Jongin mengangguk.

"kapan perginya?"

"tadi pagi—dengan mobil bak milik paman Jang"

Suara derap kaki kecil terdengar memasuki rumah. Jongdae yang lari memasuki rumah berlantai kayu itu sambil menjerit. Wajahnya yang sembab, pertanda dia baru saja menangis.

"Huhuhu..hyung"

Jongin terkejut, ia menyamakan tingginya dengan tinggi Jongdae.

"Ada apa, Dae?"

"Yuyu itu menggigit jariku" adunya. Ia memperlihatkan jari telunjuknya yang mengeluarkan darah. Mungkin yang dimaksud menggigit itu dicapit.

"kan sudah hyung bilang, Yuyu itu berbahaya" katanya.

Jongdae memang sering gemas melihat binatang-binatang laut. Jika Jongin membelikannya seekor ikan, pasti dalam waktu 2 jam kemudian ikan itu sudah menjadi bangkai karena Jongdae yang terus menangkap ikan kecil itu dan memencet tubuh ikan malang itu saking gemasnya. Mungkin tadi Jongdae hendak memperlakukan Yuyu itu seperti ikan-ikan kecil yang pernah ia miliki. Tapi ternyata Yuyu itu lebih dulu melukai tangannya hingga berdarah. Jongdae yang malang..

"Anak malang" ujar Sehun. Jongdae sedang tidur siang di kamarnya. Sementara Sehun dan Jongin minum teh di dapur.

"aku sudah mengobati lukanya" tukas Jongin.

Jongin tiba-tiba menyadari jika ia belum memasak makan siang untuk mereka bertiga. Tapi Sehun menahan pergelangan tangannya, dan meminta Jongin duduk dan menemaninya mengobrol.

"kau tidak lapar?" tanya Jongin. Dia baru ingat jika Sehun belum makan apa-apa.

"tidak"

"aku bisa membuatkan mu sup rumput laut kalau kau mau"

Sehun menggeleng, "tidak perlu" katanya.

"tapi jika kau mau masak juga tidak apa-apa. Jongdae pasti lapar"

Jongin tertawa pelan. "kau tau sendiri kan anak itu bagaimana" sahutnya.

...

"dia baik-baik saja"

Yifan menatap Junmyeon dan tersenyum. Hati Junmyeon luluh untuk yang kesekian kalinya. Yifan orang yang jarang tersenyum, tapi andai namja itu tersenyum pasti akan terlihat tampan.

"Syukurlah" yeoja berkulit putih susu itu menghela napas pelan.

"Jin bilang ia melihat ada beberapa orang mencurigakan di pesisir selatan 2 minggu yang lalu. Aku hanya takut jika Jongin berhadapan dengan orang-orang mencurigakan itu" Junmyeon berkata.

Yifan mengusap lembut punggung sempit istrinya yang tengah ia dekap di atas ranjang. "Aku juga" katanya. "tapi entah kenapa ada sesuatu dalam hatiku yang berkata jika ia akan baik-baik saja"

Mata hitam kecoklatan Junmyeon menatap wajah tampan Yifan. "dia masih terlalu polos" tukas Junmyeon, dengan senyum di wajahnya.

"mirip sekali ibunya" kata Yifan.

Tubuh Junmyeon menegang saat Yifan menyebut sosok wanita yang telah melahirkan dua orang putra untuk suaminya itu. Dia membenci Kyungsoo, sangat, seorang dokter cantik yang telah merebut suaminya. Terlepas dari paksaan ketua clan yang menginginkan keturunan dai pewaris tunggal Wu.

Junmyeon tak pernah membiarkan Kyungsoo tinggal di rumah besar ini. Jahat memang, karena bagi Junmyeon hanya dialah nyonya besar Wu. Bukan Kyungsoo.

"sayang?"

Junmyeon tersadar akan lamunannya.

"kau melamun?" tanyanya.

...

"ibumu cantik" puji Sehun.

Jongin yang sedang memperlihatkan album foto-foto ibunya semasa hidup pun tersenyum bangga.

"itulah yang sering ku dengar"

"Tapi ibumu memang cantik"

Oh, Tuhan...

Wajah Dokter Kim sangat cantik dengan maniks bulatnya yang menggemaskan. Mirip sekali Jongin, bibirnya, matanya, senyumnya. Tapi tidak dengan warna kulit, Jongin yang tan, sementara dokter Kim berkulit putih bersih seperti yeoja-yeoja Korea kebanyakan.

"kau mirip sekali dengan ibumu" ujar Sehun.

Jongin tertawa kecil. "Padahal jika aku mirip Tuan Wu pasti aku akan tampan dan gagah sekali seperti dia"

Sehun mengusap lembut rambut Jongin. "seharusnya kau bangga karena kau mirip ibumu. Dia orang yang baik sepertinya"

"tentu saja" kata Jongin. "ibuku meninggal setelah beberapa menit melahirkan Jongdae"

"Turut berduka mendengarnya, Jongin"

Jongin menyandarkan tubuhnya pada sofa tua di rumah itu. rumah tradisional ini cukup besar, dan Sehun berani bertaruh jika di jaman dulu rumah ini adalah rumah termewah yang pernah ada di Daepo.

Kalau mengingat masa kecilnya yang bahkan tidak tahu siapa ibu kandungnya. Terkadang Sehun merasa iri. Meskipun dokter Kim sudah meninggal, Jongin masih bisa menunjukan album-album foto ibunya sebelum ia meninggal.

Sementara dia tidak tahu seperti apa ibunya itu. Bahkan sampai saat ini Sehun tidak tahu dimana ibunya berada. Apakah masih hidup? Atau sudah berpulang. Namun Sehun tidak mau mencari informasi mengenai ibunya dan mencoba menyingkap rahasia itu untuk yang ketiga kalinya. Karena dari yang sudah-sudah, selalu menunjukan hasil nihil yang hanya buang-buang waktu.

"aku jadi sering terjaga sampai malam hari sejak kau di sini" ujar Jongin, seraya menutup buku album itu. ruang tengah masih menyala lampu, karena malam ini lagi-lagi mereka memutuskan untuk terjaga. Mungkin pukul 3 pagi nanti mereka baru akan masuk ke kamar masing-masing dan tidur.

"Apa kau mengantuk?"

Jongin menggeleng, "Tidak..tapi aku lelah" jawabnya.

Sehun menarik Jongin untuk menyandarkan kepalanya pada bahu kokohnya. "aku tidak lagi merasa sepi"

Sehun mengelus tangan Jongin—lembut.

"Sehun-ssi?"

"ya?"

"Apa kau pernah merasa kesepian?"

Jongin hanyalah remaja polos yang terpaksa harus menjadi orang yang tegar dengan segala macam masalah yang harus ia jalani. Pertama ayahnya yang tak pernah memperhatikan dirinya, kedua ibunya yang menyayanginya telah meninggal, dan yang ketiga Jongin harus menanggungnya seorang diri.

Dari luar dia nampak kuat seperti batu. Tapi tidak dengan hatinya. Hatinya rapuh dan kesepian. Dia nyaris sama seperti Oedulgae, batu karang dengan tinggi 20 meter yang menonjol di pantai selatan kota Seogwipo yang lebih di kenal dengan nama batu kesepian. Ya, batu kesepian di tengah-tengah deburan ombak yang riuh dan beriak.

"setiap manusia pernah merasakannya, Jongin" ujar Sehun.

Jongin menutup kedua matanya. Dengan adanya Sehun dia bisa bersandar saat merasa lelah. Bukan hanya tubuhnya tapi juga hatinya yang kecil itu. entah harus sampai kapan Jongin seperti ini, Sehun seorang mafia suatu hari nanti namja Oh itu harus segera pergi dengan berbagai macam alasan atau pun tidak sama sekali.

"sejak aku kecil aku tak pernah tahu seperti apa rupa ibuku"

"kau pasti sangat kesepian"

"itulah kenapa aku tahu seperti apa rasanya menjadi Jongdae. Manjanya adikmu itu karena dia ingin mendapatkan perhatian lebih selama ia tidak pernah merasakan perhatian dari ibunya"

Jongin mengangguk setuju.

"tapi aku punya ayah" kata Sehun. "dia menyayangiku meskipun caranya berbeda dari ayah-ayah yang lain"

"ayahku tak pernah kemari sejak aku kecil"

"kenapa?"

Jongin tersenyum miris. "ibuku hanya istri kedua yang terpaksa ia nikahi karena perjodohan. Dia..dia tak pernah mencintai ibu"

Apa dulu ayahnya juga seperti itu? Sehun bermonolog dalam hati. Betapa sedihnya jika ia harus membayangkan ayahnya yang mafia itu menyakiti hati seorang yeoja yang telah melahirkan putranya.

"Tapi setidaknya aku punya ayahku/ibuku" Sehun dan Jongin saling memandang, mereka baru saja berkata bersamaan. Kemudian tertawa, entah apa yang lucu. Namun keduanya berpikir, jika mereka sama-sama pernah merasakan hidup yang sepi. Mengapa tidak mencoba untuk bersatu?

Jongin menoleh saat merasakan sesuatu menggenggam tangannya. Itu tangan Sehun, terasa dingin, namun sangat nyaman kala telapak tangan itu menggenggamnya begitu erat.

"Apa menurutmu setiap orang mampu bertahan di tengah kesepian?" Tanya Sehun.

"Sometimes in life, I love to be alone. But I don't wanna live life in lonely"

"I know" Sehun menyahut. "So, do I"

Jongin menatap maniks hitam itu dengan seksama. "Jadi, Kim Jongin" Sehun sebut namanya, seperti bisikan. "Bisakah kita menghadapi ini bersama?"

.

.

Batu yang kesepian..

Batu yang kesepian..

Diterjang ombak yang besar..

Batu yang kesepian, terlihat kokoh menjulang..

Batu yang kesepian, selalu kuat meskipun seorang diri.. Tapi kita tidak akan pernah tahu, sampai kapan batu itu berdiri tegak di tengah hantaman ombak..

Batu yang kesepian, umpama seseorang yang mencoba bertahan menghadapi kesunyian di tengah hingar-bingar kota. Diluar terlihat kuat, Namun begitu rapuh di dalam. Hanya tinggal menunggu waktu, menghilang, atau dilupakan.

.

.

END FOR THIS CHAPTER

.

.

A/N

Aii..

I know, ini fic absurd yang sama sekali gak layak di Publish.

Tapi Entah kenapa aku merasa harus posting fic ini bagaimana pun jadinya. Ini sebenarnya koleksi lamaku. Dan masih ada banyak fic-fic oneshoot lainnya yg udah siap pub, tapi sama sekali belum punya kesempatan buat pub. Kalo ada yang nanya, kok sering update cepat? Well, aku memang aneh. Aneh banget. Kenapa? Karena aku sering menuangkan semua perasaanku lewat tulisan-tulisan gak bermutu seperti ini. Jadi kalo ada yg nanya alur? Well, aku rasa memang Cuma feelingku aja yang tau*Lol (gaya banget kamu Joy!). dan sepertinya tahun ini adalah tahun terberat buat aku. Apalagi agak pesimis waktu ikut test kemarin:(

Ada yang mau request pairing buat Chapter depan?*Lol