Title: A Perfect Mess

Chapter III

Cast: Jaehyun Jung; Lee Taeyong; Eunji Jung; Hansol Ji; Taeil Moon; Johnny Seo

Pairing: Jaehyun x Taeyong

Rating: T+ / M

Warning: MxM. Mature content. Alternative Reality. Out of character. Typo everywhere.

Remake dari Tangled

~o.'0'.o~


Aku yang menentukan nasibku sendiri. Kehendak. Kendali. Aku menentukan kemana jalan hidupku. Aku memutuskan kegagalan dan kesuksesanku. Persetan dengan nasib. Takdir bisa enyah selamanya.

Jika aku sangat menginginkan sesuatu, aku bisa mendapatkannya. Jika aku fokus, berkorban, tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Kalau kalian tanya, apa maksud dari sikapku? Sebenarnya apa yang coba kukatakan?

Singkatnya: aku mengendalikan kejantananku. Kejantananku tidak dapat mengendalikanku. Itulah yang telah kukatakan pada diri sendiri selama satu setengah jam terakhir.

Lihat aku di sana, di mejaku. Bergumam tak jelas seperti penderita skizofrenia kehabisan obat?

Aku sedang mengingatkan diri sendiri pada prinsip hidupku, keyakinan suci yang membuat aku bisa sampai sejauh ini dalam hidup. Prinsip yang telah membuatku sukses tak terbantahkan. Di ranjang dan di kantor. Prinsip yang tidak pernah mengecewakanku sebelumnya. Prinsip yang setengah mati ingin kubuang ke luar jendela saat ini juga. Semua karena karyawan baru yang berkantor diseberang lorong.

Lee Taeyong.

Ini tidak menyenangkan.

Karena tidak peduli betapa parahnya aku menginginkannya, tidak peduli betapa keras nafsu mencoba menguasaiku. Ini bukan sesuatu yang ingin kubawa ke tempat bisnis. Tempat suciku. Rumah keduaku. Itu tidak akan terjadi. Titik.

Itu saja. Diskusi selesai.

Kasus ditutup.

Lee Taeyong secara resmi dicoret dari daftar partner ranjang potensialku. Dia terlarang. Tak tersentuh. Sama sekali. Pemuda itu berada tepat disebelah daftar rekan kerja, mantan pacar teman-temanku, putri bos, dan sahabat baik kakakku.

Well, meski sebenarnya untuk kategori terakhir itu sedikit masuk wilayah abu-abu.

Kalian mau mendengar alasannya? Baiklah.

Ketika aku berumur delapan belas tahun, sahabat Eunji-nuna, Hayoung, menghabiskan musim panas di rumah kami. Si Menyebalkan tidak pernah tahu bahwa sahabatnya datang ke kamarku pada jam dua malam. Gadis itu memiliki mulut yang sangat berbakat. Dia bahkan membuatku klimaks hanya dengan mulutnya. Aku hanya berfikir, bagaimana kalau sampai dia tahu, akan ada konsekuensi yang mengerikan—aku sedang membicarakan tentang siksa neraka di sini—yang akan menimpaku.

Omong-omong, sampai di mana aku?

Oh benar. Aku menjelaskan bahwa aku telah mengambil keputusan yang tegas bahwa Lee Taeyong, sayangnya, tidak akan pernah aku tiduri. Dan aku baik-baik saja dengan itu. Sungguh. Dan aku hampir saja percaya pada diriku sendiri.

Sampai dia muncul di pintuku.

Ya, Tuhan.

Taeyong memakai kacamata. Kacamata itu akan terlihat culun dan tidak menarik untuk kebanyakan orang. Tapi tidak untuk Taeyong. Ia justru terlihat menggemaskan.

Saat ia mulai bicara, pikiranku tiba-tiba penuh dengan segala macam fantasi mengenai adegan tak senonoh antara siswa dengan gurunya.

Sementara semua ini terjadi di kepalaku, ia masih bicara.

Apa sebenarnya yang dia katakan?

Aku memejamkan mata agar tidak menatap bibir tipisnya. Sehingga aku benar-benar dapat memproses kalimat yang keluar dari mulutnya:

"...ayah bilang kau bisa membantuku dengan itu." Dia berhenti dan menatapku penuh harap.

"Maafkan aku, perhatianku terpecah. Kau ingin duduk dan bicara sekali lagi?" Tanyaku, suaraku tak pernah mengkhianati gairah yang ada dalam diriku.

Sekali lagi, untuk para wanita di luar sana—ini fakta untuk kalian: Pria memikirkan hubungan seks pada otak mereka nyaris 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Intinya adalah, ketika kalian bertanya, "Apa yang kau inginkan untuk makan malam?" kami berpikir tentang bercinta denganmu di meja dapur. Ketika kalian memberitahu kami tentang film romantis yang kalian tonton pekan lalu, kami berpikir tentang film porno yang dilihat di tv kabel tadi malam. Kupikir kalian ingin tahu.

Taeyong duduk di kursi di seberang mejaku.

Jangan melihat sesuatu diantara kakinya, jangan melihat sesuatu diantara kakinya.

Terlambat.

Aku menjilat bibir dan memaksa mataku menatap wajahnya.

"Jadi," Taeyong mulai lagi, "Aku telah menyusun portofolio pada sebuah perusahaan pemrograman, NCTUnite. Pernahkah kau mendengar tentang perusahaan itu?"

"Samar-samar." Aku menjawab, menatap kertas-kertas di mejaku untuk membendung aliran imajinasi tidak senonoh yang suaranya memanggil dari pikiran menyimpangku. Aku seorang yang sangat sangat nakal. Kalian pikir Taeyong akan menghukumku jika aku mengatakan padanya betapa nakalnya aku?

Aku tahu. Aku tahu. Aku hanya tidak bisa menahan diri.

"Mereka membukukan laba sebelum pajak sebesar tiga juta dollar pada kuartal terakhir." Katanya.

"Benarkah?"

"Ya. Aku tahu itu bukan sesuatu yang sangat mengejutkan, tapi itu menunjukkan mereka memiliki pijakan yang solid. Yang tidak mereka miliki adalah modal."

Dia berdiri dan bersandar di atas mejaku untuk memberikan sebuah berkas. Aku diserang oleh aroma vanilla dari parfum yang ia gunakan. Aku memiliki keinginan untuk menenggelamkan wajahku ke rambutnya dan menarik nafas dalam-dalam. Tapi aku menolak dan membuka berkas sebagai gantinya.

"Aku telah menunjukkan apa yang aku punya Mr. Jung, maksudku, ayahmu. Dia mengatakan padaku untuk menjelaskan ini padamu, dia pikir salah satu dari klienmu—"

"Parkcom." Aku mengangguk.

"Benar, dia pikir Parkcom akan tertarik."

Aku melihat pekerjaan yang dia lakukan sejauh ini. Ini bagus. Rinci dan informatif tapi terfokus. Perlahan-lahan, otakku—yang ada diatas bahuku—mulai berpindah fokus. Jika ada satu topik yang memiliki harapan untuk mengeluarkanku dari pikiran tentang seks, itu adalah pekerjaan. Sesuatu yang bagus. Aku bisa mencium potensi di sini.

Ini tidak beraroma selezat pemuda di depannya, tapi mendekati.

"Ini bagus, Taeyong-shi, sangat bagus, aku pasti bisa menjual ini pada Parkcom."

Matanya sedikit menyipit. "Tapi, kau akan memasukkan aku ke dalam tim, kan?"

Aku menyeringai. "Tentu saja, apa aku terlihat seperti tipe orang yang butuh untuk mencuri proposal orang lain?"

Dia memutar matanya dan tersenyum. Kali ini, aku tidak bisa berpaling. "Tidak, tentu saja tidak, Jaehyun-shi. Aku tidak bermaksud mengartikan seperti itu. Hanya saja kau tahu...hari pertama."

Aku memberi isyarat baginya untuk duduk kembali, dan dia menurut. "Well, aku akan mengatakan dari yang terlihat, kau menjalani hari pertama dengan baik. Dan, tolong, panggil saja Jaehyun."

Dia mengangguk. Aku bersandar di kursiku menilainya. Mataku memeriksa seluruh tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki dengan cara yang sama sekali tidak profesional. Aku tahu itu. Tapi kelihatannya aku tidak peduli.

"Jadi...merayakan pekerjaan baru, ya?" Aku bertanya mengacu pada perkataannya tempo hari di bar.

Dia menggigit bibir, dan celanaku mengetat saat milikku menggeliat dan mengeras—lagi―hanya dengan melihat itu.

"Ya. pekerjaan baru." Dia mengangkat bahu kemudian mengatakan, "Aku menduga siapa kau, ketika kau menyebutkan siapa namamu dan nama perusahaanmu, Jaehyun-shi."

"Kau pernah dengar tentang aku?" Aku bertanya, benar-benar penasaran.

"Tentu. Kau sering muncul di majalah."

Kata-kata terakhirnya mengacu pada kolom gosip di halaman yang aku sering muncul.

"Jika satu-satunya alasan kau menolaku malam itu karena aku bekerja di sini," kataku "Aku akan menyerahkan surat pengunduran diri di meja ayahku dalam satu jam."

Dia tertawa dan kemudian, dengan sedikit tersipu mewarnai pipinya, Taeyong menjawab, "Tidak, itu bukan satu-satunya alasan." Dia mengangkat tangannya untuk mengingatkanku tentang cincin pertunangan yang hampir tidak terlihat.

"Tapi, bukankah kau senang sekarang bahwa aku menolakmu? Maksudku, akan jadi canggung jika sesuatu terjadi diantara kita, bukankah begitu?"

Wajahku benar-benar serius saat aku mengatakan padanya, "Sebenarnya aku takkan keberatan." Karena setidaknya aku bisa merasakan lubangnya memanja milikku.

Dia mengangkat alisnya dengan ragu. "Meskipun aku bekerja di bawahmu sekarang?"

Sekarang, ayolah—dia menjurus tepat ke arah sana, dan dia tahu itu. Bekerja di bawahku? Bagaimana mungkin aku mengabaikan katakata itu? Astaga, pikiran kotorku.

Namun aku hanya mengangkat alis, dan Taeyong menggelengkan kepala dan tertawa lagi. Dengan senyum liar aku bertanya padanya "Aku tidak membuatmu tidak nyaman, kan?"

"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi apakah kau memperlakukan semua karyawanmu sepeti ini? Karena kalau boleh jujur, kau membiarkan dirimu terbuka lebar untuk mendapat suatu gugatan pelecehan."

Aku tidak bisa mencegah senyum dari bibirku. Dia mengejutkan.

Tajam. Cepat. Aku harus berpikir sebelum aku berbicara dengannya.

Aku suka itu.

Aku menyukainya.

"Tidak. Aku tidak memperlakukan semua karyawanku dengan cara ini. Belum pernah. Hanya satu, yang terus aku pikirkan sejak malam Minggu."

Ok, mungkin aku tidak memikirkan dia ketika threesome dengan si kembar. Tapi setidaknya sebagian dari kalimatku benar.

"Benarkah?" tanyanya dengan cara yang memberitahuku kalau dia berpikir aku manis.

Aku memiliki banyak hal, sayang. Manis bukanlah salah satunya.

"Aku melihat sesuatu yang kuinginkan, dan aku mengejarnya. Aku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan."

Kalian tidak akan pernah mendengar sebuah pernyataan yang lebih benar tentangku daripada itu. Tapi mari kita berhenti untuk sementara waktu di sini, oke? Jadi aku bisa memberi kalian gambaran lengkapnya.

Kalian tahu, ibuku, selalu menginginkan keluarga besar—lima, mungkin enam orang anak. Tapi Eunji enam tahun lebih tua dariku. Enam tahun mungkin terlihat tidak terlalu jauh untuk kalian, tapi untuk ibuku itu bagai seumur hidup. Ceritanya, setelah melahirkan Eunji, ibuku tidak bisa hamil lagi—tapi itu bukan karena kurang berusaha. "Infertilitas sekunder," mereka menyebutnya. Ketika kakakku berumur empat tahun, ibuku hampir menyerah pada harapan untuk mempunyai banyak anak. Dan kemudian coba tebak?

Aku lahir.

Kejutan.

Aku adalah bayi ajaib ibuku. Malaikat berharga yang berasal dari doa-doa ibuku. Harapan yang terkabul. Dan dia bukan satu-satunya yang berpikir begitu. Ayahku sangat senang, bersyukur memilki anak yang lain—anak laki-laki. Dan Eunji—tahun-tahun berikutnya menjadi si menyebalkan—senang sekali akhirnya mempunyai seorang adik laki-laki.

Aku adalah apa yang keluargaku inginkan dan tunggu selama lima tahun. Aku adalah pangeran kecil. Aku tidak mungkin berbuat salah. Segala yang kuinginkan pasti terkabul. Aku adalah yang paling tampan, yang paling cemerlang. Tidak ada seorang pun yang lebih ramah, tidak ada yang lebih manis daripada aku. Aku dicintai melebihi kata-kata—dimanja dan juga dilayani.

Jadi, kalau kalian menganggap aku sombong? Egois? Manja? Kau mungkin benar. Tapi jangan marah padaku, ini bukan salahku. Aku adalah produk dari bagaimana aku di besarkan.

Sekarang karena pembicaraanku sudah keluar jalur, mari kembali ke kantorku dan Lee Taeyong.

"Dan kupikir kau seharusnya tahu, aku menginginkanmu, Taeyong."

Lihat bagaimana pipinya bersemu merah, sedikit keterkejutan di wajahnya? Lihat bagimana wajahnya berubah menjadi serius, dan tatapannya bertemu dengan mataku kemudian memandang ke bawah lantai?

Aku mempengaruhinya. Taeyong juga menginginkanku. Tapi dia melawannya. Tapi itu ada di sana. Aku bisa melihatnya.

Pengetahuan ini membuatku menahan erangan saat organ bawahku bereaksi sekuat tenaga. Aku ingin berjalan menghampiri Taeyong dan menciumnya sampai dia tidak bisa berdiri. Aku ingin menyelipkan lidahku di antara bibir ranumnya sampai lututnya lunglai. Aku ingin mengangkatnya. Melingkarkan kakinya dipinggangku. Menyandarkan tubuhnya di dinding dan―

"Hai, Jaehyun. Ada kemacetan lalu lintas. Jika kau ingin mengadakan pertemuan jam empat, kau harus segera pergi."

Terima kasih Irene, cara yang bagus untuk merusak suasana, sekretaris yang mengagumkan. Pemilihan waktu yang mengerikan.

Taeyong bangkit dari kursinya, bahunya kaku, punggungnya lurus. Dia mendekat ke arah pintu dan menolak untuk menatapku. "Jadi, terima kasih untuk waktumu, Jaehyun-shi. Kau, ahh, beritahu aku kapan kau menginginkanku."

Aku mengangkat alisku penuh arti oleh kata-katanya. Aku suka dia tersipu dan akulah orang yang melakukan ini padanya.

Masih menghindari kontak mata, dia menyeringai kecil. "Tentang Parkcom dan NCTUnite. Beritahu aku apa yang harus kulakukan. Apa yang kau ingin aku lakukan. Apa―Oh, kau tahu apa yang kumaksud."

Sebelum dia keluar dari pintu, suaraku menghentikannya. "Taeyong?"

Dia menoleh kearahku, matanya penuh tanya.

Aku menunjuk ke diriku sendiri. "Panggil saja Jaehyun."

Dia tersenyum, memulihkan dirinya sendiri. Kepercayaan diri alaminya kembali ke dalam matanya. Kemudian matanya bertemu dengan tatapanku. "Baiklah. Sampai nanti, Jaehyun,"

Setelah dia keluar dari pintu, aku bilang pada diriku sendiri, "Oh, ya. Ya, pasti."

Saat aku memeriksa tasku sebelum pergi ke pertemuan, aku menyadari ketertarikan ini—tidak, itu bukan kata yang cukup kuat—kebutuhan yang kumiliki pada Lee Taeyong tidak akan hilang. Aku bisa berusaha dan melawannya, tapi aku hanya seorang pria, demi Tuhan. Dibiarkan tak terselesaikan, hasratku untuk Taeyong bisa mengubah kantorku, tempat yang aku cintai, menjadi sebuah ruang penyiksaan dari frustasi seksualku. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Jadi, aku punya tiga pilihan: aku bisa keluar dari pekerjaanku. Aku bisa membuat Taeyong keluar dari pekerjaannya. Atau aku bisa membujuknya untuk berbagi satu malam yang sangat menyenangkan denganku. Kedua belah pihak melampiaskan hasrat masing-masing—persetan dengan konsekuensinya.

Tebak mana yang akan kupilih?

Aku menemui gadis yang kukenal di coffeehouse malam itu dan menghabiskan malam di hotel dengannya.

Puas.

Apa? Ayolah, jangan seperti itu. Aku menginginkan Taeyong, tidak di ragukan lagi jika aku memang menginginkan pemuda itu. Tapi jangan berharap aku bersikap seperti pemuda baik-baik sampai hal itu terjadi.

Seks adalah sebuah pelepasan. Fisik semata. Itu saja. Setidaknya bagiku seperti itu.

Oke, Oke—tenang dulu—jangan mulai melempar sepatu atau benda apapun kearahku. Setidaknya pria seperti aku, lebih baik, kan?

Setidaknya cobalah mengerti aku.

Bagus.

Sekarang, kembali ke kisah duka dan penderitaanku.

Aku tidak pernah merayu seorang wanita sebelumnya.

Kutahu ini mengejutkan. Biar kujelaskan. Aku tidak pernah merayu seorang wanita sebelumnya, tidak dalam arti yang umum. Biasanya, aku hanya melihat, mengedipkan mata, tersenyum. Sebuah sapaan yang ramah, satu atau dua gelas minuman. Setelah itu satu-satunya pertukaran verbal yang terlibat hanyalah satu kata pendek seperti lebih keras, lagi, lebih rendah... kalian pasti mengerti maksudnya, kan? Tidak? Baiklah aku perjelas. Yang kumaksud tadi adalah erangan saat kami melakukan seks.

Jadi, segala hal tentang percakapan dengan seorang pemuda untuk mengajaknya ke ranjang merupakan konsep yang cukup baru bagiku, kuakui. Tapi aku tidak khawatir. Kenapa tidak, jika kalian tanya?

Karena aku seperti sedang bermain catur.

Catur adalah permainan strategi, perencanaan, berpikir dua langkah ke depan untuk langkah berikutnya. Mengarahkan lawanmu tepat di mana kalian menginginkannya.

Selama dua minggu setelah pertemuan hari pertama, berhubungan dengan Taeyong, bagiku persis seperti bermain catur. Beberapa kata sugestif, belaian biasa tapi menggoda. Aku tidak akan membuat kalian bosan dengan setiap detil percakapan. Aku hanya akan mengatakan semua berjalan dengan baik, segalanya berjalan sesuai rencana.

Kurasa semuanya akan memakan waktu satu minggu—maksimal dua minggu—sampai aku dapat mengklaim lubang diantara kakinya. Aku sudah tahu bagaimana nanti hasilnya. Pada kenyataannya aku telah menghabiskan waktu berjam-jam, membayangkannya, berkhayal tentang itu.

Ingin mendengarnya?

Ini terjadi di kantorku. Suatu malam ketika kami berdua bekerja lembur—satu-satunya orang yang masih di kantor. Dia pasti lelah, kaku. Aku akan menawarkan memijit lehernya. Dan dia mengizinkanku. Kemudian aku akan menunduk dan menciumnya, mulai dari bahunya yang di tutupi kemeja, naik sampai lehernya, merasakan kulitnya dengan lidahku. Akhirnya, bibir kami akan bertemu. Dan itu akan menjadi panas—membara. Dan dia akan melupakan semua alasantentang kenapa kami tidak seharusnya melakukan ini: karena ia bekerja di kantor yang sama denganku, juga tunangan bodohnya. Satu-satunya hal yang akan dia pikirkan adalah aku dan apa yang akan dilakukan oleh kedua tangan ahliku padanya.

Aku punya sebuah sofa di kantorku, sofanya dari bahan suede—bukan kulit. Apakah suede bisa bernoda? Semoga tidak. Karena di sanalah kami akan berakhir beberapa malam lagi.

Sekarang biarkan aku menanyakan ini pada kalian: apakah kalian pernah melihat iklan yang mengatakan bagaimana kehidupan bisa berubah dalam sekejap?

Kalian tahu apa yang sedang kubicarakan, bukan? Di mana keluarga bahagia mengemudi di jalan raya pada hari yang cerah dan kemudian―Bam! Tabrakan terjadi. Sang ayah terbang keluar jendela karena dia tidak mengaitkan sabuk pengamannya.

Cerita itu dirancang untuk menakut-nakuti kita. Dan memang begitu.

Tapi kenyataannya tetap penuh kebenaran. Tujuan kita, prioritas kita dapat berubah seketika—biasanya ketika kita tidak menduganya.

Jadi, setelah dua minggu menyusun strategi dan berkhayal, aku yakin Lee Taeyong akan menjadi pasangan one night standku berikutnya.

Aku tak ingat pernah menginginkan seseorang sebanyak aku menginginkan dia. Aku pasti belum pernah menunggu seorang wanita selama aku menunggu Taeyong, yang bahkan bukan wanita.

Dan kemudian, pada Senin sore, ayahku memanggilku ke kantornya.

"Duduklah, nak. Ada beberapa urusan yang ingin kubahas."

Ayahku sering memanggilku di sini untuk membicarakan hal-hal yang dia belum siap untuk bagikan dengan seluruh staf. "Aku baru saja selesai bicara lewat telepon dengan Jung Yunho. Dia mencari diversifikasi. Dia akan datang ke kota ini bulan depan untuk berkeliling mencari ide."

Kalian punya serbet? Karena kurasa aku meneteskan air liur. Ini tender besar.

"Bulan depan? Oke, aku bisa mengerjakannya. Tidak ada masalah."

Aku merasakan kegembiraan memompa di pembuluh darahku. Pasti beginilah yang hiu rasakan setelah seseorang membuang seember daging cincang ke dalam air.

"Jaehyun..." ayahku menyela, tapi pikiranku terlalu sibuk berputar dengan ide-ide untuk bisa mendengarnya.

"Ada petunjuk apa yang dia cari? Maksudku kemungkinannya tidak terbatas."

"Nak..." Ayahku mencoba lagi.

Kalian bisa menduganya, bukan?

Namun aku terus mengoceh, "Stasiun tv kabel adalah mesin penghasil uang. Media sosial ada di toilet sekarang, jadi kita bisa mengambil beberapa penawaran yang nyata. Produksi film selalu menjadi taruhan yang aman, dan itu akan mengurangi biaya tambahan ketika mereka memutar ulang pada jaringannya sendiri."

"Jaehyun. Aku ingin memberikan klien itu pada Lee Taeyong."

Tunggu sebentar! Mau mengulanginya untukku?

"Apa?"

"Dia bagus, Jaehyun. Aku bilang padamu, dia sangat bagus."

"Dia di sini baru dua minggu!"

Perusahaan ini adalah milikku. Aku sudah membina klien-klien ini sejak perusahaan mereka masih kecil. Aku memandang perusahaan itu seperti ayah yang bangga, saat mereka tumbuh menjadi konglomerat yang kokoh. Aku menjamu mereka dengan minuman dan makanan mewah, aku telah menghabiskan jam demi jam, bertahun-tahun tanpa tidur nyenyak. Tugasku adalah bukan hanya apa yang aku lakukan—itulah siapa aku. Dan aku akan sangat tidak rela jika Lee Taeyong berjalan ke sini dan mengambilnya dariku begitu saja.

Tidak peduli seberapa bagus pantatnya.

"Ya," kata ayahku. "Dan apa kau melihatnya beberapa hal yang dia hasilnya selama dua minggu ini? Dia adalah yang pertama datang dan terakhir meninggalkan kantor—setiap hari. Dia inovatid dan berpikir di luar kebiasaan. Dia mengembangkan beberapa investasi yang paling inovatif yang pernah aku lihat. Naluriku mengatakan untuk memberinya kesempatan dan melihat apa yang akan bisa dia lakukan."

Aku tahu bahwa bersikap dramatis tidak berpengaruh apapun dengan ayahku, jadi aku memijit hidungku berusaha untuk menenangkan diri. "Baiklah, aku mengerti apa yang kau katakan, ayah. Tapi Jung Yunho bukanlah klien yang bisa kau berikan kepada seseorang hanya untuk mengetahui apakah dia bisa melaksanakan tugasnya. Dia adalah klien yang kau berikan kepada orang terbaik dan tercerdas. Seseorang yang kau tahu bisa membawa sampai ke zona akhir. Dan itu adalah aku."

Bukankah begitu? Aku bertanya-tanya saat ekspresi ketidakpastian menyelimuti wajahnya.

Saat ayahku terus terdiam, perutku menggeliat dengan cemas. Ini bukan karena aku memiliki Daddy complex atau semacamnya, tapi bohong kalau kubilang aku tidak menikmati kebanggaan ayahku dalam kinerjaku di kantor. Aku adalah tangan kanannya. Aku adalah orang yang dapat mengatasi masalahnya. Saat jam menunjukkan pukul dua kurang lima menit, aku sangat yakin aku satu-satunya orang yang akan mendapat kepercayaan dari ayahku.

Atau setidaknya aku dulunya begitu.

Aku terbiasa mendapatkan kepercayaan penuhnya. Fakta bahwa kepercayaan ayahku sepertinya goyah itu...well, sungguh menyakitkan.

"Begini saja." Dia mendesah. "Kita punya waktu satu bulan. Kita akan adakan presentasi. Taeyong juga melakukan hal yang sama. Siapapun yang bisa membuatku terkesan akan segera bekerja pada Yunho."

Seharusnya aku benar-benar merasa tersinggung. Apa yang ayahku minta sama saja mengatakan kepada seorang pemenang Oscar bahwa dia harus mengikuti audisi untuk menjadi pemain figuran.

Tapi aku tidak membantah. Aku terlalu sibuk merencanakan langkah selanjutnya.

Jadi, kalian mengerti apa yang kukatakan tadi tentang kehidupan, kan?

Dengan demikian, Lee Taeyong telah berubah dari seorang yang tidak sabar ingin kuajak menari bermain di kasurku, menjadi seseorang yang tidak sabar ingin aku remukkan di bawah sepatuku.

Lawanku. Sainganku. Musuhku.

Itu bukan salah Taeyong. Kutahu.

Tapi, apa aku peduli?

Tidak. Tidak sedikitpun.


To be Continued