Taeyong membuka ponsel dan mengetuk ikon berbentuk amplop dengan perasaan senang. Jujur saja ia sangat jarang bertukar pesan dengan orang lain. Kalau ada kepentingan, biasanya Taeyong akan langsung menelepon tanpa berpikir pulsanya masih tersisa atau tidak. Dan jika suara wanita yang menyapa gendang telinganya, ia baru akan meminta Yuta—si bandar pulsa—dengan sisa pulsa yang tidak seberapa dan mengirim pesan seperlunya—untuk membeli pulsa tentu saja—dengan kalimat singkat serta tambahan emoticon wink yang terkadang membuat Yuta mendecih geli.

Sejak tiga hari yang lalu, tepatnya ketika ia meminta nomor ponsel Jaehyun sewaktu di cafeteria—ia masih sangat ingat tentu saja—hubungan antara keduanya semakin dekat. Terkadang Taeyong akan mengirim pesan pada Jaehyun atau sebaliknya dan berakhir dengan ia yang tersenyum entah karena alasan apa.

Seperti sekarang, pemuda manis nan menggemaskan itu membuka pesan yang dikirim Jaehyun kemarin malam. Dan kebetulan malam itu ia sudah jatuh tidur—karena Jaehyun terlalu lama membalas pesannya—hingga ia baru membalasnya tadi pagi. Ia menscroll pesan Jaehyun ke atas, membaca ulang dan membuat senyumnya benar-benar mengembang sangat lebar.

Baiklah, belum genap satu minggu mereka berteman. Tapi lihatlah, bahkan pesan itu sudah menumpuk hampir seribu bahkan lebih. Biasanya Taeyong tidak seperti ini, sungguh. Ini menyenangkan. Yah… setidaknya itulah yang ada di pikiran Taeyong sekarang. Lagipula Jaehyun orang yang baik, perhatian, menyenangkan, tampan pula. Ya Tuhan, bahkan hanya dengan memikirkannya membuat wajah Taeyong terasa panas.

Taeyong mengunci ponsel dan kembali menyimpannya ke dalam saku celana. Tiba-tiba saja ia merasa gugup. Ia menunduk, mengamati penampilannya. Memeriksa apa ada yang salah dengan pakaian yang ia kenakan.

'Tidak ada yang salah.'

Taeyong menghembuskan napas dan kembali memutar otak. Ya Tuhan, semenjak mengenal Jaehyun kenapa ia jadi berlebihan begini?

'Kau sudah gila Lee Taeyong'

Bahunya ditepuk, ia berjingkat dan kepalanya berputar dengan cepat. Saat sepasang matanya menangkap sosok yang ia kenali, ia mengulum senyum lega.

"Hyung, aku terlambat. Maafkan aku."

.

.

"Love Letter"

Jaehyun x Taeyong

Love Letter © Aza Bee

NCT © SM Entertainment

WARN! YAOI, typo(s), OOC, DLDR

.

.


"Kita akan pergi ke mana Jae?"

Yang dipanggil mengerjap, namun setelahnya memasang senyum tampan, "Oh? Kita hari ini akan bersenang-senang, Hyung."

Yang memanggil mencebik, "Iya, maksudku bersenang-senang di mana?"

Rasanya Jaehyun ingin menjawab 'kita akan bersenang-senang di dalam kamar, apa Hyung mau?' pada Taeyong. Namun ia mengurungkan niatnya kalau ia masih mau berdekatan dengan Lee Taeyong, si pembenar mood-nya yang selalu buruk.

"Kita pergi ke Seoul Station dulu, Hyung."

Taeyong mengerucut, "Kau mau mebawaku ke mana?"

Jaehyun terkekeh kecil, "Sudah ikut saja," lalu menarik lengan Taeyong pergi tanpa banyak bicara.

Baiklah, ini sebenarnya sudah terlalu siang untuk membawa Taeyong sesuai dengan rencana awal Jaehyun. Seharusnya mereka pergi pukul delapan pagi tadi, namun karena Jaehyun yang bimbang—jadi pergi atau tidak dan karena faktor Taeyong yang baru menjawab pesannya tadi pagi—jadilah mereka berangkat pukul sepuluh pagi.

"Jaehyun, mau ke mana sih?"

"Hyung tidak tahu?" Jaehyun mengernyitkan dahinya. Padahal tempat yang menjadi sasaran Jaehyun hari ini sudah menjadi sasaran empuk bagi banyak orang tetapi Taeyong juga tidak tahu. Yang benar saja.

Bahkan Jaehyun benar-benar harus bersujud syukur karena ia berhasil mendapatkan tiket untuk pergi ke sana. Itu pun tiket sisa dari kedua orang tuanya yang tidak jadi pergi. Berhubung Jaehyun bukan orang yang suka buang-buang barang, jadi ia memungut dua lembar tiket—yang sudah Ibunya buang ke tempat sampah dekat dapur—dengan senang. Dan beruntungnya adalah ia memiliki penglihatan yang tajam.

'Yah… walau pun barang bekas, setidaknya aku terlihat bermodal karena mengajak Taeyong pergi ke sana. Lagipula Ibu juga sudah megizinkan aku.'

"Mana aku tahu, Jung." Taeyong memasang wajah—heol kau bahkan tidak mengatakan mau menculikku ke mana—pada Jaehyun.

"Ini musim apa, Hyung?"

"Musim semi."

"Hyung tidak tahu ada apa sewaktu musim semi?"

Jaehyun terkekeh kecil saat Taeyong menggeleng, "Baiklah, hari ini kau akan mengetahuinya, Hyung. Aku yakin kau akan merasa senang. Percaya pada Jaehyun."

Taeyong mengulum senyum tipis dan mengangguk. Ini adalah sisi yang Taeyong suka dari Jaehyun. Jaehyun memang terkadang sangat kekanakan, tapi sosok yang lebih muda darinya itu memiliki pemikiran dewasa—yang Taeyong bilang—lebih matang dari dirinya.

Karena entah untuk alasan apa, saat pertama kali Taeyong bertemu dengan Jaehyun, ia yakin bahwa Jaehyun bisa melindungi dirinya. Hah. Bukan, Taeyong bukan seorang cenayang kok, apalagi peramal. Mungkin itu adalah suara dan ikatan batin dari seseorang yang baru saja melihat jodohnya. Lupakan saja pemikiran Taeyong yang ini.

"Hyung, tunggu sebentar di sini. Aku akan kembali lima—ah… tiga menit. Aku tidak lama kok, Hyung duduk saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana."

"Eh? Mau ke mana?"

Taeyong hanya mendengus ketika Jaehyun hanya tersenyum sok misterius dan melangkah pergi. Dengan perasaan dongkol Taeyong duduk dan menunggu Jaehyun yang pergi entah ke mana itu. Ia mengamati sekitar. Aku bahkan baru sadar kalau sudah tiba di Seoul Station.

"Hyung, ayo."

Sesuai janji, Jaehyun kembali dalam waktu kurang dari lima menit. Taeyong mengerutkan dahinya saat Jaehyun menarik tangannya mendekati salah satu kereta di sana.

"Naik kereta?"

"Hyung mau duduk di atasnya?"

Taeyong mencebik kesal yang dibalas Jaehyun dengan suara tawa renyah. Siapa pun, tolong bantu Jaehyun sekarang. Jujur, ia hanya sedang menahan hasrat untuk tidak mengacak surai silver Taeyong lantaran merasa gemas.

Jaehyun menggenggam sebelah Taeyong dan membawanya memasuki kereta. Taeyong yang mendapatkan perlakuan itu dengan tiba-tiba hanya bisa merona. Diam-diam ia merutuki jantungnya yang berdebar dengan tidak normal. Tidak, maksudnya ia ingin jantungnya itu berdetak biasa-biasa saja. Bukan menari-nari seperti ini.

'Diam kau jantung tidak berguna.'

"Hyung, kenapa wajahmu merah? Kau sakit?"

Jaehyun menatap Taeyong dengan kening berkerut. Ia buru-buru menggeleng, "Tidak, tidak. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."

Jaehyun menarik Taeyong untuk duduk. Ia berada di tepi sedangkan Taeyong duduk di sebelah jendela.

"Ini pertama kalinya aku naik kereta." Jaehyun menoleh dan menatap Taeyong yang kini tengah menatap keadaan di luar. Kedua sudut bibirnya terangkat. Ketika suara panjang tanda kereta akan segera berangkat berbunyi sangat keras, Taeyong kembali melebarkan senyum.

"Whoaa, ini tidak seburuk dari yang kubayangkan."

Taeyong menatap Jaehyun yang juga menatap dirinya. Kedua mata itu bertemu, saling berpandangan dalam diam. Hingga selama beberapa detik, Taeyong yang pertama mengalihkan pandangan.

"Ehm... terima kasih, ini benar-benar menyenangkan."

Jaehyun terkekeh, "Kita baru akan berangkat, tapi Hyung sudah mengucapkan terima kasih. Kita baru naik kereta dan Hyung bilang ini benar-benar menyenangkan. Kau lucu sekali, Hyung."

Taeyong merengut tanpa berniat untuk menjawab. Selama perjalanan, waktu mereka hanya digunakan untuk diam. Taeyong yang diam menatap ke arah luar sambil sesekali tersenyum. Dan Jaehyun yang diam menatap Taeyong seraya terus tersenyum.

Jaehyun menggenggam tangan Taeyong kala ia menyadari bahwa mereka sudah sampai. Taeyong menoleh, "Ada apa?"

"Kita sudah sampai, Hyung."

Sepasang mata Taeyong sedikit membola, "Sudah sampai? Kenapa cepat sekali?"

Jaehyun hanya berusaha untuk tidak membawa tangannya mengusap surai senior-nya itu. Ia merasa sangat gemas, Ya Tuhan. "Kupikir tiga puluh menit itu lama, Hyung. Kau benar-benar menikmati angin tadi, seperti anak kecil."

Taeyong mengerucut, "Aku bukan anak kecil, dan ingat ya Jung Jaehyun, aku lebih tua darimu."

Jaehyun meledakkan tawa sedangkan Taeyong mendengus, mereka keluar dari kereta dengan ekspresi yang berbeda dan itu terlihat sangat menggemaskan.

"Hyung tenang saja, kita baru ada di Masan, setelah ini kita akan naik kereta lagi, jadi Hyung jangan khawatir."

"Ya! Kau ini menyebalkan sekali, sih? Kupukul sini."

Taeyong hanya bisa menahan senyum kala Jaehyun mendekatkan tubuhnya dan mengatakan pukul saja, kalau Hyung tega dengan nada manja. Ia mengabaikan Jaehyun dan melangkah untuk mencari tempat duduk. Jaehyun bilang mereka harus menunggu kereta khusus yang akan membawa mereka ke tempat yang indah layaknya surga dulu baru bisa sampai ke tempat tujuan. Dan Taeyong tertawa puas ketika Jaehyun cemberut saat ia bilang, 'Memangnya kau pernah ke surga?'

Saat mereka berdua asyik berbicara dan bergosip tentang hal-hal yang tidak jelas, Taeyong tiba-tiba berdiri dan memekik senang. "Jaehyun, keretanya sudah datang. Ayo, cepat!"

Persis anak kecil. Tapi Jaehyun menyukainya, sungguh, itu benar-benar terlihat menggemaskan saat Taeyong dengan cepat melangkah meninggalkan dirinya yang masih duduk di bangku dengan senyum teduh.

Mata Jaehyun membola ketika melihat Taeyong nyaris jatuh karena bahunya tanpa sengaja di senggol seseorang. Jangan katakan Taeyong punya tubuh kecil, hanya saja orang yang menabraknya barusan terlalu besar bagi dirinya. Jaehyun bergegas beranjak pergi dan menghampiri Taeyong yang masih diam di tempat. Jaehyun mengumpat, kenapa ia bisa lupa kalau Taeyong itu orang yang tidak pernah pergi jauh sendirian?

"Hyung, kau baik?"

Jaehyun menarik bahu Taeyong untuk mendekat. Taeyong mengerjap, lalu dengan kikuk tersenyum, "Aku baik, Jae. Jangan berlebihan."

Jaehyun hanya tidak ingin membuat Taeyong tertekan, jadi ia hanya diam dan membawa Taeyong masuk kereta. Ia janji, setelah ini Taeyong tidak akan merasakan hal seperti ini lagi. Karena ia yakin, suara menggemaskan Taeyong ketika tertawa akan kembali terdengar.

Kereta itu mulai berjalan. Taeyong kembali memandang ke arah luar. Kini ia kembali memekik senang. Ya ampun, pemandangan yang seperti ini sungguh tidak bisa dilewatkan, astaga. Ia merogoh saku dan dengan cepat menarik ponselnya tanpa takut ponsel itu akan terjatuh. Ia harus mengabadikan ini. Harus.

Sedangkan Jaehyun yang duduk di sampingnya diam-diam tersenyum. Ia mengamati gerak-gerik Taeyong yang terlihat lucu.

"Mau kufoto, Hyung?"

"Eh?" Taeyong menoleh cepat, tiba-tiba saja kedua pipinya memanas. Ia merasa malu, Ya Tuhan.

"Tidak perlu malu, Hyung. Sini," Jaehyun mengambil alih ponsel milik Taeyong dengan senyum lima jari. Diam-diam ia merubah pengaturan pada kamera ponsel itu. Jika semula ponsel itu menggunakan pengaturan kamera belakang, sekarang sudah menjadi kamera depan.

"Hyung, berposelah."

Taeyong mengangkat sebelah tangannya dan membentuk v sign dengan jari telunjuk dan jari tengah. Ia tersenyum sangat manis ke arah Jaehyun—ponsel Taeyong maksudnya—ketika yang lebih muda sudah mengarahkan kamera ponsel ke arah dirinya.

"Sudah, Hyung."

Jaehyun berharap supaya suara tawanya tidak lepas begitu saja ketika Taeyong sudah kembali mendapatkan ponselnya itu. Jaehyun terus mengamati Taeyong, bagaimana Taeyong mengetuk layar ponsel dan beralih ke ekspresi Taeyong yang kini berubah menjadi cemberut.

"Jaehyun! Kau mengerjaiku, ya? Kenapa yang ada malah wajahmu?!"

Dan kali ini Jaehyun benar-benar tertawa. Mengabaikan tatapan dari orang lain yang merasa terganggu degan suaranya dan tetap tertawa melihat bagaimana Taeyong yang kini sedang manyun seraya menatap ke arah ponselnya dengan sebal.

Jaehyun meredakan tawanya, "Hyung, bagaimana kalau kita selfie saja?"

Senyuman Taeyong melebar, "Baiklah."

Taeyong memajukan tubuhnya hingga punggung yang semula menempel pada kursi kembali memiliki jarak dan mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. Jaehyun di sebelahnya mendekat, sangat dekat malah. Bahkan Taeyong sampai berpikir, bocah ini benar-benar tukang modus. Namun tak dapat dipungkiri kalau diam-diam Taeyong menyembunyikan senyumnya dan melampiaskannya pada senyuman lebar ke arah kamera.


"Whoaaa astaga, ini indah sekali."

Jaehyun yang mendengarnya hanya tersenyum. Baiklah, mereka baru akan tiba di tempat tujuan dan Taeyong sedari tadi tak hentinya bergumam 'whoaa' atau 'astaga' atau 'ya ampun'. Alasannya? Mudah sekali. Taeyong hanya sedang mengangumi pepohonan cherry blossom yang mengembang dan memenuhi jalanan dari awal hingga sekarang.

Alasan Jaehyun membawa Taeyong kemari adalah karena Jaehyun yakin jika Taeyong sama sekali belum melihat yang namanya festival. Karena sudah memasuki awal bulan April, di mana festival yang ia nantikan kehadirannya memang tiba, jadi ia memutuskan untuk pergi ke kota Changwon-si, tepatnya di distrik Jinhae-gu.

Pada awal bulan seperti ini, Jinhae-gu selalu ramai oleh para wisatawan. Karena pada bulan April-lah Jinhae Gunhangje Festival, di mana festival itu adalah festival musim semi terbesar di Korea dirayakan. Satu tahun sekali.

Mereka menuruni kereta dengan perasaan gembira yang teramat kentara. Taeyong yang gembira karena tidak pernah melihat hal semacam ini dan Jaehyun yang gembira karena tiba-tiba saja Taeyong mengamit lengannya seraya mencengkeram bagian samping kanan mantel-nya dengan erat.

"Jaehyun, kenapa ramai sekali?" Taeyong mengamati keadaan sekitar yang—wow benar-benar ramai orang yang berseliweran ke sana kemari.

"Di sini sedang ada festival, Hyung. Serius, kau hidup lebih lama dariku tapi kau bahkan tidak tahu bahwa setiap tahun selalu diadakan festival seperti ini di Korea."

Taeyong merengut, "Aku kan jarang keluar-keluar begini, apalagi jauh seperti Changwon atau Jinhae ini."

"Apa kau merasa senang, Hyung?"

"Belum, mungkin?" Taeyong tertawa pelan.

"Baiklah, kita akan bersenang-senang. Ayo!"

Taeyong hanya kembali tertawa dan mengikuti ke mana pun Jaehyun membawanya. Menarik tangannya dan bahkan merangkulnya. Sesekali Jaehyun akan mengarahkan kamera padanya lalu dengan tiba-tiba mengatakan 'Hyung, say kimchi' dengan wajah yang tersenyum lebar. Bahkan Taeyong tidak tahu kalau Jaehyun, hoobae-nya itu membawa kamera DSLR di dalam tas ranselnya.

"Hyung kita pergi ke Gyeonghwa Station, sekarang ya?"

Taeyong mengerjap kaget, "Hah? Sudah mau pulang?" tanyanya dengan nada tak rela yang jelas terdengar.

Jaehyun terkekeh pelan, "Tidak, Hyung. Kau mau lihat yang lebih indah, kan?"

Taeyong mengangguk semangat. Ia tersenyum kala Jaehyun hanya membalas anggukannya dengan senyum kecil. Kini bukan Taeyong yang mengamit lengan Jaehyun, melainkan Jaehyun yang menggenggam tangan Taeyong. Menautkan jari mereka dengan erat seolah tidak boleh ada celah yang terlihat.

"Hyung, say kimchi…"

"Kimchi…"

Taeyong melipat kedua tangannya di depan dada dengan memasang wajah tanpa ekspresi. Ia hanya menunjukkan giginya di kamera Jaehyun dengan mata yang agak disipitkan. Namun ekspresi itu justru membuat Jaehyun tertawa.

"Hyung, lihatlah! Kau imut sekali."

Taeyong memalingkan wajah, ia hanya sedang menghindari Jaehyun untuk tahu jika kedua pipinya tengah memerah.

"Jaehyun, aku ingin foto berdua denganmu."

"Berdua? Baiklah." Jaehyun celingukan mencoba mencari seseorang yang dapat ia mintai tolong. Setelah menemukannya, Jaehyun berseru lumayan keras dan tersenyum kala yang ia mintai bantuan menyanggupi.

"Silahkan berpose tuan,"

Jaehyun merangkul pundak Taeyong erat dan memasang pose v sign dengan sebelah tangannya seraya tersenyum sangat lebar, bahkan lesung pipi manis itu terlihat hingga membuat dirinya terlihat berkali lipat lebih tampan. Sedangkan Taeyong, ia hanya tersenyum ke arah kamera dengan tangan kiri yang membawa ponsel dan tangan kanan yang membentuk v sign, seperti Jaehyun.

"Selesai, wahh—kalian terlihat sangat manis, ya."

Si pemuda tersenyum ke arah Jaehyun dan Taeyong yang memasang wajah blank. Jaehyun tersenyum kaku dan menerima uluran si pemuda untuk mengembalikan kamera pada dirinya.

"Ehm… ah… ya… terima kasih, tuan." Seru Jaehyun agak gagap.

"Santai saja, bersenang-senanglah!"

Jaehyun dan Taeyong mengangguk. Yang lebih muda kemudian menarik lengan yang lebih tua untuk melangkah pergi. Jam sudah makin sore saja, bahkan sekarang sudah menunjuk pukul setengah empat sore.

"Sekarang kita ke Yeojwacheon Stream, aku tahu kalau Hyung lapar. Kita bisa makan jajanan di sana."

Jika sudah mendengar kata makanan, maka semangat Taeyong benar-benar akan menjadi-jadi. Ia melupakan rasa bingung yang melanda pada dirinya dan dengan semangat menarik Jaehyun. Heol. Ia bahkan tidak tahu ke mana arah pergi ke tempat yang dimaksud si Jaehyun itu.

Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah tiba di Yeojwacheon Stream. Jaehyun tidak tuli untuk mendengar suara pekikan Taeyong yang terdengar sangat lucu bagi telinganya.

"Jaehyun, kalau aku tidak bisa melupakan tempat ini, kau harus bertanggung jawab!"

Jaehyun terkekeh gemas, dengan gerakan hati-hati ia mengulurkan tangan dan mengusap surai Taeyong pelan, "Kau ini bicara apa sih, Hyung? Ngomong-ngomong aku lebih suka kalau rambutmu berwarna hitam."

"Hah? Kau pernah melihat wajahku dengan rambut warna hitam?" Jaehyun meringis, ternyata Taeyong memang tidak mengingatnya. Jaehyun hanya menjawab pertanyaan Taeyong dengan gumaman.

"Jaehyun, itu apa?"

Jaehyun mengikuti arah tunjuk Taeyong dan melebarkan matanya tidak santai saat ia tahu apa yang kini ditunjuk Taeyong, "Kau orang Korea bukan?"

Taeyong mendecih, "Jangan merendahkanku!"

"Astaga, kupikir makanan itu sudah ada semenjak Ibuku masih belum menjadi orang, melainkan masih bocah."

Taeyong tambah cemberut, "Langsung bilang, kenapa susah sekali, sih?"

Jaehyun tidak menjawab, ia langsung menarik lengan Taeyong dan membawanya mendekati salah satu pedagang kaki lima yang menjual makanan yang dimaksud Taeyong.

"Paman, aku beli tiga ya."

Si penjual tersenyum dan mengangguk. Jaehyun kemudian memutar kepala dan melihat ke arah Taeyong yang merengut. "Ini namanya bbopki Hyung, permen khas Korea."

Taeyong membentuk huruf o pada mulutnya dan mengangguk, "Lalu kenapa kau membelinya?"

"Ini tuan," Jaehyun menerima bungkusan tersebut dan mengulurkan beberapa lembar uang pada si penjual. Setelah urusan uang selesai, ia memutar tubuh menghadap Taeyong dan menyodorkan bungkusan itu pada Taeyong.

"Untuk apa?"

Jaehyun menarik tangan kanan Taeyong dan melebarkan telapaknya, "Untukmu lah, Hyung. Makan ya."

"Yang benar saja, Jaehyun. Bahkan aku belum tentu bisa menghabiskan satu, permen ini besar sekali."

Jaehyun hanya tertawa sebagai balasan. Ia kembali melangkah dan mengunjungi pedagang yang lain, ia kemudian menoleh pada Taeyong.

"Hyung, kau mau ini tidak?" Jaehyun menunjuk sebuah makanan yang berisi daging yang ditusuk—seperti sate—pada Taeyong yang matanya kini berbinar cerah.

"Mau," Ia tidak bisa melewatkan daging. Tidak bisa, karena daging adalah hidupnya. Sumber energi-nya.

Tidak mau ambil pusing masalah beli membeli, Taeyong hanya duduk menunggu Jaehyun selesai. Lagipula ia juga agak jengkel dengan Jaehyun. Yang mau makan kan dia, tapi kenapa yang bayar Jaehyun? Dan jawaban Jaehyun hanya, aku sedang ingin mentraktirmu, Hyung.

Taeyong memandang sekeliling, tempat ini terlalu asing baginya. Namun ia tersenyum karena tempat ini benar-benar indah. Selang beberapa waktu ia mendapati Jaehyun sudah duduk di sebelahnya. Ia menerima bungkusan yang diulurkan Jaehyun padanya.

"Terima kasih." Ucapnya singkat.

Yang lebih muda mengangguk, sebenarnya Jaehyun agak merasa canggung sekarang. Ditambah karena misi yang sudah ia siapkan semenjak malam harus ia selesaikan sekarang atau ia akan menyesali hal itu hingga rambutnya sudah berubah menjadi putih. Jaehyun menggeleng. Tidak! Pokoknya ia akan menuntaskan misi itu sekarang.

Ia melirik sekilas ke arah Taeyong, ia mengangkat kedua sudut bibirnya kala melihat Taeyong yang cara makannya tak berbeda jauh dengan anak kecil. Bahkan saus yang ada di makanan itu belepotan hingga mengenai beberapa bagian wajah Taeyong. Sudut bibir, pipi, dan juga hidung bagirnya.

Jaehyun mengulurkan tangan, "Hyung, kalau makan pelan-pelan saja. Tidak akan ada yang mencurinya darimu." membersihkan sisa saus yang menempel pada sudut bibir Taeyong dengan ujung jari jempolnya hingga membuat pergerakan Taeyong berhenti. Lalu ia kembali mengangkat sedikit ujung jempolnya dan membersihkan sisa saus yang ada di ujung hidung. Menggesernya ke kanan dan membersihkan sisa saus yang menempel di pipi kiri.

Taeyong mengerjap satu kali, "Apa sebanyak itu?"

Jaehyun tertawa dan menunjukkan jempolnya pada Taeyong, "Lihat ini."

Pipi Taeyong memerah, dengan gugup ia kembali menyantap makanannya berusaha mengabaikan Jaehyun yang kini tengah menatapnya.

"Jaehyun, ada apa, sih? Kenapa melihatku begitu?"

Tak ada jawaban. Taeyong mendecak, "Jaehyun, kena—"

"Hyung, apa boleh aku memelukmu?"


To Be Continued...


Haloo, aku mau minta maaf ya karena sekian lama aku udah anggurin cerita ini. Aku kena WB hiks... dan males ngetik gitu hiks... hikss...

Ide cerita selalu mentok di situ-situ aja, ini pun rada ganjel mau update yang ini :'v

Semoga suka deh sama chapter yang ini :'v

Tenang aja, chapter depan ini udah end kok (?) Soalnya aku gak begitu mau ambil konflik di cerita yang ini :'v

Ini kenapa jadi banyak ini-nya :v :v

Sesuai dengan apa yang aku bilang kemarin, aku punya ide cerita baru yang entah kenapa terasa begitu—asdfghjkl deh :v

Au ah, itu aja masih iya masih enggak mau dibikin :v

Buat yang tanya kenapa aku discontinue Spring In London, aku cuma mikir aja, itu kan karya-nya orang, dan kak Ilana udah keren banget udah sukses bikin cerita semenarik itu :'v

Aku berasa jahat aja kalau tinggal ngetik ulang dan ganti nama tokoh, serius :'v

Berasa jahat dan berasa jadi penjahat :'v

Jadi aku minta maaf ya :"

Mohon pengertiannya~

Udah, aku gamau banyak bacot :'v

Maaf juga gak sempet bales review sekarang, tapi aku sayang kalian kok /ketjup :*

Satu lagi, jangan bosen mampir di akun ini ya^^

Mau kenalan? PM aja~ Aku gak gigit kok xD

Last, Review? /ppyeong~