Loneliness Ice

Boboiboy Animonsta Studio

Warn : Typo, OOC, Fem!Ice

Happy Reading ^^

Ice POV

Apa ini?

Ini di mana?

Aku tak bisa melihat, gelap.

Aku tak bisa mendengar, sunyi.

Aku tak bisa merasakan...

Inikah rasanya,

MATI?

Suatu hal layaknya gravitasi menarikku dalam kegelapan tak berujung. Atmosfir di sekelilingku menciptakan halusinansi 3 dimensi. Aku bisa melihat hidupku yang di mainkan seperti rollfilm. Saat aku masih kecil, hari di mana ibuku meninggal dan semua penderitaan yang ku alami. Aku hanya bisa melihatnya dengan expresi datar seraya tersenyum, menyedihkan kan hidupku ini?

Sebuah portal menantiku di bawah sana, ujung dari ceritaku. Terangnya cahaya yang dipancarkan, memaksaku menutup mata hingga aku benar-benar termakan oleh cahaya itu. Ketika netra ini menampakan iris aquamarine, aku sadar kakiku tidak menyentuh tanah, melainkan melayang bersatu dengan udara. Kedua netraku memperhatikan pemandangan di bawah sana. Langit gelap, awan bergelung, rinai hujan membasahi bumi, orang-orang berdoa memanjatkan doa, berbagai rangkaian bunga menghiasi tempat ini. Tertulis nama Ice Wisista di atas permukaan batu nisan. Begitu ya? Aku mengerti sekarang. Aku tengah menyaksikan pemakamanku sendiri.

Orang-orang berkumpul di bawah naungan langit kelabu yang membawa berita duka. Sanak saudara, para guru dan teman-temanku, oh iya! Bukankah aku tak punya teman ya? Ayah yang berada di antara keluarga besarku, ia menangis. Kenapa kau mengisiku Ayah? Bukankah kau tak peduli padaku? Kau selalu sibuk mengurus pekerjaanmu dengan alasan statusmu sebagai kepala keluarga. Taukah kau kalau tugas seorang ayah itu bukan hanya mencari nafkah, tapi juga membubuhkan cinta di keluarganya.

Di kelompok lain, orang yang sekelas denganku, mimik sedih terbaca dari paras mereka. Kenapa sedih? Bukankah dengan ini tak ada lagi murid kesayangan guru, murid yang egois dengan peringkat 1 di kelas? Ah, ya. Aku jadi ingat. Mataku mencari orang dari kumpulan manusia di sana. Itu mereka. Tak ku sangka mereka juga datang. Yaya dan Ying, ku lihat mereka juga memasang expresi sedih. Aku yakin itu hanya sandiwara merka saja, mereka akan pesta porak setelah ini.

"Apa kalian puas sekarang? Kalian senang setelah saingan terberat kalian pergi dan tak ada lagi yang menghalangi kalian?"

Aku tersentak ketika Blaze bicara pada 2 gadis di hadapannya dengan intonasi tinggi. Mereka membisu. Isakan kecil lolos dari gadis berkerudung merah jambu.

"Maafkan aku Ice." Ujar Yaya lirih.

Blaze tertawa mengejek, "Haha, kau minta maaf setelah Ice meninggal? Kemana saja kau kemarin, HAH!?"

"Hentikan!" Ying mulai membuka mulut, "Yaya, tidak, kami sudah minta maaf. Tentang terlambat atau tidak itu bukan urusanmu. Memang kau siapa?"

Blaze menajamkan pandang, "Ringan sekali bicaramu. Apa kau pikir setelah kalian minta maaf Ice akan kembali? Aku temannya! Apa kau tau selama ini Ice menderita?" Tak ada suara, mereka kembali terdiam, mencoba mengatur emosi masing-masing.

Seperti menonton drama di layar kaca, aku tertawa kecil. Pipiku terasa hangat oleh liquid yang keluar dari kedua netraku. Pandanganku pun buram, karena cairan yang menumpuk di pelupuk mata.

Apa? Aku menangis? Tidak. Aku segera menghapusnya. Senyum tawa di wajahku mulai luntur seiring air mata yang tak mau berhenti, terganti. Sudut bibirku turun dan isakan kecil mulai keluar dari bibirku.

Ucapan Blaze benar. Kenapa? Kenapa mereka baru peduli setelah aku pergi dari dunia ini. Mati? Benarkah ini yang ku inginkan? Kenapa Tuhan tidak adil padaku? Hiks.. Hiks.. Aku.. Ingin kembali..

Langit yang tadinya gelap, awan tebal yang menghalangi surya. Kini memberi celah untuk cahayanya menyinari tubuh mayaku. Tidak! Apa ini sudah waktunya? Sebuah tangan bercahaya menggapaiku, membawaku ke sumber kilauan ini.

Aku tak bisa membuka mata, aku juga tak bisa merasakan tubuhku bersandar pada apapun. Inikah yang namanya alam baka? Namun aku bisa merasakan berat tubuhku, aku merasakan tubuhku jatuh bebas. Aku, sudah mati. Air mataku jatuh.

"Ice." Aku bisa mendengar.

"Ice!" Seseorang memanggilku.

~Lucky13~

Normal POV

"Ice!" Blaze menepuk pipi Ice yang tak sadarkan diri. Ia berhasil membawa Ice ke permukaan dan menepi. Dengan modal nekat ia ikut menceburkan diri setelah ia melihat Ice terjun.

"Ice!" Tak ada respon. Tubuh Ice telah lemas, tekanan udara di paru-parunya telah sama.

"Tidak! Kau tidak boleh mati Ice! Tidak boleh!" Blaze mengguncangkan bahu Ice.

Sedetik kemudian Ice terbatuk mengeluarkan air yang mengisi rongga dadanya. "ICE!?" Kelopak matanya terbuka. "ICE!? Kau selamat?" ucap Blaze girang dan langsung mendekap tubuh ringkih itu.

"Blaze?" panggil Ice lirih.

Air mata Blaze menetes, "Jangan pernah. Jangan pernah lagi melakukan hal bodoh seperti tadi. Kau tidak sendiri di dunia ini, aku akan selalu ada ketika kau membutuhkanku."

Mata sayu Ice memandang langit yang dipenuhi lautan bintang, "Aku, hidup?"

Blaze mengangguk mantap, masih belum melepas pelukannya. "Syukurlah," gumam Ice. Iris aquamarinenya hampir tertutup kembali. "Terima kasih, Blaze."

Hening...

"Ice?" Panggil Blaze, merasa diabaikan ia melepas pelukannya. Gadis itu kembali menutup matanya. "Waduh! Aku memeluknya terlalu erat. Kalau dia mati karena ngga bisa nafas. Aku jadi terdakwa dan masuk penjara!?" Jantung Blaze berdegup kencang, takut ucapan Ice barusan adalah kata terakhirnya. Namun pada akhirnya ia menghela nafas lega setelah memastikan Ice hanya pingsan.

~Lucky13~

Ice merasakan angin yang berhembus lembut menerpa wajahnya, juga matahari yang bersinar hangat. Hamparan bumi hijau yang ia pijak menyejukkan pandang. Di tengah lapang ini, sebuah pohon besar menangui seseorang. Ice menajamkan mata untuk melihat orang itu.

"I-itu?" Ice yakin sekali dengan sosok di bawah pohon rindang itu.

"IBU!" Ice berlari menghapiri wanita paruh baya yang ia panggil ibu.

Wanita itu merentangkan tangannya, siap menerima terjangan dari putrinya. "Kau sudah besar ya, Ice?" ujarnya sambil membelai rambut panjang Ice.

"Aku kangen Ibu." Ucap Ice dalam dekapan hangat ibunya.

"Ibu juga, sayang."

Cahaya matahari menembus celah dedaunan yang membentuk bayangan yang menaungi dua insan. Ice telah bercerita banyak pada ibunya, sesekali tawa mengiringi alur ceritanya atau suara parau Ice yang menahan tangis yang lebih mendominasi ceritanya.

"Hidup memang seperti itu, roda kehidupan selalu berputar. Jadi jangan pernah menyerah menghadapi cobaan hidup."

"Tapi bu, Ice lelah. Ice ingin di sini saja, menemani ibu."

Ibu tersenyum lembut, "Tidak bisa sayang, kamu belum boleh ke sini. Lagi pula, bukankah di sana banyak yang menunggumu?"

"Mana ada? Bahkan ayah saja selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku juga tak punya teman." Ujar Ice lesu.

"Kalau belum kembali mana tau."

Ice berpikir, "Tapi bagaimana kalau aku rindu dengan ibu? Aku bertemu seperti ini saja aku sangat bersyukur."

"Bukankah ibu selalu di hatimu? Untuk apa kamu mencari ibu jauh-jauh jika selama ini ibu berada di hatimu? Tempat yang sangat dekat denganmu."

Ice terdiam sejenak, mengolah perkataan ibunya, "Kalau ibu tidak mengijinkanku untuk tinggal di sini, setidaknya biarkan aku di sini sebentar lagi."

Ibu hanya mengangguk kecil menyetujui permintaan putrinya, senyum tak pernah lepas dari paras cantiknya. Ibu bersenandung kecil menikmati waktu singkat seperti ini bersama putrinya.

Say you get hurt and

you feel like falling apart

I'll be by your side

To hold your shoulders up

Carrying all the hope in the world

This earth goes round

Now is the time to open the door the future

Sorrow and pain

Will one day turn into happiness

I believe in future

I believe

Ice tertidur di pangkuan ibunya yang masih membelai rambut panjangnya. "Kamu semakin dewasa, hatimu juga akan semakin kuat Ice." Gumamnya.

~Lucky13~

Semilir angin sore memainkan gorden berwarna putih, cahaya jingga menyebar seantero ruangan. Semerbak harum bunga aster mengisi udara ruangan serba putih itu. Setelah tiga hari tak sadarkan diri, akhirnya sore ini Ice terbangun dari tidur panjangnya. Lelaki yang senantiasa menunggunya membelai rambut panjang dengan tangan tertutup sarung tangan fingerless.

Perlahan kelopak mata yang terbuka perlahan hingga menampakan iris aquamarine bulat sempurna yang nampak cerah dari biasanya.

"Sudah sadar?" tanyanya. Ice memandang lelaki di sampingnya yang melontarkan senyuman hangat. Ia mencoba mendudukan diri dibantu oleh Blaze, "Kondisimu memang tidak membahayakan. Tapi kau harus istirahat untuk sementara waktu." Ujarnya.

Netranya memandang ke sekitar, mencoba memahami keadaan. "Kupikir kau benar-benar akan mati. Kau tak tau ketakutanku setengah mati setelah kalimat terakhirmu malam itu." Ujar Blaze sambil menghela nafas.

Ice memandang Blaze lekat yang dari tadi mengoceh,"Oh ya, ngomong-ngomong, kau siapa?"

Nafas Blaze tercekat, "Astaga. Saat kau terjun kepalamu terbentur apa? Sebentar akan ku panggil dokter." Blaze beranjak dari tempatnya hendak memanggil dokter, namun tangannnya di tahan.

"Pfftt, ekspresimu lucu sekali. Mana mungkin aku melupakan orang yang telah menyelamatkanku."

Blaze dikerjai, "Jangan bikin panik orang dong!" Ujar Blaze bersungut-sungut. Tapi senang rasanya bisa melihatnya tertawa seperti itu. Kalau bisa bercanda, sudah pasti keadaanya baikkan.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Ice sejurus kemudian.

"Karena kau temanku." Jawab Blaze singkat.

"Kalau sekedar seorang teman, orang tak akan melakukan sampai seperti yang kau lakukan."

"Hm, bagaimana kalau sahabat. Melihatmu aku jadi ingat sahabatku waktu SMP. Dia itu sangat mirip denganmu terutama sifatnya. Namanya Air. Tapi," Blaze menggantungkan kalimatnya.

"Tapi?" Ice tidak sabar menunggu kelanjutannya.

"Tapi dia meninggal tertusuk pisau saat preman menghadang kami dan mengambil barang kami. Dia mencoba melawan, tapi ternyata preman itu bersenjata. Saat sampai di rumah sakit, ia tak tertolong karena kehilangan banyak darah. Karena itu, saat kau menyayat dirimu sendiri di lab biologi aku lepas kendali. Maaf. Aku benci orang yang tak menghargai nyawanya sendiri. Karena itu, jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi."

Ice memandang luka di tangan kirinya yang hampir sembuh. "Kau tidak pernah sendiri lagi sekarang, karena kau sudah punya sahabat. Asal kau tau, sahabat itu tidak pernah meninggalkan sahabatnya sendiri dalam keadaan apapun."

Ice tersenyum dan mengangguk, "Uhm, terima kasih Blaze."

"Ah, ya aku jadi ingat. Kau yang mengirim surat berisi kertas kosong kan? Apa maksudmu?"

"Ah itu, aku memberimu lebaran baru." Ice nampak tak mengerti dengan ucapan Blaze. "Hidup manusia itu seperti sebuah buku, kau menulis cerita hidup kita di sana. Aku tau buku kehidupanmu banyak coretan (penderitaan), karena itu aku memberimu kertas baru untuk menulis cerita hidupmu berikutnya."

Ice menautkan alisnya, "Ini seperti bukan kau, kepalamu terbentur apa saat kau menyelamatkanku."

"Jangan copas kata-kata orang dong." Ice tertawa melihat expresi Blaze yang menggelikan.

Tok.. Tok.. Tok..

"Blaze om membelikanmu makanan, kau pasti belum maka-, Ice kau sudah bangun?" kata orang yang baru saja masuk ke kamar rawat Ice.

"Ayah?"

"Ayah benar-benar minta maaf, ayah selalu sibuk bekerja hingga lupa keluarga. Blaze sudah menceritakan semuanya. Ayah tak tau kalau kau begitu tertekan dengan semua ini."

Ice terdiam sejenak, "Tidak apa-apa ayah. Masa itu sudah lewat, aku sudah menyimpan kertas penuh coretan itu dan aku akan mulai menulis hidupku lagi." Ice melirik ke arah Blaze yang tengah tersenyum cerah.

"Kalau begitu Blaze pulang dulu om, besok saya akan kesini lagi."

"Terima kasih Blaze, oh ya sebaiknya makanannya dibawa pulang saja. Sayang kan kalau dibuang."

"Makasih om. Cepat sembuh Ice." Ujar Blaze sebelum ia keluar dari ruangan itu.

Ice hanya mengangguk, melihat Blaze yang menghilang di balik pintu.

"Kenapa expresimu senang sekali setelah sadar? Mimpi apa saja tidur 3 hari ngga bangun-bangun? Ayah sangat khawatir tau."

Ice hanya terkekeh, "Hehe, aku bertemu ibu."

"Benarkah? Apa yang kalian bicarakan?"

"Banyak sekali. Sebenarnya aku ingin tinggal bersama ibu, tapi ibu melarangnya."

Ayah mengusap lembut rambut Ice, "Maafkan ayah sayang. Ayah janji setelah ini akan lebih memperhatikanmu. Dan terima kasih, masih ada untuk ayah di sini." Pria itu memeluk Ice.

"Tidak ayah, Ice yang seharusnya berterima kasih."

Hari berikutnya, orang yang tak terduga datang menjenguknya. Yaya, Ying dan Fang datang menjenguknya bersama Gopal, Gempa dan Blaze.

"Hai Ice, bagaimana keadaanmu? Aku membawakanmu coklat Ferrero Rocher, ibuku membeli setelah pulang dari luar negeri kemarin." Ujar Yaya.

"Aku mau!" seru Gopal.

"Ini untuk Ice, bukan untukmu." Sembur Yaya.

Ice tertawa melihat pemandangan yang jarang ia lihat, "Terima kasih."

"Bagaimana keadaanmu? Kami langsung ke sini setelah Blaze bilang kau sudah bangun." tanya Ying yang mengganti bunga di vas dengan bunga yang ia bawa.

"Aku tidak apa-apa, hanya saja aku harus istirahat sedikit lebih lama."

Ying hanya ber oh ria, dan sepertinya orang di ruangan itu enggan untuk membahas masalah Ice yang bunuh diri itu.

"Ng, Ice kami minta maaf soal sikap kami yang -,"

"Tidak,"

"Hah!?"

"Aku tidak apa-apa sekarang, aku sudah memaafkan kalian –sejak aku melihat pemakamanku sendiri-."

"Terima kasih."

Sejak saat itu kehidupan Ice pun berubah, detik demi detik di jam dinding masih berjalan. Seiring waktu Ice semakin memiliki banyak teman. Jauh dari masa suram yang ia lalui selama ini.

Selama hidupku, aku bertemu banyak orang. Banyak hal yang telah terjadi dalam hidupku. Aku sudah banyak mengeluarkan air mata, marah, sedih dan menjalani banyak masalah rumit. Tapi aku memiliki banyak hal yang membuatku tersenyum sekarang.

Setelah berjuang keras, kehilangan arah dan menderita. Jawaban dari hidupku sangatlah sederhana. Setelah kita dipertemukan dengan orang lain, kita tidak akan pernah sendiri lagi.

Boboiboy Blaze, orang yang yang telah mencairkan es abadi di hati Ice. Namun Ice tetaplah Ice, ia menjadi dirinya sendiri. Berdiri di samping kehangatan tanpa kehilangan jati dirinya.

~Lucky13~

BONUS

Turnamen Sepak bola musim panas telah tiba telah dimulai beberapa hari yang lalu. Tim sepak bola dari SMA Pulau Rintis berhasil mencapai pertandingan final. Dari ruang ganti saja suasana sudah terasa sangat tegang, jantung berdegup kencang seperti ingin meledak. Semua pemain mengatur nafas dan konsentrasi untuk bertempur habis di lapangan nanti.

Tiba-tiba ponsel dari tas Blaze berbunyi. Ia membaca pesan singkat yang tertera di layar flatnya.

From Ice : Blaze bisa temui aku di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.

Ice? Kenapa tiba-tiba?

"Gempa aku ingin keluar sebentar saja, boleh?" tanya Blaze.

"Ya, tapi jangan lama-lama. 10 menit lagi kembalilah kemari."

Blaze mengangguk dan pergi dari ruangan itu menemui Ice.

"Jadi, ada apa?" tanya Blaze.

"Hanya ingin memberimu dukungan mental. Dengar kau jangan bermain sendiri di lapangan, lihat temanmu. Dari pertama kau bertanding, kau selalu membawanya sendiri."

Blaze menggaruk pipinya yang tak gatal, "Haha, itu, karena aku terlalu semangat."

Ice terdiam, matanya melirik ke arah jari Blaze yang gemetar, "Kau gugup?" tanya Ice.

Blaze menghela nafas, "Yah, ini pertandingan final. Semua orang yang bermain juga akan merasakannya di saat-saat seperti ini."

"Kalau begitu," Ice meraih tangan Blaze, "Aku ingin kau memakai ini." Ice memakaikan handband berwarna merah terang.

"Kalian akan memenangkan pertandingan ini, kan?" tanya Ice.

Blaze memadang handband di pergelangan tangannya, kemudian memandang Ice. Ia tersenyum dan mengangguk mantap, "Pasti, kami akan membawa pulang piala kemenangan itu."

Ice tersenyum cerah, "Semangat yang bagus, kalau begitu aku akan kembali ke trimbun. Aku akan mendukungmu dari sana." Ice menepuk bahu Blaze, memberi dukungan.

"Terima kasih."

Selama 90 menit mereka berjuang di lapangan, akhirnya pemenang telah ditentukan. Perjuangan, kerja keras dan keringat yang mereka keluarkan selama ini terbayar sudah. Tim sepak bola SMA Pulau Rintis membawa pulang piala kemenangan dengan skor 4-3. Stadion menjadi riuh dengan tepuk tangan penonton yang puas dengan pertandingan hari ini.

Blaze mencari sosok Ice di antara para penonoton, ia memadangnya seolah bicara –Kau lihat? Kami menang-

Ice bisa membaca padangan itu seraya mengangguk, -Ya, aku tau kalian pasti menang-

Blaze tersenyum cerah ketika menjabat tangan wali kota dan menerima medali sebagai penghargaan.

Pada akhirnya satu lidi akan patah begitu saja ketika dua jari menariknya ke bawah. Tapi ketika teman kalian berkumpul dan saling menompang, ia akan kokoh, tak peduli seberapa berat cobaannya.

FIN

Yatta, akhirnya selesai juga, gimana endingnya? Alurnya terlalu cepat kah? Kurang apa? Garam, merica, gula atau apa? *emang masakan?*

Lucky mengucapkan terima kasih pada yang udah nongol di fic ini, baik yang ngreview, fav or foll dan semua yang udah baca fic gaje ini.. Lucky bener-bener ucapin makasih banyak. Maaf juga kalau ada salah kata atau sikap saat pembuatanya..

Sebelum terlambat Lucky ucapin selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin..

Ice : Masih seminggu lebih keles.

Lucky : Biarin keles, nanti kalo aku belum bisa buat fic baru sebelum lebaran kan jadi ngga bisa ngucapin.

Ice : Terserah deh.

Sekian dari Lucky, ada kurang lebihnya mohon maaf. Sampai jumpa di fic berikutnya,

Bye ~Bye

Regard

LucKyra