Hey, wassup? I'm back with new series of this anthology, xoxo. Tiba-tiba saja teringat proyek ini dan ingin meneruskan. Kebetulan sekali Justin sedang come back, jadi stok lagu berikut judul-judulnya makin banyak. Mungkin setelah ini aku bakal rajin meneruskan serial-serial yang kuunggah di platform Fanfiction. Mungkin, lho, mungkin. Tidak menutup probabilitas aku tetap akan menganggurkan atau malah menghapusnya. Ekekek. Nah, enough talking. Let's begin! (oh, iya. Mengingat cerita-cerita dari seri ini sebelumnya punya jumlah kata yang sangat sedikit, aku mempertimbangkan untuk menambahnya mulai sekarang. Tapi karena temanya tidak berubah dari rencana semula, jatah "perincian begituan" tetap bakal kutulis dengan minim. Ohohoho.)

.

SORRY

.

Naruto sudah melakukan hal yang buruk. Sangat buruk baik bagi kekasih kecilnya maupun diri Naruto sendiri. Hinata sampai tidak mau berbicara dengannya, mengangkat telepon, bahkan menghadiri kelas yang dia ajar! Entah ke mana siswi yang ia kasihi sepenuh hati itu pergi saat jam pelajaran berlangsung. Hinata membolos dengan berani. Ingin sekali Naruto bertanya pada teman-teman sejawatnya, namun apa mau dikata? Orang akan mengira mereka punya hubungan aneh-aneh yang sesungguhnya memang betul aneh. Sebab yang membolos bukan hanya Hinata dan Naruto tak bakal mungkin peduli pada pembolos selain sang kekasih. Mengapa dia hanya menanyakan Hinata? Begitu pasti batin para murid. Naruto adalah guru fisika berusia 28 tahun sementara Hinata hanyalah seorang siswi kelas dua SMA. Delapan belas pun tak sampai umurnya.

Tempo hari Naruto berkunjung ke rumah gadis yang orangtuanya pergi ke luar negeri itu. Selayaknya sepasang kekasih, mereka melakukan apa yang biasa dilakukan: bercumbu, bermesraan, bermanja-manja. Hinata menyambutnya dengan kutang satin tembus pandang dan tingkah menggemaskan. Buah dada besarnya nampak samar-samar membuat nafsu dalam jiwa Naruto tumbuh. Gadis itu bergelayutan di lengannya, meletakkan pipi di dadanya, menghempaskan pinggul di antara kedua kakinya. Mereka berpelukan sampai serial drama di televisi habis diputar. Berdekapan selama itu dengan penampilan si perempuan yang begitu, tentu saja membuat Naruto ingin ke "situ".

Naruto menggeram di belakang telinga Hinata, menangkup dua payudara di balik punggung gadisnya yang sudah merona padam. Mereka sudah biasa bersentuhan sejauh asmara membara di antara keduanya, namun bila diibaratkan, hari itu Naruto bagai terpeleset kulit pisang. Uh, Naruto keluar di dalam! Hinata marah besar, menampar, lalu mengusirnya. Gadis itu menangis menjadi-jadi berkata bahwa ia takut sekali hamil karena ia masih sekolah, dan menikah pun mereka tidak! Segala upaya yang dilakukan Naruto untuk menenangkan Hinata tak secuil pun membuahkan hasil. Hinata terburu meluap. Naruto sendiri takut dan merasa bersalah. Pada akhirnya, lelaki itu tak lagi melakukan apa-apa.

Naruto mengusap peluh yang keluar di pelipisnya. Mengingat kejadian kemarin hari membuatnya sedikit merinding. Kalau tidak salah, waktu itu sudah tiga minggu setelah Hinata dapat menstruasi. Berarti jika mau diperkirakan, Hinata sedang subur. Apakah kekasihnya bakal benar-benar hamil? Bukannya Naruto tidak mau tanggung jawab, tetapi reputasinya sebagai guru bisa rusak kalau menikah dengan cara begitu, maksudnya, gara-gara wanitanya hamil duluan!

"Aduh! Mati aku!" gerutu lelaki semi paruh baya itu sembari meremas-remas rambut. Hinata marah, dan aku sendiri takut. Apa yang bisa kuperbuat? lanjutnya dalam hati. Sampai di sini, Naruto merasa bahwa dirinya cuma pecundang yang bisa ditemukan di banyak tempat sampah.

.

Ada seikat bunga di tangan Naruto. Tiga minggu berlalu sejak ia membasahi Hinata ditambah tiga hari saat ia termengu keringatan di kantor guru. Sudah ia putuskan untuk meminta maaf. Yang harus ia usahakan sekarang adalah membuat Hinata mau berbicara padanya terlebih dulu. Mendapatkan kesabaran dan ketenangan gadis manis itu. Setelahnya mungkin, ya, mungkin, baru dia akan mengajak kekasih kecilnya melakukan tes kehamilan.

"Huft…. God, this is so difficult to do," gumamnya dengan mata menancap kuat pada balkon lantai dua rumah di hadapannya. Itu kamar Hinata. Kamar yang mereka gunakan bersenang-senang, bersentuhan, dan merasakan satu sama lain.

Naruto menelan ludah. Ayolah! Dia harus jadi lelaki sejati! Sebelah tangannya yang menganggur menekan tombol bel di samping pagar. Sekali, dua kali. Hingga pada kali ke tiga, Hinata muncul di ambang pintu. Gadis itu menatapnya lurus tanpa jeda.

Dalam-dalam Naruto menghela napas. "Is it too late to say I'm sorry now, babe?"

.

Hanya ada benda-benda mati yang jadi saksi betapa dua sejoli itu dipisah jarak batin. Mereka duduk di atas sofa, berdiam-diaman seperti pengantre praktek klinik. Di pihak Naruto, terus menyala kecemasan yang bergulung-gulung dalam dada, sementara Hinata menolak untuk bersuara sesedikit-sedikitnya. Mata si pria tak mampu lelah melirik kekasihnya, sementara si wanita tak henti membuang muka.

"Is it too late now to say sorry?" Naruto mengulang kalimat yang ia ucapkan di depan pagar. Pangkal mata lelaki itu menyimpan kekhawatiran besar. Bunga yang tadi dibawa Naruto tergeletak begitu saja di atas meja tanpa ada sentuhan dari penerimanya. Hinata tidak pernah sedingin ini. "Sayang?"

Masih tak peduli, dia yang dibalut pakaian baby doll biru muda lembut kekeh pada pendiriannya untuk bisu. Naruto dianggurkannya mengoceh sendiri, sementara ia beranjak menyambar ponsel di atas meja—di samping buket bunga Naruto—membuka media sosial. Hinata-sungguh-kesal. Jauh di lubuk hatinya, perasaan dongkol mengeras tak hilang-hilang.

"Hinata, sungguh aku minta maaf! Aku benar-benar menyesal! Waktu itu aku tak bisa menahannya. Salahmu juga bergoyang-goyang begitu!" tambah Naruto. Suaranya parau. "Ayolah katakan sesuatu!"

Wajah Hinata memerah seusai lelakinya berujar demikian. Apa maksud guru di sekolahnya itu berkata begitu? Membuat Hinata malu!

"Aku rindu sekali padamu!" Naruto tampak makin bingung. Tergesa-gesa ia menggeser pinggul mendekati sang kekasih. Tangannya menggapai lengan Hinata, menelusuri bahkan sampai gemetar. "Can we both say the words and forget this?"

Tatapan pria itu setengah padam. Wangi Hinata, halus kulitnya, terutama dua susu lembut yang menggantung di dadanya selalu membuat Naruto jatuh kepayang dengan cepat. Berdusta pada diri sendiri hanya akan menimbulkan penyakit. Bagaimana pun, Naruto adalah seorang lelaki bernaluri. Ia ingin bercengkerama dengan perempuannya lagi. Menciumnya, merasakannya.

Tetapi lebih dari tubuhnya, Naruto merindukan Hinata itu sendiri.

Detik demi detik berlalu. Ketika kondisi mereka sudah jauh dari kata beku, keluar desahan lemah dari mulut Hinata. Naruto memperhatikan gadisnya lekat-lekat. Desahan itu sedikit pun tak terdengar seperti desahan keberatan. Ia dapati kening Hinata yang samar-samar dicucuri keringat. Kulitnya panas, tapi bukan seperti Hinata ingin bergumul. Ada apa?

"Hinata, kau sakit?" Naruto bertanya. Leher Hinata juga agak basah.

"Sensei, sebenarnya aku…—"

"Sebenarnya?" Naruto membeo perkataan Hinata. Kini keningnya ikut-ikutan berkeringat. Perempuan itu tak kunjung melanjutkan ucapannya. Sebenarnya apa? Sebenarnya? Oh! Jangan-jangan!

Jantung Naruto seakan berhenti berdetak. Mungkinkah Hinata hamil?

"Waktu itu… sensei keluar banyak sekali." Hinata akhirnya mau menanggap panjang obrolan Naruto. Mata yang tadi hanya terpaut pada layar ponsel kini berganti menatap dalam dua mata biru Naruto. Sedikit berkaca-kaca, Hinata membuka mulut mungilnya lagi. "Hi-Hinata tidak mau hamil sekarang."

Naruto tidak mengerti. Hinata sedang bertele-tele!

"Ya, sensei tahu. Sensei juga tidak ingin Hinata hamil di saat tubuh Hinata belum siap." Namun sebisa mungkin Naruto berusaha mengubur kepanikan itu. Naruto harus membuat Hinata nyaman. Diikutinya segala tema pembicaraan yang dilontarkan sang kekasih.

Tiba-tiba Hinata merangkak menaiki paha Naruto. Ia dengan sengaja sekali menempelkan pucuk payudaranya pada dada bidang si guru fisika. Setengah kaget Naruto mendapat perlakuan demikian sekaligus setengah terpicu. Hinata memang selalu manja padanya, tapi di saat seperti ini? Sebenarnya apa isi kepala Hinata?

"Naruto-sensei, aku…—"

"Ya?"

"Hinata ini…—"

"YA?!"

"Minggu kemarin aku baru saja…—"

"Hinata baru saja?"

"—dapat mens…."

Hening sekejap. Naruto menatap kosong wajah kekasihnya yang entah sejak kapan dihiasi senyum tipis.

"Sensei, apa sensei sungguh menyesal? Sebelum ini sensei tak pernah mau minta maaf."

"Hinata, berarti kau tidak hamil dong?" Berbicara yang ingin dibicarakan saja, itulah yang Naruto lakukan. Hinata mengerutkan dahi. Laki-laki ini tidak menanggapi perkataannya! Perempuan itu menghela napas kasar, sebal akan tingkah Naruto.

"Selalu saja sensei begitu!"

Tanpa peringatan, Naruto menyerbu bibir merah jambu Hinata. Yang dicium sontak terlonjak terkejut. Setelah apa yang gadis itu lakukan—menjauh dengan harapan kekasihnya akan berubah menjadi lebih pemikir—Naruto ternyata masih saja bertindak sembrono. Menyentuh, mencumbu, melakukan hubungan fisik dengan kasar. Ciuman ini bahkan begitu mendadak dan tak terkira. Sampai tersedak Hinata menerimanya. Tangan gadis itu mengudara, menepuk-nepuk pundak si lelaki sekuat yang ia dapat. Benang liur tercipta di masing-masing ujung bibir mereka.

Naruto menatap sendu ke tengah mata Hinata. Ada sepercik api yang hendak ia kobarkan lebih besar. Meminta tolong, Naruto mengujar kata rindu lagi berharap Hinata sudi memberi minyak.

"Did you still angry after all of my honesty?" kata Naruto dengan nada memuja.

Hinata menggembungkan pipinya. "Ini yang sensei sebut 'minta maaf'?"

"You know I try, but I don't do too well with apologies."

Bagaimana kalimatnya itu memicu reaksi, Naruto tidak tahu. Hinata malah bangkit dari pangkuannya, melangkah menembus gorden ruang tamu di saat hati Naruto belum lega benar. Salahkah lagi ia? Hinata tampak merajuk, seperti akan rewel lagi. Naruto berdiri menyusul kekasih tersayangnya.

"Hinata?" panggil Naruto. "Kau tak mau maafkan aku, ya?"

Hinata menoleh. Sudut matanya begitu tajam penuh kejengkelan. Sepertinya bagaimana pun ia mau merajuk, tak akan punya pengaruh terhadap makhluk yang umurnya saja dewasa tetapi otaknya tidak seperti Naruto. "Kau sungguhan menyesal atau tidak, sih?"

'Kau?' Naruto bergumam dalam hati. Wah, kacau! Hinata benar-benar marah!

"Tentu saja aku menyesal!" Pria berambut kuning itu mencak-mencak.

Hinata sudah tak ingat kali ke berapa helaan napas yang diambilnya saat itu. "Ya sudah. Aku maafkan. Lupakan sajalah sensei. Yang penting kan yang kita khawatirkan itu nyatanya tidak terjadi…," tukasnya sambil mengibaskan tangan.

Senyum kecut terbentuk di bibir Naruto. "Ja-jadi?"

"Iya, aku maafkan."

"Terima kasih!" Naruto reflek membungkuk formal. Terjadi tiba-tiba saja tanpa dipikir. Peluh bercucuran dari keningnya. "Ta-tapi, ada hal lain yang belum kau beri kepastian Hinata…."

"Apa lagi?"

Si lelaki melebarkan kedua kaki Terlihat tonjolan besar di tengah-tengah sana. Menyadarinya tentu membuat Hinata merona panas. Gurunya ini sungguh otak selangkangan!

"Yah, mau bagaimana lagi. Ayo naik ke kamar."

.

Desahan, erangan, geraman, dan lenguhan memantul-mantul di seluruh penjuru dinding kamar bernuansakan lavender itu. Bunyi detik jarum jam saja yang biasanya terdengar keras saking sepinya kamar jadi teredam total, tak termakan telinga sebab sangat nyaringnya senandung-senandung cinta si guru dan murid. Naruto dan Hinata setengah telanjang, memanen madu di atas ranjang. Berderit-derit kaki dipan dibuatnya.

"Ahh, Hinata. Aku rindu ini." Naruto menghentakan pinggulnya lebih dekat dengan pantat polos Hinata. Ia tak tahan untuk mengeluarkan pancuran cinta. Hinata begitu hangat, memicu kuat jiwa dan ototnya. Serasa melayang di angkasa. Bidadarinya nikmat sekali.

"Ya, Naruto-sensei…," balas Hinata payah. Dadanya berdebar menerima semua hujaman Naruto. Tubuhnya bergoyang-goyang diantuk sang kekasih. Nyaris sebulan tak bersentuhan dengan guru mesumnya membuat Hinata merasa tak biasa. Naruto terasa lebih besar, entah kenyataan atau ilusi saja. Perempuan itu terangsang hingga ujung jari kaki. Bergetar, berpeluh, memanas. Pangkal kejantanan Naruto seperti mencapai perutnya.

Mendadak Naruto membopong tubuh Hinata. Pria itu menghimpit si wanita di antara dadanya dengan tembok kamar. Ia lantas menyeringai.

"Hinata, jangan marah lagi, ya? Aku sungguh minta maaf," ujar Naruto. Kepalanya kemudian menukik menuju buah dada Hinata yang sudah tak karuan. Dikecup oleh lelaki itu, dihirup, disesap lembut-lembut seperti bayi menyusu.

Hinata menjerit singkat. "Kyah! I-iyah, terserah sensei sajalah! Kau kan memang selalu begitu! Pokoknya aku tidak mau hamil sekarang saja!"

Mereka saling menghangatkan entah sampai kapan. Di rumah besar itu, tak ada satu makhluk hidup pun yang ingin repot-repot malu menyaksikan pertukaran cinta yang dashyat. Naruto menghujam-hujam sedang Hinata terlonjak-lonjak.

"AHHH~!"

Malam menjelang. Pergumulan itu belum mereda. Bila bunga yang tadi dibawa Naruto punya mata, telinga, tangan, dan kaki, mungkin dia akan pergi dari rumah berisik itu sambil marah-marah.