Yang Mulia Oh : see you soon, my love

Yang Mulia Oh : i always love you

Yang Mulia Oh : please wait for me


Ia menoleh ke belakang, mengamati deretan wartawan dari berbagai macam negara yang mendokumentasikan momen ini atau menyiarkannya secara langsung ke seluruh dunia. Mereka mungkin mengenal Oh Sehun sebagai pangeran cassanova yang memiliki gaya hidup liar dengan reputasi buruk di kalangan keluarga kerajaan lainnya. Namun, bagi dirinya pangeran kedua dari Sokovia itu adalah seorang pahlawan yang bukan hanya menyelamatkan dirinya, melainkan keluarga kerajaan di mata dunia.

"Jangan menangis, bro," bisik Sehun dari sampingnya.

Ia menoleh ke arah kakaknya yang terlihat begitu tenang seolah besok mereka akan bertemu lagi. Vernon menyunggingkan senyum lemah. Matanya menerawang ke arah kakak pertamanya yang sedang mengobrol bersama pilot pribadi kerajaan serta ayah mereka yang tampak berbeda. Lihat, bahkan Raja Sokovia yang terkenal amat membenci putra keduanya (menurut media) terlihat tidak siap menghadapi kepergian anaknya.

"Aku serius. Jangan menangis. Seb sudah menangis tadi, sekalipun dia menyangkalnya mati-matian. Selain itu, eomma juga menangis sejak kemarin malam-"

Kata-kata Sehun terputus saat Vernon memeluk dirinya erat. Pria itu tertegun kaget karena meskipun Vernon adalah baby di keluarganya, bajingan kecil itu tidak pernah mau diperlakukan seperti bayi terkecil di keluarga mereka. Sehingga, seiring bocah itu beranjak dewasa. Ia tidak pernah lagi memeluk Sehun atau Sebastian seperti ini. Sehun membalas pelukan adiknya. Tiba-tiba saja, rasa takut itu kembali datang menyerang dirinya. Menggoyahkan kepercayaan yang ditanamkannya kalau pasti ia akan kembali dan ini bukan terakhir kalinya ia bertemu keluarganya.

Ketika, Vernon melepaskan pelukannya. Sehun berusaha mengangkat kepalanya tinggi-tinggi serta menahan air mata yang berada di pelupuk matanya. Ia mencoba untuk tegar, sekalipun separuh dari dirinya perlahan-lahan runtuh di dalam sana. Ibunya yang berdiri di samping beberapa orang kepercayaan kerajaan tidak berhenti menangis dengan kepala tertunduk. Sebastian berjalan ke arahnya, berusaha untuk terlihat tenang. Namun, begitu matanya bertemu dengan Sehun. Pria yang sebentar lagi akan menjadi Raja Sokovia itu kembali kehilangan kendali atas emosinya.

"Seb, please, jangan menangis lagi," mohon Sehun. Ia mencoba untuk terdengar seperti memperolok kakaknya, tapi sayangnya ia gagal.

Sebastian mengangguk lalu menundukkan kepala untuk menghapus air matanya. Sementara itu, ayah mereka datang menghampiri Sehun dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun ini, pria itu terlihat benar-benar peduli pada dirinya. Sehun melihat suatu kecemasan serta kesedihan tersorot jelas dari matanya. Pria itu memang tidak bicara karena ia tidak pandai dalam mengutarakan perasaannya. Namun, matanya bicara lebih banyak daripada mulutnya. Tanpa peduli pada ratusan wartawan yang menyorot mereka sekarang ini, Sehun memeluk ayahnya untuk terakhir kali.

Lalu, ia menangis terisak di dalam dekapan ayahnya. Melepaskan seluruh pertahanannya untuk sesaat saja sebelum ia pergi meninggalkan semua yang dicintainya di sini. Sehun merasa dirinya kembali terlempar ke masa-masa dimana ia pernah menganggap ayahnya sebagai pahlawan yang selalu ada untuk mengusir mimpi-mimpi buruknya. Siapa yang menyangka kalau tiba saatnya bagi dia untuk menjadi seorang pahlawan dan mengusir mimpi buruk orang lain?

"папа горжусь тобой," bisik ayahnya untuk terakhir kali sebelum ia melepaskan pelukannya. ("Ayah bangga padamu,")

Sehun menghapus air matanya lalu menatap ke arah Sebastian sebagai tanda kalau ia siap. Setelah itu, Sebastian bicara dalam bahasa Sokovia memberitahu pada pilot kerajaan bahwa Pangeran Sehun telah siap untuk pergi. Kedua orang pilot itu mengangkat topinya pada Sehun, sebagai bentuk penghormatan serta simbol bahwa pangeran itu bisa memercayai mereka, yang merupakan suatu tradisi yang biasanya rakyat lakukan pada keluarga kerajaan yang menurut mereka layak untuk dihargai. Sehun membalas tindakan mereka dengan senyuman tulus. Karena akhirnya ia merasa layak untuk dihargai oleh rakyatnya.

Sebelum, Sehun melangkah mengikuti dua orang pilot itu masuk ke dalam pesawat. Ia mengeluarkan sepucuk surat dari dalam saku jasnya lalu memberikan surat itu pada Vernon. Seperti bisa membaca pikiran kakaknya, Vernon mengangguk dan itu adalah janji terakhir sebelum Sehun pergi.

Untuk mengantarkan surat terakhir pria itu pada Kim Jongin.

.

.

Jongin menutup dirinya sejak kepergian Sehun. Ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan serta kegiatan-kegiatan yang belum pernah dicobanya. Semula, Joonmyun berpikir kalau itu adalah hal yang bagus. Namun, seiring berjalannya waktu matanya terbuka dan ia dapat melihat dengan jelas kalau Jongin tersiksa–adiknya itu sama sekali tidak bahagia.

Joonmyun mencoba mencari tahu mengapa. Ia sudah menanyakan beberapa sahabat Jongin, terutama Nayeon. Namun, tidak ada yang tahu atau ia yakin Nayeon pura-pura tidak tahu. Hanya satu hal yang Joonmyun ketahui pasti kalau apapun masalah yang mengganggu adiknya itu pasti ada hubungannya dengan pangeran dari Sokovia. Karena setiap liputan mengenai kepergian pangeran tersebut serta pelatihannya di US Army disiarkan di televisi. Jongin langsung mengganti saluran dengan wajah marah dan kadang sedih.

Hingga, suatu hari sekitar dua minggu setelah kepergian Pangeran Sokovia itu dan menurut Jongin adalah masa-masa penyiksaan bagi batin serta pikirannya. Sepucuk surat dengan stampel kerajaan datang dan ditaruh di atas meja kantornya. Nayeon tersenyum lemah dan ia yakin kalau gadis itulah yang mengantarkan surat itu sampai berada di atas mejanya. Jongin segera membuka surat itu dan duduk di bangkunya menghadap ke arah jendela. Ia tidak ingin ada satu pun pegawainya melihat ia menangis di pagi hari yang cerah ini.

"Dear, Jongin.." baca Jongin memulai penyiksaan terakhirnya ini.


Dear Jongin..

Asal kau tahu saja, seperti ayahku.. aku tidak begitu pandai mengutarakan perasaanku apalagi lewat surat seperti ini. Well, aku tahu caraku super kuno karena aku bisa saja mengirimkan email padamu atau mungkin kita masih bisa berkomunikasi selama pelatihanku di Amerika.

Ya, mungkin aku bisa melakukan itu. Karena jujur saja aku akan sangat merindukan. Mungkin, ini akan kedengarannya gila karena kita baru saja bertemu dan bahkan kita tidak terikat hubungan apapun. Damn, kita bahkan belum berhubungan seks lol tapi Kim Jongin.. i fucking need you. Tanpa kau sadari atau diriku pun sendiri, kau sudah menjadi satu bagian dalam hidupku. Kau memang bukan keluargaku. Kau juga bukan temanku. Tapi, kau adalah sesuatu yang lain.. sesuatu yang membuatku dapat berdiri tegak pagi ini menghadapi ketakutan terbesarku.

Jadi, kembali ke alasan mengapa aku tidak ingin mengirimkanmu email.. karena, well, selama hidupku aku selalu menjadi pangeran egois yang bertindak seenak dirinya serta hanya membawa dampak negatif bagi orang-orang di sekitarku. Jadi, untuk pertama kali serta terakhir kalinya aku tidak ingin menjadi egois, Jongin. Aku ingin membebaskanmu. Aku ingin kau melupakanku. Karena mungkin saja aku tidak akan kembali lagi, my love. Atau seandainya aku kembali, aku tidak akan menjadi Sehun yang pernah kau cintai dulu.

Aku tidak ingin kau menderita karenaku. Aku ingin bahagia. Aku tidak ingin egois. Karena itu adalah intinya dari mencintai seseorang, bukan? Aku mencintaimu. Aku menginginkanmu bahagia. Jadi, kumohon lupakan aku.

Sincerely,

Yang Mulia Oh (haha aku tahu kalau kau masih menggunakan nama ini untuk kontak teleponku)


Jongin merasa marah. Ia tidak marah pada Sehun atau keluarga kerajaan yang dengan teganya mengirimkan pangeran mereka ke medan perang. Tidak, ia sama sekali tidak menaruh dendam pada mereka. Jongin hanya merasa marah pada takdir yang seolah mempermainkan mereka. Untuk apa mereka bertemu kalau pada akhirnya mereka berpisah? Untuk apa mereka saling mencintai kalau pada akhirnya mereka saling melupakan? Ini sangat tidak adil bagi Jongin ataupun Sehun. Mereka pantas untuk bahagia bersama.

Jongin menghapus air matanya lalu bangkit berdiri. Mungkin, dirinya memang gila atau ia sangat mencintai Sehun dan ingin memperjuangkan hubungan mereka. Namun, terlepas dari semua itu mungkin memang inilah saatnya ia menjadi anak yang baik dan menuruti keinginan ayahnya sebelum semuanya terlambat dan ia berakhir menyesal.

Nayeon terlihat cemas, tapi gadis itu memilih untuk diam sebagai tanda kalau ia menghormati privasi Jongin. "Aku akan mengunjungi ayahku mungkin aku akan kembali sore nanti," Nayeon menganggukkan kepala. Gadis itu mengecek jadwal Jongin hari ini dan untungnya pria itu tidak memiliki jadwal penting.

Sebelum, Jongin berjalan pergi meninggalkannya. Pria itu menyentuh bahu sahabatnya membuat Nayeon membeku di tempat. Ini bukan pertanda yang bagus karena sekalipun mereka bersahabat cukup lama Jongin tidak pernah bertindak seperti ini di kantor. Mereka selalu membatasi hubungan persahabatan mereka selama mereka masih berada di kantor. "Aku sangat memercayaimu. Kau adalah sahabat terbaikku. Jika, suatu hari nanti aku tidak akan pernah kembali lagi. Aku memercayakan posisiku ini untukmu selama aku pergi," kata Jongin tidak main-main dengan perkataannya.

Setelah itu, Jongin melangkah pergi meninggalkan Nayeon yang hanya bisa terdiam menatap kepergiannya. Ia yakin kalau perkataan Jongin itu adalah sebuah salam perpisahan. Karena Kim Jongin yang dikenalnya tidak akan pernah menyerah pada kariernya yang ia rintis dengan penuh perjuangan, kecuali pria itu benar-benar sudah lelah dan ingin berhenti untuk selamanya.

Mungkin, ini adalah masa pensiun Jongin yang datang terlalu dini. Sebagai seorang sahabat, Nayeon hanya bisa mendukung setiap keputusan sahabatnya. Selain itu, jika ia boleh berpendapat pekerjaan ini memang semakin lama semakin menyiksa Jongin karena terlalu menyita waktu luang pria itu. Nayeon dapat melihat kalau semakin hari, bahkan sebelum Jongin bertemu dengan Sehun, sahabatnya itu semakin kewalahan untuk mengurus dirinya sendiri. Beberapa kali Jongin masuk rumah sakit karena kelelahan mengejar deadline serta memuaskan klien mereka.

Nayeon bersandar pada bangkunya. Mungkin, memang inilah jalan terbaik bagi Jongin.

.

.

Sehun memiliki waktu seminggu lagi sebelum ia dikirim ke Irak.

Selama seminggu ini, ia dilatih bersama tentara lainnya untuk menjadi tentara yang siap untuk berperang dan kalau keberuntungan berpihak padanya, mungkin ia bisa memenangkan perang itu. Sehun tidur di matras keras yang selimutnya sebulan sekali baru dicuci. Ia sama sekali tidak diperlakukan sebagai pangeran di sini dan jujur saja ia sangat menyukainya. Di sini, ia diperlakukan seperti tentara lainnya. Ia mendapat pelatihan serta hukuman yang sama. Namun, meski begitu tetap saja ada beberapa tentara yang membenci serta iri padanya.

"Kolonel Phillips," Sehun serta seorang tentara bernama Edward–ia yakin itu bukan nama aslinya karena pria itu berwajah sangat oriental–di sampingnya memberi hormat dengan bersamaan.

Pria dengan jabatan kolonel yang melatih mereka selama seminggu ini berdecak sambil menggelengkan kepala. "Apa yang kalian berdua lakukan kali ini?" tanyanya dengan suara lantang mengalahkan suara hujan di luar sana.

Sehun melirik Edward yang hanya terdiam menatap atasan mereka itu. Oke, bajingan itu tidak mengakui kesalahannya. Sehun menatap lurus ke arah Kolonel Phillips dengan mulut mengatup rapat. Jika, bajingan itu tidak mau mengaku. Maka, ia pun akan diam saja, sekalipun rahangnya mulai mati rasa sekarang. "Tidak ada yang mau mengaku, huh? Bagus! Sangat bagus," pria itu terlihat seperti akan tertawa. Ia melirik salah satu rekannya lalu mengangguk. "20 kali putaran dimulai dari sekarang!" perintahnya.

"Yes, Sir," teriak mereka bersamaan.

Sehun dan Edward keluar dari barak tentara–tempat mereka tinggal–berlari menembus hujan deras. Awalnya, mereka berlari beriringan hingga tiba-tiba saja Edward berlari lebih cepat dari Sehun mengitari lapangan tempat mereka biasa berlari pagi bersama tentara lainnya. Sehun tidak tahu apa yang berusaha Edward buktikan padanya. Dari tentara lainnya yang pernah mencari masalahnya, Edward adalah satu-satunya orang yang membencinya dengan alasan personal. Sehun mengejar Edward yang berada tidak begitu jauh di depannya.

"Kenapa kau sangat membenciku?" tanya Sehun saat mereka kembali berlari beriringan.

Ini adalah putaran ke sepuluh mereka dan kondisi tubuh mereka mulai melemah. Bagaimanapun juga, mereka baru menyelesaikan pelatihan fisik mereka beberapa jam yang lalu sebelum hujan turun. Seharusnya, ini adalah waktu istirahat mereka. Namun, terima kasih pada Edward yang menyulut emosinya hingga mereka kembali saling menyerang. Dan jika dirinya boleh membela diri, Edward adalah orang pertama yang meninju wajahnya.

"Aku tidak membencimu," suara Edward nyaris teredam hujan. "aku hanya tidak menyukaimu saja." lalu pria itu berlari kembali mendahuluinya.

Jawaban bajingan itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Sehun memutuskan untuk mengejar Edward kali ini karena ia tidak ingin menghabiskan sisa tenaganya untuk bajingan itu. Dan benar saja, sebelum Edward mencapai putaran ke dua puluhnya pria itu sudah tumbang jatuh di tengah derasnya hujan. Kolonel Phillips yang sedaritadi memperhatikan mereka dari jendela sudah bersiap untuk menyuruh tentara lainnya untuk menolong Edward. Namun, begitu ia melihat Sehun yang baru saja menyelesaikan putara ke dua puluhnya mengalungkan satu tangan Edward pada lehernya dan menopang tubuh pria itu masuk ke dalam barak. Pria itu tersenyum puas. Mungkin, Oh Sehun bisa menjadi kapten yang tepat untuk misi penyelamatan kali ini.

Keesokan harinya, Sehun bangun sekitar pukul 4 lewat beberapa menit. Di dalam kamarnya ada enam ranjang berderet dan kebanyakan dari mereka masih tertidur lelap. Salah seorang tentara yang bisa dibilang adalah temannya–Scott–menaruh buku yang semula dibaca olehnya lalu tersenyum ke arah Sehun. "Hei, man, Phillips bilang kalau kau tidak usah mengikuti pelatihan menembak pagi ini,"

"Why?" Sehun sadar kalau dirinya adalah penembak yang cukup hebat. Namun, itu bukan berarti kalau ia tidak membutuhkan latihan lagi.

Scott mengangkat bahu. "Katanya, kau harus bersiap-siap untuk pertemuan jam tujuh nanti. Mungkin, dia akan membahas misimu ke Irak nanti,"

Sehun hanya mengangguk. Ia kembali berbaring di atas matras kerasnya berusaha untuk tetap tenang. Empat hari lagi sebelum keberangkatannya ke Irak. Ia akan kembali meninggalkan orang-orang baru yang ditemuinya di sini dan menghadapi medan perang sesungguhnya. Matras keras ini mungkin akan menjadi salah satu kenangan terbaik yang akan dirindukannya. Karena nanti mungkin saja ia akan tidur di atas reruntuhan bangunan atau mungkin di tempat yang lebih ekstrem lagi mengingat kondisi Irak sangat tidak aman sekarang.

"Hei, man," Sehun kembali membuka matanya. "aku harap kau bisa kembali dengan selamat," ujar Scott membuat nafas Sehun menyesak.

Ia juga berharap begitu.

Sekitar pukul setengah 7, Sehun bangun dan mendapati kamarnya sudah kosong. Ia berjalan keluar dari kamar menuju satu-satunya toilet yang berada di baraknya. Langkahnya terhenti saat matanya bersitatap dengan Edward yang baru saja bangun seperti dirinya. Pria itu terlihat lebih kacau daripadanya serta memar di wajahnya yang merupakan hasil dari buku tangan Sehun membuat kondisi pria itu semakin parah. Diluar dugaannya, Edward melemparkan seutas senyum kecil padanya. Well, ternyata bajingan itu tahu diri juga.

Namun, sebelum Sehun sempat menanyakan kabarnya. Pria itu sudah masuk ke dalam toilet tidak peduli kalau Sehun datang lebih awal daripadanya. Damn, that bitch. Sehun langsung mengutuki dirinya dalam hati.

Edward mandi lebih lama dari yang diperkirakannya. Entah bajingan itu mencoba membuat dirinya terlambat atau dia memang memiliki kebiasaan mandi yang buruk. Ketika, bajingan itu akhirnya keluar dari toilet berukuran lebih kecil daripada closet setelan mahal Sehun di atas. Ia dapat menyimpulkan kalau bajingan itu memang mengerjainya. "Fuck you," geram Sehun.

Edward menyeringai. "Whatever, Captain,"

Sehun tertegun mendengar panggilan yang pria itu berikan padanya. Namun, sebelum ia bisa menuntut penjelasan dari Edward. Bajingan itu sudah pergi meninggalkannya. Sehun tidak mau mengulur sisa waktunya dengan mengutuki Edward. Sehingga, ia segera masuk ke dalam toilet dan mandi lebih cepat daripada biasanya. Kemudian, ia berlari menuju kamarnya yang tidak jauh dari toilet dan langsung berpakaian. Ia memandang pantulan dirinya di kaca melihat seorang tentara lengkap dengan seragamnya sedang menatap balik kepadanya.

Captain Sehun from Sokovia. Well, that sounds hot.

Sehun mengedipkan mata pada pantulan dirinya. Lalu, ia berjalan keluar dari kamar serta baraknya menuju kantor US Army di seberang area barak tentara. Ia melihat para tentara lainnya sedang berlatih keras di bawah pengawan para tentara senior. Sebut dirinya gila, karena jika dirinya tidak terlahir sebagai seorang pangeran. Mungkin, ia akan mempertimbangkan tentara sebagai profesinya. Ia tidak melihat Kolenel Phillips di pangkalan tempatnya biasa mengawasi tentara privat lainnya. Sialan, pasti pria dengan tempramen meledak-ledak sedang mengomel atau mengutuki keterlambatannya sekarang. Sehun semakin mempercepat langkahnya menuju gedung kantor. Ia sama sekali tidak tahu apa yang menantinya di dalam sana.

.

.

Jongin tidak menyangka kalau ia berada sedekat ini dengan Sehun sekarang.

Ayahnya yang tidak berhenti tersenyum serta menepuk bahunya, sejak ia mengajukan permohonannya untuk terlibat ke dalam misi penyelamatan Sokovia, menuntunnya menuju ruangan dengan pintu berplakat besi bertuliskan nama Colonel Phillips. "Appa masih tidak memercayai semua ini," gumam ayahnya. Tangan pria itu sudah menyentuh gagang pintu.

Jongin menatap dirinya dan melihat keraguan yang pria itu berusaha sembunyikan darinya. "Berhenti mencemaskanku, Kapten," gurau Jongin seraya memberikan hormat pada ayahnya.

Pria paruh baya itu memutar mata lalu menurunkan gagang pintu. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dan anaknya mengekor di belakangnya. "Kapten," sapa kolonel yang diduganya adalah Kolonel Phillips.

"Kolenel," balas ayahnya lalu mereka berpelukan.

Ayahnya pernah bercerita kalau pria itu pernah mendapat pelatihan di Amerika untuk beberapa bulan. Kolonel Phillips, atau dulu masih menjadi Sersan Phillips, adalah salah satu kawan baiknya. Mereka pernah berperang bersama melawan Jerman saat perang dunia. "Dan ini Jong-Jongin?" Bibir Jongin berkedut hebat. Ia tidak boleh menertawai sahabat lama ayahnya hanya karena pria itu terdengar lucu saat mengucapkan namanya.

"Yes, sir," jawab Jongin sambil memberi hormat.

Senyum di bibir ayahnya semakin mengembang lebar. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, pria itu tampak tidak keberatan mengakui Jongin sebagai anaknya. Kolonel Phillips mempersilahkan mereka berdua untuk duduk. Pertama, ayahnya lah yang memulai diskusi mereka dengan daftar senjata yang telah ia kirimkan ke markas tentara yang berada di Bagdad, ibu kota Irak. "Ini sangat banyak," komentar Kolonel Phillips. Pria itu melirik ayahnya sekilas lalu kembali mengamati daftar senjata yang ayahnya kirimkan tiga hari yang lalu.

"Ya, aku tahu. Anggap saja ini bentuk dukunganku bagi proyek EXACT,"

Jongin melirik ayahnya dengan wajah ingin tahu. Sebelum, ia memiliki kesempatan untuk menanyakan apa itu proyek EXACT. Suara ketukan pintu terdengar dan dua orang tentara berjalan masuk ke dalam ruangan. "Sersan Zhang dan Edwa-"

"Luhan," koreksi pria berambut coklat itu.

Kolonel Phillips memutar mata. "Ya, semenjak kau naik pangkat dari privat menjadi sersan. Kau mulai berani membantah dan mempermalukanku dengan nama Cina-mu,"

Sersan Zhang mengulum senyum berusaha untuk tidak tertawa. Sedangkan, Luhan memasang wajah terluka (yang menurut Jongin hanya akting belaka). "Jangan rasis begitu, Kolonel,"

Tanpa dirinya sangka, ayahnya terbahak keras membuat Kolonel Phillips mendelik ke arahnya. Namun, pada akhirnya pria berpangkat kolonel itu ikut tertawa. Jongin hanya mengamati mereka dengan tertarik. Ayahnya pernah bilang kalau hubungan pertemanan antar tentara bisa jaub lebih erat daripada hubungan sedarah. Mungkin, karena faktor berjuang serta bertahan hidup bersama di tempat pelatihan dan medan perang sesungguhnya. Membuat seluruh tentara merasa terikat dalam satu hubungan persaudaraan antar satu sama lain.

"You little shit," umpat Kolonel Phillips. Pria itu lalu beralih pada ayahnya. "kemarin, bajingan kecil ini menantang Oh Sehun setelah mendengar kalau bukan dirinya yang dipilih menjadi kapten dalam proyek EXACT ini."

Ayahnya bangkit berdiri untuk menepuk bahu Luhan. "Kau punya nyali besar, Nak,"

Luhan memberikan hormat padanya sebagai tanda terima kasih. Jongin yakin atasan pria itu–Kolonel Phillips–sudah menjelaskan jabatan serta peran ayahnya dalam misi penyelamatan ini. Mata Jongin bersitatap dengan Sersan Zhang yang daritadi memilih untuk bungkam. Pria itu tersenyum sopan padanya membuat Jongin sulit untuk mengabaikan dirinya. Ia memiliki firasat kalau Sersan Zhang akan menjadi kawan baiknya dalam perang ini untuk beberapa alasan yang nantinya akan ia ketahui.

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Semua orang di dalam ruangan beralih menoleh ke arah pintu dan selang beberapa saat Oh Sehun masuk ke dalam ruangan dengan nafas terengah. Seperti yang lainnya, Jongin tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sehun. Bahkan, sampai mata Sehun bertemu dengannya. Ia hanya bisa tersenyum kecil dan membiarkan semua orang di dalam ruangan merasa curiga padanya.

"Nah, semuanya sudah lengkap. Kita bisa membahas proyek EXACT ini sekarang," ujar Kolonel Phillips memecah keheningan di antara mereka semua.

Sersan Zhang, Luhan, Jongin dan Sehun memilih untuk berdiri. Sehun sengaja berdiri di samping Jongin dan membiarkan tangan mereka nyaris bersentuhan. Jongin berusaha keras untuk menghiraukan Sehun karena ia tidak ingin menarik perhatian siapapun, terutama ayahnya. Kolonel Phillips berdiri di belakang mejanya. Pria itu melebarkan selembar kertas berisi peta kota Bagdag.

"Proyek EXACT adalah nama dari misi penyelamatan ini. Ada enam tentara dan non-tentara terbaik yang akan dikirim empat hari lagi ke Irak, tepatnya ke kota Bagdag, tempat dimana FBI menangkap alamat IP dari tayangan video yang teroris unggah secara publik di YouTube. Enam tentara itu adalah Sersan Zhang Yixing, Sersan Edward Lu, Privat Minseok Kim, Privat Mark Lee, Jongin Kim dan Kapten Alvaro DeVeline–yang akan menjadi pemimpin dalam proyek EXACT,"

Biasanya, Sehun akan mengoreksi setiap orang yang menyebutkan nama Sokovia-nya itu. Namun, kali ini ia memilih untuk bungkam. Jongin melirik ke arah Sehun dengan ekor matanya dan mata mereka kembali bertemu. "Bagdag adalah markas utama tentara Amerika serta Sokovia. Apapun yang kalian butuhkan sudah kami sediakan di sana. Selain itu, sehari setelah kalian sampai di Bagdag. Kalian akan memulai misi penyelamatan dengan mencari antek-antek teroris tersebut di sekitar sungai Tigris,"

"Jadi, kami akan bergerilya di dalam hutan?" celetuk Sehun membuat seluruh pasang mata tertuju padanya.

Sesaat, Kolonel Phillips terlihat kagum. Begitupun, dengan ayah Jongin yang semula sempat meremehkan Oh Sehun di dalam pikirannya. "Itu adalah ide yang bagus. Gerilya adalah strategi perang yang bagus untuk mengepung musuh di area hutan seperti ini," ujar Sersan Zhang mendukung usul atasan barunya.

Luhan terdiam sejenak lalu mengangguk setuju. "Sebagian dari kota Bagdag dikuasai oleh mafia lokal, teroris serta organisasi radikal. Sebaiknya, kedatangan kita tidak diketahui oleh rakyat setempat. Itu akan semakin menguntungkan strategi gerilya kita,"

"Menurutku, Al-Kut adalah tempat yang tepat untuk bersembunyi. Kota ini berada di bantaran Sungai Tigris dan penduduknya tidak sepadat di Bagdag. Selain itu, aku memiliki kenalan di sana," usul Jongin. Ia dapat melihat satu kebanggan yang terpancar dari mata ayahnya.

Kolonel Phillips mengangguk paham. Ia menandai kota Al-Kut yang merupakan kota terdekat dengan Bagdag. "Aku akan mengirimkan pesan pada markas utama Bagdag untuk membuat memasok senjata serta kebutuhan lainnya di markas Al-Kut. Selain itu, Jongin, kau bisa menghubungi kenalanmu itu karena kita memang membutuhkan orang lokal yang benar-benar tahu akan seluk-beluk Al-Kut serta Bagdag. So, are we clear, soldier?"

Keempat pria itu memberi hormat pada kolonel mereka dan menjawab dengan suara lantang, "Yes, Sir!"

Kolonel Phillips menganggukkan kepala. "Kalau begitu, nikmati sisa hari kalian sebelum kalian menghadapi medan perang yang sesungguhnya,"

"Yes, Sir!"

.

.

Ayah Jongin memutuskan tinggal sehari di sana untuk mengenang masa-masa perangnya dengan beberapa kawan tentaranya yang ternyata masih hidup dan sehat. Jongin tidak pernah melihat ayahnya selepas ini–sebebas ini. Sebagian hati Jongin terasa nyeri begitu menyadari kalau mungkin inilah rumah yang selama ini ayahnya rindukan. Ia mulai dapat memahami mengapa ibunya memilih untuk pergi. Perang mengubah ayahnya. Ibunya tidak jatuh cinta pada pria berpangkat kapten yang juga mendapat julukan sebagai sniper terbaik. Perempuan itu jatuh cinta pada pemuda yang ditemuinya di tengah pasar dengan cara yang sangat tidak romantis, yang kemudian juga menikahinya dengan senyum canggung serta cincin perak palsu.

Jongin tidak ingin perang mengubahnya. Ia tidak ingin pulang dengan mata kosong seperti ayahnya dulu. Ia tidak ingin terbangun dan menangis setiap malam karena mimpi buruk seperti ayahnya dulu. Ia tidak ingin pergi ke terapi untuk mengatasi traumanya pasca perang sepertinya ayah dulu. Jongin tidak ingin menjadi ayahnya yang perlu mengorbankan orang-orang yang dicintainya dahulu untuk menemukan kembali kewarasan serta ketenangan di dalam pikiran serta jiwanya.

Jongin tidak ingin perang menghancurkan dirinya–seperti ayahnya dulu.

Luhan mengajak mereka ke bar di sekitar markas dan berjanji untuk mentraktir mereka. Sersan Zhang–Zhang Yixing atau "please, call me Lay,"–menyanggupi ajakan Luhan. Pria itu bersikeras kalau ia tidak akan mabuk di sore hari. Sementara, Sehun yang tampak meragukan perkataan Lay, menerima ajakan Luhan karena ia tidak bisa menolak bir gratis.

"Bagaimana denganmu?" tanya Luhan padanya.

Jongin terdiam sejenak. Matanya bersitatap dengan Sehun yang penuh dengan binaran serta harapan di dalam matanya. Kalau sudah begini, ia tidak bisa menolak ajakan Luhan yang sama sekali tidak menarik baginya. Dibandingkan Sehun yang sangat mencintai alkohol, Jongin bukanlah penggemar sepertinya.

Cuaca cerah di California membuat Jongin ingin berjemur di pantai dan mendepak Sehun yang tidak berhenti menggenggam tangannya setiap ia memiliki kesempatan. Luhan, Lay, dan Sehun sudah mengganti seragam mereka dengan pakaian biasa. Selain itu, Sehun sengaja memakai kacamata hitam favoritnya agar publik atau paparazi tidak mengenalinya.

Mereka masuk ke dalam bar favorit Luhan yang letaknya tidak begitu jauh dari pangkalan. Ia bilang kalau di sinilah awal mula dari impiannya menjadi seorang tentara. Mereka duduk di bangku bar dengan empat botol di atas meja. Bartender yang mengenali Luhan menyapa mereka dengan ramah.

"Aku melihat dua orang tentara lengkap dengan seragamnya sedang hang out sebentar di sini. Dan aku berpikir, holy shit, mereka keren sekali. Sejak itu, aku mulai mempertimbangkan tentara sebagai profesiku. Maksudku, aku tidak memiliki gelar sarjana atau semacamnya yang dapat menjamin kehidupanku. Satu-satunya keahlian yang bisa kubanggakan hanya kemampuanku untuk meretakkan tulang seseorang. Dengan wajah oriental seperti ini, aku harus bertahan hidup melawan bajingan rasis yang cukup ekstrem di California," Luhan menenggak botol bir di genggaman tangannya. Itu adalah botol keempatnya.

Pria itu terlihat cukup mabuk, seperti Lay yang berkali-kali menyangkal kalau ia tidak mabuk. Sehun mendengarkan ceritanya dengan saksama, begitupun dengan Jongin. Sementara, Lay sudah tidak sadarkan diri dengan kepala berada di atas meja. Tanpa mereka semua sadari, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Jadi, aku berpikir mengapa aku tidak jadi tentara saja. Dan aku melakukannya! Awalnya, umm, shit, sepertinya aku butuh untuk berbaring sejenak," Luhan menaruh kepalanya di atas meja seperti Lay, lantas tidak sadarkan diri.

Sehun serta Jongin saling berpandangan. Untungnya, bar tidak begitu ramai oleh pengunjung dan bartender yang berada di belakang meja tampak sudah terbiasa dengan situasi ini. "Dia sudah biasa menyusahkanku seperti ini," tukas bartender itu. Jongin hanya menganggukkan kepala. Sementara, Sehun kembali mencoba untuk menggenggam tangannya.

"Do you want to go out?"

"Sure. Why not?"

Mereka berjalan keluar dari dalam bar setelah menitipkan dua sersan idiot itu. Dan ketika Sehun mencoba untuk menggenggam tangan Jongin lagi, kali ini pria itu tidak menepisnya. Sehun tersenyum lebar saat Jongin membiarkannya menggenggam tangan pria itu.

Ia tidak peduli kalau tindakannya ini benar-benar egois. Atau kalau seharusnya, ia menyuruh Jongin untuk pulang ke Korea sekarang. Karena ia sadar kalau sekeras apapun ia mencoba mendorong Jongin menjauh darinya, pria itu hanya akan merangkak kembali padanya.

"Kau bilang padaku kalau kau tidak ingin menjadi egois. But, guess what, I'm the one who are being selfish now," ujar Jongin. Pria itu mengangkat kepalanya, menatap hamparan bintang yang begitu jauh di atasnya.

Entah mengapa, mereka berakhir di taman kota yang sudah sepi oleh pengunjung. Jongin duduk di atas ayunan. Sementara, Sehun berdiri di belakangnya. Beberapa kali, ia mendorong ayunan tersebut dan kemudian berakhir menahan tubuh Jongin dengan memeluknya dari belakang. Tangannya melingkar pada dada Jongin, merangkul pemuda itu. Ia terdiam dalam posisi seperti itu tidak peduli pada lututnya yang mulai terasa pegal. Ia ingin menghangatkan Jongin. Ia ingin berada di dekatnya. Ia tidak ingin melepaskannya, sekalipun hanya sedetik.

Namun, yang terpenting adalah ia ingin mengingat setiap momen yang mereka lewati bersama. Karena tidak ada yang tahu kalau mungkin saja ini adalah momen-momen terakhirnya bersama Jongin.

"Jika, keadaannya berbeda mungkin aku sudah mengajakmu ke hotel sekarang," gumam Sehun. Mungkin, ia bicara pada dirinya sendiri.

Jongin mendongakkan kepalanya hingga mata mereka bertemu dan bajingan itu menarik senyum yang menurut Sehun cukup menggemaskan. "We can fuck now," bisik Jongin mencoba untuk terdengar seksi, tapi sayangnya gagal. Pria itu malah terlihat semakin menggemaskan di mata Sehun.

"Di sini? Hell no, princess. Aku tidak ingin membuat kita berdua dicekal dan tidak diperbolehkan lagi datang ke California," Sehun merendahkan tubuhnya lalu mengecup kening Jongin.

Jongin tertawa kecil. "Aku membutuhkan tiara kalau kau mulai memanggilku dengan sebutan princess,"

"Benarkah?" tanya Sehun dengan wajah serius. Karena ia bersedia membelikan Jongin puluhan tiara dengan berlian serta permata asli yang bahkan bisa membuat princess sebenarnya iri.

Senyum di bibir Jongin lenyap serta matanya berkilat tajam. "Tentu saja, aku hanya bercanda, you asshole!"

Sehun terbahak keras. Ia semakin merendahkan dirinya hingga bibirnya kini menyentuh bibir Jongin. Meskipun, pria itu baru saja mengutuk Sehun dengan mulutnya. Ia tampak tidak keberatan saat Sehun mulai memagut bibirnya, merasakan bibirnya seolah ini adalah ciuman pertama mereka. Dalam posisi seperti ini, Sehun mengambil alih ciuman mereka dan mendominasi. Ia mengulum lembut bibir Jongin membuat pria itu mengerang, menginginkan lebih.

"Setelah, perang ini berakhir. Aku berpikir untuk memperkenalkanmu secara resmi pada Vernon, Seb, dan kedua orangtuaku," bisik Sehun di tengah ciuman mereka.

Jongin membuka matanya dan ia melihat suatu ketulusan yang terpancar dari mata Sehun. Pria itu benar-benar menginginkan Jongin untuk menjadi bagian dalam hidupnya. Hubungan yang mereka miliki sekarang ini bukan hanya sebuah fase atau memori yang nantinya akan terlupakan setelah perang ini berakhir. Hubungan mereka ini nyata dan Sehun ingin menjaganya sampai mereka kembali dari Irak dengan selamat. "Ya, setelah itu, mungkin kita bisa mulai mengenal satu sama lain lebih jauh," balas Jongin. Seutas senyum yang menunjukkan betapa tidak sabarnya dia menanti hari itu datang merekah lebar di bibirnya.

"Kau pernah pergi ke Buenos Aires?"

"Apa kau berusaha mengajakku untuk pergi honeymoon?"

Sehun mengecup bibir Jongin sekilas lalu menjawab, "Mungkin saja."

Jongin tidak bisa menahan perasaan bahagia yang meledak-ledak di dalam dirinya. Keputusannya untuk meninggalkan Seoul dan datang ke California adalah salah satu keputusan terbaik dan gegabah yang pernah dia ambil. Namun, meski begitu tidak pernah sedetik pun ia menyesali keputusannya ini. "Apa Yang Mulia Oh Sehun sudah berencana untuk menikahiku?" tanya Jongin jelas hanya bercanda.

Sehun menarik senyum lebar lalu mengangkat bahu. "Tidak ada yang mustahil, princess,"

Mata Jongin nyaris terbelalak. Sehun tidak menanggapi candaannya dengan candaan yang lebih ekstrim. Pria itu juga tidak melontarkan penolakan atau semacamnya. Bajingan dengan gelar pangeran serta kapten itu malah tersenyum dan mengangkat bahu seolah tindakannya sama sekali tidak mengacaukan hati Jongin. Sejenak, Jongin hanya menatapnya tidak tahu harus membalas apa.

Semuanya terjadi begitu cepat di antara mereka. Meski, Sehun bersikeras kalau Jongin mengubah dirinya dan blablabla. Jongin tetap merasa takut kalau setelah perang ini berakhir. Mereka akan pulang ke tempat masing-masing dengan harapan kosong dan berakhir saling melupakan. Bagaimanapun juga, perang mengubah setiap orang yang melewatinya.

Jongin memang takut kalau suatu hari nanti perang akan mengubah dirinya. Namun, yang lebih dirinya takuti sekarang adalah perang mengubah perasaan Sehun padanya.

"Baby, are you crying?" Sehun terdengar sangat cemas.

Jongin menggelengkan kepala dan kemudian sengaja meninggikan suaranya. "What the fuck, dude? Aku tidak menangis. Untuk apa aku menangis? Mataku hanya lelah saja. Kau tahu setiap mataku-"

Ocehan Jongin yang mulai tidak masuk akal itu terputus begitu bibir Sehun membungkamnya. Pria itu kembali memagut bibirnya, menekannya hingga ia mulai kesulitan bernafas. Mungkin, ini adalah balasan isyarat dari Sehun yang memintanya untuk berhenti berbohong. Ketika, Sehun menjauhkan bibirnya dari Jongin. Jongin menarik kepalanya dan menahan pria itu hingga bibir mereka kembali saling memagut. Sehun membiarkan Jongin mendominasi ciuman mereka karena ia ingin merasakan apa yang sebenarnya Jongin rasakan sekarang.

Jongin mengigit bibirnya dengan sensual dan hati-hati disaat yang bersamaan. Pria itu memasukkan lidahnya ke dalam mulut Sehun, mengaitkan lidah mereka dan memainkannya untuk beberapa saat. Hingga, akhirnya ia merasa ia mulai membutuhkan pasokan udara di dalam rongga dadanya. Ia melepaskan ciumannya, tetapi tangannya masih menangkup kedua pipi Sehun. Sehun membuka matanya dan akhirnya ia dapat merasakan apa yang sekarang ini Jongin rasakan; "I fucking love you, Oh Sehun," bisik Jongin.

"I love you too, princess," balasnya lalu kembali memagut bibir Jongin.

.

.

Rin's note :

PLOT TWIST; SEHUN MATI DI PERANG. JONGIN KETEMU KELUARGA SEHUN DI PEMAKAMAN SEHUN DAN DIA BILANG KE VERNON "YOU KNOW WHAT, SEHUN PERNAH BILANG PADAKU KALAU IA INGIN MEMPERKENALKANKU PADAMU," AND THEY BOTH CRIED TOGATHER

(just plot twist oke.. don't take it too seriously lol plot aslinya jongin yang mati (JUST KIDDING))

anyways, i did lots of research for this chapter.. aku sampai mempelajari army rank, letak-letak army base di USA, selain itu juga peta Irak dan semua informasi tentang kota-kota yang disebutkan di atas itu REAL lol aku juga sampai nonton film Captain America lagi (just for bucky and research) abis itu aku juga cari-cari soal PSTD yang dialami para tentara setelah pulang dari perang.. and oh aku juga nonton film bertema militer kayak Saving Private Ryan dan American Sniper. Jadi, bisa dibilang plot dari fanfic ini udah mateng banget tinggal masalahnya cuma diotakku aja yang kadang ngestuck gitu

soo, yeah, i hope u enjoy this chapter yang benar-benar nguras otakku haha u know what aku mesti ngapus beberapa kali untuk scene hunkai terakhir itu.. jadi, kalau feelsnya rada off im fcking sorry /sobs/

p.s thanks for ur support guys yang selalu nanyain update di line, ig, askfm or pm.. itu memotivasiku untuk semakin memperlama update (just kidding again lol) nggak, serius deh itu malah semakin ngedorong aku untuk cepet-cepet update dan ngehasilin chapter yang blow ur mind lol

p.s.s if u want to ask anything about my fic just check out my medsos at my profile

p.s.s.s i think sehun (di ff ini) punya princess kink lol.. damn is that even a kink?