What The Mean

(prolog)

.

.

Sehun ~ Luhan

.

.

.

Romance, hurt/comf (GS)/ M

.

.

E

.

.

Soundtrack

(Justin Bieber – Love Yourself)

.

.

.

.

Seoul/Saturday, 2016…

Pemandangan malam hari kota Seoul adalah spot terindah baginya. Kampung halaman memang tempat ternyaman untuk melepas penat setelah berbagai hal yang dilewati.

Namun tidak berarti semua hal rumit dalam benaknya hilang. Sesuatu yang berulang kali terjadi hingga ia dibutakan oleh apa yang ia kerjakan tidak akan bisa pergi dan dilupakan begitu saja oleh pemandangan kampung halaman. Ia butuh sesuatu yang lebih untuk menekannya melupakan semuanya.

Dering ponsel memecah keheningan hingga membuatnya berjalan kearah meja kecil sekitar dinding kaca. Kontak nama yang masih ia simpan dengan sebutan sayangnya tertera disana. Tanpa sadar, seulas senyum terukir dan tanpa menunggu dering ketiga ia mengankat panggilan itu

"hey" ujarnya setelah sebelumnya suara diseberang sana menyapa

"yeah, aku di Seoul. Maaf tidak memberitaumu."

Senyum yang sebelumnya mengukir dikedua sudut bibirnya tiba-tiba hilang sesaat ia menjawab. Seseorang diseberang sambungan mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali mengingat saat ini.

"yeah, aku tahu." Ya, ini tidak sama lagi. Ia tidak berada pada kebawajibannya untuk memberi kabar.

"maaf" kepalanya tertunduk tak ingin kegelapan melihat raut wajahnya saat ini

"yeah, tidak apa-apa." Ia kembali menoleh pada pemandangan malam kota Seoul. "sedang apa?"

Seulas senyum kembali terukir saat seseorang diseberang sana menjawabnya dengan cerita yang cukup panjang hingga membuatnya mengambil langkah didepan dinding kaca berhadapan dengan pemandangan kota Seoul.

Obrolan mereka berlanjut hingga larut dan sambunganpun diakhiri oleh seseorang diseberang sambungan. Namun ia masih mengengam ponsel itu seraya menempelkannya ditelinga. Pandangan ia bawa kelangit-langit apartemen sebelum ia pejamkan

"aku mencintaimu." Ungkapnya dalam keheningan tanpa seorangpun pendengar.

.

.

Pagi menjelang dan ia tertidur diatas sofa menghadap kedinding kaca dimana matahari bersinar menyilaukan pagi. Ia mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya seraya meraih ponsel yang ia letakan diatas meja tepat disamping tempatnya tidur.

06:04 AM

Terlalu pagi untuk hari libur. Dan sekarang ia bingung ingin melakukan apa.

Ia bahkan terlalu lelah dan mungkin juga….. malu untuk kembali kerumah keluarganya atau bertemu teman-temannya.

Ia tahu hal yang bisa menenangkannya saat ini hanya ibunya, atau setidaknya teman-temannya. Namun, mengingat bagaimana dulu ia menentang mereka membuatnya berpikir ulang untuk menemui mereka. Terlebih ibunya. Ia sudah berjanji dan ia tidak pernah ingin mengecewakannya namun apa yang sudah terjadi?

Ia tahu saat ini ibunya pasti sangat kecewa terhadapnya.

Ia mungkin bisa mengambil pilihan keluarganya yang lain atau keluarga ayahnya, ibu keduanya namun mereka bukan yang ia butuhkan saat ini.

Ia tidak tahu siapa yang salah disini. Jujur ia tidak ingin semuanya berakhir seperti ini. Tidak pernah terlintas dalam benaknya semua akan terjadi. Ia ingin berharap, ia masih menaruh dan meninggalkan hatinya diseberang benua sana. Kejadian seperti ini terjadi berulang kali namun seberapa banyakpun itu semuanya akan kembali berantakan. Namun, kali ini ia tahu bahwa ia akan(telah) benar-benar kehilangannya.

Memikirkan hal itu kembali membuatnya termenung. Mungkin memang sebaiknya ia berjalan-jalan sebentar. Ia harus ingat tujuannya kembali ke Seoul

.

.

Tubuhnya terbungkus mantel tebal dengan tudung dan topi serta masker mencegahnya dari semua orang.

Duduk berdiam diri didalam sebuah café dengan secangkir coffe dan selembar kertas yang ia ambil dari meja kasir. Ponselnya ada di atas meja menampilkan beberapa berita seputar dirinya atau seseorang diseberang benua sana.

Ia tahu dan harus mengingatkan dirinya sendiri datang ke kampung halamannya bukan untuk terpuruk dan termenung memikirkan masalahnya secara berulang-ulang. Sudah cukup ia memikirkannya dan sekarang ia harus memulai semuanya lagi dari awal. Ia harus memulai semua tanpanya karna sudah saatnya ia menyerah

Yeah…

Setelah apa yang ia lihat diberita beberapa waktu lalu, sudah seharusnya ia berhenti untuk berharap. Sudah seharusnya ia berhenti mengemis. Sudah cukup

Ia memandang kertas diatas meja lalu berjalan ke kasir untuk meminjam bolpoin sebelum kembali ketempat duduk saat sesuatu terlintas dibenaknya melihat berita-berita yang beredar dilayar ponselnya

Ia melihat arlojinya dan melipat kertas itu memasukkannya kedalam saku mantel lalu berjalan keluar café setelah mengembalikan bolpoin pada bagian kasir.

Mungkin sebaiknya seseorang bersamanya jika ia tidak ingin terlalu memikirkan tentangnya. Dan ia butuh seseorang yang mengerti situasinya dan tidak akan menanyakan tentang mereka.

.

.

.

.

New York/Sunday 2016…

Suara tawa menggema mengisi kekosongan diruang itu. TV menyala menayangkan acara komedi terkenal Hollywood. Suara berisik di ruang depan ia abaikan.

Tapak kaki dan decakan pelan terdengar dibelakangnya. Dan tanpa menolehpun ia tahu siapa orang yang memiliki akses keluar masuk apartemennya.

"Hey!" hingga perhatiannya teralih setelah orang itu mematikan TV dengan mencabut salurannya. Ia berniat untuk merebut colokan itu namun entah darimana gunting itu berasal hingga tamu tak diundangnya memutus kabel TV sebagaimana gunting berfungsi.

Ia menganga dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu.

"bagus! Sekarang aku tidak punya TV untuk tempat ini." Ujarnya mengerang merah. Ia berjalan kedepan TV merentangkan tangan dan menuding si pembuat onar.

"apa kau memikirkannya saat memutus kabel itu?" ia menunjuk kabel TV yang telah jatuh diatas lantai. Sementara lawan bicaranya tidak perduli dan berjalan ke dapur untuk membuat sesuatu. "ya Tuhan! Apa kau benar-benar sahabatku?!"

Ia berjalan cepat menyusul kedapur hanya untuk memarahinya

"hey! Aku s—"

"dan karna aku sahabatmu, aku menjagamu untuk tidak melihatnya sepanjang hari didepan TV."

Ia mengibaskan rambut panjang berantakannya dan tertawa

"apa yang salah, Byun? Aku hanya menontonnya, bukan berarti itu akan mengubah segalanya—"

"mungkin saja bisa!." Ia berniat membantah namun Baekhyun kembali melanjutkan. "karena saat kau melihatnya di TV, kau akan berfikir aku merindukannya, aku ingin melihatnya nyata, apa sebaiknya aku menyusul ke Seoul? Atau pemikiran lainnya yang akan membuatmu goyah jika aku tidak datang, dan tiba-tiba akan bermunculan judul majalah atau berita baru di TV tentang kalian yang telah kembali menjalin kasih." Baekhyun memutar kedua bola matanya sambil menarik napas dramatis "ya ampun! Apa kau pernah berfikir setelah usahamu selama ini, semuanya akan berakhir sia-sia, Luhan?!"

Gadis itu bungkam setelah ceramah panjang lebar temannya. Pikirnya Baekhyun mungkin berkata benar. Dan memang sahabatnya selalu benar. Mungkin dari awal harusnya ia mendengar Baekhyun sebelum semuanya terjadi

"astaga Luhan." Ia beralih memegang kedua bahu sahabatnya itu. "kau bahkan terbahak-bahak menonton acara itu. Apa kau sudah gila?! Kau mengizinkannya mengungkap kehidupan seks kalian dan membuatnya sebagai lelucon lalu membiarkan orang-orang menertawakannya. Apa kau masih dalam pikiran warasmu?!" ia beralih memegang kepalanya hampir menyerah untuk menasehati sabatnya itu

"kau harusnya sadar Luhan. Tidak perduli seberapa romantisnya lirik lagu yang—demi Tuhan semua orang tahu ia menulisnya untukmu. Ia tidak akan pernah berubah atau mendengarkanmu, kau memaafkannya dan kalian kembali lalu ia akan mengulanginya lagi dan lagi hingga seterusnya kalian akan seperti itu."

Luhan mulai tenggelam akan pemikirannya setelah ungkapan Baekhyun yang sepenuhnya benar. Ia menunduk dan ia tahu bahwa ia benar-benar belum bisa melupakan perasaannya.

Baekhyun sendiri menghela napas panjang, ia tahu sahabatnya itu akan mulai menangis lagi. Maka ia menariknya dalam pelukan

"luapkan saja Luhan. Lakukan apapun untuk membuatmu merasa lebih baik tanpanya."

Tapi dalam benak Luhan. Tidak ada yang bisa membuat ia lebih baik bahkan saat bersama dia atau keluarganya.

.

.

.

.

.

To be countinue

.

.

Chapt 1 Coming Soon

.

.

.

Ell note :

Oke, langsung aja ke beberapa komenan yang ada di FF Ell yang terpaksa harus 'hiatus'. Yeah, semua FF yang terakhir updatenya 2013 atau 2014 terpaksa di hiatus sorry guys T_T.

Ell benar-benar lupa alurnya dan Ell yang dulu sama sekarang gak sama lagi jadi mungkin cara nulis sama pemikirannya agak beda. Ya makannya di hiatus. Ell udah coba nerusin yang 'prince high school' tapi pas baca lagi malah cara nulis sama alurnya gak masuk T.T

Masih bagus kalau pas di update terus gak ada review sama sekali. Tapi kalau tiba-tiba dapet review kayak. "thor! Kok alurnya gak nyambung sih?!" atau "thor! Ini ceritanya gimana sih? Awalnya masih ngerti sama bahasanya kok tiba-tiba jadi aneh gini?!" yeah, Cuma bikin mental down buat nulis lagi. Jadi rencana Ell mau nebus dengan buat gantinya. Mungkin alur ceritanya agak beda tapi gak jauh-jauh juga kok. Lagian, alur kayak 'kinshi matawa denai' atau 'prince high school' atau 'rotation of time' kan udah banyak. Nanti readers bisa baca dari author lain dgn alur yg sama ka nada xD

Oke, sekarang balik focus ke prolog 'what the mean'

Ini bukan ff pengganti buat ff hiatus. Tapi tiba-tiba aja ide muncul pas ingat mantan bias walau sampe sekarang masih suka banget sama lagu-lagunya. Iyesu! Justin Bieber! Iya, orang yang bikin Ell sampe gak waras dan ketawa-ketawa sendiri pas ngenang masa lalu. Tiba-tiba aja terinspirasi sama kisah cintanya si bieber sama Gomez XD

Dan

Soal apdetan 'infigilate from hell' sebenarnya udah ada, nanti Ell update kalo udah selesai di edit, mungkin besok? Tapi gak janji XP Sebenarnya mau update 12 April, tapi karena ada beberapa hal yang datang secara bertubi-tubi jadi gak berkesempatan.

Oke, segitu dulu. Terimakasih buat semuanya yang sudah bersedia mampir buat baca. Sampai ketemu di chapter 1