Sasuke berlari tergesa sambil merapatkan syal hitam di leher. Sepasang onyx-nya memandang mendung dengan gelisah. Tak ingin demam yang baru turun beberapa jam lalu kembali, bocah lima tahun itu memeluk erat tubuhnya sendiri walau sudah memakai jaket tebal. Bunga-bunga yang bermekaran menandakan musim semi sudah kembali, namun jika masih sedingin ini bukan tidak mungkin hujan yang turun akan berubah menjadi salju.

Larinya terhenti ketika melihat pohon sakura kecil milik tetangga sedang mekar. Ia mematung sebentar lalu bersin beberapa kali. Usai mengusap ingusnya dengan sapu tangan, Sasuke memetik satu ranting yang bunganya paling banyak dan kembali berlari sebelum ketahuan pemilik rumah.

Ketika tiba di taman, Sasuke berjalan pelan. Seperti mengendap-endap. Ia menajamkan pendengarannya, berharap menemukan petunjuk bahwa firasatnya benar. Terbatuk kecil beberapa kali, Sasuke mulai tersenyum saat samar-samar suara isakan sampai ke telinganya.

Mengintip dengan hati-hati pada ruang di bawah perosotan, bocah berambut hitam itu melebarkan senyumnya. Bahagia karena perkiraannya benar. Naruto bersembunyi di sini. Duduk meringkuk sambil menangis dengan suara sekecil mungkin.

Sasuke duduk di samping bocah pirang itu. Sebisa mungkin tidak bersuara. Namun gagal, Sasuke kesusahan karena jaket tebalnya sehingga tak sengaja menyenggol Naruto. Keduanya spontan saling tatap, kaget. Namun beberapa detik kemudian mereka terbahak bersama.

Naruto mengusap airmata dengan kaosnya. "Kau sedang apa di sini? Harusnya kau tidur atau Itachi-niichan akan marah."

Sasuke batuk kecil beberapa kali. "Aku mencarimu." Sasuke memberikan ranting yang tadi dipetiknya. Merogoh saku celana dan mengeluarkan dua jeruk.

Naruto menerimanya sambil mengernyit. "Ini jerukmu. Aku yang memilihnya di toko tadi pagi."

"Itu untukmu. Bibi Kushina pasti memarahimu dan tidak memberimu jeruk, kan? Sampai kau berlari sambil menangis tadi." Sasuke mengambil satu dan mengupaskan untuk Naruto.

Naruto membuka mulut ketika Sasuke menyuapinya. Sedetik kemudian ia mulai menangis lagi. Seperti orang dewasa, dengan telaten Sasuke mengusap airmata sahabatnya lalu menepuk-nepuk punggung bocah pirang itu -mencoba menenangkan tanpa bicara apapun.

Naruto masih terisak. "Aku menangis bukan karena tidak diberi jeruk. Aku menangis karena ibu mengemasi pakaianku," Naruto memakan sendiri sisa jeruk di tangan Sasuke. "Sore nanti kami akan berangkat mengunjungi nenek untuk beberapa hari."

Sasuke mengerjap. "Bukannya bagus? Sekolah juga masih libur."

Airmata Naruto jatuh lagi. "Tapi Sasuke sedang sakit. Aku tidak mau pergi saat kau sakit." Suara isaknya semakin membesar. "Siapa yang akan bermain denganmu di rumah? Siapa yang akan membenarkan selimutmu saat kau tidur? Siapa yang akan membawakan makananmu ke kamar?"

Sasuke mengerjap polos. "Ibu?"

Naruto meraung tidak terima. "AKUUU~"

Tiba-tiba terdengar suara kamera. Saat Sasuke menoleh, sudah ada Itachi, Minato, Mikoto dan Fugaku di dekat mereka. Sasuke sama sekali tak sadar jika diikuti. Mereka semua tertawa kecil. Kecuali Itachi yang tersenyum kelewat lebar sampai ilernya menetes.

Mikoto menyentuh kepala putranya. "Beberapa hari ini Naruto membantu mengurusmu, Sasuke."

Mendengar perkataan ibunya, Sasuke langsung menggandeng sebelah tangan Naruto. Tangan yang lain untuk membantu mengusap airmata bocah pirang itu. "Maaf, aku tidak tahu. Aku pasti sedang tidur. Terimakasih, Naruto."

Itachi menjerit gemas.

Naruto membiarkan Sasuke membersihkan airmatanya karena kedua tangannya membawa jeruk dan ranting sakura. Mikoto tersenyum gemas. Berbeda dengan tiga orang lainnya yang malah asik memotret dua bocah menggemaskan itu sambil menjerit tertahan.

Mereka pulang bersama. Naruto digendong Minato di punggung, sedang Sasuke menempelkan kepalanya di dada Fugaku. Itachi berjalan di belakang bersama Mikoto. Tentu saja dengan ponsel yang siap memotret.

"Aku tetap tidak mau ikut." Naruto merengek manja pada ayahnya. "Aku mau menginap di rumah Sasuke saja."

Minato menghela nafas lelah. Tidak tahu harus berbuat apa.

"Naruto-kun," Mikoto maju untuk membelai punggung kecil anak sahabatnya. "Tsunade-san sangat merindukanmu. Apa kau tega membuatnya kecewa?" Sebelum Naruto menangis lagi, Mikoto melanjutkan. "Hanya beberapa hari. Setelahnya kau bisa bermain dengan Sasuke lagi."

Mata biru itu berair lagi. "Aku ingin merawatnya. Saat aku kembali nanti Sasuke pasti sudah sembuh."

"Apa kau sangat ingin merawatku?" Sasuke kembali mengusap pipi Naruto.

Naruto mengangguk, menatap lurus ke mata Sasuke. "Aku mau merawatmu. Aku tidak mau jauh darimu."

Sasuke terlihat berpikir keras. Dan satu ide bagus muncul di kepalanya. "Kalau begitu kita menikah saja, jadi kau bisa selalu merawatku dan tidak pernah jauh dariku." Naruto mengangguk antusias. Sangat setuju dengan usul sahabatnya. Tidak menyadari semua orang terpaku. "Paman Minato, biarkan aku menikah dengan Naruto saat besar nanti ya?"

Dan kedua anak kecil itu ketakutan saat semua orang menjerit dengan wajah memerah. Terlebih Itachi yang tidak berhenti memotret mereka dengan ponsel.

.

You Are My Spring

Pair : SasuNaru

Genre : Romance aja deh ya, lagi gak bisa nulis humor

WARNING :

AU, AR, Boys Love, OOC.

Cerita ini ditulis untuk kesenangan belaka. Bukan untuk menjelekkan atau menghina karya asli.

.

Naruto mengembungkan pipinya sebal. Matanya berkaca-kaca melihat Minato memasukkan koper ke bagasi mobil. Bukannya kasihan, Kushina yang sudah duduk di dalam mobil malah menertawakan anak tunggal mereka. Setelah Minato menyusulnya, wanita berambut merah itu melambai, "Semangat untuk kelas musim panasnya, Sayang. Jangan lupa tolong bersihkan gudang~"

Setelah mobil menghilang di belokan, Naruto menjerit kesal. Tak percaya jika orangtuanya tega meninggalkan dia sendirian.

Tepat setelah ia mengerang, terdengar suara tenggerek dari pohon sakura di samping tokonya yang tutup. Merasa diledek, Naruto mengambil batu dan melempar pohon yang lebat daunnya itu sambil berteriak. "BERISIK!" Setelah puas menendang, memukul, memaki dan menggoyang pohon itu sampai beberapa daunnya rontok, Naruto masuk ke dalam rumah sambil menangis.

Kakashi yang sedang bersantai di balkon lantai dua rumahnya tertawa tanpa suara melihat kelakuan absurd tetangga kesayangannya.

"Haahhhhh~"

Kakashi memutuskan untuk menutup novel ketika sang kekasih menghela napas lelah untuk kesekian kalinya hanya karena mengoreksi satu lembar jawaban. Mendengarnya saja membuat Kakashi ikut susah.

Kakashi berjalan menuju kulkas. "Apa nilainya seburuk itu?" Ia meletakkan botol air mineral di hadapan pria berambut cokelat.

Iruka membuka tutup botol dan mulai minum. Tersenyum tipis merasakan dingin melewati tenggorokan, menyegarkan pikirannya yang terasa penuh. Ia membiarkan Kakashi mengecek sendiri pekerjaannya. "Tidak seburuk itu. Tapi memiliki nilai rata-rata? Sangat bukan Sasuke sekali." Iruka memberikan satu lagi lembar jawaban kepada pria berambut perak di sampingnya. "Yang ini sangat-sangat-sangat memperihatinkan."

"Eh?" Sebutir keringat menetes dari pelipis Kakashi ketika melihat nilai Naruto. "Yang ini terlalu berbahaya."

Iruka menempelkan pipinya di meja dengan lemas. Menikmati angin dari kipas di tangannya.

"Harus bagaimana lagi aku menolong mereka?"

Sejak kejadian beberapa bulan lalu, Iruka benar-benar menempatkan Naruto dan Sasuke di kelas yang sama. Tentu saja dengan pengawasan langsung darinya sebagai wali kelas. Mulanya mereka duduk berdekatan, Iruka cukup terkejut mereka tahan sekitar dua minggu tanpa membuat keributan. Setelah itu Naruto menyiram Sasuke dengan jus jeruk ketika bertengkar entah karena apa. Iruka yang menyerah, memindahkan Sasuke di barisan paling belakang dan Naruto di barisan paling depan.

Iruka merasa pusing sendiri jika mengingat bagaimana para guru bahkan kepala sekolah memintanya untuk menuruti perkataan Minato dan Itachi. "Gara-gara ada di kelas yang sama nilai mereka jadi menurun."

"Mereka terlalu sering bertengkar?" Kakasih mulai menurunkan suhu AC, tak tega melihat kekasih cokelatnya kepanasan. "Pertengkaran mereka pasti mempengaruhi nilai anak-anak yang lain juga."

"Anak lain biasa saja. Jangankan bertengkar, saling tatap sejak kejadian jus jeruk itupun sangat jarang. Entah bagaimana bisa perang dingin malah berpengaruh pada nilai mereka." Iruka memelas, berharap Kakashi mau membantunya mencarikan solusi.

"Hmmmmm," Kakashi bergumam serius. "Mungkin mereka memang harus duduk berdekatan jika berada di kelas yang sama."

Iruka gemas, ingin menjambak rambut perak kekasihnya. "Kau dengar ceritaku tidak sih?!"

Kakashi tertawa renyah. "Iruka, kita sudah lama mengenal mereka. Pada dasarnya mereka itu memang tidak bisa di pisahkan. Mungkin saja fokus belajar mereka teralih karena hanya bisa saling melihat dari jauh."

"Ah, terserah! Terserah! Kau sama saja dengan keluarga mereka. Sama sekali tak memikirkan aku yang harus mengurusi anak-anak itu." Iruka yang cemberut mulai menuju kulkas. "Bertanya padamu sama sekali tidak membantu."

Kakashi mengangkat bahunya cuek dan kembali membaca novelnya. Baru beberapa detik membaca, ia sudah tertawa genit.

Iruka kesal, membanting kotak es krim yang baru diambilnya. "Jangan memamerkan waktu luangmu di depan orang yang sedang sibuk."

Kakashi tersenyum. Menatap Iruka cerah. "Kalau begitu mau jalan-jalan sebentar? Aku akan membantu pekerjaanmu nanti."

Hikari no Miko

Naruto meletakkan mangkuk ramen yang sudah habis di meja, di samping tiga mangkuk lainnya. Sebenernya rasa kesalnya belum hilang tapi perutnya sudah penuh sesak, menolak diisi. Pemuda pirang itu cemberut lagi membayangkan bagaimana orangtuanya akan tertawa bahagia dan berlarian di pantai, berkemah di pegunungan serta menikmati pemandian air panas di penginapan terkenal. Menikmati libur musim panas selama beberapa minggu tanpa dirinya.

Di saat kecewa seperti sekarang, entah mengapa yang muncul di kepala Naruto adalah senyum ibunya ketika memintanya membersihkan gudang. Pasti akan menjadi senyum pembunuh jika Naruto tak mengerjakan tugasnya. Naruto berdecak. Padahal ibunya sendiri yang memberantakkan gudang untuk mencari koper, kenapa pula harus dia yang membersihkan?

Meski malas dan mulai mengantuk Naruto tetap harus bergegas. Beberapa hari lagi sebelum kelas musim panas di mulai. Jika Naruto bisa menyelesaikannya hari ini, mulai besok dia bisa menghabiskan waktunya untuk bermalas-malasan sepanjang hari.

Naruto membuka pintu gudang. Tubuhnya melorot, lemas. Hampir menangis melihat tempat yang sangat berantakan ini. Semua kardus di buka, hampir semua isinya di biarkan tercecer. Bagaimana bisa mencari dua koper saja sampai harus membongkar semua tempat penyimpanan?

Naruto mulai berdiri. Memukul kedua pipinya cukup keras dan berteriak. "YOSH!"

Misi Naruto adalah membersihkan gudang, bukan menatanya dengan rapi. Oleh sebab itu, senyum lima jarinya mengembang ketika cara bekerja dengan cepat terbesit di pikirannya. Tak peduli barang tersebut tersimpan di tempat yang benar atau tidak, asal semuanya masuk kardus lalu di simpan maka pekerjaannya akan selesai. Naruto mulai memuji kecerdasannya dalam hati.

Hanya dalam 10 menit saja, Naruto bersorak karena hampir semua barang yang tadinya berserakan di lantai sudah dimasukkan dalam kardus.

Tinggal beberapa kardus tersisa. Namun fokusnya tertuju pada satu kardus. Kardus yang satu ini sedikit berbeda. Ukurannya lebih besar dan permukaan cokelat kardus di tutupi dengan kertas kado bermotif buah-buahan. Kardus yang menyimpan barang-barangnya sewaktu kecil. Naruto tersenyum bahagia, mulai bernostalgia.

Naruto mengambilnya. Membuka lakbannya perlahan. Ia menemukan begitu banyak kertas gambarnya sewaktu anak-anak. Bentuk dan warnanya sama sekali tidak bagus tapi cukup menyenangkan untuk dilihat, khas anak-anak. Naruto mengambilnya. Melihatnya satu per satu sambil tersenyum. Tak percaya orangtuanya masih menyimpan semua ini. Bahkan beberapa album foto juga ada.

Naruto terkekeh melihat foto bayi miliknya. Begitu kecil, telanjang dan memeluk bunga matahari. Naruto membalik halaman selanjutnya dan dari sana mulai ada foto bayi lain bersamanya, berambut hitam. Uchiha Sasuke. Senyum Naruto memudar.

Banyak yang mengatakan bahwa dirinya dan Sasuke tak terpisahkan, mungkin karena mereka sudah bersama sejak masih kecil. Bahkan jauh sebelum Naruto dan Sasuke sendiri bisa mengingatnya. Membalik satu halaman lagi, pandangannya terfokus pada potretnya bersama Sasuke. Saat itu musim semi. Mereka duduk di ruang bawah perosotan. Naruto menangis sambil memegang ranting bunga sakura dan jeruk, dan Sasuke sedang menyuapinya. Di halaman yang lain pun penuh dengan foto pada hari yang sama. Kenangan yang seharusnya manis dan bernostalgia malah membuat ia tersenyum kecut.

Naruto membuka halaman selanjutnya, belum sempat melihat foto apa itu mata birunya sudah terbelalak horror. Ada hal yang sangat menyeramkan di sana. Ketika ia perhatikan, jumlahnya tak sedikit. Ternyata memenuhi kardus bahkan merayap ke pakaiannya juga.

Heboh, Naruto berusaha menepis semua serangga yang menempel padanya. Lalu berlari dan menutup pintu gudang dengan kasar. Segera tangan kecokelatan miliknya merogoh ponsel di saku celana dan menelpon seseorang.

Hikari no Miko

Sasuke tengkurap dengan sebelah tangan menopang dagu, sebelah lagi menyendok es krim. Beberapa buku pelajaran ada di dekatnya dengan kondisi terbuka. Suhu yang di hasilkan AC membuatnya merasa nyaman sehingga ia menguap sesekali. Sasuke memilih membereskan buku-bukunya, merasa cukup untuk belajarnya hari ini.

Tepat setelah memakan suapan terakhir dari es krimnya, telepon rumah berdering. Kantuk membuatnya melangkah malas.

Masih dengan sendok es krim di mulut, Sasuke mengangkat telepon.

"Moshi-moshi, dengan kediaman Keluarga Uchiha." Sasuke mulai mengerutkan alisnya ketika tidak ada suara apapun. "Halo? Ada yang bisa saya bantu?"

Setelahnya yang terdengar adalah telepon yang di tutup dengan kasar. Sasuke mengangkat pundak cuek lalu kembali ke ruang keluarga sambil memukul nyamuk yang menggigit lengannya.

Baru saja Sasuke duduk untuk melanjutkan membereskan buku-bukunya, telepon kembali berdering. Sasuke lekas mengangkatnya. "Dengan Keluarga Uchiha, ada yang bisa saya bantu?" Yang menjawabnya adalah keheningan, setelahnya telepon kembali di tutup.

Sasuke mulai sebal. Sendok es krim yang terbuat dari kayu di gigit. Pemuda berambut hitam itu tetap berdiri di sana dan tidak beranjak walau hanya selangkah. Dan firasatnya benar, telepon berdering lagi. Sasuke cepat mengangkatnya tapi tidak bicara apa-apa.

Sasuke dengan tenang menunggu. Sampai suara yang ragu-ragu mulai terdengar. "..Ha-halo?"

Suara yang dikenalnya. Otot di pelipisnya berkedut menandakan emosi. Dengan suara rendah dan tajam Sasuke menjawab, "Apa maumu?"

Kemudian telepon di tutup lagi dengan sangat kasar hingga suaranya menyakitkan gendang telinga Sasuke. Terbawa emosi, Sasuke juga meletakkan teleponya dengan kasar. Saat sadar, sendok es krim di mulut sudah patah menjadi dua.

Sasuke menghembuskan napasnya seolah membuang semua beban. Dengan menguap, Sasuke kembali ke ruang keluarga. Mengambil buku dan berniat untuk tidur siang. Baru setengah anak tangga yang dilewati, kini bel rumahnya yang berbunyi.

Sasuke meletakkan buku-bukunya di meja telepon. Walau merasa sedikit kesal pemuda bermata kelam itu tetap membuka pintu. Benar saja, tidak ada orang. Sasuke menutup pintu tapi tetap berdiri di baliknya. Ketika bel berbunyi lagi, Sasuke lekas membukanya. Masih tidak ada orang.

Sasuke memutar bola matanya malas. Menggaruk lengan yang tadi di gigit nyamuk dengan kasar sampai memerah. "KAU MAU APA SIH?!" teriaknya diambang pintu.

Dari balik rak tanaman bonsai koleksi Fugaku, Naruto mulai keluar. Matanya melotot garang dengan wajah angkuh, sama sekali tak merasa bersalah sudah mempermainkan bungsu Uchiha. "Aku ada perlu dengan Itachi-nii."

Sasuke menatapnya datar. "Tidak ada. Dia berlibur dengan teman-temannya ke Singapura."

Naruto terkejut. Pantas saja ponsel Itachi tidak bisa dihubungi. "Kalau begitu Paman Fugaku saja."

"Tidak ada."

"Bibi Mi-"

"Tidak ada."

Naruto mulai cemberut. Tidak bicara apa-apa lagi, pemuda bermata biru itu berlari ke tetangga yang ada tepat di seberang rumah Sasuke. Naruto memencet bel rumah itu beberapa kali namun tidak kunjung di buka. Malah semakin barbar memencet bel karena sadar Sasuke mengawasi.

"IRUKAAAAA! KAKASHI!"

"Tidak ada. Baru saja pergi." Sasuke menyahuti. Dengan wajah yang masih datar.

Naruto mendelik galak padanya. Bergegas pulang dengan mengabaikan Sasuke. Bungsu Uchiha itu juga dengan cuek menutup pintu dan kembali menuju kamarnya.

Saat sudah di kamar, Sasuke heran ketika melihat ke arah jendela. Terlihat jendela gudang milik tetangga samping rumahnya terbuka. Kardus-kardus sudah tertata tapi debu tebal di lantai belum disapu. Sasuke menuju balkon, ingin melihat lebih jelas. Penasaran apa yang sedang di lakukan tetangga pirangnya.

Lelah onyx-nya mencari sosok pemilik rumah, siapa sangka Naruto malah berdiri gelisah di dekat rak bonsai, lagi.

"Kau sebenarnya mau apa?"

Naruto mendongak ke arah Sasuke yang ada di lantai dua. Bola kembar birunya bergerak-gerak gelisah. Tapi Sasuke sabar menanti jawabannya.

"Di gudang, ada yang aneh."

Wajah memelas Naruto membuat Sasuke berdecak malas.

Hikari no Miko

Naruto bergerak sangat waspada ketika memasuki gudang. Lengkap dengan sarung tangan dan masker untuk menutup hidung dan mulutnya. Uchiha bungsu yang berjalan santai di depannya juga terpaksa memakai perlengkapan yang sama karena dipaksa.

"Jadi, benda apa yang aneh?"

"Stttt..." Naruto meletakkan telunjuknya di depan mulut Sasuke yang tertutupi masker. Sasuke bisa melihat tangan Naruto sedikit gemetar. "Lihat di kardus itu. Mereka mengkilap dan mengerikan."

Sasuke mendekati kardus yang di tunjuk Naruto. Menoleh kebelakang, pemuda pirang itu memilih menunggu di dekat pintu keluar, tangannya sudah menggenggam sapu. Bersiap memukul. Ketika di buka, yang ada dalam kardus itu adalah gambar-gambar lama. Kenangan masa kecil mereka. Sasuke tersenyum tipis. Ia meraih album usang yang terbuka. Ingin melihat lebih potret masa kecil mereka. Namun ketika album itu diangkat, sesuatu yang sangat ditakuti Naruto berkumpul begitu banyak. Bersarang di antara kertas-kertas tua yang membusuk. Sebagian mulai berjalan melewati tangan Sasuke dan mulai merayap ke sekujur tubuh.

Sebelum Sasuke sadar, Naruto sudah menyerangnya. "KECOAAAAAAAAA!"

Hikari no Miko

Sasuke sesekali meringis ketika mengompres pipinya yang hampir membiru bekas pukulan Naruto. Sebenernya bagian punggung dan lengannya juga banyak yang terluka, tapi wajah harus diurus terlebih dahulu. Sasuke khawatir warna mengerikan itu akan betah berada di wajahnya. Sasuke penasaran, mengapa Naruto selalu melukai wajahnya?

Setelah menerima beberapa pukulan membabi buta Naruto yang bertenaga super, Sasuke berhasil menjatuhkan Naruto. Sasuke langsung melempar Namikaze muda itu keluar gudang karena menangis ketakutan. Dan dengan berbesar hati Sasuke yang melanjutkan pekerjaan Naruto sampai satu debu pun tak akan ditemukan di sana. Tentu saja sambil meneriaki Namikaze manja itu untuk melakukan ini dan itu sesuai interupsi darinya.

Sasuke berdecak, sebal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa dengan mudah menebak apa yang begitu ditakuti Naruto sampai harus meminta tolong pada dirinya. Matanya melirik album yang dibawanya. Meletakkan di pangkuan dan mulai membalik satu per satu halaman. Membangkitkan kenangan masa kecilnya.

Dia berhenti membalik halaman ketika terpampang satu foto yang paling besar. Sesaat hatinya seperti berdebar namun terasa sakit. Angin musim panas berhembus, menggoyangkan rindang pohon di atasnya. Membuat para tenggerek semakin semangat untuk mengisi kesunyian.

Sasuke mulai mengingatnya, album foto ini sebenarnya milik Itachi. Pandangannya menyenduh, jarinya mulai meraba foto tersebut. Foto dirinya dan Naruto yang sedang digendong para ayah di musim semi. Semakin terlihat indah karena pada saat itu angin berhembus menerbangkan kelopak bunga sakura.

Naruto berdehem dan duduk sedikit menjaga jarak dengan Sasuke. Tangannya menyodorkan jus tomat kalengan yang dingin. "Maaf untuk yang tadi. Dan terimakasih banyak sudah membantu."

Sasuke memandang Naruto sesaat, "Hn." Angin berhembus lagi, memenuhi taman dengan suara dedaunan yang berisik. Sasuke meminum jus dengan rasa kesukaannya.

Naruto melirik pada album di pangkuan sahabat kecilnya. Melihat foto itu, mata birunya meredup. "Itu di sini, ya. Sepuluh tahun lalu." Keduanya memandang perosotan yang ada di tengah taman.

Untuk beberapa saat hanya ada suara tenggerek yang berisik saling menyahuti. Langit juga sudah mulai menguning. Mengambil napas dalam, Sasuke memberanikan dirinya bicara. "Gara-gara ini, kita tidak bisa kembali seperti dulu. Kita harus melakukan sesuatu."

Naruto menunduk. Memandang foto yang masih di pangkuan Sasuke dengan alis berkerut tak suka. "Aku tak mau membicarakan ini."

"Kita sudah SMA, Naruto." Sasuke meletakkan jus dan kompresnya di ruang kosong pada bangku kayu yang didudukinya. Pelan-pelan Sasuke mulai mengambil foto paling besar di album itu. "Kita tidak butuh ini. Lupakan saja." Sasuke mulai merobek foto musim semi mereka menjadi delapan bagian.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Naruto berusaha merebutnya namun tak berhasil karena Sasuke menghindar.

Setelah merobek, Sasuk meremas foto itu sampai menjadi kecil lalu melemparnya ke semak-semak di pinggir jalan. "Anak kecil tidak tahu apa yang mereka lakukan! Tidak ada makna dalam ucapannya!" Mata kelamnya memandang biru jerni yang sudah basah. Melihat airmata itu, Sasuke juga mulai berkaca-kaca. Tangannya meremas kedua pundak Naruto. "MAU SAMPAI KAPAN KITA SEPERTI INI?! HANYA KARENA SEBUAH JANJI TAK MASUK AKAL?!"

Keduanya mulai menangis. Usai berteriak, emosi Sasuke mulai menurun. "Lupakan saja. Kita tidak bisa menjadi anak kecil untuk selamanya." Sasuke mengembalikan album yang terjatuh ketika dia berdiri untuk melempar foto tadi pada Naruto. Ia mengambil kompres dan jus tomatnya. "Aku masih ingin berteman denganmu."

Naruto menatap album lusuh di tangannya, terluka. Tidak merespon apapun pada ucapan Sasuke atau tindakan pemuda emmo yang meninggalkannya sendirian.

Naruto menangis. Menyesal mentraktir jus bisa untuk berterimakasih pada Sasuke. Penuh amarah, Naruto melempar album itu pada mesin penjual minuman yang berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya duduk.

Tidak. Naruto tidak menyesali niat baiknya. Dia menyesal karena meminta tolong Sasuke untuk membantunya di gudang. Tanpa dibasmi pun, Naruto tak akan mati di makan kecoa. Atau setidaknya dia bisa membiarkan gudang tetap kotor sampai orangtuanya kembali. Ibunya tak akan marah.

Naruto membenturkan kepalanya ke bangku kayu, lalu merintih kesakitan. Dalam tangisnya dia melirih. "Kau bodoh, Naruto! Kau kehilangan dia untuk yang kedua kalinya, BODOH! KAU BODOH NAMIKAZE MUDA!"

Naruto menangis, menjerit keras sekali. Tidak peduli dengan mobil hitam yang berhenti di dekatnya. Iruka keluar dari sana dan berlari menghampiri. Memeluk Naruto, berusaha menenangkan.

Sedang di belakang setir, Kakashi memandang lurus ke depan. Memperhatikan bungsu Uchiha yang terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Memang tidak sekeras Naruto -yang mungkin saja tetangga di dekat taman bisa mendengarnya-, tapi Kakashi yakin bahwa Sasuke juga sedang menangis.

Kakashi membuang napas dengan kasar, lelah. Apa yang sudah terjadi pada anak-anak itu ketika ia dan Iruka pergi?

Pria dengan bekas luka di mata kirinya itu melirik tas kertas di jok belakang, ukurannya lumayan besar. Ia mengambil satu yang memang jatah Naruto dan mulai berjalan menghampiri dua orang yang entah bagaimana ceritanya mulai menangis bersama sambil berpelukan.

Sekarang Kakashi mulai mengerti bagaimana repotnya mengurus dua bocah itu.

.

Bersambung...

.

.

Wahhhhh.. sudah sekitar 3 tahun ya sejak terakhir kali ff ini di update? Atau malah lebih dari tiga tahun?

Selama lebih dari 2 tahun ini Yun tidak bisa menulis, banyak hal yang terjadi. Sejujurnya Yun sendiri hampir menyerah untuk kembali menulis :")

Ff ini seharusnya hanya 3 chapter saja, jadi semoga chap depan tamat 💓

Yun usahakan ff ini tamat dulu baru ngelanjutin yg lain.

Untuk ff lain, mungkin beberapa tidak akan dilakukan, maaf :")

Tapi untuk Love Me, Please dan Miracle of Destiny akan Yun tamatkan. Rencananya Love Me, Please juga akan di publikasikan di wattpat 💓💕👍

Yun akan berusaha sering update, jadi tolong terus dukung saya yaaa...

Caranya dengan komen, vote, follow dan tentu saja mampir ke orific Yun.. please...

Eh, jangan lupa koreksi juga ya? 2 tahun lebih gak nulis, begitu balik nulis lagi kaku banget.. 😭😭😭😭

Ah, semangati Yun juga dong.. :")

Makasih banyak buat kalian yang udah mampir, jangan tinggalkan saya ya.. :")

Semisal lupa ama ceritanya, baca lagi aja dari chap depan.. /plak

AYO BANTU SAYA BUAT SEMANGAT LAGI MENCARI KEBAHAGIAAN! 💪💪💪

Ah, kalo mau nanya soal ff boleh. Siapa tahu pertanyaan kalian bikin terinspirasi buat chap terakhir 😂😂😂

Thanks dari Yun, salam cinta 💕