.
Disclaimer : I do not own ERASED
I'ts been a a long time, my friends!
Phew, akhirnya chapter yang satu ini selesai.
Tetap sabar dan setia, ya! Cerita ini masih bisa lanjut (untuk sekarang).
.
.
.
"Di masa depan yang kulihat, kau seharusnya mati kemarin. Mayatmu akan ditemukan tiga minggu lagi, terombang-ambing di sungai."
Sebelum dia bisa menahan diri, gambaran mayatnya sendiri yang membeku dan mengambang diatas air yang dingin memenuhi kepalanya.
Gambaran itu membuat perutnya terasa bergejolak.
Dia harus menutup mulutnya agar tidak muntah.
"Kau juga mengalami [Revival]?" bisiknya.
Semuanya terasa dingin. Kulit-kulitnya mati rasa. Tubuhnya membeku.
Dia tidak mau mati disini.
.
.
.
Reaksi pertama Satoru adalah memuntahkan isi perutnya. Setelah pulih dari shocknya, dia mulai menceritakan masa depan tempat dia berasal. Sebuah masa depan dimana Hinazuki Kayo, Nakanishi Aya, dan, Sugita Hiromi mati terbunuh.
Dia menceritakan itu semua sambil menangis.
Air mata yang dia tunjukkan itu pasti adalah air mata penderitaan.
Satoru telah menanggung semuanya sendiri. Pasti berat sekali.
Kenya juga menceritakan tentang [Time Travel] dan penyelidikannya tentang identitas pembunuh.
Mereka berbicara di pinggir sungai berdua saja sampai langit menjadi sore.
"Singkatnya, teman kecilmu, Kimi, juga menjadi korban dari si brengsek itu, lalu tiba-tiba kau terkirim kesini, begitu, kan?" ucap Satoru menyimpulkan. Matanya tertuju pada pesawat kertas yang mengambang diatas sungai.
Kenya menatap pantulan dirinya di permukaan air sungai. Seorang anak laki-laki menatap balik kearahnya. Dia masih belum terbiasa dengan hal ini.
"Kejadian seperti ini kadang-kadang terjadi. [Time Travel] membuatku bisa kembali ke waktu yang kuinginkan untuk menyelesaikan masalah di masa depan. Tapi, saat emosiku tidak stabil, inilah yang terjadi."
"Kau bisa kembali ke waktu yang kau inginkan?" tanya Satoru. Dia terlihat terkejut.
"Ya, tapi kemampuan ini hanya bisa kugunakan setiap ada masalah terjadi."
Itu adalah syarat dan kondisi agar [Time Travel] bisa terjadi. Begitu mengetahuinya, Kenya bisa mengendalikannya sesuka hati.
"Kemampuanmu berguna sekali. [Revival]ku bukanlah sebuah kemampuan. Aku lebih suka menganggapnya sebagai fenomena karena itu sama sekali diluar kendaliku," Satoru menjelaskan dengan nada pahit.
Kenya melihat kearah matahari yang sudah setengah terbenam. Sebentar lagi sudah malam. Mereka harus segera pulang.
"Hey, Satoru, ada satu hal yang belum kau katakan padaku."
Satoru mendengarkan semua ceritanya dengan sungguh-sungguh. Kenya sangat senang bisa memiliki seorang rekan yang bisa diandalkan seperti dirinya. Penjelasannya membuatnya segalanya lebih masuk akal.
Tapi, masih ada satu hal yang kurang, satu misteri yang belum terpecahkan.
"Satoru," Kenya menatap wajahnya serius. "Siapa pembunuh berantai itu? Apa kau tau sesuatu tentang dirinya?"
Satoru mengalihkan matanya. Reaksi itu memperkuat keyakinan Kenya bahwa temannya sebenarnya mengetahui sesuatu.
"Aku tidak tau," Satoru tersenyum pahit. Cahaya langit sore menerangi senyumannya.
Satoru sungguh menyilaukan. Begitu menyilaukannya dia sampai Kenya tidak bisa melihat apa yang sebenarnya dia coba sembunyikan dibalik senyuman itu.
Kata-katanya barusan bukanlah kebohongan.
Meski begitu, dia jelas-jelas menyembunyikan sesuatu.
"Selamat tinggal, Kenya," Satoru melambai pergi.
"Tunggu," Kenya memegang lengannya. Kepala biru itu menoleh sedikit. Ekspresinya tertutupi oleh bayang-bayang. "Jika kau mengalami masalah, ceritakan saja padaku. Kita urus bersama-sama, oke?"
Ada keheningan yang cukup lama diantara mereka.
Satoru berjalan pergi. "Terima kasih, Kenya, tapi aku baik-baik saja."
"Tunggu, Satoru!"
Kenya merentangkan tangannya, tapi Satoru sudah jauh darinya.
Dia sering memimpikan ini. Dalam mimpinya, Satoru terus berjalan, tanpa menoleh kebelakang. Kenya terus mengejar, berlari, berteriak, merentangkan tangan, namun ketika akhirnya Satoru berada di jangkauan tangannya, anak laki-laki berambut biru itu menghilang begitu saja dari hadapannya.
Lalu, Kenya akan terbangun dengan perasaan hampa.
Tapi, ini bukan mimpi. Kenya mengepalkan tangan. Ini adalah kenyataan.
Jika Satoru tidak mau mengatakan apapun tentang pembunuh berantai itu, maka Kenya akan mencari tau sendiri.
.
.
.
"Apa sesuatu terjadi antara kau dan Satoru?" Hiromi bertanya khawatir. Diantara mereka berlima, dialah yang paling peka dan sensitif.
Kenya terus melihat kedepan, tidak berani menatap mata Hiromi yang memancarkan kekhawatiran. Suara langkah kaki mereka bergaung di koridor yang sepi. Dia tidak mengatakan apapun.
Hiromi hanya menghela nafas, tak menanyakan lebih jauh.
Saat mereka masuk kedalam kelas, ruangan masih kosong. Tentu saja, itu karena sekarang adalah pelajaran olahraga. Murid-murid masih bermain diluar karena Yashiro-sensei mengakhiri pelajaran olahraganya lebih awal. Jam pelajaran berikutnya belum dimulai.
Kenya pergi ke tempat duduknya, tidak berencana untuk melakukan apapun selain duduk dan berpikir.
Saat itulah sesuatu di bangku Satoru menarik perhatiannya, membuatnya berhenti melangkah. Sebuah kertas kecil berwarna kuning.
Tanpa pikir panjang, Kenya mengambil kertas itu. Dia merasa bersalah menyentuh barang milik orang lain tanpa ijin, tapi rasa bersalah itu dengan cepat menghilang saat dia membaca tulisan diatasnya.
Tunggu aku sepulang sekolah di tempat dudukmu. Jangan kemana-mana sampai aku datang.
Misato.
Mata Kenya menyipit. Mencurigakan. Dia melihat Satoru berbicara kepada Misato tadi pagi, tapi gadis tidak-tau-terima-kasih itu masih tampak tak bersahabat seperti biasa. Kenapa tiba-tiba meninggalkan pesan? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu? Kenapa tiba-tiba mau berbicara?
Ini terlalu mencurigakan.
Jantung Kenya berdetak lebih cepat saat memikirkan kemungkinan orang yang mengirim catatan ini bukanlah Misato, melainkan sang pembunuh yang dia cari.
Bisa saja ini menjadi petunjuk yang akan membawanya pada kebenaran.
Kertas kecil itu bergetar dalam genggamannya.
Lagipula, kalau pengirimnya memang Misato, Kenya bisa meminta maaf dan memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekatinya.
.
.
"Kenya, kau tidak mau pergi ke tempat persembunyian kita?" tanya Osamu. Suaranya mengecil saat menyebut 'tempat persembunyian'.
Kenya menggeleng. "Ada sesuatu yang harus kulakukan. Maaf, teman-teman."
"Oh, oke," ucap Kazu tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya. Satoru yang berdiri di sebelahnya menatap Kenya curiga, tapi tidak mengatakan apapun. Dia pergi bersama yang lain, tangannya ditarik oleh Hiromi dan Osamu berjalan di sebelahnya menyemangatinya.
Kenya memberi lambaian terakhir pada Hiromi yang tampak tak yakin meninggalkannya sendirian. Setelah memastikan teman-temannya pergi, dia segera menolehkan kepalanya berkeliling kelas.
Misato tidak ada disini. Apa dia sudah pulang lebih dulu?
Apa pengirimnya memang si pembunuh berantai?
Kenya merapikan bangkunya selambat mungkin. Dia berpura-pura menjatuhkan isi kotak pensilnya dan mengecek buku-buku tasnya berkali-kali.
Saat teman-temannya sudah pergi dan Kenya menjadi satu-satunya orang di ruang kelas itu, dia duduk di bangku Satoru. Matanya terus tertuju pada pintu kelas.
Siapapun bisa berjalan masuk dari pintu itu. Orang itu bisa saja Misato atau seseorang yang sama sekali asing.
Tidak, tunggu.
Kenya mengernyitkan dahi.
Jika orang yang mengirimkan pesan ini memang pembunuh, bukankah itu artinya-
Pintu kelas terbuka.
Kenya tersentak. Adrenalin mulai memompa darahnya. Rasanya bumi bergerak lebih lambat dari biasanya.
"Yashiro-sensei...?"
Pria dewasa yang memasuki kelas terkesiap melihatnya. "Kenya? Apa yang kau lakukan disini?"
"Oh, um... A-aku.." Kenya menelan ludah. Dia memasukkan tangannya yang bergetar ke kantong jaket. "Aku baru saja mau pulang. Bagaimana denganmu, sensei? Apa yang kau lakukan disini?"
Yashiro tersenyum canggung. Dia sama sekali tidak terlihat berbahaya.
"Aku lupa membawa sesuatu. Apa kau murid terakhir yang pulang?"
"Ya, kelihatannya begitu, Sensei."
Hanya seseorang dari sekolah ini yang bisa memasuki kelas, meletakkan surat di bangku Satoru, lalu pergi tanpa terlihat mencurigakan.
"Berhati-hatilah saat pulang, Kenya," Yashiro melangkah keluar kelas.
"Tunggu, Sensei!" Kenya langsung berdiri dan menarik tangan gurunya.
Sesuatu jatuh dari baju Yashiro. Beberapa foto dan sebuah pisau belati.
Dengan kata lain, pembunuh berantai itu bukanlah orang asing.
Yashiro buru-buru memungut barang yang berjatuhan. Dia sedikit terlambat. Kenya sudah melihat foto-foto itu.
"Sensei..." Kenya tidak bisa menyembunyikan kecurigaan di suaranya. "Kenapa kau memiliki foto Satoru?"
Pembunuh itu adalah orang yang Kenya kenal.
Tubuh Yashiro membeku. Lalu, perlahan senyuman muncul di wajahnya.
Senyuman itu membuatnya merinding. Itu adalah senyuman pemangsa.
Hampir karena insting, Kenya mengambil satu langkah mundur.
"Jadi, kau sudah melihatnya, ya," Yashiro maju selangkah. "Apa boleh buat. Kau tidak beruntung hari ini."
Kau pasti bercanda. Kenya menggertakkan gigi.
"Setelah membunuhmu, aku akan membunuh Satoru. Kira-kira bagaimana ekspresinya jika dia melihat mayatmu?"
Rasa sakit menyerang perutnya. Kenya menunduk melihat sebuah pisau menusuk tubuhnya. Banyak darah yang menetes ke lantai.
"Ini bukan masalah aku mempercayaimu atau tidak. Masalahnya adalah kepercayaanku akan membuatmu aman atau tidak."
Semuanya jadi masuk akal.
.
.
Kenya membuka mata, melihat atap kamar yang memberikannya perasaan nostalgia.
Dia langsung bangkit dan berlari ke kamar mandi. Cermin merefleksikan wajahnya yang pucat pasti. Dia ragu bayangan pisau yang menusuk perutnya dan darah yang menetes ke lantai akan segera hilang dari ingatannya.
.
.
"Sesuatu telah terjadi, kan?" Satoru melipat tangannya diatas dada, menunggu sebuah penjelasan.
Dia langsung menariknya ke tangga, tempat mereka biasa berdiskusi, begitu melihatnya masuk kelas. Kenya memperhatikan wajah Satoru lebih dekat. Sahabatnya sedang menatapnya tajam, mata birunya yang jernih memperlihatkan kekhawatiran.
Tanpa benar-benar berpikir, Kenya memeluknya.
"Kenya...?"
Dia bisa merasakan nafas Satoru dengan lembut mengusik telinganya. Kenya mengeratkan pelukan.
"Aku pasti akan melindungimu."
Satoru melindungi banyak orang, tapi siapa yang akan melindunginya? Tidak ada. Satoru sepenuhnya sadar akan hal ini dan itulah makna sebenarnya dari permintaannya di pertandingan hoki waktu itu.
"Kenya, selamatkan aku."
Kenya bisa merasakan Satoru membalas pelukannya.
"Tidak apa-apa," Satoru membelai punggungnya. "Kita akan baik-baik saja."
Baru saat itu, Kenya menyadari dia sedang menangis. Tapi, dia tidak bisa menghentikannya. Air mata itu terus mengalir dan membasahi bahu Satoru.
"Kita akan baik-baik saja," Satoru mengulang, kali ini lebih tegas dan penuh keyakinan. "Kau akan baik-baik saja."
Aku pasti akan menyelamatkanmu, Satoru.
Kenya hanya mengangguk.
.
.
"Kita akan baik-baik saja."
Kata-kata itu tak lebih dari kebohongan.
Itulah yang Kenya pikirkan saat dia pulang sekolah sendirian dan tidak sengaja mendengar dua gadis SMA bergosip tentang mayat anak kecil yang ditemukan mengambang di sungai.
.
.