LUST

Lust © Kana L

Naruto © Masashi Kishimoto

SASUHINA FICTION—


[1]


Dentingan alat makan, gelak tawa karyawan, celotehan penuh gosip khas wanita memenuhi kafetaria perusahaan. Pegawai kafetaria berjalan kesana-kemari mengambil piring-piring kotor ataupun mengepel lantai kafetaria. Sesekali pegawai yang didominasi ibu-ibu tua itu turut berceloteh dengan karyawan yang mengantri di pantry.

Jam dinding yang terpaku di belakang kafetaria menunjukkan jarumnya tepat di angka dua belas—waktu yang tepat untuk memakan santap siang. Sehingga tak heran jika kafetaria milik perusahaan game yang ternama ini penuh sesak oleh karyawan yang perutnya merengek minta diisi.

Naruto melebarkan cengiran ambigu-nya. Dengan langkah tegap ia membawa nampan stainless steel yang penuh dengan dua mangkok ukuran jumbo ramen kesukaannya. Ia mengangkat tinggi-tinggi nampannya, seakan takut akan harta karunnya tersenggol lalu menumpahkan isinya. Tubuh tinggi atletisnya bergerak menelusup celah-celah sempit yang ada di barisan karyawan yang mengantri untuk mengambil makanan di pantry. Sambil melantunkan kata-kata "Permisi" ia mencoba menerobos barisan itu.

Hingga akhirnya ia bisa mengucap syukur karena telah berhasil keluar dari tempat yang sesaknya bukan main. Namun bukannya mencari tempat untuk menyantap santap besarnya, ia malah celingak-celinguk ke kanan ke kiri seperti anak ayam yang mencari induknya. Kepalanya terhenti ketika ia menangkap eksistensi seorang pria bersurai raven itu sedang duduk membaca buku sambil menyesap kopinya—mungkin.

Tak menunggu waktu terlewat dengan cengiran khasnya, Naruto melangkahkan kaki berpantofel miliknya menuju tempat pria itu singgah. Sesampainya disana dengan seenak jidatnya tanpa meminta persetujuan penghuni lama tempat itu, ia mengambil kursi kosong yang berhadapan dengan pria itu—dan lagi, tanpa permisi ia cepat-cepat membuka bungkus sumpitnya lalu memulai santap siangnya dalam kebisingan yang luar biasa.

Pria raven itu diam—cenderung cuek seakan tak menganggap Naruto ada. Baginya, pria kuning itu seperti debu kecil yang tak berarti namun berpotensi membuatnya kesal.

Yah, sebenarnya tidak seperti itu juga, reputasinya akan kesetiaannya pada buku daripada bersosialisasi atau sekedar berbasa-basi dengan orang lain—walaupun orang itu rekan terdekatnya juga turut mendongkrak sikap apatisnya ini. Sudah dari pabriknya, oke.

Suapan pertama Naruto masih bisa diam. Oke, itu biasa. Namun ketika suapan kedua—ketiga Naruto mengangkat sebelah alisnya. Sadar akan dirinya yang tak dianggap sama sekali. Baik.. masih bisa sabar. Pikirnya. Tapi, ternyata kesabarannya tidak bisa bertahan sampai suapan kelima.

"Hoi Sasuke," panggilnya keras dengan mulut penuh makanan. Bisa dilihat, hujan lokal terjadi di sekitar meja ini.

Sasuke—Pria raven yang dimaksud tak memberikan respon yang besar—bahkan terlihat tidak sama sekali merespon panggilannya. Ia hanya bersikap biasa. Elegan, mengambil cangkir kopinya lalu menyesap cairan pahit itu perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sudah ia baca setengahnya.

Raut Naruto mulai tertekuk karena telah diabaikan untuk kedua kalinya—catat kedua kalinya. Cukup menyebalkan untuk kategori orang butuh perhatian dan kasih sayang semacam Naruto. Katakanlah Naruto itu perjaka ngenes, dan mungkin itu benar.

"Hoi berengsek!" panggilnya dengan nada yarg ditinggikan satu oktaf.

Layaknya orang tuli, Sasuke masih tetap pada status quo; diam dalam posisinya—dan apa reaksi Naruto setelah mengetahui dirinya telah diabaikan sebanyak tiga kali?

Melempar sumpitnya yang masih berlumuran kuah ramen ke Sasuke.

Tapi sayang sekali, gerak cepat sumpitnya masih kalah lincah dengan tangan Sasuke. Jemarinya sudah sigap menangkap sumpit itu lalu melemparnya ke sembarang arah seakan tak peduli kalau alat makan itu masih layak pakai.

Sasuke berdeham kecil, ia mengambil sticky notes yang tertempel di bukunya untuk menandai halaman terakhir yang ia baca. Lalu dengan perlahan ia meletakkan buku yang hanya setengah HVS itu jauh darinya. Dengan sorotan tajam yang khas ia menatap bocah kuning sahabatnya itu "Apa?" tanya Sasuke dengan nada datar yang jelas tak bersahabat.

"Bisakah kau gunakan waktu makan siangmu dengan hal yang lebih berguna? Kau pikir kau bisa kenyang hanya makan buku?" cerocos Naruto dengan lancarnya.

"Mungkin," jawab Sasuke sekenanya. Ia mengambil sapu tangan dari balik jasnya. Lalu membersihkan tangannya yang sedikit kotor terkena kuah ramen. Setelah yakin tangannya bebas dari air lengket itu, iamencomot waffle-nya sampai tinggal setengah.

"Aku sudah makan, puas?" ia bersidekap sambil menatap Naruto datar.

Naruto hanya bisa menatap heran temannya itu. Mencomot makanan kecil tak jelas komposisinya itu kau sebut makan? Makan siang? Oh God. Makan itu pakai nasi bukan pakai tepung. Pikir Naruto.

Tapi, tak sadarkah kau Naruto, kalau kau juga sama halnya dengan Sasuke yang makan siang pakai tepung?

Dunia ini sudah gila. Batin Naruto kesal. Ia mengacak rambutnya frustasi. Selalu begini akhirnya jika ia berhadapan dengan temannya yang satu ini.

"Hei" Naruto menjedah kalimatnya mendekatkan diri ke tengah meja lalu ikut bersidekap, "Aku tahu kau ini tidak butuh makan, tapi—setidaknya ya, berusahalah menutupinya agar orang tidak curiga," ucap Naruto serius dengan ekspresi yang tentunya serius—walaupun kalau Naruto yang membuat jadi tidak serius lagi.

Sasuke tersenyum miring. Ia mengambil sisa waffle hambarnya yang masih sisa setengah. Setelah adonan matang itu tertelan sempurna oleh kerongkongannya ia menyesap kembali kopinya. Turut meresapi aroma yang perlahan membuatnya ketagihan.

Naruto mengangkat sebelah alisnya. Mungkin dia sudah paham, pikirnya. Kemudian ia mengambil sumpitnya yang yang baru menggunakan bilahnya untuk kembali menyantap ramennya.

Sasuke diam memperhatikan sahabat karibnya memakan makanan yang baginya aneh itu. Memperhatikan tiap detik makanan yang penuh rempah itu masuk tertelan ke kerongkongan Naruto. Perutnya bergejolak berusaha menahan mual yang luar biasa. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Naruto tahan dengan makanan aneh itu? Padahal dirinya saja hanya bisa tahan makan waffle itupun rasanya hambar.

"Apa kau tidak merasa mual memakan benda menjijikkan itu, Naruto?" tanya Sasuke polos sambil meraih kembali bukunya—untuk dibaca lagi.

Ia terhenti sejenak. Seakan berpikir menggunakan otak hinanya. Tak butuh waktu lama ia kembali sibuk pada makanannya, "Entah, setelah kupikir-pikir rasanya sama dengan makanan yang biasa kumakan—"

"Iya, sama. Karena setiap hari kau makan itu, baka dobe," potong Sasuke cepat.

"Berengsek! Kau saja yang tidak pernah mencoba!" Naruto mengelak. "kau itu terlalu kolot Sasuke! mirip orang tua yang hanya berpikir makanan manusia itu tabu untuk kita makan," ia menjedah "Asal kau tahu saja ya, daging yang dimasak lebih enak dari pada yang mentah," ucapnya sok tahu.

Sasuke mengedikkan bahu tak peduli "Yah terserah kau lah Naruto, lagipula aku tidak makan daging mentah," Sasuke memutar bola matanya malas. Meletakkan bukunya lagi dan kembali bersidekap menatap Naruto serius—benar-benar serius.

"kau tidak lupa 'kan—dampaknya kalau kau tidak memakan makanan asli sesuai kodratmu?"

Iris kebiruan Naruto sedikit melebar ketika mendengar pertanyaan retoris yang Sasuke lontarkan. Jelas ia tahu, dan ia tak mau mengambil resiko mengelak fakta itu ke hadapan sahabat dari kecilnya. Toh, tidak ada gunanya juga ia berbohong. Karena cepat atau lambat orang raven ini pasti akan tahu tentang perihal itu.

"—dan sepertinya dampak itu sudah terjadi padamu," ucap Sasuke lagi sambil mengulas sebuah seringaian tipis.

Naruto mengangkat ujung bibirnya kaku "Aha.." ia tertawa getir "Kau hanya tidak pernah tahu Sasuke! Cobalah sekali-kali, maka kau akan ketagihan!" lanjut Naruto sambil menyodor-nyodorkan sumpitnya yang menjepit banyak helaian mie.

"Justru karena ketagihan itu aku menolak Naruto," Sasuke membalik halaman bukunya malas dan kembali membaca deretan kata rumit yang tertulis disana.

Naruto hanya berdecih ria kemudian melanjutkan pesta makannya yang sempat tertunda karena debat kecilnya dengan Sasuke.

Tak berselang waktu yang lama, Sasuke menutup bukunya lalu memasukkan buku tak seberapa itu kedalam saku jasnya. Ia menyalakan ponselnya. Mengusap cepat layar sentuh itu dengan cepat.

"Lagipula aku tidak peduli dengan kebiasaan bodohmu itu, dobe—" ucapnya pelan.

Orang yang dimaksud hanya mengangkat sebelah alisnya. Bingung. Tapi, ia menahan mulutnya untuk bersuara menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Sasuke.

"—Selama kau tidak membuat perusahaanku bangkrut, itu tidak masalah."

Perempatan siku muncul di dahi Naruto. Kesal. Alasan tega macam apa ini?!

"Berengsek! Kau pikir aku apa?! Budak pekerjamu?! Dan lagi, memangnya makanan seperti ini bisa melemahkanku begitu saja, teme!" alhasil, kalimat itu sukses memprovokasi Naruto sampai meledakkan suaranya.

"Bisa kau tahan suaramu itu? Kita sedang serius sekarang," Sasuke mendesis kesal.

Kekesalnya, hanya dibalas decihan kurang ajar dari Naruto. "Baik, apa maumu?" semprotnya.

Sasuke mendorong ponsel canggih keluaran terbarunya. Benda mahal itu melesat sampai ke ujung meja Naruto dengan mulusnya.

"Kau lihat itu?"

Mata Naruto membelalak kaget melihat ponsel Sasuke yang menampilkan teaser gambar sebuah galge game dengan tipe heroine-nya didominasi loli-loli imut berseragam SMA. Dengan latar seperti survival game tapi tidak meninggalkan sedikit pun ciri khas dari galge—romance.

"I—ini kan.."

Sasuke menyeringai "Tepat sekali."

"Itu belum seberapa, lihat gambar selanjutnya," sambung Sasuke.

Patuh dengan titah, Naruto menggeser layar ke kiri untuk melihat gambar selanjutnya. Tepat saat gambar itu ditampilkan ia tak kalah kaget dari tempo sebelumnya.

"Hei, Sasuke. Bukannya ini—"

"—Proposalmu bulan lalu? Benar, tidak salah lagi."

Masih dengan tatapan tak percaya, ia membalikkan ponsel mahal itu lalu memperlihatkan sebuah hal yang membuatnya gusar pada Sasuke.

"Lalu apa-apaan ini?! ?! Bajingan, mereka!"

Seakan tak tergerus suasana, Sasuke hanya mendengus lalu mengambil kembali ponselnya. "Aku sudah memeriksa teaser game mereka dan aku yakin ini bukan sekedar kebetulan semata jika memang game yang akan kita produksi itu sama."

"Pasti.. pasti mereka mencuri proposalku bulan lalu."

"Mungkin," Sasuke mengedikkan bahu seakan tak peduli. Melihat respon mengecewakan dari Sasuke, Naruto mengacak rambutnya frustasi. Teramat frustasi sampai membuatnya tidak nafsu untuk melanjutkan makan siangnya.

"Aku sudah meminta batuan Shikamaru untuk melacak setiap port yang kemungkinan mereka gunakan untuk mengakses database kita," Sasuke mendesah pelan "Hasilnya nihil."

"SIAAALLL! Kenapa kita tidak tuntut mereka saja! Bukti proposal aslinya ada di kita, bukan?"

"Menuntut mereka juga tidak ada gunanya, Naruto. Kesamaan ide bukanlah hal yang jarang di dunia kerja kita. Kau tahu benar itu," Sasuke menjedah "Lagipula, jika menggunakan cara kita ataupun menyangkutkan mereka ke hal itu sama saja membongkar rahasia kita sendiri," tandas Sasuke sampai membuat Naruto kehilangan semua argumennya.

Sasuke kembali mendesah—mendesah berat. Ikut merasakan rasa terpukul yang sama seperti Naruto. Merasakan beban berat yang berlipat ganda lebih banyak dari pada beban Naruto yang hanya menanggung satu divisi bagian perencanaan game baru. Beban yang kita bicarakan ini adalah satu perusahaannya! Semua karyawannya terancam PHK masal jika ia tidak sesegera mungkin membuat produk terbaru yang mungkin akan mampu menyaingi buatan mereka sendiri yang telah diplagiati oleh perusahaan lawan main.

Bukan hanya beban akan ancaman PHK masal, tapi juga kondisi finansial perusahaan tidak memungkinkan mengulang dari awal project yang sudah digarap hampir setengahnya itu. Terlebih sudah banyak uang yang dikeluarkan hanya untuk menjalankan debut pertama mereka di bagian galge game. Kalaupun mereka bisa menekan angka pengeluaran dengan cara membuat game dengan ciri khas mereka—RPG, yang menjadi korban adalah penggemar setia yang sudah menantikan galge game ala —perusahaan mereka.

Hening menyelimuti meja tempat mereka berdua duduk menyantap makan siang. Berita buruk itu benar-benar mengehilangkan nafsu makan mereka—terutama untuk Naruto yang sudah benar-benar tidak minat untuk menyantap ramen yang sangat dan selalu ia agungkan.

Bocah kuning berisik itu mendadak menjadi kalem. Raut mukanya terlihat semrawut tanda pikirannya sedang kacau. Ya.. bagaimana tidak kacau? Hasil idenya dicuri orang tanpa permisi. Benar-benar menguras kesabarannya hingga habis.

Tak tahukah dia kalau Naruto sudah berjuang sekuat tenaga menciptakan ide tentang game itu? Bahkan, ia terjun langsung dalam pembuatan desain karakternya—dan lagi, setiap detil yang ada di masing-masing karakter memiliki nilai filosofis sendiri.

Kita semua tahu kalau jawabannya; tidak, tidak tahu sama sekali. Ketidaktahuannya yang membuat ketidakpedulian itu menjadi sebuah sifat tega untuk tak menghargai.

Bangsat!

Sedangkan sang atasan—Sasuke, hanya memasang raut stoic biasa seakan bebannya sudah menguap begitu saja dengan cepatnya. Walaupun kenyataannya—hatinya masih pundung di pojokan sana.

Ia menyisir rambut hitamnya ke belakang. Membiarkan dahi yanng selalu tertutup poni itu bernapas dengan bebas.

"Anggap saja ini tantangan untuk membuktikan kalau makanan rendahan itu tidak merusak kinerjamu, dobe"

Sasuke melihat jam tangannya. Mendesah berat—lagi ketika menyadari waktu istirahat siang-nya sudah hampir habis. Tak mau membuang waktu, ia bangkit dari sofa kafetaria lalu berjalan meninggalkan meja itu.

Belum sampai lima langkah ia berhenti, "Kutunggu proposal terbaru untuk menyaingi mereka," senyum miring terulas "Paling lambat jam sembilan malam di ruanganku."

Yang diberi mandat malah menatap Sasuke kesal. Berengsek! Baru berduka malah dikasih tugas. Keluhnya dalam hati. Maka, dengan ekpresi tertekuk, hati kesal separuh ngenes karena idenya dicuri ia melahap bulat-bulat ramennya. Bahkan kecepatan menelannya mampu mengalahkan kecepatan kuda troya yang sedang berlari.

Pertanyaannya, dikunyah atau tidak itu?

Ia masih dalam posisinya; makan dalam kebisingan. Sampai rombongan karyawan yang masih seangkatan dengannya datang lalu mengambil tempat duduk di depannya.

"Benar-benar, Sasuke ini. Tidak kenal teman apa ya?"

"Ya, benar sekali. Walaupun aku dan dia satu SMA dulu tetap saja, dia memperlakukanku kerja rodi disini!"

"Mendokusei na.."

"Dan juga apa-apaan itu etiketnya? Jarang sekali ngobrol dengan kita."

Naruto mulai mengernyit tak suka. Wajar saja kalau ia kesal ada yang mencela temannya padahal tidak tahu-menahu sama sekali tentang sifat aslinya.

Setelah menyeruput kuah ramennya, ia menatap sinis rombongan yang baru datang itu—Kiba, Chouji, Shikamaru, dan Shino.

"Hei, kalau tak suka dengan caranya, pindah kerja saja sana!"

Kiba mendecih tak suka "Kau 'kan teman masa kecilnya, pantaslah kalau kau berkata seperti itu," ia menjedah "Dan lagi, cuma kau satu-satunya karyawan yang bisa dekat dengannya. Aku curiga kalau kalian—"

"—Sudahlah Kiba," potong Shino dengan kalemnya. "Tidak etis mencela orang yang sudah berusaha menyejahterakan kita," ucapnya bijak.

Naruto menatap heran teman berkacamata hitamnya ini. "Sejak kapan kau jadi bijak?"

Shino hanya mengedikkan bahunya tak acuh. Kemudian menyeruput jusnya. "Lagipula aku punya topik yang menarik."

Mendadak semua pasang mata tertuju pada Shino. Menyadari itu, Shino hanya mengulas senyum remehnya yang teramat tipis, lalu memulai ceritanya. "Kau tahu perempatan di selatan kantor kita?"

Sontak semua mengangguk paham—minus Shikamaru yang sudah memulai tidur siangnya. Seakan tak peduli, ia melanjutkan ceritanya, "Rumor beredar, setiap tengah malam—pergantian hari, ada seorang gadis berambut panjang sepanjang pertengahan punggung. Kulitnya pucat pasi, deretan rambut membingkai dahinya, dan—"

"—Sa—Sadakoooo!" Kiba berteriak dengan histerisnya.

"Diam! Dasar anjing! Sadako tidak ada di tengah kota, bodoh!" cemooh Naruto.

Kiba berdecak berusaha membalas ejekan itu. Tapi, sorotan tajam Shino membuatnya lebih memilih berdumel dalam hati, menyumpal mulutnya sendiri ketimbang membalas ejekan binatang Naruto.

Setelah anjing itu jinak, Shino melanjutkan dongengnya. "Berjalan-jalan pada saat tengah malam sambil menggunakan sebuah masker yang menutupi setengah mukanya—mungkin itu biasa" ia menjedah "Tapi, alasannya memakai masker karena ia menutupi sobek yang menganga di mulutnya. Si Mulut Sobek, begitulah mereka memanggilnya," dramatis.

"Ah, klise! Cerita lama! Aku sudah dengar," cerocos Kiba—lagi yang diikuti anggukan setuju Chouji sambil menggerus keripik di dalam mulutnya.

Naruto menatap bosan kedua orang itu. Mendengus remeh "Setidaknya itu lebih baik daripada omonganmu yang penuh gunjingan itu…"

Kiba mendecih "Tahu apa kau tentang menggunjing—lagipula cerita itu tidak seram.."

"Aku bertaruh 1.000¥ nanti malam kau meringkuk ketakutan diatas kasur—"

"—Baik! Kupastikan kau memakan ucapanmu, Naruto!" tantang Kiba percaya diri, padahal sejatinya ia takut setengah mati dengan cerita hantu—apalagi hantunya. "Memangnya seperti apa dia, cepat! Ceritakan Shino!" ucapnya semangat dengan nada yang penuh provokasi sambil menggebrak meja kafetaria.

Shino hanya memutar bola matanya malas. Sungguh ia merasa seperti orang bodoh ada yang menanggapi serius ceritanya. Cenderung digunakan untuk taruhan. Bahkan ada yang sampai terlelap.

"Ya.. seperti yang kalian tahu.. gadis ini bukanlah gadis biasa. Berjalan-jalan menyusuri tiap sudut kota layaknya orang gila tanpa arah tujuan yang jelas," menjedah menelan ludah kering "Tak ada satupun yang tahu bagaimana rupanya yang sebenarnya—" terdiam sejenak menatap audiensnya yang sedikit terpancing

"Karena orang yang bertemu dengannya selalu berakhir menjadi gila atau hilang ingatan—dan yang hanya bisa mereka ingat hanyalah gambaran betapa sobeknya mulutnya."

Hening sesaat. Mereka membatu membisu. Tak ada yang berkata. Naruto diam. Kiba diam. Acara makan Chouji terhenti seketika. Shikamaru—entahlah yang pasti ia juga diam. Mereka mematung mendengar cerita itu. Seakan cerita yang mereka anggap klise mendadak berubah menjadi urban legend yang mampu menimbulkan sejuta misteri dibalik cerita menggantungnya. Aneh.

Tapi sedetik kemudian kedua bocah berisik itu menggelakkan tawanya. "Kau dengar katanya Naruto? Gila? Jadi gila?!" Kiba tergelak puas.

Naruto terbahak menyaingi Kiba, "Mana ada yang gila hanya karena didatangi seorang gadis? Yang ada mereka membawa gadis itu ke hotel terdekat!" masih dengan tawa menyebalkannya ia berkata "Benar-benar pembohongan publik!"

Dengan napas yang sedikit terengah, Kiba buka suara "Sudah-sudah, kasihan Shino" belanya "Sekarang mana uangku!"

"Argh keparat! uangku akan habis karena ini!"

"Haha, lagipula salah siapa yang mengajak taruhan? Dasar kodok bangsat!" Kiba merasa diatas angin karena bakal mendapat rezeki nomplok hari ini.

Dengusan Shikamaru memotong acara taruhan mereka. Shikamaru yang daritadi hanya pura-pura membisu mulai unjuk suara "Kalau kalian berpikir ini hanya mitos, kalian salah," ia menjedah "Mungkin video ini bisa membuat kalian berpikir lebih logis lagi."

Shikamaru memberikan ponsel metaliknya ke tengah meja. Jemarinya menyentuh tengah layar ponsel itu—memulai videonya.

Mata mereka semua tertuju pada ponsel Shikamaru. Menonton video khas CCTV yang memuat dua orang figur berbeda gender itu. Seorang pria khas kantoran dan seorang gadis yang—yang seperti dijelaskan Shino tadi.

Mereka bertemu di sebuah gang sempit. Terlihat jelas CCTV menyorot mereka dari atas—hanya menampakkan puncak kepala mereka saja.

Awalnya terlihat jelas kalau pria itu seperti menggoda gadis itu. Mendekati perlahan, menyentuh bahu telanjangnya, membelai perpotongan leher polosnya dengan batang hidungnya namun di detik berikutnya pria itu malah menunjukkan gelagat aneh.

Gerak tubuh yang patah-patah. Kaku. Napas yang seperti tersedot keluar. Dada membusung naik. Bergesekan dengan tubuh sang gadis. Hingga sampai di titik puncaknya ia jatuh limbung mencium aspal yang dingin dan setelah itu, CCTV itu mendadak buram—mati.

"Itu, baru satu" Shikamaru menggeser layar ponselnya "Lihat ini."

Kali ini video yang sama—gadisnya dan ending yang sama pula. Namun dengan korban dan tempat yang berbeda.

"Tu—tunggu bukannya i—ini di Ichiraku?" Tebak Naruto begitu melihat etalase kedai yang sangat ia kenali.

Shikamaru hanya mengangguk singkat—mengiyakan. Kemudian ia menggeser layar ponselnya lagi, memutar video-video serupa namun berbeda korban dan tempat kejadian perkara.

Mereka semua melihat, terpaku, diam seribu bahasa. Video itu bak kain yang menyumpal semua argumen mereka. Video yang tidak sampai berdurasi tiga menit namun mampu membuat mereka semua kehilangan kata-kata mereka.

"Lihat ini, waktunya" Shikamaru menunjuk angka digital di pojok layarnya "Semua terjadi pukul 23.50.40 kebetulan yang aneh" ia terkekeh sarkas.

"Ah satu lagi," ia mengambil ponselnya mengutak-atik benda itu sebentar lalu menunjukkan ke teman-temannya. "Netizen sudah ramai membicarakan itu," ungkapnya sambil men-scroll down timeline media sosial ternama. "—kepolisian juga mulai mengusut kasus ini," jarinya menunjuk beberapa headline yang merujuk ke video itu di situs berita yang cukup terkenal.

Semua melihat, betapa banyak postingan video maupun status yang diberi tagline yang sama—Si Mulut Sobek. Mereka heboh membicarakan makhluk aneh yang perlahan menginvasi daerah tempat mereka tinggal. Menebar rasa paranoid untuk keluar di tengah malam. Bahkan beberapa ada yang menyarankan membawa jimat, tidak pulang terlalu larut, menghindari semua wanita bermasker yang berjalan di tengah malam.

"Sekarang bagaimana? Apa kalian masih menganggap ini lelucon konyol?"

Mereka—Naruto dan teman-temannya tak menjawab pertanyaan Shikamaru. Retoris. Mereka lebih memilih bergulat dengan pikirannya masih-masing. Mempertanyakan kepada diri sendiri akan mempercayai hal ini, atau tidak sama sekali.

Hal ini benar-benar menambah keparnoan mereka untuk lembur di kantor. Yah, dari CCTV itu mereka jelas—sangat—tahu kalau kejadian itu terjadi di daerah sekitar lingkungan kerja mereka.

Tapi, bukan berarti semua orang yang ada di meja itu—kelima orang itu mengiyakan ataupun mempercayai hoax itu. Justru sebaliknya, ia masih menganggap hal itu adalah lelucon.

Ya. Benar-benar konyol

Sekonyol lelucon di bulan April.

Naruto menyeringai tipis. Tidak buruk. Pikirnya.


.

.

.


Sasuke masih berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kayu jatinya. Sesekali pandangannya teralih ke laptop berspesifikasi tinggi miliknya sejenak. Memeriksa beberapa dokumen/email masuk ke akunnya. Setelah itu, fokusnya kembali terkunci ke berkas-berkas rumit yang sudah menggunung minta dibabat habis.

Detik demi detik terlewat. Menit demi menit berlalu. Tanpa sadar ia sudah menghabiskan hampir setengah hari berdekam di ruang kerjanya. Tapi, bukan berarti ia tidak beristirahat sama sekali—ya… setidaknya tubuhnya bisa merasakan pegal, atau kaku selayaknya manusia normal lainnya (walaupun kata normal tidak pantas ia sandang).

Terkadang ia melakukan peregangan di setiap serat otot-otot atletisnya. Atau mungkin menelpon sekertarisnya untuk mengantarkan kopi ke ruang kerjanya. Menyesap kopi, bersantai mendengarkan alunan musik klasik kesukaannya. Benar-benar menyenangkan untuk seorang workaholic semacam dia.

Tapi—hey, jangan salahkan sifat gilanya yang satu ini. Salahkan saja pada ruang kerja yang teramat nyaman untuk ditinggali itu. Bagaimana tidak? Kursi putar yang sandarannya seempuk bantal, angin AC yang menerpa kulitnya sepoi-sepoi, suasana keheningan yang sangat ia cintai, ataupun kebebasannya memutar musik kesukaannya, benar-benar memikatnya agar tak pergi meninggalkan tempat ini.

Tak jarang pikiran untuk menjadikan ruangan ini—kantornya sendiri, menjadi tempat tinggal tetapnya. Walaupun ia punya apartemen berkelas yang tak jauh dari sini pun juga sama saja—bahkan cenderung banyak ruginya ketimbang jika ia tinggal disini. Ia tak memiliki siapapun yang tinggal di apartemennya. Bisa dibilang ia sebatang kara di dunia ini. Toh pulang juga sama saja, tak ada siapapun yang akan menyambutnya. Malah membuang waktu berharganya karena ia jalan kaki ke apartemennya hanya untuk pulang. Catat. Hanya untuk pulang sebentar lalu kembali ke kantornya.

Pemborosan. Begitulah pikirnya. Namun karena Naruto menyadari niatan yang dianggap gila itu (tapi baginya tidak), ia tidak pernah akan mau dan dan tidak akan pernah menjadikan pilihan itu menjadi sebuah kenyataan yang terjadi.

Yang benar saja, setelah ketahuan, Naruto—orang itu malah membawa banyak gadis sewaan di ruangan kerjanya lalu mengajak mereka bermain ramai-ramai—dan Sasuke, hanya bisa menatap nyalang bocah itu, lalu meninggalkannya hanyut dalam permainan itu sendiri, bersama gadis sewaannya.

Semenjak tragedi itu, dia kapok tinggal di kantor. Ia tak ingin ruang kerjanya mendadak menjadi kamar layaknya love hotel ataupun tempat prostitusi dadakan.

Bajingan. Satu kata yang menggambarkan bocah kuning itu.

Jujur, dari awal ia ingin sekali memutus tali tak kasat mata yang menghubungkannya dengan bocah aneh itu. Tapi, semakin ia berusaha, semakin menggulunglah tali-tali itu dan akhirnya kembali mempertemukan mereka seakan mereka adalah jodoh selamanya…

Kedengaran dramatis. Tapi, menjijikkan.

Sasuke mengenal bocah itu semenjak.. ah ia sudah lupa kapan tepatnya. Pokoknya, bocah itu sudah ada di sampingnya jauh sebelum ia dilempar ke dunia ini—tempat ini. Yah… mungkin kata-kata 'teman sejak kecil' memang cocok untuk menggambarkan hubungan mereka. Tapi, entah mengapa, Sasuke selalu menganggap orang itu selalu asing baginya—walaupun sudah sebanyak apapun waktu dan berbagai macam hal yang mereka lewati bersama.

Yeah, bersama.

Ngomong-ngomong masalah Naruto, dia ingat menyuruh bocah kuning itu mengiriminya proposal perencanaan project pengganti. Seharusnya sekarang ia sudah datang mengingat jarum jam di ruangannya sudah lewat sejam dari jam yang dijanjikan. Faktanya, sampai sekarang Sasuke belum melihat batang hidung bocah itu sama sekali.

Mata hitam pekatnya melirik jam digital di laptopnya, seakan meyakinkan matanya tidak salah lihat—dan benar saja, matanya ini benar-benar tidak salah lihat.

Sasuke mendengus kesal. Seumur-umur dia paling benci dibuat menunggu. Terlebih menunggu barang yang ia minta sendiri. Mengesalkan.

Jika otaknya tidak salah ingat (memang tidak mungkin salah ingat) manusia bajingan itu tidak pernah terlambat mengiriminya proposal. Tidak pernah dan sekalipun iya hanya lewat beberapa detik. Well, kepribadiannya yang urakan bukan berarti tidak disiplin 'kan? Justru sebaliknya, dia adalah orang paling disiplin untuk menepati janji namun tidak untuk mengatur pola hidupnya.

Sasuke merebahkan badannya sejenak. Beristirahat merilekskan semua urat ototnya yang tegang. Ia memejamkan matanya, mengistirahatkan bola matanya yang hampir seharian berkutat dengan radiasi. Dalam hati mencoba santai karena sikap dadakan yang tidak biasa milik temannya itu. Ia berusaha berpikir positif mungkin—mungkin temannya itu baru ada urusan mendadak ataupun dokumennya mendadak corrupt atau sejenisnya. Maka, ia terlambat.

Baiklah, tidak mau mengambil pusing yang lebih banyak, Sasuke memilih untuk merebahkan diri lalu memutar kaset-kaset lama yang masih disimpan di otaknya dengan sangat rapi.

Tidak buruk. Pikirnya, ketika mengingat malam ketika ruang kerjanya dijadikan distrik merah dadakan. Toh sejujurnya ia sempat menikmati beberapa sentuhan singkat yang membelai tubuhnya dan juga seteguk minuman memabukkan yang disodorkan kepadanya. Jadi, bukan berarti ia tidak menikmatinya walaupun pada akhirnya ia memilih pulang karena merasa ini bukan gayanya.

Setidaknya pria pernah berbuat nakal minimal sekali dalam seumur hidupnya, bukan?

Pintu diketuk tiga kali membuat ia terkesiap dari posisi rileksnya. "Masuk," ucapnya datar.

Pintu itu terbuka. Membuat celah agar sang tamu dapat masuk ke ruangannya. Seorang karyawati berjalan menghampirinya dengan aksen lenggak-lenggok memamerkan belahan tinggi rok spannya. Memamerkan paha kelewat mulus miliknya. Rambut merah menyalanya terurai sedikit melambai karena jalan bak model yang ia lakukan. Benar-benar menambah kesan sexy panas yang sudah menjadi trademark-nya.

Sasuke hanya tersenyum miring melihat sang dewi malam datang menginvasi kantornya. Tak perlulah menghabiskan waktu lama untuk mengamati—menikmati lekuk tubuhnya. Sasuke sudah bosan. Dia selalu saja memakai pakaian yang itu-itu saja—yang kekurangan bahan. Jadi, dibanding menikmati pemandangan yang biasa itu, ia lebih memilih kembali menenggelamkan muka ke dokumen-dokumennya lagi.

"Sa-Su-ke kun~!"

Sasuke hanya memutar bola matanya malas mendengar panggilan genit yang ia lantunkan. Terlalu biasa untuk dirinya yang seharusnya bisa lebih baik daripada itu. Pikir Sasuke singkat.

Cukuplah Sasuke hanya membalas dengan dengusan angkuh nan arogan yang kelewat tinggi. Tak perlulah dia sampai memberikan atensi yang besar pada karyawatinya yang sangat terkenal dengan julukan bitchy-nya.

Ia cemberut. Si bitchy itu cemberut. Dengan langkah modelnya ia mendekati meja Sasuke. Memindahkan dokumen-dokumen yang menumpuk itu ke lantai lalu mengambil alih meja yang telah lolos itu.

"Tidak kangen?" tanya dia sambil membelai seduktif garis rahang Sasuke. Perlahan mendekatkan batang hidungnya ke perpotongan leher Sasuke meresapi wangi maskulin yang masih tertinggal di sana.

Sasuke menangkup kepala merah apinya lalu mendorong benda itu menjauh dari tubuhnya. Seakan benda itu adalah benda paling menjijikkan di dunia. "Karin… bisa kau hentikan ini? Memuakkan," cemoohnya tanpa melirik sedikitpun ke dirinya.

Seakan tak peduli dengan respon penolakan yang jelas—teramat jelas, dia—Karin malah semakin bergelayut manja menduduki lengan kursi putar Sasuke. Menempelkan bagian tubuh atasnya yang menantang ketat menggesekkan sedikit ke bahu Sasuke, ia mendesah seduktif "Ah, Sa-su-ke kun… Selalu saja, tsun-de-re."

"Karin.." Sasuke menjedah kesal melepaskan tangan yang bergelayut manja di lengan kekarnya. Tak tanggung-tanggung ia sampai menghempaskan tubuh molek Karin sampai mencium dinginnya lantai. "Tolong… Aku sedang lelah," alasannya.

Karin menyeringai licik "Saa… kenapa kau tidak icipi, hmm?" rayu wanita genit itu sambil menurunkan kemejanya sampai mengekspos perpotongan bahu yang menggiurkan untuk dijamahi.

"Maaf, rasamu tidak enak," seloroh Sasuke lalu berjalan ke sofa ruangan meninggalkan wanita itu sendirian layaknya orang bodoh.

Ia cemberut. Lagi. "Berengsek!" umpatnya keras tak peduli siapa yang ia umpati itu. Tak ingin terlihat semakin bodoh ia berdiri mengambil sisa harga dirinya lalu duduk di kursi kerja Sasuke sambil menyilangkan kaki (sok bossy). "Seperti aku mau saja menjadi wanitamu," ia rebahkan badan ke sandarannya bergerak sedikit, memutar-mutar kursi yang memang bisa berputar itu. "Tangkap ini," dengan cuek ia melempar sebuah flashdisk ke tempat Sasuke duduk—di sofa.

Sasuke menangkap benda kecil bertali itu dengan cekatan. Alisnya terangkat mendapati benda yang lumayan jarang sekali diberikan padanya. Menyadari tatapan penuh tanya yang dilayangkan Sasuke, Karin mendengus kesal "Naruto yang memberikan itu padaku, ia ada urusan," jawabnya enteng.

Masih diliputi rasa penasaran Sasuke menatap Karin "Kenapa dia—tunggu.. ini bukan bulan purnama, 'kan?"

Wanita itu tertawa sarkas. Berdiri mengangkat pantatnya dari kursi berjalan mendekati Sasuke. Tangannya terlipat dibawah dada "Sayangnya kau salah," ia menjedah lalu tersenyum miring "Ini bulan purnama, Sa-su-ke kun~" ucapnya genit. Teramat genit sampai Sasuke ingin muntah di tempat.

"Baiklah… baiklah…" Sasuke angkat tangan tanda menyerah "Kau menang" menjedah melirik wanita merah itu "apa maumu Karin?"

Karin tertawa terbahak-bahak melihat betapa mudahnya menaklukan Uchiha Sasuke di hari ini. Benar-benar kejutan yang menarik.

"Tidak perlu sayang… Tidak perlu.. Nafsuku sudah hilang padamu," ucapnya dengan penuh nada kecewa yang sangat dibuat-buat "Hari ini aku hanya bertugas menjadi kurir, bukan pemuasmu nafsu hewanmu" hipokrit "Jadi, cari orang lain saja" tandasnya lalu berjalan ke arah pintu keluar.

Sasuke hanya mendengus saja melihat kepergian wanita bitchy itu. Cih, seperti aku tidak bisa cari yang lain saja. Batinnya.

"Ah ya" mendadak Karin berhenti tepat sebelum menyentuh daun pintu "Jangan anggap video itu hoax belaka. Kucing kecil itu benar-benar menjarah tempat kita, kau tahu?" ia mengedikkan bahu tak acuh lalu mengulas segaris senyum tipis. Setelah itu, ia melengang pergi meninggalkan Sasuke sendiri yang masih diliputi kebingungan.

Sepeninggal wanita itu, Sasuke mendesah. Masalah apalagi ini? Batinnya. Cukuplah masalah plagiarisme yang sudah menjadi bebannya. Sekarang karin dengan nada anehnya mulai menambah beban pikiran.

Bagaimana ya? Jika Karin sudah sampai seperti itu—tidak menggodanya berarti di sini terjadi masalah yang serius—benar-benar serius. Bukan hanya sekedar lawakan kosong tak berarti.

Bukan tanpa alasan Sasuke bisa menebak sampai sebegitunya. Ia juga sudah mengenal Karin sejak lama—tak selama Naruto yang pasti. Ia mengenalnya wanita itu semenjak pertama kali menginjakkan kakinya di dunia ini. Orang pertama yang ia kenal tinggal di dunia ini jauh sebelum kedatangannya. Sebenarnya, pertama kali bertemu dia—Karin, Sasuke hanya menganggap wanita jalang itu satu dari sekian pesaing mangsa yang menantang dirinya di dunia ini. Namun semakin kesini, ia malah menunjuukkan itikad baiknya ke Sasuke.

Benar-benar jalang.

Sasuke kembali ke meja kantornya. Menggeser mouse bermaksud menyalakan kembali laptopnya. Ia menancapkan flashdisk itu memeriksa apa isinya.

Hanya dokumen proposal project, gambar teaser, dan beberapa video.

Tunggu?

Beberapa?

Kau yakin?

Dari puluhan video yang ada di flashdisk itu hanya dua sajalah yang ia bisa tebak isinya. Karena dinamai selayaknya judul project. Sisanya malah dinamai dengan angka-angka tak jelas seperti nama file khas rekaman kamera atau ponsel. Didorong rasa penasaran yang tinggi, ia melupakan pekerjaannya lalu menonton salah satu dari sekian banyaknya rekaman yang ada disana.

Hitung-hitung istirahat.

Mata hitam jelaga milik Sasuke menatap bosan video yang sudah jelas ia tebak adalah rekaman CCTV. Buat apa coba, Naruto memberikan rekaman CCTV kepadanya? Seakan penting saja.

Ia hanya bisa menahan kantuk sambil menguap ketika menonton detik demi detik terlewat. Apa pentingnya video ini sampai-sampai Naruto dan Karin bersikap tidak natural—menyimpang dari karakternya. Pikir Sasuke. Toh ini hanyalah video yang ber-setting malam hari, direkam di sebuah gang buntu dan dilakoni hanya dua orang—seorang pria mesum dan seorang perempuan yang—

Seketika matanya membelalak ketika melihat pria itu sudah limbung menghantam aspal yang kasar. Belum sempat ia memproses kejadian itu, mendadak layar monitornya menjadi hitam—buram lalu mati, menandakan video telah berakhir.

Pembunuhan? Awalnya ia menebak begitu. Tapi, mengingat headline koran akhir-akhir ini tidak membahas tentang pembunuhan berantai atau apalah itu. Jadi, pikiran itu sudah ia buang jauh-jauh.

Pikirannya mulai berjalan meninggalkan serentetan spekulasi dan tebakan rumit disertai logika yang logis khas Uchiha Sasuke. Mulai dari kasus biasa hingga yang terberat mulai terjalin kemungkinannya satu per satu.

Hal itu semakin memupuk rasa penasarannya lalu mendorong tangannya untuk kembali membuka—memutar video-video itu—dan tepat sesuai dugaannya, video-video itu hampir sama dengan video pertama yang ia tonton tadi. Hanya yang membedakan adalah, tempat dan waktu—hari kejadian itu berlangsung. Tentunya dengan 'Tokoh utama' yang sama yaitu; perempuan itu.

Sasuke menautkan alisnya. Berpikir keras. Apa-apaan yang dilakukan perempuan itu. Ia tidak bodoh untuk menyadari banyak keganjilan-keganjilan yang ada di video ini. Dari korbannya semua adalah seorang pria dewasa dan mereka semua selalu berakhir jatuh menghantam ke tanah tak sadarkan diri setelah bercumbu manis dengan perempuan itu. Kemudian, melihat waktu kejadian yang selalu saja tepat pada pukul 23.50.40 itu sangat tidak mungkin jika orang normal yang melakukannya, bukan? Dan yang terakhir adalah, detik-detik si korban tak sadarkan diri adalah langit mendadak gelap ditutupi awan.

Ya.

Ditutupi awan.

Awan.

Seketika, Sasuke menyadari kebodohannya yang tidak sadar akan hal itu dari awal—dari pertama kali ia memutar—melihat video itu.

Ia pun menutup laptopnya lalu bangkit dari kursi, berjalan menuju jendela kaca besar yang tertanam di dinding belakang ruangan kerjanya. Sekali sentakan ia menyibak barisan tirai yang menutupi jarak pandangnya.

Setelah meloloskan kaca itu dari perangkapan kain, mata hitam legam Sasuke mulai menerawang jauh, menatap perempatan di selatan kantornya. Perlahan matanya berubah merah, kemerahan sampai menyerupai darah yang kental. Sasuke bisa merasakan bertambahnya daya penglihatan karena perubahan iris matanya.

Ia pun menyeringai remeh ketika menangkap perempuan di video telah melancarkan aksi perburuan kecilnya di perempatan itu.

Benar-benar kucing kecil yang menjarah kandang singa. Desisnya,


Glosarium

Galge game : sejenis dating simulasi. Mirip seperti visual novel tapi lebih dominan romance. Memiliki art anime dan ada alurnya. Alurnya dapat berubah tergantung pilihan jawaban yang dibuat. Kebanyakan galge game bergenre harem. Heroine/Hero banyak dan user tinggal memilih salah satu.

RPG : Role Play Game. Game yang berfokus dalam menjalankan sebuah role play. Kebanyakan RPG berbasis adventure penuh pertarungan dan monster-monster. Juga ada misi utama yang mendukung jalan cerita.


A/N.

Pertama, aku mengucapkan terima kasih banyak yang sudah mendukung fanfikku sebelumnya. Benar-benar mendorong semangatku untuk menciptakan ini. Terima kasih banget, walaupun aku udah nyantumin discontinued disana tetep aja.. nambah favorite-nya dan itu membuatku… merasa dihargai. Aku nggak nyangka bisa selesai jauh sebelum waktu yang kuprediksikan.

Semua yang berlalu biarkan berlalu. Masa depan terlalu seru untuk dikejar dibanding berdekam di masa lalu. Prove it!

Yah… kuharap enggak ada yangmerasa bingung dan nggak bisa ngikutin alur yang sudah ku-set di sini. Semoga udah kebayang apa sih yang bakalan diungkit-ungkit disini. Mungkin sejauh ini konflik masih seputar perusahaan game dan Si Mulut Sobek dalam video itu siapa

Chapter ini memang sedikit mirip dengan versi lama—minus kehadiran Karin. Mungkin kelihatannya aja semacem tulis ulang. Tapi, sebenernya ini beneran di remake ulang dan kronologinya akan beda jauh sama yang lama. Entah ada yang nyadar apa nggak.. ini malah macam Sadako… teror vidio…

Aku juga ingin meminta maaf kalo panjang banget…. Semoga kalian gak bosen bacanya. Ini panjang karena banyak banget hints yang kubocorkan secara implisit disini.

Gimana? Lebih milih mana? Versi lama? Atau baru? Wkwk.

Silahkan menunggu bulan depan~

April, 19 2016.

Kana L Kentangky.