Ochobot melangkah tergesa menyusuri koridor istana Scelerisque yang lengang. Sebelah tangannya menggenggam sepucuk surat yang baru saja dikirimkan oleh seekor merpati. Surat untuk Sang Raja.

Langkah Ochobot terhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu ganda berukiran rumit. Kedua sisi pintu masing-masing dijaga oleh sederetan pengawal. Ochobot mengangguk singkat pada mereka dan menunjukkan surat yang dibawanya. Seorang pengawal kemudian membukakan pintu dan mempersilakan pemuda berambut pirang itu masuk.

Kamar Raja Aba lebih luas dari ruangan mana pun di istana ini. Ochobot harus mengedarkan pandaangan ke sekeliling beberapa kali sebelum akhirnya menemukan Sang Raja tengah berdiri di balkon, menghadap ke langit cerah di luar sana.

"Yang Mulia," Ochobot menghampiri Sang Penguasa Scelerisque dan membungkuk hormat. "Saya datang membawakan surat dari pasukan pencari."

"Apa mereka sudah menemukan BoBoiBoy?" tanya Raja Aba tanpa menoleh sedikit pun.

"Belum, paduka. Tapi menurut surat ini, mereka sudah memiliki perkiraan di mana lokasi Pangeran BoBoiBoy berada."

"Surat terakhir yang mereka kirimkan juga berisi hal yang sama," kata Raja Aba dingin.

"Kali ini sepertinya mereka lebih yakin, Yang Mulia. Fang sendiri yang menuliskan bahwa mereka pasti akan menemukan pangeran dan membawanya pulang."

"Kalau begitu kirimkan balasan untuk mereka," perintah Sang Raja Scelerisque. "Pastikan kali ini mereka benar-benar menemukan BoBoiBoy."

"Baik, paduka. Saya akan segera mengirimkan balasannya."

Raja Aba mengawasi awan-awan seputih kapas yang berarak di langit. Wajahnya yang telah digerogoti usia terlihat lelah, namun juga saarat kekhawatiran akan kondisi cucu satu-satunya yang hingga saat ini tak ada kabar. Entah dia masih hidup, atau mungkin sudah dibunuh.

"Sampaikan juga pada Fang dan yang lain, jika sampaia besok sore belum ada kabar baik tentang BoBoiBoy," ujar Raja Aba tiba-tiba. Ekspresi wajahnya perlahan mengeras. "Aku akan mengirimkan pasukan tempur untuk menghancurkan dan meluluh-lantakkan Gaileta."

.

.

.

It's You

Chapter 12

A BoBoiBoy fanfiction by Fanlady

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta

Warnings : Kingdom!AU, fantasy!AU, BoBoiBoyxYaya, All Human!BoBoiBoy charas, OOC, ranjau typos everywhere.

.

.

.

Malam baru saja turun. Kabut putih turun dan mengambang di udara seperti gumpalan permen kapas, menyebabkan udara dingin yang membuat tubuh menggigil, padahal musim panas akan segera tiba. Burung hantu ber-uhu saling bersahutan dari arah kegelapan, ditingkahi oleh kepakan sayap kelelawar yang hendak terbang mencari makan.

Sekumpulan orang tengah bermalam di sebuah padang terbuka dekat rawa-rawa. Api unggun yang nyaris padam menerangi beberapa pria yang sedang terlelap dalam balutan selimut tipis. Tapi tak sedikit juga yang masih terjaga dan duduk sambil berbicara dengan suara rendah. Mereka mendiskusikan rencana untuk besok, berharap kali ini pencarian mereka akan membuahkan hasil. Sudah hampir seminggu sejak mereka berkuda ke sana-kemari mencari petunjuk dan jejak untuk menemukan pangeran mereka yang diculik. Tapi hingga saat ini usaha mereka sama sekali tak membuahkan hasil.

Fang berdiri seorang diri di tepi rawa, jauh dari rekan-rekan prajuritnya yang tengah beristirahat setelah berkuda seharian tanpa henti. Iris violetnya menatap ke langit malam bertabur bintang, sementara benaknya sibuk memikirkan berbagai hal. Suara langkah kaki di belakangnya membuat Fang menoleh dengan siaga. Wajahnya kembali terlihat rileks saat mengetahui siapa yang tengah berjalan menghampirinya.

"Sedang apa kau di sini, Fang?" tanya Ying setelah ia berada cukup dekat.

"Kau sendiri sedang apa? Kau harusnya istirahat. Perjalanan kita masih panjang, itu juga kalau kau masih mau ikut," kata Fang tenang.

"Tentu saja aku mau ikut! Aku sendiri yang meminta untuk disertakan dalam rombongan ini."

"Kau tidak merasa takut atau risih bepergian dengan sekumpulan pria?"

"Sama sekali tidak. Aku sudah terbiasa berada di tengah-tengah kaum pria. Percaya atau tidak, setiap hari aku berlatih bersama sepasukan prajurit laki-laki di Gaileta. Aku ingin menjadi seorang prajurit juga," kata Ying dengan nada bangga.

"Kau? Ingin jadi seorang prajurit?" Fang mengangkat sebelah alisnya, kemudian ia mendengus tertawa. "Apa Gaileta sudah sangat kekurangan orang sampai seorang gadis sepertimu juga harus berlatih jadi prajurit?"

"Memangnya kenapa kalau aku seorang gadis?" kata Ying jengkel. "Kau pikir aku tidak akan bisa menjadi prajurit hebat?"

Fang hanya mengangkat bahu tak acuh dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Ying. Itu membuat gadis berkacamata itu semakin terlihat kesal.

"Kalau kau memang meragukan kemampuanku, ayo kita berduel sekarang. Kita lihat siapa yang lebih baik. Kau, seorang prajurit pria hebat, atau aku, seorang gadis biasa yang kau remehkan," tantang Ying dengan mata berkilat berbahaya.

"Tidak, terima kasih. Aku punya banyak hal lain yang harus dipikirkan. Aku tak punya waktu untuk bermain-main denganmu."

Ying benar-benar jengkel sekarang. Ia hendak berbalik untuk mengambil pedangnya dan menantang Fang berduel secara paksa, namun saat itu seekor burung terbang ke arah mereka dan hinggap di bahu Fang.

"Ah, surat balasan dari Scelerisque," gumam Fang. Ia mengambil gulungan surat yang terikat di kaki burung merpati hitam itu dan membacanya.

"Kau bisa membaca di tengah kegelapan seperti ini?" tanya Ying heran.

"Ini tidak gelap. Ada cahaya dari bintang-bintang di atas," balas Fang tanpa mengangkat wajah.

"Tapi tetap saja sulit membaca dengan cahaya redup seperti ini."

"Yah, mataku lebih bagus dari kebanyakan orang."

"Kalau begitu kenapa kau pakai kacamata?"

Fang tidak menjawab. Ia membaca surat di tangannya dengan serius. Ekspresinya terlihat muram saat ia akhirnya selesai membaca dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya.

"Sepertinya mulai gawat ..." gumam Fang tanpa sadar.

"Apa maksudmu?" tanya Ying.

"Bukan apa-apa. Ini tidak ada hubungannya denganmu," balas Fang ketus.

"Ya, baiklah. Terserah kau saja," Ying berucap dengan tak kalah dingin. Ia kemudian berbalik meninggalkan Fang. "Aku mau tidur saja."

"Ya, pergilah tidur selagi kau sempat."

Ying melangkah pergi sambil menggerutu kesal. Fang mengawasi gadis itu kembali ke dekat api unggun, sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke langit malam di atas. Sentuhan kecil di pipinya membuat Fang menoleh. Seekor kupu-kupu besar, hampir sebesar telapak tangannya, tengah mengepakkan sayapnya yang berwarna ungu kemerahan. Fang mengangkat sebelah tangannya dan membiarkan kupu-kupu itu mendarat di sana.

"Sudah waktunya," ucap Fang pelan. "Jadi, kabar apa yang kau bawa?"

Fang diam mengamati kupu-kupu itu cukup lama, seolah tengah mendengarkan. Sesekali ia mengangguk dan bergumam pelan. Ekspresinya semakin terlihat muram saat ia akhirnya kembali mendongak.

"Berarti sudah tak ada waktu lagi, ya?" kata Fang, entah kepada siapa. Ia menoleh ke belakang, ke arah para pengawal yang tengah beristirahat. "Kalau begitu aku harus membangunkan mereka dan bersiap-siap untuk berangkat. Kalau tidak semuanya akan terlambat."

Fang kemudian mengucapkan beberapa kata pada sang kupu-kupu, sebelum membiarkannya kembali terbang ke kegelapan malam. Ia kemudian bergegas berbalik tanpa menoleh ke belakang lagi.

.

.

.

Pagi itu Desa Fritura mengalami sedikit kehebohan. Sebuah rumah tak berpenghuni di tepi hutan yang biasanya dihindari warga, ditemukan terbakar. Api jingga menari-nari di tengah cuaca pagi yang dingin, disertai asap yang mengepul ke langit keemasan yang baru saja disinari cahaya matahari.

Warga bergegas saling membantu untuk memadamkan api yang kini mulai menjalar ke arah hutan. Kalau tidak segera dijinakkan, api itu bisa saja menyebabkan seluruh hutan terbakar.

Para prajurit Scelerisque tiba saat matahari baru saja menampakkan diri di balik cakrawala. Mereka tentu saja mendengar kabar tentang rumah yang terbakar dan bergegas ke sana untuk melihat. Tak bisa dipungkiri bahwa mereka semua terkejut. Tentu saja, karena rumah itulah yang mereka perkirakan sebagai tempat sang pangeran Scelerisque disekap.

Fang melompat dari kudanya begitu mereka tiba di tempat kejadian, begitu juga dengan Ying yang naik kuda bersamanya. Ying memandang ngeri pemandangan di hadapannya, sementara warga terlihat sibuk berusaha memadamkan api sampai tak menyadari pasukan kerajaan yang baru saja tiba. Fang ikut menatap api yang berkobar dengan mata membelalak.

"Rumahnya terbakar! Apa yang harus kita lakukan?" Stanley yang baru saja turun dari kudanya dan berdiri di sebelah Fang terlihat sama ngerinya. "Menurutmu pangeran sudah ..."

Tanpa berkata apa-apa, Fang tiba-tiba saja berlari menerobos masuk ke dalam gedung yang terbakar itu. Orang-orang berteriak memperingatkan, tapi tak diacuhkannya. Segera saja Fang telah berada dalam kepungan asap dan panas yang terasa menyengat.

Fang menyipitkan mata untuk melihat di tengah asap hitam yang menghalangi pandangannya. Ia melangkah hati-hati sambil berusaha menghindar dari beberapa balok kayu yang berjatuhan. Langkahnya terhenti di setiap ruangan untuk mengecek, tapi tak ada seorang pun yang ditemukannya. Hingga ia akhirnya tiba di ruangan terakhir yang belum sepenuhnya dilalap api.

Ruangan itu tak memiliki satu pun jendela di setiap sisinya, sehingga membuat keadaannya cukup gelap seandainya saja tak ada api yang tengah menari-nari berusaha melahap setiap hal yang berada dalam jangkauannya.

Fang melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Kakinya menginjak genangan darah yang telah mengering di dekat pintu masuk. Ia membungkuk untuk memeriksanya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Ada rantai besi yang teronggok di pojok dekat dinding. Fang mennghampiri untuk melihat lebih dekat dan mendapati bekas terputus di besi yang sedikit karatan itu. Kelihatannya ada seseorang yang menebasnya dengan pedang atau semacamnya.

Tak jauh dari sana, ada beberapa botol kosong yang tergeletak begitu saja di lantai. Fang mengambil salah satu botol dan mengendusnya. Racun. Ia kemudian mengambil semua botol itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya.

Sekali lagi Fang mengamati seisi ruangan untuk mencari petunjuk atau jejak apa pun yang bisa ditemukannya, tapi tak ada apa pun lagi yang dilihatnya selain kobaran api yang mulai menjalar masuk. Ia akhirnya bangkit dan berjalan kembali meninggalkan tempat itu.

Orang-orang terlihat kaget saat Fang melangkah keluar. Ia terlihat cukup tenang saat muncul kembali dari tengah kepulan asap tanpa sedikit pun terluka, bahkan lecet pun tidak. Warga desa sedikti terpana, namun mereka kemudian tersadar dan kembali berusaha menyiramkan ember-ember air untuk memadamkan api.

"Bagaimana, Fang? Apa pangeran BoBoiBoy ada di dalam?" tanya Stanley was-was.

Sebelum Fang sempat menjawab, Ying tiba-tiba muncul di hadapannya dengan ekspresi wajah shock. "Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau seenaknya masuk begitu saja ke dalam rumah yang terbakar itu?"

Fang mengangkat alis, tapi tak membalas pertanyaan gadis itu.

"Pangeran BoBoiBoy tak ada di dalam," kata Fang, kembali menoleh pada Stanley dan mengacuhkan Ying. "Tapi aku yakin ia tadinya ada di sini."

"Kalau begitu di mana ..."

"Bagaimana dengan Yaya? Apa kau menemukannya?" Ying kembali menyela dan memandang Fang untuk menuntut jawaban.

"Apa menurutmu aku akan keluar begitu saja seorang diri kalau aku menemukannya di dalam?" tanya Fang sarkastis.

"Yah, mungkin saja ..." Ying menggaruk pipinya canggung.

"Tidak, Putri Yaya tidak ada di sana," kata Fang akhirnya. "Aku juga tidak tahu apa ia pernah datang ke sini. Tak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali. Aku hanya menemukan ini." Fang menyerahkan botol-botol yang ditemukannya pada Stanley, yang mengamatinya dengan seksama.

"Racun ..." desis Stanley.

"Benar. Kemungkinan besar mereka memberikannya pada BoBoiBoy."

"A-apa? Jadi maksudmu Pangeran BoBoiBoy sudah ..." Wajah Ying terlihat memucat dan tak sanggup meneruskan kata-katanya.

"Tidak. Dia masih hidup," kata Fang.

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Karena ..."

"Fang!" Salah seorang pengawal menghampiri mereka dari tengah kerumunan warga. "Aku sudah bertanya pada beberapa warga. Katanya ada yang mendengar suara-suara ribut dari arah sini sekitar tengah malam tadi."

"Suara-suara ribut?" kata Stanley dengan dahi berkerut.

"Ya, seperti perkelahian atau semacamnya."

"Apa mungkin ada perpecahan di antara para penjahat itu?"

"Mungkin saja begitu. Tapi pertanyaannya sekarang, di mana Pangeran BoBoiBoy? Kalau kita tak menemukannya, baginda raja benar-benar akan murka."

"Mungkinkah pangeran berhasil kabur dan bersembunyi di hutan itu?"

"Benar juga. Kenapa kita tidak mencoba mencari tahu?"

"Tidak. Kalian tidak boleh masuk ke hutan," ucap Fang menyela percakapan mereka.

"Kenapa?" tanya Ying.

"Manusia seperti kalian memang tak boleh berada di sana. Berbahaya."

"'Manusia seperti kami?' Lalu kau apa? Bukan manusia?" ujar Ying dengan alis terangkat.

"Maksudku manusia seperti kita," Fang buru-buru mengoreksi ucapannya. "Di dalam sana ada banyak makhluk berbahaya. Kita tak boleh ke sana. Kalian harusnya tahu itu," kata Fang sambil menatap kedua rekannya tajam.

"Aku tidak bilang apa-apa," kata Stanley cepat sambil melambaikan tangan gugup.

Fang mendengus kemudian berpaling dan memandang ke arah rumah yang masih dilalap api, walau sebagian besar telah berhasil dipadamkan oleh warga yang juga dibantu oleh beberapa prajurit Scelerisque. Ia merenung, mecoba berpikir di mana sang pangeran kemungkinan berada. Fang menoleh ke arah hutan dan berharap apa yang diucapkan teman-temannya tidak benar-benar terjadi.

"Fang?" Seseorang memanggil namanya, tapi Fang masih tenggelam dalam pikirannya sehingga tak mendengar. Barulah saat namanya dipanggil dengan suara lebih keras, ia tersentak. "Fang!"

"Apa?" tanyanya jengkel karena merasa terganggu. Ia mendelik pada Ying yang balas menatapnya tanpa takut. "Kau tidak lihat aku sedang berpikir? Aku harus mencari tahu di mana ..."

"Ya, ya, aku tahu. Tapi di bahumu ada seekor kupu-kupu yang sepertinya meminta perhatianmu," kata Ying. Ia sendiri sebenarnya heran dengan apa yang dikatakannya, tapi Ying yakin kupu-kupu itu memang menginginkan sesuatu dari Fang, atau mungkin ia memang hanya tak sengaja hinggap di bahu pemuda itu.

Fang menunduk dan meihat kupu-kupu yang semalam ditemuinya kini tengah bertengger di bahunya. Ia melirik Ying yang kini tengah mengawasinya dengan pandangan ingin tahu. Maka ia pun berjalan menjauh untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari gadis itu.

Seperti sebelumnya, Fang diam mengawasi kupu-kupu itu sementara ia mengepak-ngepakkan sayapnya pelan. Fang mendesah pelan, kemudian lagi-lagi menoleh ke arah hutan. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan memijit hidung lelah.

"Ya, baiklah. Aku mengerti. Sampaikan padanya kami akan segera menuju ke sana. Dan jangan sampai terlambat, kami sudah kehabisan waktu," ujar Fang dengan suara lirih. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya beberapa kali, kemudian melesat menghilang di balik pepohonan.

"Apa kau baru saja bicara dengan seekor kupu-kupu?" Sebuah suara dari balik punggungnya sedikit mengejutkan Fang. Ia berpaling dan menndapati Ying tenah mengawasinya dengan ekspresi heran.

"Mana mungkin aku bicara dengan kupu-kupu? Kau pikir aku sudah gila?" kata Fang tenang.

"Tapi tadi kau mengucapkan sesuatu padanya."

"Yah, aku bicara pada diriku sendiri. Apa itu salah?"

"Tidak juga sih ... Tapi bicara sendiri juga tanda-tanda kegilaan."

Fang memutar bola matanya. "Terserah kau saja." Ia kemudian melangkah kembali ke arah kuda-kuda dan juga teman-teman yang menunggunya. "Kalau kau sudah berhenti merecokiku, lebih baik kau ikut denganku. Kita akan melanjutkan perjalanan."

"Ke mana?" tanya Ying seraya menjejeri langkah Fang.

"Menemui BoBoiBoy dan Putri Yaya."

.

.

.

Dua perahu menyerupai daun dengan berbagai ukiran indah di kedua sisinya meluncur di atas permukaan danau yang tenang. Yaya tak bisa melepaskan pandangannya dari pulau tepat di tengah danau —tempat yang akan mereka tuju. Ia masih tak percaya ini semua nyata, rasanya seperti berada dalam mimpi. Ia sering memimpikan tempat ini saat dirinya masih kecil, tapi tak percaya ia benar-benar bisa berada di sini akhirnya. Yaya tak tahu ia harus merasa senang atau justru ... takut.

Yaya mengalihkan perhatiannya pada danau di bawahnya. Air danau sama sekali tak beriak saat mereka melewatinya. Permukaannya tetap terlihat tenang dan mulus seperti cermin raksasa. Yaya mencoba memasukkan tangannya ke dalam air yang terasa sedingin es. Saat ia hendak menariknya kembali, ada sesuatu dari dalam air yang menahan tangannya. Yaya sedikit panik dan berusaha menarik tangannya sekuat tenaga, dan untungnya berhasil.

"Lebih baik jangan sentuh airnya. Makhluk yang tinggal di dalam sana tak terlalu ramah."

Yaya mendongak dan melihat laki-laki yang duduk di perahu di depan tengah mengawasinya. Jantung Yaya masih berdegup kencang karena apa yang baru saja dialaminya.

"Ada apa di dalam sana?" tanya Yaya takut-takut.

"Macam-macam. Tapi mungkin lebih baik kau tak usah tahu," kata pria itu tenang.

Yaya tak bertanya lebih jauh. Ia melirik air gelap di bawahnya dan berusaha sebisa mungkin menjauh dari tepi perahu.

BoBoiBoy tertidur lelap di pangkuan Yaya, dan walau merasa khawatir, Yaya berusaha meyakinkan diri bahwa BoBoiBoy akan baik-baik saja. Ia masih tidak tahu siapa pria yang membuat BoBoiBoy tertidur, dan yang kini tengah menuntunnya ke tempat para Elvitch berada. Tapi Yaya hanya bisa berharap semoga dia bukan orang jahat.

Perahu yang mereka tumpangi akhirnya tiba di dermaga kecil tepat di tengah-tengah danau. Laki-laki di depannya turun lebih dulu, tapi Yaya tetap bergeming dan hanya memandang takjub pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Dari seberang danau, Yaya hanya bisa melihat istana emas yang berdiri megah di pusat pulau itu. Tapi sekarang Yaya juga bisa melihat bangunan-bangunan lain yang terlihat seperti rumah-rumah biasa, tapi entah bagaimana mereka memancarkan sesuatu yang lain, seperti sihir.

Yaya tersentak saat seseorang mengulurkan tangan padanya. Ia mendongak dan melihat sepasang iris merah cerah —walau ia yakin tadi warnanya lebih gelap— tengah menatapnya.

"Kau tidak mau turun?" tanyanya.

Yaya terlihat ragu. Ia tak yakin apa dirinya sebenarnya ingin berada di sini. Tidakkah lebih baik ia pergi saja?

Sebelum Yaya sempat memutuskan apa pun, tubuh BoBoiBoy yang tertidur di pangkuannya tiba-tiba saja terangkat. Yaya terpekik kaget saat melihat BoBoiBoy perlahan melayang menjauh, walau ia terlihat masih tertidur lelap.

"Jangan khawatir. Para La Luna akan membawanya ke paviliun agar ia bisa beristirahat lebih baik."

"Para La Luna?" tanya Yaya bingung.

"Mereka makhluk cahaya. Kau hanya bisa melihat mereka saat ada cahaya bulan. Mereka tidak jahat, tenang saja."

Yaya mengangguk. Ia akhirnya menyambut uluran tangan pria itu dan berjalan mengikutinya menyusuri dermaga ke arah pemukiman.

Tadinya Yaya mngira tak ada siapa pun di sini karena suasananya begitu sepi. Tapi begitu mereka tiba di jalan setapak di antara rumah-rumah yang berjejer di sana, Yaya melihat para pria dan wanita yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka tengah bernyanyi sambil memainkan alat musik yang bentuknya tak pernah dilihat Yaya. Suara nyanyian mereka sangat merdu, dan suara alat musiknya lebih merdu lagi. Sesekali Yaya mendengar mereka tertawa, dan bahkan tawa itu terdengar seperti nyanyian.

Saat mereka lewat, Yaya mneyadari banyak yang menoleh dan memandangnya ingin tahu. Beberapa terlihat terkejut saat melihat Yaya, yang lain terlihat gembira dan mulai saling berbisik dengan bahasa asing yang entah bagaimana bisa dipahami Yaya.

"Itukah dia? Putri Clarissa?"

"Dia benar-benar terlihat seperti Clarissa. Aku nyaris mengira itu memang Clarissa."

"Tapi dia setengah manusia, kan? Menurutmu dia berbahaya?"

Yaya berharap ia bisa menyembunyikan dirinya. Ia memang terbiasa menjadi pusat perhatian, bagaimana pun juga dirinya adalah seorang putri raja. Tapi perhatian yang didapatnya dari para Elvitch membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Mereka seolah tengah menilainya, menimbang apakah ia pantas berada di sini atau tidak. Dan Yaya tidak yakin apa ia memang seharusnya ada di sini.

"Kau merasa terganggu dengan semua perhatian ini?" tanya pria yang berjalan di depannya.

"Sedikit," gumam Yaya dengan kepala tertunduk. Ia berusaha untuk tidak memandang siapa pun. Yaya berharap mereka akan segera tiba di tujuan agar ia bisa menghindar dari semua pandangan orang-orang padanya.

"Yah, kau memang cukup terkenal di sini. Putri dari seorang Elvitch yang melarikan diri dari kaumnya untuk menikah dengan manusia pastilah sangat menarik perhatian."

Yaya tidak mengucapkan apa-apa. Ia ingin segera pergi dari tempat ini. Ternyata keputusannya untuk ikut ke sini benar-benar salah. Apa laki-laki ini akan mengizinkannya pergi kalau ia meminta? Sepertinya tidak.

"Nah, kita sudah sampai."

Yaya memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan melihat bahwwa mereka kini berada di istana emas yang tadi dilihatnya. Sepertinya ini yang dimaksud pria itu sebagai paviliun, karena Yaya melihat BoBoiBoy telah dibaringkan di sebuah tempat tidur anyaman di sana.

Tak ada siapapun di sini selain mereka. Hal itu membuat Yaya merasa sedikti lega karena akhirnya bisa terlepas dari bisik-bisik yang sedari tadi terus mengikutinya.

"Tempat apa ini?" tanya Yaya seraya melangkah masuk ke dalam.

"Paviliun. Aula utama. Terserah kau mau menyebutnya apa. Ini tempat kami mengadakan pertemuan dan juga jamuan makan. Kadang-kadang digunakan juga sebagai tempat beristirahat," jelas laki-laki itu.

Yaya mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tak bisa menahan diri untuk tak merasa kagum dengan kemegahannya. Baginya tempat ini lebih menyerupai sebuah istana daripada paviliun.

"Kau bisa beristirahat di sini untuk sementara. Aku harus melakukan beberapa hal lebih dulu, jadi akan kutinggalkan kau di sini. Makan siangmu akan diantar kmari, tapi aku akan menjemputmu untuk makan malam nanti."

"Tunggu, tunggu. Kau akan meninggalkanku sendirian di sini?" tanya Yaya tak percaya.

"Kenapa? Kau takut?" Pria itu menaikkan alisnya. "Lagipula kau tidak sendirian. Tunanganmu ada di sini juga, lihat?" Ia menunuk BoBoiBoy yang masih tertidur pulas.

"Ya, tapi kau membuatnya tidur, ingat? Tak bisakah kau membangunkannya kembali?" pinta Yaya.

"Tidak bisa. Dia seorang manusia. Tak boleh ada satu manusia pun yang tahu tentang tempat ini."

"Tapi ..."

"Kalau kau tak terus memaksa, aku akan membawa pangeran itu kembali ke tepi danau dan membiarkan makhluk apa pun yang tinggal di dalam air untuk membawanya. Dan kau tak akan pernah melihatnya lagi selamanya. Kau mau itu terjadi?" ujar laki-laki itu dingin.

"Ti-tidak ..." cicit Yaya ketakutan.

"Kalau begitu diamlah di sini. Aku akan segera kembali."

Laki-laki itu berjalan meninggalkan Yaya yang hanya bisa pasrah. Ia baru saja hendak berbalik untuk menghampiri BoBoiBoy, tapi pria itu kembali menoleh padanya.

"Ngomong-ngomong aku Kapten Kaizo," katanya. Ia menyunggingkan sneyum miring, yang bagi Yaya lebih terlihat seperti sebuah seringai. "Senang bertemu denganmu, tuan putri."

.

.

.

Satu-satunya hal yang disyukuri Yaya malam itu adalah ia tak harus mengikuti jamuan makan malam dengan sekumpulan Elvitch yang terus saja mengawasinya ke mana pun ia pergi. Ia makan malam bersama Kapten Kaizo di halaman paviliun, di bawah cahaya bulan. Beberapa La Luna sibuk bolak-balikke sana-kemari untuk melayani mereka. Yaya akhirnya bisa melihat mereka, sekumpulan makhluk mungil, tak lebih tinggi dari lututnya, dengan kuping lancip dan rambut panjang keperakan. Mereka terlihat seperti Elvitch, tapi versi mini. Dan mereka juga memiliki sepasang sayap di balik punggung mereka yang menyerupai sayap kupu-kupu.

Sementara ia menyantap makan malamnya dalam diam, Yaya memikirkan tentang para Elvitch yang ditemuinya hari ini. Beberapa dari mereka mengunjungi paviliun siang tadi untuk bertemu dengannya. Mereka menanyakan —atau lebih tepatnya menginterogasinya— tentang berbagai hal. Tentang dunia manusia, tentang ayahnya, walau mereka terlihat jelas membenci ayahnya, entah kenapa. Dan itu membuat Yaya semakin tak menyukai mereka.

Sejak kecil Yaya terbiasa membaca buku-buku tentang Elvitch yang ditulis ibunya. Ia selalu membayangkan betapa menyenangkan kalau ia bisa bertemu denagn mereka. Karena semua hal yang tetrtulis di buku-buku itu benar-benar berbeda dari apa yang dihadapinya sekarang. Dan Yaya tak bisa mencegah dirinya untuk tak merasa kecewa.

"Kau pasti kecewa dengan sikap para Elvitch di sini padamu, ya?" Kaizo tiba-tiba saja bertanya.

Yaya mendongak dari piringnya dan memandang pria itu kaget. Bagaimana dia tahu? Apa jangan-jangan kekuatannya adalah membaca pikiran orang?

"Aku tidak bisa membaca pikiran, kalau itu yang kau pikirkan," kata Kaizo tenang. Ucapannya itu justru membuat Yaya semakin yakin bahwa laki-laki itu memang bisa membaca pikirannya. "Kau hanya terlalu mudah untuk dibaca. Ekspresi wajahmu, maksudku. Semuanya terlihat jelas di sana."

Yaya buru-buru menundukkan kembali wajahnya yang kini merona. Benarkah memang terlihat sejelas itu?

"Aku tidak menyalahkanmu kalau kau merasa kecewa dengan tempat ini," ujar Kaizo lagi. "Tapi kau juga tak bisa menyalahkan mereka karena bersikap seperti itu padamu."

"Memangnya aku salah apa hingga pantas mendapat perlakuan seperti itu?" tanya Yaya masam.

"Kau tidak salah apa-apa, sebenarnya. Tapi kau setengah manusia. Kaum Elvitch sulit untuk bersikap ramah pada manusia."

"Bagaimana dengan BoBoiBoy? Jangan bilang kalian berniat melakukan sesuatu yang buruk padanya?"

"Tidak. Kami tidak akan menyakiti manusia kalau tidak terpaksa. Lagipula dia Pangeran Scelerisque. Kami tak mungkin menyakitinya karena kami berutang budi pada kerajaan itu."

"Berutang budi? Apa maksudmu?"

Kaizo tak menjawab pertanyaan Yaya dan melanjutkan makan dengan tenang. Yaya menunggu dengan sabar, tapi pria itu tak kunjung membuka suara. Maka ia akhirnya menyerah dan memilih untuk tak bertanya lagi. Ia merasa Kaizo bukanlah orang yang mudah diajak bicara, jadi lebih baik untuk tidak terus mendesaknya.

Setelah makan, Kaizo mengajak Yaya berjalan-jalan menyusuri jalan setapak kembali ke danau. Yaya awalnya merasa curiga, mengira Kaizo mungkin berniat menenggelamkannya ke danau atau apa. Tapi akhirnya ia mengikutinya juga karena tak tahan jika harus ditinggalkan sendirian lagi.

Mereka kembali melewati rumah-rumah para Elvitch saat berjalan menyusuri jalan setapak. Para Elvitch terlihat saling berbincang sambil mengamati langit berbintang di atas. Mereka terlihat sangat normal, seperti manusia biasa. Yang membedakan mereka dari manusia hanya telinga yang lancip dan juga tubuh mereka yang seikit bersinar dalam kegelapan.

"Elvitch suka menatap bintang," ucap Kaizo tiba-tiba. Ia mendongakkan kepalanya dan memandang ke langit malam. "Kami terkadang bisa meramalkan masa depan dengan melihat posisi bintang-bintang. Tapi itu hal yang cukup suit untuk dilakukan karena masa depan selalu berubah-ubah. Jadi kebanyakan kami menatapnya hanya untuk menikmati keindahannya."

"Ya, aku tahu tentang itu," gumam Yaya tanpa sadar.

Kaizo menoleh padanya. "Kau sepertinya tahu banyak tentang Elvitch walau tak pernah melihat kami. Apa ibumu yang memberitahumu?" tanyanya.

"Tidak. Ibunda meninggal saat melahirkanku," ucap Yaya pelan.

"Ah, tentu saja ..."

"Tapi ibunda meninggalkan banyak buku tentang Elvitch, yang sepertinya ditulisnya sendiri."

"Clarissa memang menulisnya sendiri," kata Kaizo. "Sejak dulu ia suka menuliskan berbagai hal yang dilihat atau ditemuinya. Dia selalu bilang akan memberikan buku itu pada anak-anaknya nanti. Dan ternyata memang benar."

"Apa ... kau mengenal ibuku?" tanya Yaya hati-hati.

Kaizo terdiam beberapa saat, namun akhirnya ia mengangguk. "Ya, tentu saja. Semua orang di sini mengenal ibumu."

Yaya ingin bertanya lebih banyak, tapi lagi-lagi ia merasa ragu karena sikap Kaizo yang seolah menjaga jarak. Dia memang satu-satunya yang bersikap cukup ramah padanya di sini, tapi tetap saja Yaya berpikir bahwa pria itu tak begitu menyukainya. Entah kenapa.

"Lady Clarissa," ucap Kaizo setelah keheningan yang cukup panjang. Mereka kini telah tiba kembali di dermaga di mana mereka bisa melihat danau yang memantulkan cahaya bulan yang keperakan.

Yaya menoleh dan memandang Kaizo penuh tanya. Namun Kaizo sama sekali tak meliriknya dan melanjutkan kata-katanya dengan tenang.

"Begitulah kaum Elvitch memanggilnya, ibumu," lanjutnya. "Clarissa salah satu ksatria Elvitch yang paling tangguh. Ia mahir menggunakan senjata apa saja. Tapi tentu saja Clarissa lebih suka tidak menggunakannya. Ia lebih memilih untuk memanfaatkan kekuatannya untuk menyembuhkan daripada harus melukai orang lain. Tapi bukan berarti ia tidak bisa ikut bertempur. Kami pernah bersama-sama berada di medan perang, dulu sekali."

Yaya mendengarkan semua kata-kata Kaizo dengan penuh perhatian. Selama ini ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang ibundanya. Ayahnya selalu saja menghindar setiap kali Yaya hendak bertanya. Maka ia pun harus merasa puas hanya dengan sedikit fakta yang pernah diceritakan orang-orang tentang ibunya.

"Apa kau tahu kalau kekuatan penyembuh Clarissa hanya satu-satunya di antara kaum Elvitch?" tanya Kaizo seraya menatap Yaya.

"A-apa? Tidak adakah yang lain yang memiliki kekuatan itu?" tanya Yaya terkejut.

"Tidak. Itu kekuatan yang sangat langka, dan hanya Clarissa yang memilikinya. Karena itu kekuatannya sangat berharga bagi kami."

"Kenapa? Bukankah kalian para Elvitch tidak membutuhkan penyembuhan? Kalian 'kan tidak bisa mati walau terluka seperti apa pun."

"Apa kau membaca itu dari buku ibumu?"

"Umm ... ya ..." gumam Yaya dengan kepala tertunduk.

Kaizo mengangguk-angguk. "Ibumu memang kadang suka berkhayal berlebihan ..." ujarnya.

"Eh?"

"Elvitch memang makhluk abadi. Kami bisa hidup selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Tapi kami juga bisa mati jika terluka cukup parah, yang biasanya jarang sekali terjadi kecuali ada perang yang sedang berlangsung."

"Apa—apa kau pernah ikut berperang?" tanya Yaya takut-takut.

"Tentu saja. Sudah kubilang aku dan ibumu adalah partner dalam medan pertempuran. Dulu, saat perang terjadi di mana-mana." Kaizo lalu merenung menatap air danau yang tenang cukup lama. "Tapi sekarang kami lebih memilih untuk bersembunyi dan hidup dalam damai. Sudah cukup banyak darah yang tertumpah dalam pertempuran terakhir yang harus kami hadapi."

Yaya menelan ludah. Ia tak pernah menyukai topik tentang perang, karena itu membuatnya merasa mual dan juga ketakutan. Walau Yaya seringkali berlatih agar bisa bertarung, tapi tak berarti ia benar-benar ingin berada di tengah medan pertempuran.

"Tadi kau bertanya kenapa kami, bangsa Elvitch, berutang budi pada kerajaan Scelerisque, 'kan?" Kaizo tiba-tiba saja bertanya.

"Ya, benar. Kau mau memberitahuku sekarang?" Yaya memandang Kaizo ingin tahu

"Kerajaan Scelerisque pernah menyelamatkan bangsa Elvitch saat kami dibantai dahulu kala."

"Dibantai?" Yaya menekap tangan ke mulut dengan ekspresi shock. "Siapa yang melakukannya?"

Kaizo tak langsung menjawab, hanya menatap ke dalam kedua manik hazel Yaya. Tatapannya yang menusuk seolah berusaha membuka semua isi pikiran Yaya dan itu membuatnya risih, maka ia memilih untuk menundukkan kepala.

"Kau tahu kenapa para Elvitch di sini terlihat membencimu padahal kau adalah putri dari seorang Lady yang paling dihormati di sini?" tanya Kaizo.

"Ti-tidak ..." gumam Yaya takut.

"Karena, walau kau memang mirip sekali dengan Clarissa, kau tetaplah keturunan Raja Gaileta."

"Memagnya kenapa kalau aku keturunan Raja Gaileta? Apa yang salah dengan ayahku?" Yaya yang tadinya sedikit gentar dengan tataan menusuk Kaizo kini balik memandangnya dengan dahi berkerut. Ia jelas mendengar nada penghinaan dari suara Kaizo saat menyebutkan ayahnya.

"Apa kau tahu kenapa kerajaan Gaileta dan Scelerisque bermusuhan?"

"Kau terus bertanya apa aku tahu ini atau itu," Yaya mulai terdengar sedikit jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang sejarah bangsa Elvitch atau semacamnya. Aku hanya tahu beberapa hal tentang mereka dari buku yang ditulis ibuku. Dan itu tidak mencakup keseluruhan kisah Elvitch sejak zaman dahulu kala."

Kaizo mendengus pelan. "Kau ternyata mewarisi sikap keras Clarissa juga," ucapnya. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah danau. "Pertikaian antara kerajaan Scelerisque dan kerajaan Gaileta berhubungan dengan kami, bangsa Elvitch."

Yaya kembali mendengarkan cerita Kaizo dengan serius. Sudah lama sekali ia ingin mengetahui tentang hal ini, dan sekarang akhirnya jawaban semua pertanyaan yang menghantuinya sejak dulu akan terungkap.

"Kerajaan Scelerisque membantu kaum Elvitch saat kerajaan kami diserang oleh sekumpulan manusia yang datang dari negeri jauh. Kami dibantai, dan diusir dari kerajaan kami sendiri oleh para manusia busuk itu," Kaizo berujar getir.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali ..."

Ekspresi Kaizo semakin mengeras saat ia melanjutkan kembali ceritanya. "Alasan kami begitu membenci rakyat Gaileta adalah karena merekalah yang telah merebut kerajaan kami. Mengusir para Elvitch dari tempat tinggal kami sejak sekian lama, dan membunuhi kami satu-persatu."

"A-apa?" Yaya terlihat pucat pasi sekarang sementara ia mengawasi ekspresi Kaizo yang semakin menggelap.

"Ya, benar. Jauh sebelum manusia menginjak negeri ini, Gaileta dulunya adalah kerajaan para Elvitch ..."

.

.

.

to be continued

A/N :

Seperti biasa, kalau udah menelantarkan ff terlalu lama aku bakal kehilangan feel buat ngelanjutin. Tapi aku beneran pengen ngelanjutin ini, jadi aku coba nulis walau nggak terlalu yakin.

Waktu ngetik chapter ini aku ngerasa kurang sreg dengan plotnya, tapi setelah kubaca ulang ternyata lumayan. Lumayan cocok dengan apa yang aku bayangin, maksudnya. Walau ada beberapa yang mungkin rada aneh sih ...

Chapter ini dan chapter depan mungkin nggak bakal ada romance dulu. Aku mau nuangin sejarah-sejarah lama (?) antara Elvitch dan manusia, karena aku udah menunggu-nunggu banget untuk bisa nulis bagian ini.

Semoga nggak ada yang merasa bosan ya :"))

Kalau ada yang mau ditanyain, silakan lewat kotak review~ Kritik dan saran juga sangat diterima.

Makasih banyak buat yang udah menyempatkan diri membaca. Jangan lupa reviewnya~ X))