Suara sorakan dan teriakan terdengar dari lapangan luas berumput hijau itu. Sosok-sosok dari beberapa kalangan usia terlihat tengah berlari menyusuri lapangan, saling hadang dan juga saling mengoper sebuah bola bulat berwarna hitam dan putih. Dua orang yang berjaga di masing-masing ujung lapangan terlihat berkonsentrasi penuh, berjaga-jaga saat bola mulai mendekat dan berusaha mempertahankan gawang yang mereka jaga.

Seorang pemuda, dengan topi berwarna jingga cerah yang dipasang terbalik, berlari menggiring bola dengan bersemangat. Ia berhasil menghindar dari setiap hadangan tim lawan, dan kini tengah mempercepat laju larinya ke arah gawang. Rekan timnya bersorak menyemangati, dan seringai di wajahnya melebar begitu melihat celah dari penjagaan kiper yang hanya tinggal beberapa meter lagi darinya. Ia bersiap menendang bola ke arah gawang, sampai sebuah suara yang dikenalnya tiba-tiba menyerukan namanya, mengalahkan suara-suara lain yang ada di sekitarnya.

"Boboiboy!"

Boboiboy menoleh, tapi sudah terlambat untuk menghentikan tendangannya. Bola yang baru saja ditendangnya melambung tinggi, bukan ke arah gawang, melainkan ke arah seorang pemuda yang berdiri di tepi lapangan.

"Alamak!" Boboiboy menepuk kepalanya begitu bola itu sukses menghantam wajah orang yang baru saja memanggilnya. Ia buru-buru menghampiri korban hasil tendangan bolanya. "Maaf, Fang! Kau tidak apa-apa?"

"Menurutmu?" balas Fang sarkastis sambil mengusap wajahnya yang memerah karena terhantam bola.

Boboiboy hanya cengengesan dan mengambil bola yang tergeletak di sebelah Fang. "Maaf, maaf, habis kau mengagetkanku sih, tiba-tiba memanggil seperti itu," ujarnya. "Lagipula aku tidka menyangka bola itu akan terbang ke arahmu," tambahnya lagi.

Fang memasang ekspresi cemberut sambil meraba wajahnya dengan hati-hati, mencoba menerka sebesar apa kerusakan yang diakibatkan oleh Boboiboy di wajah tampannya.

"Pfft, Fang, mukamu merah sekali. Aku heran kenapa hidungmu tidak rusak setelah terhantam bola sekeras itu," kata Gopal, yang baru saja tiba di sebelah Bobobioy. Namun ia buru-buru bersembunyi di belakang tubuh Boboiboy begitu Fang mendelik ke arahnya.

"Jadi, ada apa kau tiba-tiba memanggilku?" tanya Boboiboy, memutar-mutar bola di tangannya.

"Yang Mulia Raja mencarimu," kata Fang, akhirnya menghela nafas lega setelah memastikan tak ada kerusakan parah di wajahnya.

"Kakek? Ada apa?" tanya Boboiboy sambil mengernyitkan dahi.

"Entahlah. Kelihatannya ada hal penting yang ingin dibicarakan," kata Fang. Ia mendekat sedikit ke arah Bobobioy dan melanjutkan ucapannya dnegan berbisik, "Sepertinya kau mau dijodohkan."

"APA?!"

Fang buru-buru menarik kembali kepalanya dan menutupi kedua telinganya mendengar teriakan Boboiboy. Gopal yang berdiri di dekat Boboiboy juga ikut kaget mendengar seruan sahabatnya itu.

Tanpa menunggu lama lagi, Boboiboy segera melemparkan bolanya ke arah Gopal dan berlari pulang ke istana. Meninggalkan teman-temannya di lapangan yang hanya bisa memandangi kepergiannya sambil melongo.

"Kita lanjutkan permainannya besok!" seru Boboiboy dari kejauhan. Ia melambai sekilas sebelum menghilang di balik rumah-rumah penduduk yang berjejer rapi.

"Ada apa, Fang? Kenapa Boboiboy kelihatan panik begitu?" tanya Gopal heran.

Fang hanya mengangkat bahu dan membenarkan letak kacamatanya. Ia kemudian melangkah meninggalkan lapangan tanpa berkata apa-apa lagi, membuat Gopal memasang wajah kesal sambil memandangi pungung pemuda itu.

.

.

.

Pintu besar dengan berbagai ukiran indah itu menjeblak terbuka, membuat dua orang yang tengah berdiskusi di dalam ruangan tersentak kaget.

"Boboiboy! Ketuk pintu dulu sebelum masuk. Sudah berapa kali kakek bilang supaya menjaga tata kramamu?" ujar seorang pria tua dengan tubuh sedikit bungkuk sambil menatap cucunya dnegan ekpresi mencela.

Boboiboy membungkuk sambil memegangi kedua lututnya, mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah karena baru saja berlari.

"Fang bilang kakek mau menjodohkanku. Apa itu benar?" tanya Boboiboy sambil mengusap peluh di dahinya.

Sang kakek, masih mengernyit memandang cucu semata wayangnya, mengangguk. "Ya, itu benar," ucapnya.

"Ta-tapi kenapa? Apa yang sudah kulakukan sampai aku harus dijodohkan seperti ini?" protes Boboiboy dengan tampang putus asa.

"Itu memang sudah keharusan, pangeran," ujar seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri di sebelah raja. Mata birunya menatap Boboiboy dengan ekspresi datar. "Karena anda sebentar lagi akan dinobatkan sebagai raja, maka anda harus memiliki seorang pendamping, seorang istri."

"Tapi Ochobot ..." Boboiboy kini mengalihkan perhatiannya kepada sang penasihat kepercayaan kakeknya. "Aku masih 19 tahun, masa aku harus menikah?"

"Ayahmu dulu juga menikah dengan ibumu saat masih seusia dirimu," kata sang kakek.

"Tapi ..."

"Jangan terlalu banyak protes, Boboiboy. Semuanya sudah diatur, kau tidak bisa menolak perjodohan ini," sang raja berkata tegas dengan nada final, membuat Boboiboy tak mampu lagi meneruskan protesnya.

"Yah, baiklah kalau begitu," ujar Boboiboy, akhirnya pasrah. "Kapan perjodohannya akan dilakukan?"

"Seminggu lagi."

"APA?! Tapi penobatanku kan masih beberapa bulan lagi? Kenapa aku harus menikah secepat itu?" Lagi-lagi sang putra mahkota melayangkan protesnya.

"Itu cuma pertemuan untuk membicarakan masalah ini lebih jauh, kau tidak akan langsung menikah hari itu juga," jelas sang raja. "Saat itu kau akan bisa bertemu dengan calon pengantinmu dan kita akan menentukan tanggal pernikahannya setelah berdiskusi dengan mereka. Mungkin pernikahannya akan diadakan beberapa hari sebelum kau dinobatkan sebagai raja."

Boboiboy menghela nafas panjang. Kenapa nasibnya jadi sesial ini sih? Pertama orang tuany ameninggal karena kecelakaan, dan ia segera ditunjuk untuk menggantikan sang ayah sebagai raja kerajaan Scelerisque. Walaupun kakaknya, yang kini kembali bertindak sebagai raja untuk sementara waktu, menuda hari penobatannya sampai ulang tahunnya yang ke dua puluh, tapi tetap saja Boboiboy merasa ia masih terlalu muda untuk posisi ini. Dan sekarang ia akan dipaksa menikah, dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Kenapa ia harus dilahirkan sebagai anggota kerajaan sih? Seandainya saja ia hanya seorang rakyat biasa, pasti saat ini ia bisa bersenang-sennag bermain bola bersama teman-temannya.

"Yah, terserah kakek saja. Aku tau kakek memikirkan yang terbaik untukku," ujar Boboiboy pasrah, walau dalam hatinya ia masih terus menggerutu.

Ia kemudian mendongak, kedua bola matanya yang sewarna karamel menatap sang kakek dan juga penasihatnya yang terpercaya.

"Jadi, siapa yang akan jadi calon pengantinku?"

.

.

.

Disclaimer : Boboiboy © Animonsta Studio

Warning : BoboiboyxYaya Kingdom!AU, OOC, typo(s)

Ini fanfic bertema kerajaan pertama yang kubuat, jadi er—maklumi aja kalo rada aneh(?)

Selamat membaca!

.

.

.

Suara derap langkah kaki bergema di lorong yang sepi. Gadis dengan rambut terkuncir dua berlarian sepanjang koridor, sesekali melongok ke ruangan yang dilewatinya, tapi tetap tak berhasil menemukan orang yang dicarinya. Kaki-kakinya akhirnya membawanya ke halaman yang luas dengan pilar-pilar tinggi dan juga air mancur di bagian tengahnya.

Sepasang mata safir bergerak menyusuri halaman, berharap menemukan orang yang dicarinya. Tapi tak ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicarinya..

Gadis berkamacata itu berdecak pelan. Ia berlari menuruni tangga pualam dan bergerak ke arah lapangan luas di bagian kiri istana. Para pengawal terlihat tengah berlatih dengan pedang mereka, beberapa terlihat tengah berduel, sementara yang lain asyik mengayun-ayunkan pedang mereka ke udara kosong. Tapi tetap saja, tak tampak kehadiran seorang perempuan pun di antara mereka.

Aneh, seharusnya dia ada di sini, batin Ying, si gadis berkuncir dua.

"Iwan, kau melihat Yaya?" tanya Ying, menghampiri salah seorang pengawal muda yang tengah beristirahat.

"Tuan Putri Yaya? Kalau tidak salah dia ada di tempat latihan memanah," sahut Iwan sambil menunjuk ke belakangnya.

"Oke, terima kasih Iwan!" Ying pun melanjutkan langkahnya melewati beberapa pengawal yang tengah beristirahat di pinggir lapangan. Sampai akhirnya ia tiba di tanah lapang dengan banyak papan target diletakkan di sekitarnya.

Ying mendesah lega begitu melihat seorang gadis tengah berdiri seorang diri, dengan busur yang tertarik bersikap melontarkan panah ke arah papan terget. "Yaya!" panggilnya.

Gadis bergaun merah muda itu berbalik cepat sekali, dengan busur masih siaga di tangannya. Ying berhasil menghindar tepat waktu saat sebuah panah melesat ke arahnya. Ia buru-buru menunduk dan panah itu menancap di batang pohon di belakanganya.

"Astaga, Ying!" seru Yaya. Ia berlari panik menghampiri gadis berkacamata itu dengan wajah panik. "Maaf, aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?"

Ying melirik anak panah yang tertancap di belakangnya sambil mengurut dada, bersyukur panah itu tidak menembus kepalanya.

"Yaya, lain kali kalau mau membunuhku bilang-bilang dulu. Mungkin kita bisa berduel dengan adil, jangan tiba-tiba menyerangku seperti ini," kata Ying sambil berusaha bangkit dengan dibantu oleh Yaya.

"Aku benar-benar tidak sengaja, Ying. Panah itu melesat begitu saja tanpa bisa kucegah. Kau tau aku masih belum ahli soal panahan," kata Yaya, masih merasa bersalah setengah mati.

"Ya, tidak apa-apa. Tenang saja," kata Ying. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali, sebelum menatap kedua mata cokelat Yaya yang memancarkan sorot cemas.

"Jangan khawatir, Yaya, aku tidak apa-apa. Cuma sedikit kaget," kata Ying lagi, mencoba menenagkan Yaya. "Lagipula ada hal lain yang lebih penting. Raja menyuruhmu untuk segera menemuinya."

"Ayahanda memanggilku? Memangnya ada apa? Aku sudah blang pada ayah aku akan berlatih seharian ini," kata Yaya sambil mengerutkan kening.

"Aku juga tidak tau. Kelihatannya ada hal penting yang ingin dibicarakan denganmu," jawab Ying seadanya.

"Oh, baiklah kalau begitu." Sambil masih menyandang busur di bahunya, Yaya pun melangkah meninggalkan Ying dan berlari ke arah istana.

.

.

.

Yaya megetuk pintu ruang kerja ayahnya beberapa kali, dan menunggu sahutan dari dalam sebelum ia melangkah masuk ke ruangan dengan langit-langit tinggi di atasnya. Kedua iris cokelatnya melirik sekilas ke arah seorang pria yang kelihatannya tengah berbicara dengan sang ayah, sebelum berdeham pelan.

"Ayahanda memanggilku?" ujarnya sambil melangkah mendekati meja kerja sang ayah.

"Oh, Yaya. Duduklah di sini, ada yang ingin ayah bicarakan," kata sang raja sambil tersenyum ke arah putrinya. Ia mengucapkan beberapa patah kata lagi kepada pria berambut hijau di sebelahnya, sebelum menyuruhnya pergi. Laki-laki itu membungkuk hormat ke arah sang raja, dan juga kepada Yaya, sebelum melangkah meninggalkan ruangan.

Yaya duduk di kursi di depan ayahnya dan menatap sang ayah penuh tanya.

"Ada apa ayahanda?" tanya Yaya ingin tahu.

"Begini, Yaya," sang raja menautkan jari-jarinya di atas meja dan menatap kedua mata putri semata wayangnya. "Kau tau kerajaan Scelerisque, kan?"

Yaya mengangguk. "Tentu saja. Kerajaan tetangga kita, kan? Kerajaan yang sudah berabad-abad bermusuhan dengan kerajaan kita?" ujarnya.

"Ya, Scelerisque, kerajaan tetangga, sekaligus kerajaan yang menjadi musuh kita," kata raja Yah, sedikit mendesah.

"Ada apa dengan kerajaan Scelerisque? Apa mereka akhirnya menyatakan perang terbuka dengan kerajaan kita?" tanya Yaya was-was. Kalau ada satu hal yang ditakutinya, itu adalah perang. Yaya tidak suka melihat orang-orang saling melukai dan membunuh satu sama lain.

"Bukan, bukan begitu," kata sang ayah sambil menggeleng. Ia menyunggingkan sebuah senyum tipis sebelum melanjutkan, "Justru sebaliknya. Kerajaan kita dan kerajaan Scelerisque sudah sepakat untuk berdamai."

"Yang benar?" Kedua mata Yaya kini berbinar senang.

Sang ayah mengangguk, ikut tersenyum bersama putrinya.

"Kita sudah terlalu lama saling bermusuhan. Sudah saatnya menyingkirkan dendam masa lalu dan kembali berjabat tangan, kan? Lagipula kita juga tetangga."

"Aku benar-benar senang mendengarnya!" ujar Yaya, tersenyum gembira.

"Ayah juga senang," ujar sang raja, menatap putrinya dengan ekspresi yang sukar ditebak. "Tapi ada satu hal lagi yang ingin ayah sampaikan padamu."

"Apa itu, ayahanda?"

"Sebagai tanda bahwa kerajaan kita benar-benar sudah berdamai dan bersatu, maka kedua kerajaan sepakat untuk menikahkan kedua pewaris utama kerajaan."

Senyum Yaya memudar dengan cepat. Ia kini memandang ayahnya dengan ekspresi horror.

"Kau akan segera menikah, dengan putra mahkota kerajaan Scelerisque."

.

.

.

Langkah-langkah cepat penuh kegusaran diiringi suara gerutuan meningkahi kicauan burung-burung yang beterbangan di pohon-pohon yang tumbuh rimbun di halaman. Gadis dengan rambut berkuncir dua berusaha menyamakan langkahnya dengan gadis di sebelahnya yang terlihat sangat gusar.

"Menikah! Yang benar saja! Aku masih 19 tahun, Ying. Aku seharusnya menggunakan masa mudaku untuk berlatih dan juga bersenang-senang! Saat umurku 30 nanti barulah aku akan menikah dan meghabiskan hidupku dengan mengurusi suamiku sampai tua. Tapi kenapa aku harus menikah sekarang?" gerutu Yaya terus-menerus. Sudah hampir setengah jam berlalu sejak pembicaraannya dengan sang ayah, tapi Yaya masih terus mengulangi keluhan yang sama kepada satu-satunya orang yang mau mendengarkannya, Ying.

"Kalau aku menikah sekarang, berarti aku harus terkurung di istana selamanya! Aku harus duduk manis di sebelah suamiku dan menyuapinya makanan. Aku tidak akan bisa berlatih dan ikut bertempur di medan perang lagi!"

"Sudahlah, Yaya. Walau pun kau tidak menikah, raja tetap tidak akan mengizinkanmu ikut berperang. Lagi pula, bukankah kau benci perang?" ujar Ying.

"Ya, aku memang membencinya. Tapi bukan berarti aku akan duduk diam dan melihat saja saat semua orang bertempur untuk melindungi kerajaan ini! Aku putri mahkota kerajaan Gaileta, maka aku juga berkewajiban untuk melindungi kerajaan ini."

"Mungkin dengan menikah kau juga bisa ikut melindungi kerajaan, Yaya. Bukankah tujuan pernikahan ini untuk mencegah peperangan antara kerjaaan Gaileta dan kerajaan Scelerisque?"

"Tapi kenapa harus kau yang dikorbankan? Kenapa tidak Totoitoy? Dia juga bisa jadi pewaris kerajaan, kan?"

"Kerajaan Scelerisque hanya memiliki seorang pewaris, sang putra mahkota, mana mugkin Totoitoy dinikahkan dengan seorang pangeran? Kau mau adikmu jadi homo?"

Yaya mengerang kesal, sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di rumput. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya sambil meratap.

"Tenanglah, Yaya. Pernikahan tidak seburuk itu, kok," hibur Ying. Ia menepuk-nepuk bahu sahabatnya penuh simpati.

Baru saja Ying hendak duduk di sebelahnya, Yaya tiba-tiba bangkit dari duduknya dan melangkah menyeberangi halaman dengan tergesa-gesa.

"Yaya, kau mau ke mana?" tanya Ying, berlari menyusul Yaya.

"Aku mau ke hutan. Aku perlu menenangkan diri sebentar," jawab Yaya singkat. Ia melangkah ke arah istal kuda untuk mengambil kudanya.

"Perlu kutemani?" tawar Ying.

"Tidak usah, aku ingin sendirian dulu," kata Yaya. Ia menghampiri kuda putih miliknya dan mengelus surai keemasan kuda itu dengan lembut.

"Yah, baiklah kalau begitu," kata Ying.

"Kalau ada yang mencariku, bilang saja kau tidak tau," kata Yaya sebelum melompat ke balik punggung kudanya.

Ying mengangguk. Ia melambai ke arah Yaya sambil memandangi kepergian gadis itu dengan prihatin.

.

.

.

Angin berhembus pelan dan membelai pipi Yaya lembut. Gadis itu menurunkan tudung jubahnya dan menghirup udara dalam-dalam. Aroma pohon-pohon dan juga rumput menyeruak memasuki indra penciumannya, membuat pikirannya yang sedang kalut kembali tenang. Hutan selalu menjadi obat yang ampuh untuk mengusir semua kegelisahan Yaya. Ia menyukai hutan lebih dari tempat apa pun di dunia ini.

Yaya memelankan laju kudanya, dan menikmati aroma bunga-bunga musim semi yang baru saja bermekaran. Gaun dan jubahnya sedikit berkibar tertiup angin, namun Yaya tidak mempermasalahkannya. Ia mendongak ke atas untuk memandangi langit biru yang terlihat di sela-sela daun-daun pepohonan yang rimbun.

Gadis itu baru saja berpikir untuk mampir ke sungai, sekedar untuk menyegarkan diri, saat ia mendengar sebuah erangan kecil. Yaya buru-buru menarik tali kekang kudanya dan membawanya mencari asal suara. Kedua iris karamelnya membelalak begitu menemukan seekor anak rusa tengah terbaring di bawah sebuah pohon, dengan kaki terjebak perangkap.

Dengan segera, Yaya melompat turun dari kudanya dan menghampiri si anak rusa.

"Ya ampun, siapa yang tega melakukan ini padamu?" ucap Yaya sambil berusaha membebaskan rusa kecil itu.

Ia menarik tali-tali yang mengikat kaki rusa itu, berusaha sebisa mungkin agar tidak semakin menyakiti hewan malang itu. Setelah terlepas dari jerat yang memerangkapnya, Yaya melihat bahwa kaki rusa itu juga terluka cukup parah. Rusa kecil itu mengerang pelan, membuat Yaya merasa kasihan.

"Jangan khawatir, rusa kecil, aku akan menyembuhkanmu," ujarnya lembut.

Yaya kemudian mulai mengalunkan nada-nada lembut dari kedua bibirnya. Ia membelai pelan kaki si rusa yang terluka, seolah tengah mengoleskan obat tak kasat mata. Saat lagunya berakhir, luka di kaki anak rusa itu telah sepenuhnya sembuh. Dan kini ia bisa berdiri lagi dengan keempat kakinya.

Anak rusa itu mendekatkan hidungnya ke pipi Yaya dan menggosokkannya perlahan, membuat Yaya sedikit kegelian. "Sama-sama, rusa kecil," ucap Yaya sambil tertawa.

Tiba-tiba terdengar suara berkeresak di dekat mereka, membuat Yaya dan anak rusa itu tersentak. Yaya buru-buru menyuruh rusa itu pergi, takut orang yang menyiapkan perangkap itu kembali untuk menangkap si anak rusa.

"Pergilah, rusa kecil. Pergilah sejauh mungkin dari sini," bisik Yaya sambil menepuk pelan punggung rusa itu. Seolah mengerti perkataan Yaya, anak rusa itu pun berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Yaya dan kuda putihnya.

Terdengar kembali suara gemerisik, kali ini ditambah suara langkah-langkah kaki berat. Yaya segera menyiagakan busurnya yang masih ia sandang di bahunya, dan mengarahkannya tepat ke balik pepohonan dari mana suara itu berasal.

Seorang pemuda muncul, sambil menarik seekor kuda bersurai cokelat kehitaman. Ia memandang Yaya dan juga busur di tangannya, dan buru-buru mengangkat kedua tangannya.

"Whoa, kau tidak bermaksud memanahku, kan?" tanya pemuda itu sambil mendekat dengan hati-hati. Namun saat Yaya merenggangkan busurnya, ia buru-buru berhenti melangkah.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yaya waspada.

"Aku? Aku seorang pemburu. Tadinya aku membuat sebuah perangkap di sini, kupikir aku berhasil menangkap sesuatu. Tapi kelihtannya tidak, ya?" ujar pemuda itu sambil menatap miris perangkap kosong di dekat kaki Yaya.

"Oh, jadi kau yang menjebak rusa kecil itu?" tanya Yaya marah, semakin menyiagakan busurnya, bersiap memanah.

"Eh? Ada anak rusa yang kena perangkap?"

"Ya! Perangkapmu telah melukai mahkluk malang itu! Syukurlah aku menemukannya tepat waktu dan berhasil menyelamatkannya."

"Ya ampun, kau melepaskan rusa itu? Lalu bagaimana dengan buruanku?"

"Aku tidak peduli. Memangnya kau punya izin untuk berburu di sini?"

"Apa aku perlu izin untuk berburu di hutan ini?"

"Tentu saja! Hutan ini adalah wilayah kerajaan Gaileta. Kau harus memiliki izin jika ingin berburu di sini."

"Tunggu. Kau bilang apa tadi? Kerajaan Gaileta?" Pemuda itu mengerutkan keningnya dan menatap Yaya tak percaya.

"Ya, kau tidak mungkin tidak pernah mendengarnya, kan?" tanya Yaya, memandang sinis pemuda di hadapannya.

"Tentu saja aku tau kerajaan Gaileta," kata pemuda itu tak sabaran. "Jadi maksudmu aku sekarang ada di kerajaan Gaileta?"

Yaya mengangguk. Ia akhirnya menurunkan busurnya setelah yakin pemud aitu tidak akan menyerangnya. Kemudian ia hanya berdiri diam menatap laki-laki yang kini tengah mengumpat pelan ke pohon di sebelahnya.

"Sial, aku pasti tersesat lagi," keluh pemuda itu.

"Kau tersesat?" tanya Yaya, kini mulai sedikit bersimpati pada laki-laki di hadapannya.

"Ya, sepertinya begitu," pemuda itu menggaruk-garuk pipinya ragu. "Aku baru saja selesai berburu bersama teman-temanku dan aku terpisah dari mereka saat perjalanan pulang. Tapi daya ingatku sedikit buruk jadi ... kelihatannya aku salah mengambil jalan dan malah tersesat sejauh ini."

"Darimana asalmu?" tanya Yaya.

"Aku dari kerajaan Scelerisque."

"Scelerisque?" ulang Yaya, sedikit kaget. Itu kerajaan yang bertetangga dengan kerajaannya. Kerajaan yang baru saja dibicarakannya dengan sang ayah di istana tadi.

"Ya. Ada masalah dengan itu?"

"Tidak … Hanya saja aku belum pernah melihat orang dari kerajaan Scelerisque di sini sebelumnya, di Gaileta."

"Yah, mungkin karena kerajaan kita bermusuhan."

"Tapi kita sudah berdamai, kan?" kata Yaya, sedikit masam. Ya, kerajaan mereka sudah berdamai, dengan mengorbankan dirinya sebagai putri mahkota.

"Begitulah yang kudengar."

Keduanya kemudian terdiam. Mereka saling memperhatikan satu sama lain, mencoba menilai diri masing-masing.

Kelihatannya dia bukan orang jahat, pikir Yaya. Dari cara berpakaiannya, sepertinya dia bukan rakyat biasa. Mungkin dari kalangan bangsawan?

"Jadi, nona cantik," Yaya mendelik saat laki-laki itu memanggilnya 'nona cantik'. "Apa kau bisa menunjukkanku ke arah mana kerajaan Scelerisque?"

"Ke arah sana," kata Yaya menunjuk ke sisi kirinya. "Kau tinggal menyusuri hutan ini terus ke timur dan kau akan menemukan kerajaan Scelerisque di sana."

"Oh, benarkah? Terima kasih banyak atas bantuanmu," kata pemuda itu. Ia membungkuk ke arah Yaya, dan gadis itu juga balas membungkuk.

"Sama-sama. Kuharap kau bisa pulang ke kerajaannmu dengan selamat," kata Yaya, sedikit menyunggingkan senyum.

"Ya aku juga berharap begitu," balas pemuda itu, sedikit meringis. "Mudah-mudahan saja aku tidak tersesat lagi, dan nyasar ke kerajaan lain lagi."

Yaya tertawa kecil. Kudanya meringkik di sebelahnya dan Yaya mengelus surai emas kuda itu untuk menenangkannya.

"Maaf soal rusa tadi. Aku tidak bermaksud ..." Laki-laki itu kembali menggaruk pipinya, bingung harus melanjutkan perkataannya.

"Tidak apa. Hanya saja, kuharap lain kali kau tidak akan melukai hewan-hewan tak berdosa lagi," kata Yaya.

"Yah, aku seorang pemburu, jadi mungkin permintaan itu sulit untuk dilakukan. Tapi aku akan berusaha supaya tidak berburu di wilayah kerajaan ini lagi," janjinya.

"Baiklah kalau begitu," Yaya akhirnya mengangguk. Ia terus memandangi pemuda itu saat sang pemuda menghampiri kudanya dan melompat naik ke balik punggungnya.

"Kuharap kita bisa bertemu lagi," ucap pemuda itu sambil tersenyum.

"Kuharap juga begitu," balas Yaya, ikut tersenyum.

Sang pemuda menarik tali kekang kudanya dan menoleh sekali lagi ke arah Yaya.

"Namaku Boboiboy. Boleh aku tau siapa namamu?"

Angin musim semi yang hangat bertiup pelan, membuat kerudung merah muda yang dipakai Yaya berkibar, dan juga menerbangkan helai hitam rambut si pemuda.

"Namaku Yaya."

.

.

.

to be continued

A/N :

Akhirnya memberanikan diri (?) nulis ff dengan setting kerajaan. Mudah-mudahan nggak gagal-gagal amat, ya u.u

Karena ini pertama kali, mungkin ada yang mau ngasih kritik atau saran? Silakan aja mampir ke kotak review ^^

Sampai jumpa di chapter 2~~

p.s. ngomong-ngomong, ada yang penasaran sama arti dua nama kerajaan itu? /ga/ Er, jadi Scelerisque itu artinya cokelat (soalnya Tok Aba kan jualan cokelat xD) dan Gaileta artinya biskuit xD /ditabok