"Fukuchou!" Panggilan seseorang membuyarkan lamunanku. Sontak saja kualihkan atensiku pada pria yang baru saja mendatangi ruanganku dengan tergopoh-gopoh. Kutatap dirinya yang membungkukkan badannya sejenak lalu kembali berdiri tegak sambil memberi hormat padaku.

"Ah? Oh, Yamazaki. Ada apa?" Aku menaikkan sebelah alisku, melayangkan tatapan heran padanya. Tak biasanya Yamazaki mendatangiku dengan tergesa-gesa begini, dia bahkan tidak mengetuk pintu dulu. Akan kuberi hukuman memakan mayones 10 kali sehari nanti karena sudah bersikap tak sopan dan menggangu privasi.

"Aku ... berhasil mendapatkan info penting mengenai Okita-taichou!" lapornya sembari berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Benarkah?" Jantungku berdegup kencang seiring dengan mengecilnya iris mataku yang tengah menatapnya dengan pandangan tak percaya. Tanpa sadar aku meneguk ludah dengan susah payah. Entah kenapa firasatku tidak enak.

"Ya, namun sayangnya ... ini bukan hal yang bagus." Ekspresi yang ditampilkan oleh pria penyuka anpan itu mendadak serius, membuat suasana di sekitar ruanganku menegang hingga gendang telingaku bahkan bisa mendengar suara degup jantungku sendiri.

.

.

.

Siapkah aku untuk mendengar kenyataan?


Will You Notice Me?


Disclaimer:

Gintama © Om Sorachi Hideaki

Story © Yumisaki Shinju

(Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari cerita ini.)

.

Pair:

HijiOki ǀ HijikataxSouko

.

Genre(s):

Drama ǀ Romance ǀ Little bit Humor

.

Rate:

T+

.

Warning(s):

Alternate Reality ǀ OOC ǀ Typo(s) ǀ Non EYD ǀ Multi-Chapter ǀ Gender bender ǀ Fem!Sougo

.

If you don't like, please don't read!


CHAPTER 5


Manik biru Hijikata terbelalak setelah mendengar penjelasan Yamazaki. Rasanya sulit untuk dipercaya. Alasan mengapa Souko berwujud perempuan bukanlah karena gadis itu terkena tembakan laser dari kaum dekobokko, melainkan karena Souko mengubah dirinya sendiri menggunakan cairan pengubah wujud. Dan lagi, efek samping yang ditimbulkan jika menggunakan cairan itu secara berlebihan akan mengakibatkan kerusakan organ bahkan hilangnya nyawa.

"Darimana dia mendapatkan cairan pengubah wujud itu?" tanya Hijikata tak sabar. Guratan kekesalan telah memenuhi wajahnya. Giginya bergemerutuk menahan emosi. Rokok yang baru saja diselipkan di bibirnya kini udah tergigit sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. Sebenarnya apa yang dipikirkan gadis itu? Jahil juga ada batasnya. Kenapa dia bisa begitu nekat?

Hijikata melepaskan rokoknya dari kedua belah bibirnya untuk mengembuskan asap dari mulut dan hidungnya.

"Dari ilmuwan gila yang kedoknya terungkap dalam koran yang terbit hari ini. Apa Fukuchou sudah membacanya?" jawab Yamazaki sembari balik bertanya pada sang Wakil Komandan.

"O-Oh—" Hijikata tergagap, lantas memasang wajah kikuk. Pasalnya, dia belum sempat membaca koran hari ini karena sebelumnya Souko datang ke ruangannya dan menggodanya. Hijikata yang takut kalap pun akhirnya memutuskan untuk berpura-pura sibuk hingga asal menyambar koran yang ada di atas meja.

Pria it menggulirkan manik steel-blue-nya ke arah meja kerjanya.

"Sebentar," Hijikata bangkit dari posisi duduknya lalu mengambil koran yang tergeletak di atas meja kerja yang tak jauh darinya. Pria itu sibuk membolak-balikkan halaman koran, mencari tanggal yang tertera di pojok kiri atas.

"Oh, ini koran bulan kemarin," gumam Hijikata ketika berhasil menemukan tanggal terbitnya.

"Dimana Fukuchou enaruh koran terbitan hari ini?" tanya Yamazaki seraya berjalan mendekatinya guna membantu sang Wakil Komandan menemukan koran yang terbit hari ini.

"Selesai mandi, aku mengambil koran baru dan menaruhnya di atas meja bersama dengan tumpukan dokumen dan koran-koran lama." jawab Hijikata, masih sibuk mencari koran yang dimaksud Yamazaki diantara tumpukan koran lain. Ia menghentikan kegiatan mencari koran tersebut untuk sekadar menyesap rokoknya sejenak.

Yamazaki menyambar beberapa koran yang bisa dia jangkau lalu memeriksa tanggal terbit tiap koran yang ada disana. Beberapa menit pun berlalu hingga tumpukan koran berserakan memenuhi lantai tatami ruangan tersebut.

"Tidak ada. Kau yakin menaruhnya disini, Fukuchou?" Yamazaki menghela napas lelah.

"... Mana mungkin dia mengambilnya, 'kan?" Hijikata bergumam pelan seraya menelusupkan jemarinya ke dalam rambutnya, lalu menyisir helaian rambut bewarna gelapnya itu ke belakang dengan pelan, mencoba mengingat-ngingat kejadian tadi pagi.

"Dia?" Yamazaki memiringkan kepalanya tanda tak mengerti siapa yang sedang dibicarakan Hijikata.

"Tadi pagi Souko datang kemari dan merebut korannya, jadi aku belum memeriksanya—"

"—Dia merebut korannya?" sela Yamazaki sebelum Hijikata sempat menyelesaikan perkataannya.

"Tapi yang dia rebut adalah koran yang terbit bulan kemarin ini. Mungkin dia salah mengira ...," Hijikata berusaha berpikir positif mengenai tujuan datangnya Souko ke ruangannya. Jelas tak mungkin dia memberitahukan Yamazaki perihal Souko yang datang ke ruangannya tadi pagi dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Itu akan sangat memalukan.

"Kau yakin dia tak kembali lagi kemari setelah dia pergi?" Yamazaki terus melayangkan alternatif kejadian yang mungkin saja terjadi pada atasannya.

"Aku bergegas berganti baju setelah itu—oh, apa ada kemungkinan dia kembali ke ruanganku dan mengambil korannya selagi aku berganti baju?" Mau tak mau, Hijikata akhirnya goyah dan berpikir secara realistis.

"Hal itu bisa saja terjadi."

"Bagaimana dia bisa tahu perihal berita di koran itu? Dia bukan tipe yang akan membaca koran." Hijikata menyuarakan rasa penasarannya.

"Uh, maafkan aku sebelumnya. Aku telah memberitahukan mengenai berita utama dalam koran hari ini pada beberapa anggota lain di depan kamar mandi setelah Taichou pergi karena ada yang menanyakannya. Itulah alasan mengapa aku segera kemari untuk melaporkannya pada Fukuchou." Yamazaki menunduk, tak kuasa memandang wajah sang atasan karena merasa bersalah telah membeberkan masalah ini sembarangan tanpa berdiskusi dengan Hijikata dulu.

"Kau menceritakannya dengan jelas?" Alis Hijikata bertaut. Sesungguhnya dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Terlebih dengan tindakan bodoh Kapten Divisi Satu itu. Sungguhkah itu?

"Tidak, aku hanya bilang bahwa penjelasan lebih lengkapnya ada di koran yang terbit hari ini karena aku juga baru membacanya. Jika Taichou mendengar ucapanku saat itu, bisa jadi dia berencana untuk merampas dan menyembunyikan semua koran terbitan hari ini agar tidak ada seorang pun yang tahu, terutama kau, Fukuchou." Jawaban yang dilontarkan Yamazaki mau tak mau membuatnya menghela napas. Masuk akal, pikirnya. Ketika seseorang melakukan kejahatan, jelas mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi bukti-bukti agar tidak ketahuan.

"Jadi karena itu dia datang kemari? Untuk merebut korannya agar aku tak membacanya? Tck, benar-benar tak bisa dipercaya."

"Mungkin sebaiknya kita langsung tanyakan padanya, Fukuchou." usul Yamazaki.

"Ya, mungkin kau benar. Aku akan panggil Kondou-san untuk ikut serta." Hijikata mengangguk menyetujui usulannya, lalu segera beranjak dari posisinya.

.

.

.


Hijikata, Kondou, dan Yamazaki telah siaga di depan kamar Souko. Awalnya Kondou ingin masuk, tapi Hijikata menahannya dengan alasan takut jika Souko sedang berganti pakaian. Bagaimana kalau Souko sekarang masih mengenakan kemeja milik Hijikata yang sebelumnya dia pakaikan padanya? Hijikata harus menyembunyikan muka seumur hidup jika yang lain tahu. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu hingga Souko keluar dari ruangannya.

Lima menit berlalu tapi Souko belum juga keluar. Sejujurnya Hijikata tak sanggup untuk menunggu lebih lama karena dia juga dihantui oleh rasa penasaran. Pria itu pun menggeser pintu ruangan sang gadis sembari berucap, "Souko, kau di dalam? Aku masuk—"

Manik birunya seketika melebar tatkala memergoki Souko yang sedang mencoba menyuntikkan cairan aneh ke kakinya. Kimono cerah yang membaluti tubuh gadis itu tersingkap pada bagian kakinya, memamerkan area pahanya yang hampir saja ditusukkan jarum suntik entah untuk tujuan apa. Hijikata yang awalnya salah fokus pun akhirnya segera menghampirinya dan merebut suntikan itu dari tangan Souko. Jelas saja Souko berniat protes sambil melayangkan pelototan tajamnya pada sang maniak mayo. Namun bibirnya terkunci saat manik merahnya menangkap Kondou dan Yamazaki memasuki ruangannya juga.

"Cairan apa yang akan kausuntikkan? Kau pakai narkoba?" tuduh Hijikata seraya menyipitkan mata tanda curiga pada sang gadis.

Mulut Souko gatal ingin membalas sambil nge-rapp a la yanglek, 'Aku tatoan tapi tak pakai narkoba.' Naasnya dia tidak tatoan, akhirnya lebih memilih bungkam.

"Tck, jawab pertanyaanku!" geram Hijikata kesal sembari berdecak.

"Apa maksudmu? Itu hanya cairan penambah energi biasa."

"Kenapa harus disuntikkan jika kau bisa menggunakan pil?" Hijikata masih menolak untuk percaya.

"Lebih efektif." Jawaban gadis itu tak membuatnya puas.

Hijikata memutar otak, berusaha mencari jalan lain untuk menyerangnya sehingga Souko tak bisa mengelak dan segera mengatakan kebenaran. Ia mengerlingkan iris birunya ke arah meja kerja sang gadis. Pria itu menyunggingkan senyum kemenangannya ketika manik steel-blue miliknya menangkap setumpuk koran yang kertasnya masih terlihat baru tergeletak di atas meja. Pria itu segera menggerakkan tungkainya menuju meja tersebut.

"Polisi dilarang untuk menggunakan obat-obatan terlarang dan segala jenisnya. Selain itu, memang sejak kapan kau mulai mengoleksi koran di mejamu?" Ia menyambar koran itu dan mencari berita yang dimaksud Yamazaki lalu menunjukkannya pada Souko.

Iris merah Souko melebar. Sial memang untuknya, dia lupa untuk menyembunyikan koran yang terdapat di atas mejanya karena tak pernah menyangka bahwa ruangannya akan terkena pemeriksaan dadakan seperti ini.

Melihat Souko yang hanya bisa bungkam dan mematung di tempat membuat Hijikata beralih untuk membaca berita yang terdapat dalam koran itu terlebih dahulu. Setelah manik birunya menelusuri tiap kata dan kalimat yang tertulis disana, ia tak bisa menahan amarahnya. Koran naas itu bahkan sudah kusut dalam genggamannya.

"Kau mau diam sampai kapan?!" Manik biru gelap itu menyalang tajam ke arah sang gadis. Souko bahkan tersentak karena ini adalah pertama kalinya Hijikata membentaknya dengan nada tinggi. Gadis itu mengalihkan pandangan sembari meneguk ludah karena merasa terintimidasi.

Souko berusaha untuk menetralkan degupan jantungnya. Yah, mengelak pun tak ada gunanya lagi. Dia sudah tertangkap basah sekarang. Dia juga tak nyaman dalam situasi di mana semua mata tertuju padanya kini. Meski begitu, dia tidak ingin terlihat ketakutan di depan ketiga pria itu. Gadis itu akhirnya membuka suara, berusaha berkata dengan nada bosan andalannya seraya menyembunyikan tangannya yang gemetar.

"Maa, maa, tampaknya aku sudah ketahuan. Mau bagaimana lagi. Baiklah, kau menang. Apa yang ingin kauketahui?"

"Tak usah bertele-tele. Jelaskan semuanya dengan sebenar-benarnya!" Jantung Souko hampir melompat tatkala mendengar suara tinggi dengan nada perintah dari Hijikata. Ia tahu bahwa suatu saat ia harus mengungkapkan hal ini pada sang wakil komandan, cepat atau lambat. Dan ia harus siap menerima konsekuensinya. Namun gadis itu tak menyangka bila Hijikata akan semarah itu.

"Ha'i, ha'i. Akan kujelaskan,"

Souko mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.

"Singkatnya, dengan menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuhku, aku bisa berubah wujud menjadi perempuan. Tidak hanya alat kelamin atau buah dada, yang jelas efeknya sama seperti saat aku terkena oleh laser yang ditembakkan kaum dekobokko itu.

Akan tetapi, cairan ini tidak bertahan lama dan lambat laun tubuhku akan kembali ke wujud asal jika aku tidak menyuntikkannya secara berkala. Kau bisa menganggap bahwa aku seperti sedang merusak tubuhku sendiri karena memaksakan hormon dalam tubuhku untuk terus bekerja optimal dalam bentuk yang tidak seharusnya. Tubuhku yang seharusnya kekar dengan dada bidang layaknya lelaki pada umumnya juga harus diubah paksa menjadi tubuh gadis mungil dengan pinggang ramping dan berbuah dada.

Perubahan yang kuinginkan itu jugalah yang menjadi efek samping dari cairan ajaib ini. Dan jika aku melakukannya terus-terusan tanpa henti, pada akhirnya aku akan mati karena tubuhku tak sanggup menanggung perubahan itu lagi—"

Penjelasan Souko terhenti karena Hijikata menampar Souko telak di pipi dengan keras hingga gadis itu terjatuh ke lantai tatami.

"TOUSHI!" Kondou refleks berteriak, tak menyangka bahwa Hijikata akan menampar gadis itu begitu keras.

"Kenapa kau melakukan hal sebodoh itu?! Apa kau tahu apa yang sedang kaulakukan?!"

"Toushi, Souko pasti punya alasan kenapa dia sampai melakukan itu. Tenangkan dirimu. Jangan terbawa emosi sesaat. Kita harus mengatasi masalah ini dengan kepala dingin." Kondou menyeret Hijikata menjauh satu langkah dari Souko yang sedang mengelus pipinya, antisipasi agar Hijikata tak melayangkan tamparan atau kekerasan lainnya. Pria yang berumur tak jauh berbeda darinya itu lalu mengelus punggungnya untuk menenangkannya.

"Hhh baiklah. Katakan alasanmu. Kenapa kau sampai melakukan hal bodoh itu, Sougo?"

Bagai ditusuk pedang tepat di dadanya, hati Souko terasa sakit kala Hijikata memanggilnya dengan nama aslinya. Tampaknya pria bermanik biru itu telah menolak untuk memanggil nama palsu gadis itu lagi.

"Memang apa gunanya aku memiliki umur panjang tetapi hidupku hanya dipenuhi oleh kesengsaraan?" Balasan yang diutarakan gadis itu dengan nada lirih sukses mengundang kerutan pada alis Hijikata.

"Apa?" Pria yang bibirnya sudah tak terselip rokok sejak datang ke ruangan gadis itu terheran, tak menangkap maksud sang gadis.

"Hijikata-san, awalnya kupikir aku bisa memendam perasaan ini hanya dengan berada di sisimu. Kupikir sudah cukup bagiku untuk bersikap seperti biasanya asalkan aku bisa terus melihatmu.

Namun pada kenyataannya, aku tak sanggup untuk menjalani hidupku yang begitu monoton ini. Rasanya tersiksa melihat bahwa kau selalu ada di sisiku tapi kau tak pernah melihatku!"

"Taichou ...," Yamazaki yang sedari tadi hanya diam sambil mendengarkan mereka bahkan tak kuasa melihat sang gadis tersiksa karena perasaan gadis itu sendiri.

"Aku mencoba melakukan segala cara agar kau menyadari keberadaanku, tapi kau sama sekali tak mengindahkanku. Yang kulakukan justru membuatmu semakin membenciku. Mengungkapkan perasaanku secara terang-terangan padamu hanya akan membuatmu berpikir kalau aku sudah tidak waras dan kemungkinan terburuknya kau akan menjauhiku!"

"Tenanglah," Hijikata akhirnya membuka mulutnya setelah terdiam cukup lama karena mendengarkan gadis itu berbicara.

Air mata gadis itu jatuh bersamaan dengan tubuh ringkihnya yang didekap oleh lengan Hijikata. Rasa hangat yang diberikan tubuh kekar itu menjalar hingga memenuhi relung hatinya. Emosi sang gadis yang awalnya tak bisa berpikir jernih itu pun akhirnya berangsur-angsur tenang, terlihat dari bahunya yang perlahan naik-turun seirama dengan tarikan napasnya.

"Zaki, mari kita biarkan mereka berdua. Tampaknya mereka butuh ruang untuk menyelesaikan masalah mereka."

"Ha'i, Kyokuchou!"

'Semoga kau bisa menyadarkan Sougo, Toushi.'

.

.

.


"Jadi, katakanlah ... kenapa kau menyukaiku dalam wujudku yang ini? Aku sesungguhnya sangat takut. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Pilihan manapun hanya akan berujung pada kesengsaraan dan nantinya akan mengantarkanku pada kematian. Kembalinya diriku pada wujud asliku takkan menjamin bahwa aku akan bahagia. Karena itu, aku memilih untuk mati lebih cepat, setidaknya aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan saat bersama denganmu." Souko memandang Hijikata yang duduk di hadapannya dengan tatapan sendu setelah pria itu melepaskan dekapannya.

Tentu saja Souko melakukan tindakan bodoh itu setelah berpikir matang-matang. Walau di tengah jalan ia merasa ragu, tetapi Souko tetap melanjutkannya setelah pria itu menyatakan cinta padanya. Bisa dibayangkan betapa bahagianya dia?

Walau setelah itu ia harus kembali menderita karena menyadari bahwa Hijikata jatuh hati bukan pada dirinya yang asli. Walau ia harus merasa sesak karena dirinya yang asli telah dilupakan dan digantikan. Dan kemungkinan paling parahnya, bagaimana jika Hijikata menemukan seseorang yang penampilnnya mirip dengan dirinya? Apa selama ini Hijikata memang hanya menyukai wujud luarnya saja? Souko tak ingin membayangkannya.

"Ini salahku. Maafkan aku. Kumohon, hentikanlah. Sudahi perbuatanmu. Aku tak ingin kehilangan siapapun lagi."

Ah, benar. Sudah cukup Hijikata kehilangan wanita yang dicintainya. Pria itu tak sanggup membayangkan kalau dirinya akan kehilangan sang adik dari wanita itu. Bocah yang sudah cukup lama berada di sisinya dan selalu bersama dengannya, dan bocah itu jugalah yang tanpa dia sadari telah lama mengisi relung hatinya.

"Kalau begitu, katakanlah, Hijikata-san. Kenapa kau menyukaiku? Apa karena aku sepintas mirip dengan Ane-ue sehingga membuatmu kalap?" Gadis itu bahkan tak menyangka bahwa bibirnya akan mengajukan pertanyaan semacam itu pada sang pujaan hati. Rasa penasaran dan kesadarannya kini tak sinkron, bagai terbagi ke dalam dua kubu dan saling bertarung.

"Kau bukan Ane-ue-mu. Walau wujud kalian kembar sekalipun, aku tak bisa melihat dirinya dalam dirimu." Hijikata membalasnya dengan wajah datar. Pria itu juga tak menyangka jika Souko akan mengungkit bagaimana perasaannya pada sang kakak yang telah lama terkubur itu. Namun Souko justru memandangnya dengan tatapan meremehkan. Bibirnya siap terbuka untuk melontarkan cercaan.

"Memangnya apa yang kausukai darinya? Jangan munafik. Kau bisa saja menjadikanku sebagai pelarian karena kau tidak mampu merealisasikan niat mesummu padanya. Kau takut dikatai macam-macam kalau melakukannya padaku yang berwujud pria, itu sebabnya kau begitu mudah menyatakan cinta padaku saat aku berwujud wanita, 'kan? Heh, berterimakasihlah karena aku telah mewujudkan mimpimu. Kenapa kau tidak membiarkanku mati lebih cepat saja kalau begitu?" cerocos gadis itu tanpa henti, membuat Hijikata mengurutkan pangkal hidungnya karena tak sanggup membalasnya satu per satu.

"Niat mesum? Lucu sekali. Bukankah kau sendiri yang menggodaku?" Pria itu terkekeh kecil.

"Aku melakukannya untuk mengetesmu." balas gadis itu cepat.

"... Jadi kau melakukannya bukan atas dasar mencintaiku?" Iris keduanya bertemu, saling melempar pandangan mengejek.

Souko mendengus menahan tawa.

"Lihat siapa yang bertanya. Bercerminlah. Apa kau melakukannya atas dasar mencintaiku juga? Bukankah kau sama sekali ... tak peduli pada perasaanku? Kau hanya mempedulikan harga dirimu. Kenapa kau harus melarangku agar berhenti? Bukankah dengan melakukan ini, kau juga akan bahagia?"

Hijikata bungkam. Ia meneguk salivanya dengan susah payah. Semua yang dikatakan Souko memang benar adanya. Dan diamnya Hijikata hingga menit berikutnya membuat Souko yakin kalau pria itu sudah tak bisa mengelak.

"Aku membencimu, Hijikata-san." Jelas itu adalah sebuah kebohongan. Souko menginginkan Hijikata untuk setidaknya memberinya jawaban ... meskipun jawaban itu mungkin akan menyakitinya. Namun pria itu hanya menutup mulut seperti itu dan hanya bergeming. Manik birunya memang menatap ke arahnya, tetapi Souko yakin bahwa pikirannya berada di tempat yang tidak bisa gadis itu jangkau. Apa yang sedang dipikirkan pria itu? Apakah Hijikata sungguh tak peduli pada perasaannya? Ataukah alasan dibalik pernyataan cinta Hijikata padanya hanya karena pria itu menyukai sebatas parasnya belaka?

Mata Souko memanas. Ia yakin liquid bening yang mengaburkan pandangannya itu bisa tumpah kapan saja.

Meski pandangannya terhalang oleh air mata, manik merah Souko masih bisa menangkap raut frustasi dari wajah Hijikata.

"Sougo, hentikanlah. Kau boleh membenciku, kau boleh mengutukku, tapi kumohon hentikan perbuatanmu."

Ah, hanya perkataan larangan tanpa alasan yang jelas. Mata gadis itu terpejam seiring dengan napas yang terembus dari hidungnya, merelakan air matanya berjatuhan dari pinggir kelopak matanya hingga menyusuri pipinya.

"Hijikata-san, kau bahkan tak bisa memberikan alasan kenapa aku harus menghentikan perbuatanku. Kutanya sekali lagi, kenapa kau bersikeras menginginkanku berhenti?"

"... Aku tak bisa melihatmu membunuh dirimu sendiri dengan perlahan." Perkataan pria itu membuatnya tertawa. Souko melayangkan pandangan meremehkan pada Hijikata meski liquid asin itu terus mengalir dari sudut matanya.

"Apa pedulimu? Memangnya apa yang akan terjadi kalau aku kembali menjadi pria?" tanya gadis itu dengan nada dingin.

"Aku akan jadi homo."

Manik merah Souko terbelalak lebar, bibirnya terbuka seperempat karena merasa takjub. Ia sama sekali tidak menyangka jika Hijikata akan memberikan jawaban seperti itu. Entah dari mana, perutnya kini seolah dipenuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan, dan perasaan senang yang tak tertahankan. Namun dia berusaha menutupinya.

"Lelucon yang bagus, Hijikata." ujarnya sarkastik seraya menyeka air matanya.

"Itu bukan lelucon."

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Hijikata memutuskan kontak mata mereka dengan memejamkan mata. Ada jeda sejenak hingga pria itu kembali membuka bibirnya untuk meneruskan perkataannya.

"... Dulu, aku menyukai kakakmu,"

Souko terlonjak kaget. Tak pernah sekalipun dia menyangka bahwa kalimat itu akan mengucur langsung dari mulut Hijikata. Tidak. Walau ia tahu cepat atau lambat pria itu akan memberikan jawaban yang mungkin akan menyakiti hatinya, nyatanya gadis itu sama sekali belum siap untuk mendengarnya. Gadis itu belum siap untuk mendengar pernyataan dari Hijikata yang mungkin akan membuat jarak di antara mereka semakin menjauh.

Namun, bukankah ini adalah klimaksnya?

Rasa penasaran yang selama ini memenuhi dadanya akan terjawab; mengenai bagaimana sesungguhnya perasaan pria itu padanya.

Belum juga Hijikata meneruskan perkataannya, air mata gadis itu sudah memenuhi indera penglihatannya lagi.

"Dia adalah tipe ideal bagi banyak pria. Cantik, ramah, baik, kalem, bagaikan seorang putri bermartabat. Hanya dengan melihatnya tersenyum lembut saja sudah berhasil membuat hati bergetar. Namun, aku sama sekali tidak pernah membayangkan untuk hidup bersamanya walaupun dia adalah tipe idealku. Dan ideal hanyalah sebatas ideal.

Seorang pria yang tangannya selalu berlumuran darah sepertiku tak pantas mendapatkan gadis cantik yang sempurna sepertinya. Bagai serigala yang berharap bisa bersama dengan angsa cantik, bahkan hal itu takkan terjadi dalam mimpi. Aku takut menghancurkan kesempurnaan gadis itu dengan diriku yang menyedihkan jika terus berada di sampingnya. Satu hal yang pasti, aku hanya ingin dia bahagia, karena dia pantas mendapatkan itu. Dan aku tak bisa memberikan kebahagiaan itu padanya. Karena itulah aku mengubur perasaanku dengan tak pernah menemuinya lagi."

Souko mendengarkannya dengan saksama tanpa berniat memotong perkataannya, walau ia hanya bisa menunduk karena tak mampu membayangkan bagaimana wajah pria itu saat mengatakannya. Ia juga tak ingin Hijikata melihat wajah jeleknya yang sedang menangis. Hidungnya kini sudah berubah warna menjadi merah. Ekspresinya pun pasti sangat jelek karena bibir gadis itu terus-menerus menekuk ke bawah. Namun Hijikata masih melanjutkan perkataannya.

"Kau yang sekilas mirip dengannya tak jarang membuatku kembali memikirkannya. Namun kalian adalah orang yang berbeda. Gender kalian pun berbeda. Kau yang kerap kali berusaha membunuhku dengan berbagai cara dalam tiap kesempatan rupanya membuat hariku terbiasa diisi oleh dirimu. Satu hari tanpa dirimu saja memberikan dampak padaku. Apa kautahu bagaimana tersiksanya diriku saat kau mengabaikanku selama seminggu? Itu membuatku gila tanpa alasan yang jelas. Hidupku terasa monoton tanpa adanya dirimu.

Kupikir aku jatuh cinta pada keberadaanmu. Melihat rambut cokelatmu di tengah keramaian saja sudah membuatku tersenyum. Tanpa sengaja mengendus parfummu sudah membuatku tenang. Semua hal yang berkaitan denganmu sudah membuat jantungku berdebar. Awalnya aku tak sadar bahwa itu adalah cinta, karena aku tak pernah berpikir bahwa aku bisa jatuh cinta pada sesama jenis.

Namun, entah sejak kapan, rasa itu semakin menguat. Aku sudah panik jika aku tak melihatmu barang semenit. Aku teradiksi olehmu. Ketika memikirkan hal itu, aku merasa takut. Aku tidak bisa membiarkan diriku dicap pedofil dan homo sekaligus. Egois, 'kan? Tapi aku juga sama sepertimu, aku juga takut apabila dirimu akan menatapku jijik dan mencemoohku lalu menjauhiku bila aku menyatakan perasaanku padamu.

Karena itulah selama ini aku selalu menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Tapi tak kusangka bahwa hal yang kulakukan untuk melindungi harga diriku justru menyakitimu, sebab aku tak pernah berpikir bahwa kau akan memiliki perasaan yang sama padaku.

Saat melihatmu dalam wujud ini, entah kenapa segala perasaan yang kubendung padamu selama ini tumpah. Aku kalap dan tak bisa mengendalikan diriku apalagi saat kau menggodaku. Dan bodohnya aku membiarkan diriku menikmati permainanmu. Juga tanpa sadar aku telah menyakitimu sekali lagi. Maafkan aku."

Gadis itu tak sanggup menahan tangis. Bahunya kian bergetar, wajahnya ditutupi kedua tangannya agar suara tangisnya tak lolos dari bibirnya, membuat Hijikata tak bisa melihat ekspresi gadis itu.

"... Maka dari itu, mulai saat ini aku akan menyatakan perasaanku padamu dengan terang-terangan. Tak peduli bagaimana tanggapan orang padaku dan pada kita nanti. Aku tak ingin melihatmu tersakiti karena mencintaiku. Aku tak ingin kehilangan orang yang berharga bagiku. Aku ingin menikmati hidupku lebih lama denganmu. Aku ingin membuatmu bahagia. Jadi, hentikanlah perbuatan menyiksa dirimu itu. Oke, Sougo?"

Hijikata meraih kedua pipi gadis itu dengan tangannya. Gadis itu mengangguk pelan seraya menjauhkan tangan yang menutupi wajahnya. Pelupuk mata dan pipinya sudah basah oleh air mata. Ia tak menyangka bahwa jawaban Hijikata yang ia kira akan menyakitinya justru lebih baik dari yang ia ingin dengar. Hijikata menatapnya lembut, tak lupa senyuman tipis menghiasi wajahnya. Ia mengusap jejak air mata dari pipi Souko sembari mendekatkan wajahnya untuk memperkecil jarak di antara mereka.

Setelah satu kecupan dari Hijikata mendarat pada bibir tipis sang gadis, perlahan tubuhnya berubah ke wujud semula bertepatan dengan habisnya waktu Sougo mempertahankan wujud perempuannya. Hijikata menatap pemuda di depannya dengan sendu—juga rindu yang teramat dalam. Dielusnya rambut pendek Sougo yang secokelat karamel itu dengan lembut, lalu tangannya turun untuk menyeka kedua pipi sang pemuda yang dibasahi air mata, diusapnya pula bibirnya yang pucat, tak lupa juga meraba bahunya dan merasakan otot-ototnya yang terlatih, kemudian turun menuju dadanya yang bidang, perutnya yang datar, hingga paha mulusnya yang terlindungi oleh kimono.

"Melihatmu dalam pakaian wanita dengan wujud aslimu tak buruk juga." goda Hijikata disertai seringai yang terbit pada sudut bibirnya.

"Rupanya kau benar-benar berubah menjadi homo." cemooh Sougo dengan suara seraknya, entah akibat menangis atau karena sudah lama tak berbicara dengan pita suara pria.

"Aku memang sudah homo, hanya saja lebih terang-terangan. Dan bukankah memang itu yang kauinginkan?" Pria itu tak juga berhenti menggodanya meski sudah dilempar nada cemoohan.

"Tch. Mati sana, Hijikata." Sougo memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona merah tipis yang menjalari pipinya, tetapi sayangnya Hijikata masih bisa menyadarinya, membuat seringai pria itu semakin tertarik ke atas.

"Heh, jadi ini yang kudapat setelah berhasil meyakinkanmu agar kembali ke tubuh aslimu?"

"Kenapa? Kau menyesal? Lebih suka saat aku menjadi wanita?" Sougo meliriknya dari ujung mata, menyipitkan matanya sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Tidak. Lagipula apa gunanya kalau akhirnya kau akan meninggalkanku?"

"Kau bisa menyusulku." balas Sougo singkat.

"Memangnya kau bisa menjamin bila wujudmu di alam sana nanti akan berubah menjadi wanita, eh? Apa bedanya dengan disini?"

Sougo mengumpat dalam hati. Ia kalah telak.

"Apa kau takut dengan tanggapan orang lain tentang hubungan kita?" terka Hijikata.

"... Sesungguhnya, iya. Apa aku harus operasi plastik dan ganti kelamin?" Sougo menghela napas pelan.

"Hei,"

Hijikata menangkupkan kedua tangannya pada kedua belah pipi Sougo lagi agar iris merah maroon yang memabukkan itu bersiborok dengan manik biru navy miliknya. Hijikata menutup jarak yang memisahkan mereka hingga kedua dahi mereka saling menempel, hidung saling bersentuhan, dan kedua bibir mereka bertemu. Pria berambut gelap itu memiringkan kepalanya untuk memperdalam ciuman mereka.

Merasa Sougo sudah luluh akan perbuatannya, Hijikata akhirnya melepaskan tautan bibir mereka dan beralih untuk membisikkan sesuatu pada telinga Sougo secara seduktif, sebelum Sougo sempat melayangkan protes karena Hijikata keburu mengakhiri ciuman mereka.

Wajah manis Sougo berhasil dihiasi semburat merah akibat mendengar bisikan sang pria yang berusia lebih tua beberapa tahun darinya itu. Dia mengangguk sekali lagi sebagai jawaban. Pemuda itu memejamkan matanya seiring dengan menipisnya jarak yang terbentang di antara wajah mereka akibat Hijikata tak kuasa memandang ekspresi yang ditunjukkan pemuda bermanik merah itu lebih lama.

.

.

.


'Asal kautahu, gendermu itu sama sekali tidak penting, karena yang penting itu adalah keberadaanmu. Asalkan kau selalu ada di sampingku, bagiku itu sudah cukup. Jadilah dirimu apa adanya. Tetaplah hidup dan biarkan aku mencintaimu, bodoh.'


.

.

.

OWARI


Author's Note:

Special thanks to: FujiAoiAomineSuki, Kahoriken, Rin Kazayuki, sadomaru, Do-S 1412, shiroisky, Aerosworld, adejunizaf17, Rin Kazayuki, Yuki Ryota.

Halo~ Apa kabar? *krik*

Oke, sudah berapa lama aku menelantarkan fanfic ini? Hehe, tiba-tiba aku kangen sekali dengan FFn dan OTP favoritku ini~ Jarang sekali ada yang bikin HijiOki T^T

Maaf atas keterlambatannya. Sejujurnya aku berniat untuk mendiscontinue fanfic ini karena tidak punya ide dan waktu untuk melanjutkannya. Selain itu, laptopku juga diserang virus, untungnya filenya masih aman, hanya saja tidak bisa buka browser.

Tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa masih ada readers yang mendukung fanfic ini dan menginginkan kelanjutannya. Jadi, sesuai harapan kalian, akhirnya aku berhasil menamatkannya! Yeay~ (atau mungkin kalian tak menyangka kalau fanfic ini akan tamat di chapter ini? Lol.)

Terima kasih banyak untuk cinta dan dukungannya!

Semoga kita bisa bertemu di kesempatan selanjutnya. Sampai jumpa! ^^

.

.

.

Sign,

Yumisaki Shinju


.

.

.

OMAKE


"Hijikata-san, kupikir Kondou-san dan Yamazaki masih ada di depan kamarku," ujar Sougo pelan seraya menatap pintu dengan pandangan khawatir.

"Mereka bisa menunggu." tukas pria itu tak acuh.

"K-Kamarku tidak dipasang alat peredam suara..." cicit Sougo pelan.

"... Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" Hijikata mengernyitkan dahi.

"Aku baru ingat." Sougo memandangnya dengan tatapan tak bersalah.

"Sial, jadi mereka dengar semua?!" umpatnya kesal.

Hijikata bangkit dan beranjak menuju pintu setelah merapikan pakaian yang ia kenakan. Ia menggeser pintu soji dan menemukan Kondou serta Yamazaki sedang terjungkal dari posisi duduk mereka. Iris Hijikata terbelalak kala menangkap darah mengucur dari lubang hidung keduanya. Hijikata tersipu, membuat wajah wakil komandan itu memerah karena malu dan amarah, dapat dibuktikan dari munculnya perempatan imajiner yang hinggap di dahinya.

"T-TOSHI! ANGGAP SAJA KAMI TIDAK ADA! SILAKAN KAU LANJUTKAN AKTIVITASNYA. KAMI TAK DENGAR DESAHAN ATAU APAPUN! SUNGGUH~" Kondou panik, ia segera menyeka darah dari lubang hidungnya dengan telapak tangannya asal seraya berdiri, tetapi malah membuat mimisannya mengalir semakin deras, membuat Hijikata justru semakin bertambah geram. Yamazaki hanya bisa bersembunyi karena takut akan disemprot wakil komandan iblis tersebut.

"PERGI KALIAN, DASAR PENGUPING SINTING!" Hijikata hampir akan melakukan percobaan pembunuhan pada sang komandan kalau saja tidak segera ditahan Sougo dan Yamazaki.


THE END XD