NARUTO dan karakter milik Kishimoto Masashi
Pt. 1: Dunia Tanpa Desa Shinobi
Klinik Hondo
Suatu tempat di Yokohama
-..-
Shikamaru meraih remote televisi menggunakan tangan kirinya yang tak dibebat gips dan mengganti saluran dengan malas-malasan. Sudah empat hari dia menonton dengan seluruh saluran yang bisa dia akses di ruang tunggu klinik ini, memahami berbagai hal yang dia dengar dan dia lihat, lalu mencoba menyimpulkan berbagai hal yang bisa dia kumpulkan dari sekelumit pengalaman tadi.
Bagi seorang Shikamaru, waktu selama empat hari sudah lebih dari cukup untuk mengukuhkan hipotesanya. Dia berulangkali menyimulasikan kejadian sebelum dirinya terlempar ke dunia ini dan berhasil mendapatkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dia tertawakan bila saja dia tak mengalaminya sendiri.
Pertama; dia berada di sebuah negara 'Nihon', bukan 'Hi'. Dan jelas sekali klinik tempatnya berada sekarang tidak terletak di 'Konoha'. Tapi setidaknya bahasa yang digunakan di Konoha dan di tempat ini sama, bahkan, budaya kedua dimensi ini mirip.
Kedua; Tak ada seorangpun di sekitar situ yang familiar dengan kata 'shinobi' atau 'desa shinobi'. Hingga poin ini Shikamaru sudah tak bisa mempertahankan logikanya.
Lalu ketiga; kalau saja dia tidak bisa melakukan kagemanenojutsu setelah sampai di dunia ini, Shikamaru akan yakin dirinya hanyalah seorang imajinatif yang kelewat obsesif dengan ninja, dan kehilangan ingatan tentang dunia nyata akibat pikirannya sendiri.
Tapi Shikamaru percaya dirinya masih waras, karena masih bisa menggunakan ninjutsu klan Nara tersebut. Walau menguras begitu banyak chakra dari tubuh yang dia yakin tak pernah mendapat pelatihan shinobi.
Shikamaru mengulang-ulang ingatannya selama dua hari terakhir ini; delapanbelas tahun lalu dia lahir di Konohagakure no Sato, ibunya bernama Yoshino dan ayahnya bernama Nara Shikaku. Dia shinobi Konoha peringkat Jonin, baru-baru ini diangkat menjadi komandan pasukan. Shikamaru sangat yakin dengan fakta itu. Lalu bagaimana semua omong kosong ini bisa terjadi? Masalahnya, dia tak mengingat apapun kecuali bahwa dia sedang dalam perjalanan menuju Sunagakure.
Shikamaru menguap dan mematikan televisi dengan satu sentakan bosan. Dia mendengar bunyi dering dari bangku disebelahnya, menoleh ke arah yang dimaksud, bertatapan dengan wanita yang merogoh kantung roknya untuk mengeluarkan benda berwarna merah yang menjadi sumber dering. Wanita itu memberinya pandangan tanya, tapi Shikamaru seketika menjadi tertarik dengan poster kesehatan di dinding seberang.
Dia tak pernah mau tahu bagaimana cara mesin berwarna merah itu bekerja; warna dan bentuknya bervariasi tapi dia tahu kalau fungsi semua benda itu sama saja, sebagai pengirim pesan, mentransmisi suara seseorang dari jarak jauh... Mirip dengan wireless-radio, hanya saja jangkauannya lebih luas dan bentuknya lebih merepotkan.
Masih banyak hal yang harus dia ketahui, tapi yang lebih penting; apa yang harus dia lakukan setelah luka-lukanya sembuh? Dia tidak punya uang, mengaku tak punya ingatan, dan tak begitu yakin apakah ada seseorang dari dunianya yang juga terdampar di dunia ini sama seperti dia.
-..-
Hondo Matsuba membuka klinik miliknya sendiri lima tahun setelah lulus dari fakultas kedokteran Akademi Yokohama dengan tanah warisan kedua orangtuanya. Klinik Hondo sudah berdiri selama sepuluh tahun, dan selama sepuluh tahun ini baru sekali menangani pasien amnesia. Dia mendapat pasien yang dimaksud pada sore empat hari lalu, dibawa oleh seorang pria kelewat histeris.
Hondo menerima penjelasan berapi-api dari pria tersebut yang mengatakan kalau dirinya tak sengaja menabrak si pasien setelah jatuh ke atas kap mobilnya. Dia melakukan hal yang normal dilakukan semua orang; memanggil polisi. Bagaimanapun regulasi kecelakaan lalu lintas bukanlah bidangnya. Lagipula pria tersebut melakukan hal yang sangat bertanggung jawab jadi sekalipun mendapat hukuman mungkin sekali mendapat keringanan.
Kembali pada pasien tersebut; usianya mungkin tak lebih tua dari anaknya yang kedua. Si pasien mendapat luka-luka yang cukup parah di bagian kepala, memar di beberapa tempat, dan patah tulang tangan. Tapi menurutnya trauma di bagian kepala sangat jarang membuat orang kehilangan seluruh ingatannya. Sekali lagi, selama limabelas tahun karir dokternya, Hondo baru menemukan satu pasien dengan kasus seperti itu.
Dia memberi nama pasien itu sebagai 'Yamada' setelah polisi memberinya kewenangan penuh untuk mengurus pasien tersebut sebelum menerima keputusan lebih lanjut dari departemen sosial. Kemudian hari ini, setelah mengganti gips Yamada, dia mendapat berita dari perawat di bagian pendaftaran bahwa beberapa tamu dari departemen sosial dan kepolisian sedang menunggunya di kantor. Dia baru mendapat tambahan informasi bahwa ada sejumlah wartawan yang turut meliput.
-..-
Shikamaru mengawasi wajah ayahnya tersenyum. Eskpresi yang sangat salah bila berada di wajah Nara Shikaku. Saat ini Shikamaru berada di pelukan ibunya yang tersedu-sedu dan memanggil-manggil namanya dengan suara keras. Shikamaru ingin segera melepaskan diri, tidak hanya merasa sangat-sangat aneh tapi juga karena ibunya berteriak tepat di dekat telinga.
Satu hal lagi, dia dipanggil dengan 'Hiroshi'.
"Ehem,"
Shikamaru menatap dokter Hondo, laki-laki jangkung-pucat berkacamata yang merawat tangannya selama empat hari ini, dokter itu berkata, "Tuan Fujiwara, saya khawatir kalau Hiroshi-kun masih belum bisa—,"
"Omong kosong!" Shikamaru sedikit lega saat lehernya bebas, akan tetapi pundaknya langsung dicengkeram kuat-kuat, "Dia pasti ingat aku, ibunya... iya 'kan Hiroshi!?"
Sebelum dia bisa membuka mulut, ayahnya berkata, "Anak ini sudah sangat merepotkan anda tapi aku yakin dia akan baik-baik saja."
Shikamaru berdehem, mengalihkan perhatian banyak orang.
"Maaf... tapi siapa 'Hiroshi'?"
Ibunya memandanginya shock, mulut terbuka lebar, saling bertatapan dengan ayahnya yang mencoba memasang ekspresi tenang. Banjir airmata ibunya masih terus berlanjut. Shikamaru menahan keinginan untuk tidak menggaruk kepalanya kuat-kuat.
Pasangan suami istri ini memang memiliki wajah yang sama, tapi jelas mereka bukan orangtuanya.
Akademi Pertanian Tokushima
Shikoku bagian selatan
-..-
Hanya ada ladang soba, sejauh mata memandang.
Uzumaki Naruto menepis keringat di dahinya, mata menyipit ke arah matahari dan tangan kanan di pinggang, "Uwaah... panaass."
"Kou! Berteduh di sini lho~"
Naruto menoleh. Gadis yang sangat mirip dengan Shizune versi lebih muda ini bernama Kawamoto Masaki dan memanggil dirinya dengan 'Kou'.
"Yaa Shi... eh, Misaki-neechan."
Misaki mengernyit, "Hei, kenapa sih akhir-akhir ini kau selalu memanggilku 'neechan'?"
"Eeh... kebiasaan, eh, maksudku lagi pengen saja."
Naruto menggaruk kepalanya saat Misaki memberi pandangan curiga.
"Harusnya pihak sekolah membawamu ke rumah sakit kota. Mungkin ada yang salah dengan kepalamu sehabis adu kuat sama tembok itu."
"Oh. Ah... mungkin."
"Akhir pekan ini aku temani, gimana? Ke rumah sakit, maksudku."
Naruto tersenyum lebar dan menggeleng, "Nggak usah. Aku baik-baik saja."
Ini hari keenam sejak dia bangun di atas kasur suatu ruang pengobatan yang tidak dikenalnya. Naruto masih mencoba memahami berbagai hal untuk meyakinkan diri bahwa saat ini dia tidak sedang bermimpi. Dia berada dalam tubuh seseorang yang sangat mirip dengannya. Dia tahu itu bukan tubuhnya karena kyuubi tidak ada. Dia tahu kalau ini bukan negara Hi. Dia tahu kalau Konohagakure tidak pernah ada di bagian dunia ini.
Naruto sempat mengira dia berada dalam genjutsu. Tapi dia mustahil berada dalam pengaruh genjutsu. Dia cukup percaya diri dengan kemampuannya mengatasi genjutsu.
"Tapi," Naruto kembali teringat tayangan berita dari televisi tadi pagi, "Kalau mau mengantarku ke suatu tempat bernama Yokohama sih tak apa."
Masaki mengernyit heran. Naruto mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mungkin permintaannya terlalu general.
"Yokohama di Saitama? Ada apa di sana? Turnamen baseball?"
Naruto hendak bertanya apa itu 'turnamen baseball', tapi dia sangat yakin itu akan membuatnya semakin dicurigai.
"Ada... teman yang ingin kutemui."
"Ooh. Boleh. Mumpung minggu depan golden week. Ayo kutemani."
Restoran tradisional Miyazaki-ya
Hirano-ku, Osaka
-..-
Hyuuga Hinata menyapa balik seorang pria bertubuh besar yang dia kenali sebagai Akimichi Choza, hanya saja, Akimichi ini tidak memanggilnya dengan 'Hinata-sama' namun 'Aki-chan'.
Hinata sudah terbiasa dipanggil dengan 'Aki' sejak terbangun dari ranjang suatu rumah sakit, hampir dua bulan lalu. Saat terbangun dia mendapati berbagai macam selang keluar dari tubuhnya, sementara itu kaki-tangannya kaku luar biasa. Dia langsung tahu kalau anggota geraknya tersebut mengalami patah tulang dan bahwa dia sedang berada di dunia lain dimana orang-orang memanggilnya dengan 'Miyazaki Aki'.
"Mau langsung ke kamarmu?"
Hinata mengangguk. Dia tak banyak bicara sejak terbangun di dunia ajaib ini. Hinata lebih banyak mendengarkan; bagaimana dia menjadi satu-satunya orang selamat dari kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh anggota keluarganya, mengenai tubuhnya yang mengalami kerusakan syaraf dan akan mempengaruhi gerakan kaki, penjelasan dari dokter kenapa dia tidak dapat lagi melihat dengan normal setelah bangun dari koma selama sebulan- walau Hinata tak bisa bilang kalau sebenarnya dia bisa melihat dengan sangat jelas-dia tidak buta-pupilnya yang berselaput ini karena dia memiliki byakugan... Kemudian beberapa hari setelah terbangun di dunia-tanpa-desa-ninja ini, pria yang sangat mirip dengan ayahnya menjenguk. Pria itu mengajaknya ngobrol dengan tampang ceria, sesekali terlihat sedih saat melihat kondisi tubuh Hinata yang masih disokong selang-selang dan perban. Hinata mendapat nama 'Miyazaki Haruhisa' dari seorang suster jaga. Pria itu adalah saudara kembar 'ayah'nya. Keesokan harinya Haruhisa membawa anak laki-lakinya yang bernama Shintaro.
Itu pertama kalinya Hinata menangis di dunia ajaib ini. Ketika dia melihat wajah tersenyum milik Neji yang masih hidup.
Saat ini Shintaro berwajah Neji mendorong kursi roda Hinata ke arah tangga menuju lantai atas suatu rumah yang Hinata yakin adalah rumah keluarganya.
"Eh, kamarmu dimana sih? Kemarin dulu ayah yang mengambil baju-baju gantimu. Aku nggak tahu."
Hinata hanya bisa tersipu. Dia sendiri tidak tahu dimana kamar Miyazaki Aki.
Masuk ke dalam rumah milik keluarga Miyazaki yang berada di belakang restoran tradisional Miyazaki-ya pun baru kali ini dia lakukan.
"Di... disana," Hinata menunjuk sembarang ruangan.
"Hmm... seingatku ayah naik ke lantai dua, dan bukankah itu ruang cuci?"
"Anu...," Hinata berkata malu, "Tak usah naik ke kamar juga tak apa. Daripada merepot—aahh..."
"Akhir pekan ini aku dan ayah memang berniat memindahkan kamarmu ke lantai satu, jadi sampai semuanya beres kau tak usah sungkan dengan kami."
Shintaro menggendong Hinata dengan satu helaan nafas berat. Walau agak terseok saat mendaki dua anak tangga terbawah, dia masih bisa bertahan hingga mencapai sofa terdekat di lantai dua.
"Haahh... Tunggu disini ya. Kuambil kursi rodanya dulu."
Hinata membenamkan wajahnya yang memerah ke dalam telapak tangannya.
Dia langsung memutuskan untuk segera menggunakan ninjutsu medis bagi luka-lukanya. Tak mau tahu kalau nanti orang-orang mulai keheranan lagi dengan kecepatan penyembuhannya. Dia hanya tak ingin merepotkan orang-orang ini lebih lama lagi.
Kediaman keluarga Miyazaki
Belakang restoran tradisional Miyazaki-ya
Hirano-ku, Osaka
-..-
Perlu enam kali teguran bagi Chouji untuk bisa terbiasa dengan nama panggilan baru wajah-wajah yang begitu familier itu. Di teguran ke enam, dia kembali terkaget-kaget setelah melihat seseorang masuk ke dalam dapur rumah 'keluarga Miyazaki' itu; seorang gadis yang memakai kursi roda.
"Woah... ada Hinata juga."
Perempuan muda yang berwajah mirip Tenten menepuk bahu Chouji keras-keras.
"Siapa lagi itu 'Hinata', senpai? Tokoh game mana?"
"Abaikan dia, Sandy, bocah ini habis dari rumah sakit. Dia jadi agak aneh sejak itu."
"Rumah sakit? Senpai?!" pemuda berwajah Lee membalas keheranan.
"Kena stroke ringan. Mulai besok aku akan membuatnya banyak bergerak dan menjaga pola makan."
Chouji menatap ibunya—koreksi, wanita yang sangat mirip dengan ibunya—lalu kembali menyibukkan diri dengan piring-piring lauk di depan mata. Ibunya mendengus jengkel, menyingkirkan semua menu berminyak, dan menyodorkan sepiring sayur rebus khusus di depan anaknya itu. Chouji sendiri hanya bisa mengangkat bahu dan melanjutkan makan. Berwajah mirip atau tidak, sudah menjadi kebiasaannya untuk tidak membangkang perintah seorang wanita paruh baya.
Chouji, sambil menyibukkan diri dengan kunyahan, masih menganggap dia sedang bermimpi.
Dua hari lalu dia terbangun oleh isakan seorang wanita. Saat membuka mata dia tahu kalau wanita itu adalah ibunya. Chouji menggumamkan rasa tak nyaman selama beberapa detik, lalu dia mulai bertanya-tanya mengapa ibunya menangis di atas kepalanya.
Dia baru saja menyelesaikan misi di negara Mizu dan pulang dengan selamat 'kan? Dia sedang ada di atas ranjangnya, menikmati istirahat panjang setelah misi melelahkan itu 'kan?
Lalu kenapa dia terbangun di ruangan yang jelas-jelas bukan kamarnya, sambil dikelilingi beberapa orang berpakaian putih-putih?
Chouji juga bertemu dengan pria yang sangat mirip dengan ayahnya. Pria itu bekerja sebagai juru masak restoran, yang berdasarkan cerita ibunya, baru akan kembali dibuka setelah pemiliknya meninggal. Di hari pembukaan di rumah pemilik restoran itu, Miyazaki-ya, Chouji bertemu dengan tim Hyuuga Neji. Hanya saja, entah mengapa, Chouji tahu kalau cuma wajah mereka yang mirip.
"Anu," gadis berwajah Hinata mendekat ke arahnya, Chouji mulai menghentikan gerakan tangan. Semua orang mengobrol seru sehingga suara kecil milik gadis itu hanya bisa didengar olehnya, "Chouji... bukan?"
Akhirnya ada yang tidak memanggilnya dengan nama absurd 'Kenta' itu lagi.
Ruang operasi
Rumah Sakit Hachioji, Tokyo
-..-
Sakura mencoba membuka mata. Otaknya memaksa, namun tubuhnya tak berdaya. Dia seperti tidak sedang berada di tubuhnya sendiri. Sedetik kemudian dia langsung tahu kalau sedang berada dalam kendali obat bius.
"Dokter, vital!"
Sakura mencoba menggerakkan kakinya namun tangan seseorang menekan kuat betisnya.
"Anestesi? Tadi dosis OK 'kan?"
"Vital!"
"Tenang. Tambah dosis."
"Ok. Mulai induksi..."
Seseorang menyentuh sisi wajahnya, Sakura berjengit namun tak bisa bergerak.
"Haruhi, sayang... Percayakan semua pada Papa, kau pasti bisa."
Sakura bisa mendengarnya. Dia mengenali itu sebagai suara ayahnya. Dia sempat membuka mata, berharap bisa memberikan balasan, "Heeeeh? Papaaa?!" namun hal terakhir yang bisa dia lakukan adalah melihat kelebatan hijau dan lampu sorot di atas badannya.
-..-
Bunyi lemah shutter mesin menjadi latar belakang suara saat Sakura menatap nanar ke langit-langit suatu ruangan tertentu. Ruangan ini berpenerangan remang namun dia bisa melihat jelas sekelilingnya. Dia tidur di ranjang, dari baunya kemungkinan ranjang rumah sakit. Selang infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Jadi memang benar dia sedang berada di rumah sakit. Bila berdasar ingatan terakhirnya sebelum pingsan, kemungkinan besar ada yang melakukan operasi padanya.
Sakura merasakan perih di sisi kanan perut. Sudah menjadi kebiasaannya untuk langsung melakukan diagnosa dengan chakra. Dia langsung sadar, berdasar kualitas chakra yang dirasakan, walau memiliki inti yang sama namun chakranya kali ini berbeda karakter. Kuantitas chakra-nya tidak seperti ini.
Sakura hendak melakukan ninjutsu medis untuk mengobati bagian tubuhnya yang sakit, tapi dia mengurungkan niat saat mendengar suara langkah kaki dan obrolan dari luar ruangan. Saat pintu ruangan itu terbuka, Sakura pura-pura masih tidur. Dua orang masuk dan duduk di sofa agak jauh dari ranjangnya.
"Biar aku tidur di sini. Papa, untuk saat ini, istirahat saja. Sudah tiga jam sejak operasi Haruhi, dia sudah stabil 'kan? Sudah tak apa... Papa pasti capek."
Itu suara ibunya. Dia juga mendengar gumaman jawaban dari ayahnya.
"Tenanglah. Ada polisi juga kok."
"Jangan pulang ke rumah sementara ini," kali ini suara ayahnya terdengar jelas, "Ada kemungkinan mereka membuntuti Haruhi sampai rumah. Kau bisa diserang," ibunya menggumamkan sesuatu yang tak bisa dia dengar namun jawaban ayahnya masih jelas, "Mana bisa tidur. Aku akan mengawasi polisi kalau perlu— biar mereka cepat menangkap bangsat yang menyerang Haruhi."
Sakura tak lagi menyimak obrolan itu. Dia bertanya-tanya, siapa itu 'Haruhi'?
Dermaga kapal nelayan
Suatu tempat di Teluk Tokyo
-..-
Bunyi isakan di dekat telinga dan terpaan air hujan di wajah tentunya bukan pilihan favorit Sai untuk dibangunkan. Dia mencoba mengangkat tangan untuk menghela hidung seseorang yang terlalu dekat dengan lehernya. Helaan nafas orang ini menganggunya saja. Sai mengangkat tangannya dan agak kaget karena respon tubuhnya lemah. Walau begitu dia berhasil mendaratkan satu tamparan kecil ke pundak orang tersebut.
Dia ingin menegur galak, "Siapa?" tapi yang keluar dari mulutnya adalah air asin. Sai mencoba menelan beberapa kali, membuka mulut untuk meminum air hujan. Sekedar melegakan kerongkongannya yang perih. Orang yang memeluknya berhenti terisak saat Sai menyentuhnya tadi. Dia membalikkan tubuh Sai dengan segera, memandang wajahnya. Bisikan singkat keluar dari mulut orang itu, bergetar, dengan ekspresi sedih, "Tsukasaaa... syukurlaahh."
Orang itu cegukan dan kembali terisak, lalu memeluknya lagi. Kali ini lebih kuat.
Sai terperangah. Air hujan menetes keluar dari mulutnya yang setengah terbuka. Orang yang memeluknya adalah Shin. Bagaimana mungkin? Tapi Sai memilih untuk bergumam lemah,
"Siapa yang kau panggil Tsukasa, eh?"
Apartemen keluarga Ito
Edogawa, Tokyo
-..-
Hujan deras disertai angin kencang melanda daerah itu sejak subuh. Walau sudah lama mereda dan lewat tengah hari, matahari masih tertutup mendung sehingga suhu udara tetap rendah. Tetesan air masih turun dari atap dan jatuh ke genangan air di bawahnya. Hawa yang dingin dan lembab itu memaksa orang-orang untuk berlindung di dalam ruangan. Yamanaka Ino menyentuh bekas luka melintang di pergelangan tangan kirinya. Dia tak ingat pernah mendapat luka itu. Lagipula luka semacam ini bisa dihilangkan dengan sedikit trik ninjutsu medis. Bukan hanya bekas luka itu saja. Tiga hari lalu, saat dia terbangun dengan berbagai selang keluar dari beberapa lubang di tubuhnya di ruangan ini, Ino tak pernah ingat dia sedang berada dalam masa perawatan untuk luka atau penyakit apapun. Dia sangat sehat, dan seingatnya baru pulang dari kencan dengan Sai setelah misi menyebalkan di Amegakure itu.
Ketika terbangun dengan kondisi bingung itu, ada beberapa orang dengan wajah tak dikenal yang menjenguknya. Mengucapkan kalimat-kalimat semangat yang dia tak tahu apa maksudnya... Dari berbagai wajah yang dia temui, hanya ada dua wajah yang dia kenal; ayah dan ibunya. Tapi ada yang salah dengan mereka. Ayahnya mengajak bicara dengan bahasa yang tidak dia mengerti, dan ibunya kelihatan terlalu modis. Mereka juga tidak tampak seperti shinobi.
Ibunya juga memiliki obsesi berlebihan untuk selalu mengawasi. Dia membuat Ino selalu meminum obat dalam berbagai bentuk, membuatnya makan dan minum secara teratur, dan melarangnya keluar. Hingga saat ini Ino bertahan di ruangan dan rumah itu, karena dia sendiri juga tak tahu harus melakukan apa. Keinginan untuk mendapatkan informasi dikalahkan oleh keinginan untuk membuat tubuhnya sehat lagi. Dia memang sudah terlepas dari sokongan selang-selang, namun ketika melihat tubuhnya pertama kali di cermin besar, Ino tak bisa menahan diri untuk tidak meneriakkan, "WOW! Itu aku atau tengkorak!" jadi dia memutuskan untuk fokus pada tubuhnya dulu. Begitu bisa bergerak bebas, Ino bermaksud untuk mencari jawaban, kenapa orang-orang memanggilnya dengan 'Kumi-chan' atau 'Kumiko'.
Satu jawaban terpecahkan kemarin, saat dia menemukan satu majalah di salah satu kabinet di kamar itu yang memuat artikel wawancara tentang dirinya. Berdasar artikel tersebut, dia bernama Ito Kumiko; aktris muda multi-talenta yang memiliki panggilan 'Itokumin' dari para penggemar. Ino melempar majalah itu sambil tertawa keras... Itokumin?! Yang benar saja!
Tapi dia mendapat banyak informasi berkat tulisan tersebut.
Dia adalah idol blasteran Jerman-Jepang. Ayahnya orang Jerman. Ino mencatat, dari karakter tulisan itu bisa disimpulkan kalau Jerman dan Jepang adalah nama suatu negara. Jadi benar dia tidak sedang di Hi. Mungkin juga di sini tak ada negara dengan nama Hi.
Ino sungguh-sungguh berharap dia sedang kena genjutsu.
"Kumi. Sedang apa?"
"Meditasi."
Ino menjawab sambil lalu. Dia memakai kepalanya sebagai tumpuan. Kedua kaki bersilang di atas.
"Sejak kapan bisa begitu?" wanita yang berwajah sama dengan ibunya, walau lebih modis, memandang takjub. Ino langsung sadar dia tak seharusnya bisa melakukan itu. Jadi dia mengganti posisi bosannya dengan yang lebih normal.
"Makan sampai habis."
Tak perlu disuruh pun dia akan memakan habis jatah makanan enak yang disiapkan itu.
Departemen rehabilitasi
Rumah Sakit Umum di Yokohama
-..-
"Chihiro-kun... perkembanganmu luar biasa."
Kiba memasang ekspresi netral pada perawat yang menjadi partner rehabilitasinya selama dua minggu ini.
"Padahal estimasiku sih dua bulan baru bisa pakai otot kaki. Mau lihat hasil scan tulangmu? Benar-benar sudah menutup sempurna. Luar biasa! Dokter ortopedimu saja tak percaya."
Kiba masih bertampang netral. Padahal dia sedang membatin jengkel, "Sudah lepas saja gips ini! Bikin gatal."
"Kalau begini sih kau sudah langsung bisa pakai crutch minggu depan."
"Minggu depan? Huh, besok aku sudah bisa jalan kalau kalian pakai ninjutsu."
"Mulai besok rawat jalan saja."
"Baguslah. Bau di sini bikin mual."
"Masih denganku ya, besok?"
"Kalau bisa aku pengen perawat cewek.'
Kiba tak bisa menghindar saat tangan seseorang menjitak kepalanya.
"Chihiro! Sopan sedikit kenapa sih?"
Kiba menoleh dengan mata berair. Walau bau tubuhnya beda, namun pukulan tak terduga milik wanita berwajah mirip dengan kakak perempuannya ini memiliki probabilitas kena di atas rata-rata.
"Aku ini pasien lho," katanya getir.
Perawatnya tertawa kecil. Dia mempersilahkan keduanya untuk kembali ke kamar pasien dan mengingatkan Kiba untuk rutin melatih genggaman tangan. Kiba sendiri hanya mengangguk. Takut menerima pukulan lain kalau masih menjawab sinis.
"Aku harus berangkat lebih awal," wanita yang bernama Matsuoka Chikara dan berperan sebagai kakak perempuan Kiba itu berkata sambil mendorong kursi roda adiknya, "Tak apa 'kan kutinggal? Ibu juga nggak bisa meninggalkan klinik. Baru banyak pasien."
Kiba menjawab dengan gumaman rendah, "Hmnh."
"Yakin? Jangan nangis lho ya..."
Kiba ingin menjawab kalau dia lebih ingin menangis saat menyadari tubuhnya lebih pendek saat bangun di dunia aneh ini, hampir sebulan lalu. Tapi dia menahan diri dengan decak tak sabar.
"Aah... Aiko-chan titip pesan juga, katanya, tim studio Alpha mau menjengukmu lagi hari ini. Tapi karena besok kau sudah pulang, kubilang padanya lebih baik jenguk di rumah saja."
Kiba mengingat serombongan orang datang ke ruangannya minggu lalu. Dia tak mengenal mereka, jadi percuma.
"Oh. Yaa..."
Kiba bertekad sepenuh hati untuk segera menyembuhkan diri. Kalau sudah bisa menggunakan kakinya, dia merasa bisa melakukan apapun untuk mencari tahu kenapa dia bisa berakhir di dunia tanpa desa shinobi ini.
Kamar pasien bangsal Sakura nomor 8
Rumah Sakit Hachioji, Tokyo
-..-
"Jadi...?."
Shino, yang duduk di sofa tamu dan berwajah bingung, saling berpandangan dengan Sakura yang duduk di ranjang. Shino tak mengatakan apapun, jadi Sakura memutuskan bahwa dia akan berperan sebagai narator bagi keduanya.
"Namamu... Akiyama Hiroya, dan aku Mishima Haruhi..."
Shino tak bergeming. Fakta ini membuat Sakura agak jengkel, "Salaaahhh! Namamu Aburame Shino! Aku! Haruno Sakura Shanarooo! Dengar ya Shino... ini teoriku. Sepertinya kita ada di dunia ini dengan menggantikan peran orang yang mirip dengan kita. Haruhi ini, kupikir, sudah meninggal. Tapi aku masih belum tahu; bagaimana caranya? Untuk apa? Dan kupikir kemungkinan ini juga harus ada; siapa yang melakukan ini semua? Sebelum kau datang dan mengenalkan diri dengan Akiyama Hiroya tapi memanggilku dengan Sakura, bukan Haruhi. Kupikir cuma aku yang mengalami ini."
Sakura bernafas berat. Perutnya yang terluka terasa perih. Dia belum menggunakan ninjutsu medis karena yakin akan membuat ayahnya yang seorang dokter curiga.
"Kalau kau bisa terjebak di sini juga, berarti ini bukan genjutsu," Shino berdehem kalem, "... jadi Hiroya ini sudah mati... dan aku tak menyangka ibumu mengenalku sebagai—,"
"Dia bukan ibuku," Sakura menjawab cepat, "Bagaimana caranya kau bisa di sini?"
"Sepertinya aku dan teman-temanku mengalami kecelakaan. Mereka luka parah, hanya aku yang selamat tanpa luka berat. Dokter bilang aku sudah bisa pulang. Saat itulah aku bertemu dengan ibumu."
"Kubilang, dia bukan ibuku."
"Dengar dulu. Dia bilang kita pacaran."
Bulu kuduk Sakura meremang, "Pa-pa-paa?!"
Shino menjawab tak acuh, "Aku mengikuti wanita itu karena mirip ibumu dan dia bilang kalau kau mungkin bisa sedikit ceria kalau bertemu denganku."
Sakura, masih berwajah merah, kembali bicara setelah bisa mengatasi gagapnya, "Kau bertemu orang lain yang tahu kalau namaku Sakura dan namamu Shino?"
Shino menggeleng, "Laki-laki yang mirip dengan ayah memanggilku Hiroya."
Mereka diam selama beberapa saat. Sakura masih mencoba mengingat hal terakhir yang dia lakukan sebelum bangun di dunia ini. Ingatan terakhirnya adalah menggosok gigi sebelum tidur.
"Shino... kau yakin kita pacaran?"
"Maksudmu, Hiroya dan Haruhi? Hati-hati dengan pemilihan kata."
Departemen rehabilitasi
Rumah Sakit Umum di Yokohama
-..-
Satu hal yang bisa membuat Sasuke tidak melupakan pikiran rasionalnya adalah Sharingan.
Kalau saja dia tidak memiliki mata itu, dia tak akan tahu kalau tidak sedang berada dalam pengaruh genjutsu. Dia tak akan tahu bahwa itu benar sosok ibu, kakak, dan ayahnya, bukan bunshin. Tapi dia juga harus menahan diri karena sepertinya Sharingan termasuk hal asing di sini. Dia segera menon-aktifkan dojutsu itu setelah ibunya mendelik kaget.
"Dokter! Tadi saya benar-benar melihat matanya berubah merah... itu tak apa?!"
Ibunya terisak di dekat ranjang tempatnya terbaring. Pria berpakaian putih berkata menenangkan, "Mungkin anda capek, Himura-san. Saya sudah memeriksa tanda-tanda vital Toranosuke-kun. Dia baik-baik saja, untuk saat ini."
"Untuk saat ini?" ibunya menjerit tak senang. Ayahnya di belakang berusaha menenangkan.
"Koto, jangan mengganggu pasien lain. Dokter bilang Tora baik-baik saja 'kan?"
"Belum setengah jam tadi dia bilang kalau sudah tak ada harapan lagi bagi anak kita, dan kau bisa percaya itu?"
"Ibu," kali ini kakak lelakinya, yang berambut lebih pendek, ikut memegang tangan ibunya, "Ibu boleh nggak percaya dokter, tapi percayalah sama Tora."
Sasuke tak punya energi untuk bergerak. Dia melihat dari sudut matanya saat ibunya memeluk Itachi, dan saat Itachi menatap lurus-lurus padanya sambil berkata, "Berjuanglah, dik."
A/N: Retensi adalah fiksi kolaborasi dengan shinseina, paragraf awal soal Shikamaru pernah dipublish di akun beliau dibawah judul Shinkokyuu. Alasan dipublish dengan akun justaway00 karena yang bersangkutan kalah suit -_-;
Fiksi ini adalah hasil debat duo writers soal 'Dunia ini sudah busuk, kita butuh ninja untuk memperbaikinya' dan 'Apa jadinya kalau tokoh manga nyasar di dunia nyata?' dan 'Nggak mustahil kok karakter NARUTO kesasar di dunia nyata... 'kan ada Kamui dari Dojutsu Mangekyo Sharingan-nya Obito'
Singkatnya, Retensi adalah tulisan hasil kolaborasi fetish dua kimota [kimoi otaku; disgusting otaku]. Tolong jangan bunuh kami... dan terima kasih sudah mampir.