Every Single Thing About You

Kim Mingyu

Jeon Wonwoo

Park Jimin And Min Yoongi

Woozi

Jeon Jungkook

Kim Namjoon and Kim Seokjin

.

.

"Tae-hyung…"

"Ku mohon.. kita tidak bisa… tunggulah sebentar. Aku akan kemballi."

Jungkook menangis sambil mengusap perutnya yang kian membesar. Yoongi memeluknya dari samping. Sementara tiga orang lainnya saling menguatkan satu sama lain saat melihat adik terkecil mereka akan kehilangan separuh jiwanya—meski untuk sementara.

"Taehyung. Kita harus bergegeas." Hoseok yang berada dibelakang lelaki bersuara bariton tersebut memegang pundaknya. Menguatkan sang sahabat.

Taehyung memeluk Jungkook sekali lagi. Lalu bersimpuh memandang perut kekasihnya. Mengusapnya pelan. "Tumbuhlah dengan baik. Jangan membuat eomma mu khawatir… Appa akan mengusahakan yang terbaik untukmu."

Hoseok memalingkan wajahnya. Jungkook sudah terisak selama perjalanan ke stasiun ini dan ketika menunggu kereta datang. Hoseok tidak bisa lagi mnyaksikan lebih banyak. Tapi siapapun tau, tidak mudah untuk Jungkook saat ini.

"Hyung, aku—"

Semua ucapan Jungkook dipotong oleh kecupan Taehyung di bibirnya. Lalu merambat naik ke kening. Taehyung menciumnya lama. Yang lebih muda memejamkan matanya, mereka setiap detik dimana bibir Taehyung menyentuh dengan lembut.

"Jaga diri kalian…"

Itu adalah kenangan terakhir dikepala Jungkook. Sebelum beberapa jam setelahnya mendengar berita kecelakaan kereta. Dan menewaskan Taehyung serta Hoseok seketika. Meninggalkan Jeon Jungkook—pemuda berusia 18 tahun—dan anak dikandungannya.

.

'''

.

Yoongi memijit pelipisnya. "Jungkook-ah…"

"Hyung ku mohon.. aku tau saat itu aku benar benar takut eomma menyakiti anak itu. Hyung tau kan? Aku menghilang bukan tanpa alasan. Aku terus mencari cara agar anak ku dapat diterima." Jungkook nyaris meninggikan suaranya.

Suasana café itu memang ramai. Ditambah lagi posisi mereka di pojok. Tapi tetap saja Jimin jengah dengan kelakuan sahabatnya ini. "Jeon Jungkook, turunkan nada suarammu."

"Aku sudah mengarang cerita, bagaimanapun, orang tuaku akan setuju. Cukup.. cukup kita yang tau sebenarnya." Jungkook kembali memohon pada Yoongi.

Jimin memandang Yoongi. Ia menyetujui ucapan yang paling muda. Ia hanya ingin mengambil anaknya kembali dan itu adalah tindakan yang benar. Tapi ia dan Yoongi juga merupakan orang tua karena merekalah yang merawat. Jungkook tidak akan semudah itu mendapat yang ia mau.

"Kau boleh mengatakan langsung padanya. Jangan salahkan aku atas segala reaksinya."

.

,,,

.

Wonwoo menggigit bibirnya gugup. Sedari tadi ia hanya duduk di kasur adiknya dan memandang tembok dengan gugup.

"Hyung?"

Diabaikan.

"Wonwoo Hyung. Ada apa?" Mingyu mengusap lembut rambut yang lebih tua. Menenangkan atas apapun yang merisaukannya

"Bagaimanapun, aku bukan anak eomma dan appa… Setiap aku sakit, aku bermimpi… seseorang memeluk ku. Itu bukan eomma atau appa. Seseorang… dengan suara berat… menyenangkan sekali bersamanya…". Wonwoo menunduk. Menggali ingatan masa kecilnya.

Mingyu terdiam. Kakaknya bukan anak kandung Park Jimin dan Yoongi?

Wonwoo tersenyum tipis. "Ya Mingyu.. Aku ingat, appa dan eomma pernah membicarakannya dulu saat tengah malam. Tentang kerinduannya akan sahabat sahabatnya. Dan kebingungannya bagaimana dan kapan akan memberitahu padaku bahwa aku memang bukan anak mereka."

Mingyu masih diam. Mencerna setiap perkataan kakaknya. Pikirannya seketika kosong. Bagaimana bisa, orang yang ia cintai seumur hidup ini, tidak memiliki marga yang sama dengannya?

Wonwoo menepuk paha adiknya lembut. "Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula lihatlah, mereka tidak membedakan kasih sayang antara kau, aku, dan Woozi. Tetap menyekolahkan kita. Memeluk kita ketika kita sedih."

Sang adik masih tidak memberi respon. Tapi ia menyadari, ada sudut hatinya yang lega.

"Apa.. orang itu tadi… ayahku?"

.

,,,

.

Jimin dan Yoongi memasuki rumah. Mereka membawa woozi dahulu ke kamar. Lalu memanggil Wonwoo. Jungkook duduk tenang di ruang tamu. Meski tenang, ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya berdebar. Ia memang sering mengintip anaknya itu ketika sekolah atau bermain. Tapi, rasanya berbeda ketika mereka bertatap wajah secara langsung.

"Wonwoo…" Jimin memulai pembicaraan. Ia, Yoongi, dan. Jungkook duduk berdampingan. Wonwoo serta Mingyu—yang dipaksa sang kakak untuk menemani—ada dihadapan kedua orang tuanya.

"Jungkook, perkenalkan dirimu." Yoongi mengucapkannya dengan sedikit isakan. Mengetahui, mungkin, mungkin Wonwoo akan membenci lalu pergi darinya.

Tapi Jungkook tetap tersenyum. Ia memandang mata anaknya dalam dalam. "Jeon Jungkook imnida. Aku… ayahmu."

Yoongi meremas kuat lengan Jimin saat melihat bola mata Wonwoo membesar. Menunggu reaksi anak pertamanya.

"Lalu.. dimana ibu..?"

Jungkook masih tersenyum. "Secara teknis, aku ibumu. Aku melahirkanmu seperti Yoongi Hyung melahirkan Woozi."

Wonwoo mengerjap bingung.

"Ayahmu.. Kim Taehyung. Dia.. dia..—"

"Ayahmu meninggal dalam kecelakaan kereta menuju Busan. Untuk memperjuangkan cintanya.." Jimin melanjutkan kalimat Jungkook. Mengerti mungkin sahabat yang sudah ia anggap adik itu tidak mampu melanjutkan.

Jungkook mengusap sudut matanya yang mengembun kapanpun dia mengingat Taehyung. "Yah, jadi sekarang, aku ayahmu."

Wonwoo menegang disebelah adiknya. Dan Mingyu dengan tenang mengusap lengan kakaknya. "Semua akan baik baik saja.." bisiknya.

"Aku tidak memintamu ikut denganku sekarang Wonwoo.. aku mengerti ini pasti berat. Suaramu mirip sekali dengan alien bodoh itu.. astaga.." Jungkook kembali memasang senyumnya, tapi setets air mata kembali jatuh.

Wonwoo juga terisak di tempat. Ia bangkit lalu berdiri dan menghambur ke pelukan Jungkook. "Eomma… hiks…"

.

'''

.

Malam itu Jungkook menginap disana. Wonwoo berkeras ingin tidur dengan ibunya. Jadi mereka berdua menempati kamar tamu. Meninggalkan Mingyu yang tidur sendirian dikamarnya. Awalnya Mingyu pikir tidak akan ada apapun yang terjadi. Ia akan tidur seperti biasanya.

"Mingyu…"

Pemuda berkulit tan itu memiringkan badannya. Mulai gelisah dengan sesuatu yang merambat masuk ke dalam mimpinya.

"Mingyu… Gwaenchana?"

Sekali lagi Mingyu bergerak resah. Tidak bisa membuka matanya. Ia belum terbangun. Tapi ia merasakan sentuhan lebut di bahunya. Sebuah dentuman dikepalanya. Lalu kobaran api dalam mimpinya. Pelukan erat ditubuhnya. Air mata seseorang.

"Anak ku…"

Mingyu meremas kuat seprai dibawahnya. Ia bisa merasakan panas di kulitnya. Api. Dalam kegelapan. Keringat mulai mengaliri kening yang tertutup rambut.

"Jaga dirimu… Kami kembali.."

Keringat makin deras. Dadanya terasa sesak. Ia ingin menjerit. Tapi suaranya tertahan kegelapan. Ia masih bermimpi.

"Mingyu.. kami mencintaimu… Kim Mingyu.."

Seketika keringatnya berhenti mengalir. Ia menghembuskan nafas panjang. Beban seakan terangkat dari dadanya. Air mata mengalir. Mingyu menangis dalam tidurnya. Diiringi berakhirnya mimpi masa kecilnya

.

'''

.

Wonwoo memandang Jungkook dengan tatapan sayangnya. Menghangatkan suasana di ruang makan itu. Jisoo yang berada disebelah kanannya hanya tersenyum. Jimin cukup menjelaskan apa yang terjadi kemarin secara singkat. Jisoo tidak ingin tau lebih banyak. Toh ia hanya tamu disini.

"Jisoo… apa kau kekasih Wonwoo?" Jungkook yang ada disebelah kiri anaknya bertanya sambil menyuapi Wonwoo.

"Ah tidak. Saya hanya menumpang di keluarga ini hingga mendapatkan gaji dan menyewa apartemen sendiri." Jisoo tersenyum sopan.

Jungkook mengangguk. Jimin, Yoongi, Jisoo, Wonwoo dan Jungkook bahkan Woozi terlibat suasana hangat itu. Berbincang semua tentang Wonwoo yang tidak diketahui Jungkook. Yoongi sendiri berusaha menguatkan hatinya. Ia tetap bisa mengunjungi Wonwoo. Pemuda pucat itu tetap anaknya.

"Mingyu, ada apa? Kenapa wajahmu begitu?" Wonwoo yang melihat adiknya memasuki ruang makan bahkan duduk di kursinya dengan lesu itu heran. Biasanya pemuda itu termasuk orang paling kelebihan semangat diantara keluarganya

"Aku—"

"Sebentar." Ponsel Jungkook mendadak berbunyi. Ia lantas bangkit dan mengangkat panggilan itu.

Wonwoo masih memandang Mingyu di depannya dengan menuntut. "Kenapa? Katakan."

Tapi yang ditanya sudah tidak berminat melanjutkan. Ia hanya menggeleng malas. "Lupakan saja.."

"Park Mingyu, apa yang—"

"Jimin hyung… Yoongi hyung.." Jungkook datang dengan pandangan yang sulit diartikan. Semua orang memandangnya bingung.

"S-seokjin Hyung dan.. dan Nam-namjoon hyung… mereka sadar… setelah belasan tahun…"

.

'''

.

Jungkook, Yoongi, dan Jimin membuka pintu ruang rawat itu dengan buru buru. Tidak memperdulikan Jisoo, Mingyu, atau Wonwoo yang menggendong Woozi.

"Hyung!" Jungkook nyaris berlari melihat dua orang di ranjang bersebelahan itu. Ia langsung memeluk salah satu dari mereka. Yang paling tua. Yang menjaganya saat ia mengandung Wonwoo. Orang yang ia anggap bagai ibunya sendiri.

"Hiks.. Seokjin hyung… Hiks…" Jungkook menangis sejadinya. Bagaimanapun, ia tetaplah maknae dimata hyung-hyungnya.

Yoongi tidak dapat menahan lagi, ia menghambur pula memeluk Jungkook dan seokjin. Air mata yang ia tahan sejak kecelakaan saat itu, sejak berkeras melarang siapapun mencabut alat pembantu hidup sahabat sahabatnya, tumpah sudah.

"Kenapa kalian tidak memeluk ku? Hey Park, kau tidak ingin memeluk ku?"

Jimin menghapus air mata di pipinya. Lalu menghampiri ranjang satunya, dimana hyung nya, orang pertama pendukung hubungannya dengan Yoongi terbaring. "Namjoon hyung… sial kenapa kau meninggalkanku begitu lama?"

Namjoon terkekeh dan memukul pelan lengan adiknya. "Kau merindukanku? Aku tidak ingat seberapa lama kami koma.. Dokter memberi tahuku sangat lama. Kenapa wajahmu tua sekali Park?"

Jimin tidak membalas ejekan hyungnya. Ia sibuk menghapus air matanya yang terus mengalir. "Kau… Hiks.. sial aku menangisimu Hyung."

"Yoongi.. Jungkook, kami disini. Aku sesak sekali, bisa kalian lepaskan aku?" Seokjin terkekeh lalu menepuk punggung Yoongi.

Yang ditepuk tentu langsung bangun dan menyeka air matanya. "M-maaf hyung.."

Jungkook masih memeluk hyungnya. "Aku tidak akan melepaskan hyung!"

Seokjin menepuk pelan kepala sang adik. "Hyung akan membuatkanmu pancake lagi. Dengan madu. Atau es krim? Bagaimana? Kau mau?"

Jungkook tertawa pelan lalu melepaskan pelukannya. "Hyung, aku bukan anak anak.."

Jimin tertawa. "Kau tetaplah bayi kami Jeon."

"Sudahlah. Ngomong ngomong.. sudah berapa lama kami koma? Kenapa… kalian sudah terlihat bertambah tua banyak sekali?" Namjoon bertanya.

Yoongi menghela nafas."Sejak kecelakaan kalian, saat Wonwoo berusia dua tahun, itu… sekitar enam belas tahun lalu.."

Seokjin membeku. "Enam… belas?"

Namjoon menghela nafas. Dia selalu jadi yang paling tenang. Dianggap pemimpin oleh ke enam sahabatnya. Dia yang mengambil keputusan. Dia tidak boleh kehilangan kendali, bahkan saat ini. "Enam belas tahun bukan waktu singkat…"

Jimin mengangguk disebelah Namjoon. Jungkook mengusap lengan Seokjin. Yoongi memberi kode pada Wonwoo untuk mendekat. "Hyung, ini Wonwoo… Kim Wonwoo… anak Jungkook dan Taehyung. Dan.. dia menggendong Park Woozi. Anak ku dan Jimin." Jelas Yoongi.

Seokjin tersenyum. Wonwoo membawa Woozi yang memandang Seokjin dengan tatapan ingin tahu itu mendekat ke Jungkook. "Eomma.." Jungkook terdiam. Bingung harus melakukan apa. Tapi Woozi merengek ingin menyentuh Seokjin.

"Dia mirip sekali denganmu Yoong. Manja sekali padaku. Kurasa dia juga mewarisi suara Jimin?" kekeh Seokjin saat Woozi dengan riang memeluk Seokjin.

"Auramu memang cocok untuk anak kecil hyung. Tapi tolong, Wonwoo tidak memakai marga Tae-hyung.. Dia memakai marga ku, untuk kelancarannya dimasa depan. Dia Jeon Wonwoo." Jungkook tersenyum dan mengusap lengan Wonwoo. Memberi kode bahwa ia akan menjelaskan nanti.

Seokjin tersenyum. Lalu memandang ke arah pintu. Tempat Mingyu dan Jisoo berdiri bingung.

Hanya Jisoo yang bingung.

Mingyu perlahan menyerap segalanya. Dua orang di ranjang rumah sakit itu koma akibat kecelakaan mobil… Mimpinya…

"Lalu… Dimana anak ku?" Namjoon memecah keheningan.

.

'''

.

Seokjin menatap Mingyu yang duduk di sampingnya. Ingatan terakhirnya adalah saat anak ini berusia satu tahun. Mengajaknya membeli baju natal. Tapi lihatlah, dia sudah tumbuh dewasa. Bahunya tegap dan lebar. Seperti bahunya. Wajahnya tegas dan kulitnya sedikit gelap. Menurun dari Namjoon. Ketika berbicara, suaranya pun mirip Namjoon. Seokjin penasaran, apakah Mingyu mewarisi bakat memasaknya atau justru bakat menghancurkan milik Namjoon?

"Mingyu.."

Suara Namjoon memecah keheningan. Diruangan itu hanya ada dia, seokjin, dan Mingyu. Jimin berisiniatif untuk mengajak keluar semua orang. Memberi privacy pada yang berkepentingan.

"Aku tau kau mungkin tidak bisa menerima—"

"Aku menerima." Mingyu memotong ucapan Seokjin

Kedua orang tuanya memandang bingung. Mingyu menunduk. Teringat bagaimana Wonwoo saat mengetahui dia bukan anak kandung. Kakaknya sangat kuat. Jadi ia juga harus kuat. Ingatan akan kecelakaan itu kembali. Ia ingat samar akan pelukan erat Seokjin saat ia mendengar dentuman keras. Mengingat samar air mata Namjoon dan bisikannya sebelum semuanya menggelap.

"Kami mencintaimu.."

Mingyu memeluk Seokjin yang langsung menangis. Ini ibunya. Ia tau. Ia merasakan. Ia tidak marah. Tidak mengamuk. Tidak menyalahkan siapapun. Ia sadar, tidak ada yang bersalah disini, atau dimanapun.

Namjoon bangkit dari tempat tidurnya. Badan laki laki itu masih lemah meski tidak ada luka apapun. Tapi tidak bergerak selama belasan tahun memang mempengaruhi pergerakannya. Pelan, ia menyeret infusnya ke arah dua oran paling berati dalam hidupnya itu. Lalu memeluk mereka erat. Air mata jatuh. Mingyu merasakankembali dekapan itu. Sangat familiar. Kulitnya masih mengenali sentuhan orang tuanya.

"Jangan tinggalkan aku lagi…"

.

'''

.

Jimin dan seluruh orang kembali sambil membawa sebuah bingkai foto. Ranjang seokjin dan Namjoon di dekatkan hingga hampir menempel. Namjoon sudah melepaskan infusnya. Dia sudah benar benar sehat. Hanya perlu sedikit terapi untuk pegerakannya. Sementara Seokjin memang masih sangat lemah.

Mingyu tidur disebelah Seokjin. Membiarkan ibunya mengusap rambutnya perlahan sambil tertawa mendengar cerita Namjoon tentang masa lalu mereka. Saat mereka masih sekolah. Bagaimana Seokjin sudah menjadi guru magang di sekolah menegah pertama tempat Jungkook bersekolah. Namjoon adalah siswa cerdas yang lompat kelas hingga bisa sekelas dengan Yoongi. . Taehyung, Jimin, dan Hoseok yang bagai kembar siam, serta Jungkook, adik kecil yang selalu mereka manjakan.

"Lihatlah semua, ini foto saat kelulusan Yoongi hyung, Namjoon Hyung, dan Jungkookie" Jimin mangacungkan sebuah foto tua yang di bingkai kayu berwarna emas.

"Bawa sini Park." Namjoon mengulurkan tangan meminta yang langsung diberikan oleh Jimin.

"Bukankah Eomma masih sekolah menengah pertama? Bagaimana bisa lulus bersama?" Wonwoo yang berebut ingin melihat foto itu bertanya bingung.

Jungkook dibelakangnya mengusak surai anaknya gemas. "Eomma tingkat akhir di sekolah. Sama seperti Namjoon hyung dan Yoongi hyung. Kami tinggal di daerah yang sama."

Wonwoo mengangguk paham. Tapi belum mengerti keseluruhan cerita. Sementara Mingyu dan Woozi masih asyik memeluk Seokjin yang dengan sabar mengusap rambut keduanya.

"Wonwoo-ya.. bisa kita bicara sebentar?" Jisoo menepuk bahu Wonwoo yang disanggupi langsung. Mereka berdua perlahan keluar dari kamar itu.

Meninggalkan Mingyu yang menatap tajam punggung Jisoo.

.

'''

.

"Lihatlah Mingyu. Sama possesifnya sepertimu." Seokjin berdecak.

Namjoon tertawa. "Itu baru anak ku."

"Wonwoo tumbuh sama tidak pekanya dengan Taehyung. Astaga…" kali ini Jimin yang berkomentar.

"Dia memiliki suara Tae-hyung. Aku jadi merindukan alien itu.." Jungkook tertawa.

Yoongi menepuk bahu adiknya. "Kami disini. Anakmu disini."

Jungkook mengangguk. Ia akan menjadi orang tua yang baik untuk Wonwoo mulai sekarang. Sesuai janjinya pada Taehyung.

.

'''

.

""Wonwoo, aku ingin mengenalkanmu pada—"

"Ku pikir kau tidak akan merebutnya." Mingyu tiba tiba hadir dan memotong.

Wonwoo memutar matanya jengah. "Mingyu, apa yang kau lakukan? Aku tetap menganggapmu adik ku. Jangan khawatir."

Yang lebih muda menggeleng. "Aku ingin kau menganggapku pria. Bukan adik. Terutama setelah apa yang kita lakukan."

"Jisoo? Aku menunggumu lama sekali."

Suara seorang gadis menginterupsi mereka. Ketiganya memandang ke arah taman rumah sakit. Terlihat seorang gadis yang berjalan kearah mereka dengan wajah sedikit tertekuk lucu dengan menggunakan jas putih khas dokter. Saking lucunya, Wonwoo langsung melupakan kekesalannya.

"Nayeon-ah… Kemari. Perkenalkan dirimu." Jisoo menarik lembut tangan gadis itu dan mengecup pelipis gadis itu.

Mingyu terdiam. Gadis disebelah Jisoo itu lucu sekali. Mungil menggemaskan. Tapi tetap saja Wonwoo hyungnya adalah nomor satu.

Nayeon menghapus wajah cemberutnya lalu memandang Wonwoo dan Mingyu. "Halo! Im Nayeon imnida!" ucap gadis itu diakhiri dengan senyum lebar yang menampilkan gigi kelincinya yang menggemaskan. Yang langsung menguapkan kekesalan Mingyu dan Wonwoo.

"Kau menakuti mereka sayang. Hahaha." Jisoo terkekeh geli lalu mengusap lembut rambut gadis itu.

Mingyu masih berusaha memahami sebelum… ia menyadari. "Kau… ini kekasihmu…?"

Nayeon memukul lengan Jisoo dan memandang Mingyu dengan ramah. "Tentu aku kekasihnya sejak tiga tahun lalu. Kenapa? Apa Jisoo menggoda gadis lain saat aku diluar negri? Benar?" Nayeon langsung memberondong pertanyaan. Mata indahnya membulat sempurna. Yang benar benar ingin membuat Wonwoo dan Mingyu meleleh saking gemasnya.

"Tidak sayangku astaga.. aku tidak menggoda siapapun. Aku hanya ingin memperkenalkanmu. Karena yah.. ada yang salah paham denganku. Ngomong ngomong, ini Mingyu, dan Wonwoo. Anak Jimin Ahjussi—maksudku, mereka tinggal dengan Jimin Ahjussi." Jisoo melingkarkan lengannya dipinggnag kecil gadis itu. Gesture yang menunjukkan kalau memang ia tidak main main dengan ucapannya.

"Oh baiklah! Aku baru kembali beberapa hari lalu. Dan menjadi dokter disini. Tapi panggil saja aku Nayeon. Aku seumuran dengan Jisoo. Aku dokter anak. Jika anak kalian sakit, tolong panggil saja aku. Jisoo memiliki nomorku. Aku suka sekali anak anak! Tidak tidak jangan memandangku dengan tatapan kosong begitu. Aku tidak mempermasalahkan harga jika situasinya urgent dan tidak sedang dirumah sakit, kau tau." Gadis itu mengoceh panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan tatapan kosong karena Mingyu dan Wonwoo tidak menegrti apapun.

"Apa aku terlalu banyak bicara? Apa aku menyinggung mereka? Jisoo-ya kenapa mereka diam saja?" Kali ini Nayeon mulai bingung.

Jisoo menghela nafas. Wonwoo mengusap tengkuknya ikut bingung. Sementara Mingyu masih memandang Nayeon dengan tatapan kosong. Tidak mengerti kenapa gadis itu cepat sekali berbicara.

"Nayeon Noona, kau manis sekali. Pantas Jisoo hyung sering memandangi fotomu sebelum tidur." Wonwoo mengerling ke arah Jisoo.

Nayeon terkikik geli. "Jisoo memang aneh. Ngomong-ngomong kalian sudah makan? Ingin makan dikantin bersamaku? Aku hanya membuat bekal untuk Jisoo. Jika aku tau dia membawa teman, aku akan membuatkan untuk kalian juga. Makanan buatanku enak dan penuh gizi. Karena Jisoo terlihat kurus sekali di skype. Ku pikir aku harus mengontrol makannya mulai sekarang. "

Jisoo menepuk pelan pinggang kekasihnya. "Aku tidak kurus sayang. Wonwoo lebih kurus."

Nayeon memandang Wonwoo dari atas sampai bawah. Lalu berdecak kesal. "Ya. Dia kurus sekali. Baiklah anak muda, apa kau ingin kuberi list makanan sehat bergizi yang bisa menambah berat badanmu? Ku mohon jangan takut menjadi gemuk. Asal kau sehat. Astaga…"

Wonwoo menggeleng. Ia tidak merasa kurus atau gemuk. "Tidak noona. Tapi baik, aku akan makanan bergizi hehe."

"Baiklah. Aku akan ke ruangan Nayeon. Kurasa kalian perlu bicara." Jisoo menarik lebut tangan Nayeon yang kini digenggamnya.

Gadis bergigi kelinci itu membungkuk sebentar pada Wonwoo lalu dengan senyum ceria mengikuti Jisoo dan terdengar ia mulai bercerita sesuatu dan tawa Jisoo yang perlahan menjauh.

.

'''

.

Mingyu berdeham."Hyung."

"Apa?" Wonwoo menyahut cuek dan kembali berjalan. Meninggalkan Mingyu.

"Hyung tunggu. Apa kau mau jadi kekasihku sekarang?" Mingyu mengekori yang lebih tua.

Wonwoo mengangkat bahu cuek. Tetap berjalan. Tanpa tujuan. Hanya terlalu malu berbalik dan menunjukkan wajah memerahnya pada sang adik.

Mingyu memandang gemas kakaknya. Lalu melihat sekitar. Sebuah pikiran melintasi kepalanya. Ia tersenyum tipis.

"Mingyu..?" Wonwoo berbalik saat tidak mendengar langkah kaki adiknya. Tapi ia tidak menemukan siapapun dibelakangnya.

Lalu ia menyadari, ia tersesat dibagian lain rumah sakit ini, satu sudut yang terbengkalai. Ia menoleh ke arah kanannya dan melihat plang tulisan kamar mayat.

Wonwoo menahan jeritannya. Kakinya perlahan mundur, ia sudah akan berlari dan berteriak jika sebuah tangan tidak membekapnya dan menariknya ke sudut. Satu tangan menutup mata dan tangan lain menutup mulutnya. Wonwoo menggigit kuat tangan itu. Tapi tidak menghasilkan apapun.

"Diamlah hyung…" suara berat menyapa indranya.

Wonwoo terdiam. Ia tau suara ini milik Mingyu. Tapi matanya yang di disfungsikan membuat kepanikannya merayap ke otaknya. "L-lepas…"

"Aku akan melepaskan jika kau tidak berteriak. Bagaimana?" suara Mingyu tepat ditelinganya. Ia merasakan sesuatu yang basah di lehernya. Wonwoo mengangguk.

Yang lebih muda melepaskan bekapannya pada mulut Wonwoo. Tapi mempertahankan tangannya di mata sang kakak. Lalu dengan cepat membalik tubuh Wonwoo dan menutup matanya dengan kain hitam yang entah didapat pemuda itu darimana.

"Hyung, aku suka melakukan hal hal diluar batas.. kau tau?" Mingyu menggenggam erat pinggang yang lebih tua. Tangan Wonwoo mencengkram kaus Minyu di bagian dada. Ia mengangguk pelan.

"Jadi aku akan melakukan hal diluar batas padamu.. bagaimana?" tawar yang lebih muda sambil menggigit kuat leher kakaknya.

Wonwoo menyeringai dalam kebutaannya. "Lakukan saja. Kau tau kan aku menyukai saat kau melakukan hal hal diluar batas padaku?"

Mingyu terkekeh dan meremas kuat pantat yang lebih tua. "Kau nakal hyung. Apa kau tau?"

"Ahh.. tentu aku tau. Lakukan dengan cepat sebelum ada yang menemukan kita disini." Wonwoo sengaja menggesekkan lututnya pada ereksi sang adik.

Mingyu mengerang. Kakaknya memang yang terbaik dan Mingyu tau itu. Jadi tanpa basa basi, ia melumat habis bibir yang lebih tua. Memasukkan lidahnya yang langsung diterima oleh Wonwoo. Membuat Mingyu dengan leluasa mengacak acak isi mulut kakaknya sementara tangannya sudah tidak sabar membuka celana mereka.

Wonwoo mendesah dalam ciuman mereka. Tangannya dengan aktif masuk dalam kaus sang adik dan membelai otot dada serta perut Mingyu. Merasakan sensasi yang menyenangkan saat jari jarinya turun dan mengenggam erat kebanggaan adiknya.

Mingyu menurunkan ciumannya dan memberi tanda sepanjang leher kakaknya. Menghisap kuat dan menjilatinya bagai kelaparan. Dan memang ia kelaparan menatap Wonwoo yang meski buta, tetap melakukan tugasnya dengan baik. Tangannya menyapa tonjolan indah di dada Wonwoo yang membuat sang kakak mati matian menggigit bibir.

Mingyu dengan cepat membalik badan Wonwoo. Memasukkan tangannya ke mulut yang lebih tua sekedar meminta pelumas. Lalu dengan tidak sabar memasukkan tiga jarinya ke dalam rektum Wonwoo.

"M-Mingyu…" Wonwoo meremas kuat lengan Mingyu yang menahan pinggangnya. Sementara sang adik tidak ingin banyak bicara dan terus merengangkannya.

"Nikmati saja.." Suara MIngyu terdengar dekat dan WOnwoo merasakan kecupan ringan di belakang lehernya.

Dan selanjutnya, yang ia tau adalah Mingyu menutup mulutnya dan memenuhi dirinya dengan satu hentakan keras. Langsung menembus pertahanannya dan menyapa prostatnya. Wonwoo menggigit tangan Mingyu yang melingkupi mulutnya.

"Diam dan nikmati hyung…" Mingyu masih menenangkan kakaknya saat ia sendiri menghentakkan dirinya secara brutal ke dalam tubuh Wonwoo. Tidak memberikan jeda barang sejenak. Ia hanya tau bahwa ia harus segera mendapatkan titik tertingginya bersama Wonwoo.

"M-mingh…" Wonwoo meremas kuat lengan Mingyu. Memberi tanda bahwa ia sudah tidak tahan. Beruntunglah sang adik memahaminya. Ia menghajar lubang kakaknya dengan tidak sabar. Merasakan bagaimana lubang itu terus memijit miliknya.

"Hyung…" suara berat Mingyu menyapu telinganya.

"Aku mencintaimu…"

Lalu menghentak miliknya dalam, mungkin hingga rahim Wonwoo, dan menyemburkan benihnya disana.

.

'''

.

"Aku heran kenapa anak anak itu tidak kembali."

"Sudahlah, Mereka pasti bersenang senang."

"Tapi ini sudah sore. Apa kalian sudah makan?"

"Tenanglah. Aku yakin semuanya baik baik saja. Aku mendidik Mingyu untuk menjaga Wonwoo. Tenang saja."

"Kurasa mereka jatuh cinta. Apa kalian merasakannya?"

Seluruh ruangan itu mengangguk. Lalu tertawa bersama.

.

,,,

.

End.

.

Hahahahaha haiiiiiiiii maaf end nya gejelaaassssshh gajelas sumpah nc nya ga hot T.T tolong jangan bash Nayeon krna aku pas itu muter lagu TT nya Twice dan dia imut. Jadi aku pasangin disini sama Jisoo. Dia ga jahat kok serius :') dia manis bngt nyerocos gitu(?)

Anw, aku berfikir buat prequel(?) dari ini. jadi kisah BTS sblm Meanie ini lahir. Dengan pair YoonMin-Vkook-Namjin jelas. Jadi asal muasal kenapa bisa kek gini. Kaya itu loh Monster University. Kan itu prequelnya Monster Inc. eh namanya prequel bukan sih?

Atau bikin sequel aja ya? Kehidupan meanie setelah ini gitu?

Ini di word sampe 14 halaman dan melewati 6 kali perubahan cerita entahlah disini fokus ke family sih (?)

MIN YUNGIKU SAKIT YA HUHUHU GWS SAYANGKU CINTAKU!

Eh Mingyu rambutnya balik coklat ya. Apa Cuma aku yng kangen rambut dia era mansae yg biru2 itu(?)

Udah segitu aja~ kalo jadi, mungkin aku bakal bikin sequel atau prequelnya. Kalo jadi sih ya. Aku lbh mateng buat bikin prequel sih. kalo sequel mungkin jadinya kaya kisah itazura na kiss. Jadi kehidupan mereka pas mau nikah gitu. Gimana?

Udah ah aku kebanyakan cuap cuap. Makasih buat yang mau review/follow/faf Every Single Thing About You~ iluvu gaesss 3

Last but not least, review please ^^