Title: Hunger

Casts: VIXX members

Pairing: Keo, Navi, Hyukbin (Tapi lebih tentang persahabatan)

Rate: T to M (Untuk adegan sadis)

Genre(s): Mistery, Thriller, angst, character death

Chapter : 7/7 [FIN]


Ken POV

"Jaehwanie hyung.. Bangunlah.." Sayup-sayup kudengar suara Hyuk memanggilku. Kurasa dia menangis.

Aku mencoba membuka mata, dan perlahan cahaya merayap masuk ke mataku.

"Hyung!" Aku melihat sekeliling. Aku berada di rumah sakit. Bahu dan lengan kanan diperban parah. Meski begitu rasa sakitnya masih sedikit terasa. Terlebih ketika Hyuk memelukku.

"Aww!"

"Oh, maaf, hyung.." Hyuk langsung melepas pelukannya dan kembali duduk di kursinya. Ia menghapus air matanya. "Untunglah kau akhinya sadar, hyung. Aku sangat khawatir padamu."

"Berapa lama aku tak sadarkan diri?"

"Dua hari."

Waktu yang cukup lama. Aku lumayan terkejut. Tapi ada hal lain yang membuatku lebih terkejut. Hal yang tiba-tiba muncul di ingatanku.

"Be- berarti.. Jasad N hyung, Leo Hyung, Hongbin dan Ravi? Apa mereka berhasil dikeluarkan dari hutan itu?"

Aku menggenggam lengan Hyuk. Berharap mendapatkan jawaban yang menyenangkan. Tapi dia menggeleng. Aku tak mengerti maksud gelengan kepalanya. Tapi aku tahu itu sesuatu yang berlawanan dengan harapanku.

"Aku sudah meminta tolong timsar dan polisi untuk mengeluarkan mereka dari sana. Tapi mereka tak menemukan apapun dalam hutan itu. Bahkan rumah di atas tebing itu tak ada."

Kali ini jawaban Hyuk benar-benar membuatku kaget. Bagaimana mungkin rumah itu tak ada? Rumah itu yang menyebabkan teman-temanku tewas.

"Tidak mungkin.. Hyuk, jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda, hyung!"

Aku terdiam sebentar. Banyak pikiran di otakku.

"Lalu.. Bagaimana manager? Kau sudah hubungi dia?" Hyuk terdiam sebentar. Aku memperhatikannya dengan bingung. "Hyuk?"

"Ya, aku sudah menghubunginya. Tapi dia... Bahkan tak mengenalku."

"A- apa maksudmu?"

"Aku ceritakan semua kejadian ini. Tapi dia tak peduli dan terus mengatakan bahwa dia tak mengenalku. Dia juga bilang bahwa pekerjaannya hanya sebagai staff biasa di Jellyfish, bukan manager kita. Lalu aku coba menghubungi kantor Jellyfish. Tapi jawaban mereka makin parah.."

"Apa yang mereka katakan?"

"Mereka bilang mereka tak pernah membentuk grup bernama VIXX. VIXX tak pernah ada.."

Aku tahu ia hendak menangis. Aku juga sebenarnya ingin menangis. Tapi masih banyak pertanyaan di otakku.

"Lalu bagaimana dengan para orang tua?"

"Keluargaku tak percaya saat kuceritakan tentang VIXX. Mereka tak tahu apa itu VIXX, dan mereka bilang kalau aku hanya seorang anak SMU biasa."

Hyuk mulai menangis. Aku mengelus pundaknya, mencoba menenangkannya sedikit. Tapi pertanyaan terus terlontar dari mulutku.

"Keluargaku?"

"Orang tuamu langsung aku hubungi saat aku berhasil membawamu ke rumah sakit ini. Kemarin mereka datang. Tapi karena keadaan ibumu sedang tidak sehat, mereka memintaku untuk menemanimu di sini. Mereka juga tak tahu tentang VIXX."

"Bagaimana dengan orang tua yang lain?" Tanyaku lagi.

Hyuk kini tak langsung menjawab. Mungkin berat baginya untuk memberikan jawaban yang firasatku mengatakan bahwa jawaban itu sesuatu hal yang buruk.

"Aku sudah menghubungi keluarga Cha. Mereka tak terkejut ketika kukatakan bahwa Hakyeon hyung sudah meninggal. Justru aku yang terkejut ketika mereka bilang-"

"Apa? Apa yang mereka katakan?"

"Mereka bilang kalau mereka tak pernah memiliki anak bernama Cha Hakyeon. Begitu pula ketika aku menghubungi keluarga Jung, Kim, dan Lee. Mereka... Mereka tak pernah ada."

Tangis Hyuk makin manjadi-jadi. Aku merentangkan tanganku untuk menarik Hyuk ke dalam pelukan. Aku tetap mencoba menenangkannya. Meski dalam hatiku sendiri, aku masih tak percaya dengan semua ceritanya.

Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi? Teman-temanku yang selama hampir dua tahun ini selalu bersamaku, berkerja dan bersenang-senang bersama, mereka tak pernah dilahirkan di dunia ini? Apa mungkin hal ini bisa terjadi? Ya, bagi Tuhan ini semua mudah terjadi. Tapi bagiku...

"Jaehwan!"

"Ibu?" Wanita setengah baya yang tiba-tiba muncul di ambang pintu itu langsung menghampiriku dan memelukku. Aku balik memeluknya. Oh Tuhan, aku merindukannya.

"Jaehwan, aku sangat mengkhawatirkanmu!" Pria di sampingnya berujar sambil meremas lenganku. Bukan, bukan di tangan yang diperban. Aku hanya tersenyum pada mereka.

"Ibu... Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" Tanyaku ragu-ragu. Tidak, aku tidak lupa ingatan. Aku hanya ingin tahu apa yang dirasakan orang-orang di sekitarku, yang tak tahu bahwa dulunya aku seorang idol.

"Kau bertengkar dengan ayahmu, lalu pergi dari rumah dan tak kembali selama empat hari. Tak kusangka kau kabur sampai keluar kota" Jawab wanita di depanku. Aku hanya mengangguk-angguk.

"Ayah minta maaf karena memarahimu berlebihan." Ucap pria itu lagi sambil menepuk-nepuk kepalaku.

Aku hanya mengangguk, berpura-pura mengerti dengan masalah yang tidak pernah aku dan ayahku hadapi.

"Dan syukurlah anak ini menemukanmu pingsan di jalanan. Kau harus berterimakasih padanya. Namanya Sanghyuk." Ujar Ibuku. Aku menoleh ke arah Hyuk, dan ia hanya tersenyum padaku.

"Terima kasih, Sanghyuk-ssi."

"Sama-sama.."

Kami berbicara seakan kami tak pernah kenal sebelumnya.

Tiba-tiba seorang suster masuk ke ruangan.

"Permisi. Apa Tuan dan Nyonya Lee sudah datang?"

"Iya, kami sudah datang."

"Dokter meminta kalian untuk menemuinya di ruangannya."

"Baiklah. Kami akan ke sana."

Sang suster mengangguk, dan langsung keluar dari ruangan.

"Sanghyuk. Tolong temani Jaehwan sebentar, ya?"

Hyuk mengangguk, dan ayah dan ibu langsung keluar dari ruangan mengikuti suster yang tadi. Hyuk kembali duduk di samping kasurku.

"Kenapa kau bercerita seperti itu pada orang tuaku?"

"Aku tak mau membuat lebih banyak lagi orang bingung." Jawabnya pelan.

Lalu keheningan melanda seisi ruangan. Aku merencanakan sesuatu yang entah Hyuk akan menerimanya atau tidak. Tapi bagiku, ini jalan terbaik untuk melupakan semua kejadian kemarin. Tepat ketika aku membuka mulut, Hyuk lebih dulu bersuara.

"Hyung... Apa tidak lebih baik kita lanjutkan hidup kita masing-masing, tanpa mengenal satu sama lain?" Aku menatapnya dengan mata membulat. Rupanya pikiran kami sejalan. "Kurasa hanya dengan cara itu, hidup kita bisa kembali normal dan agar kita tidak terus dihantui oleh semua kejadian pahit itu."

Aku menatapnya. Aku tahu dia serius. Karena aku juga menginginkannya. Aku tersenyum kecil.

"Aku juga berpikir begitu.. Sanghyuk-ssi."

.

.

.

.

.

Jadi begitulah semua berakhir. Berakhir seperti semua tak pernah terjadi. Aku anggap semua itu hanya mimpi buruk. Mimpi buruk yang indah ketika memiliki lima orang sahabat dengan satu tujuan.

Kini aku, Ken- Bukan. Kini aku Lee Jaehwan, bukan lagi seorang yang pantas untuk naik ke atas panggung. Aku hanya seorang mahasiswa biasa dengan hobi melukisnya. Dan Sanghyuk, dia hanya murid SMU biasa, yang tengah belajar keras agar lulus sekolah, dan masuk ke perguruan tinggi idamannya.

Kami tak lagi saling mengenal. Kami menjalani hidup kami masing-masing. Mencoba melupakan kejadian pahit yang menewaskan empat teman kami, yang kini bagi orang lain, mereka tak pernah lahir. Mereka hanya seperti imajinasi anak-anak yang terasa nyata. Tapi tentu saja, bagiku mereka sangat berarti. Merekalah sahabatku.

Tak jarang pula aku, yang tengah melukis di pinggir jalan, berpapasan dengan Hyuk sepulang ia dari sekolah. Aku hanya tersenyum padanya. Ia juga tersenyum padaku. Di saat ia tersenyum itulah, aku teringat ketika kami berenam tertawa, bercanda, dan bersenang-senang bersama. Justru saat-saat itu yang terlintas di ingatanku. Saat-saat yang sebetulnya tak ingin aku lupakan.

"Wah.. Gambar yang bagus!"

Ujar seorang laki-laki dengan suara yang lembut. Dengan suara selembut itu, aku bahkan tak yakin kalau orang yang berdiri di belakangku saat ini adalah seorang laki-laki. Aku hanya tersenyum dan menjawab, "Terima kasih."

"Enam tangan yang menjadi satu. Empat berwarna gelap yang berbeda-beda, dan dua dengan warna cerah yang berbeda. Warna abstrak sebagai dasarnya, dan.. Oh! Robot kecil berwarna biru di ujung atas ini membuatnya semakin unik!" Kalimatnya merincikan satu-persatu bagian dari lukisanku. "Apa arti dari lukisanmu ini?"

"Aku tidak yakin. Tapi mungkin lukisan ini bercerita tentang enam orang sahabat yang ingin meraih satu impian yang sama. Tapi empat diantaranya hanya sebuah imajinasi. Mereka tak benar-benar ada. Tapi impian yang kuat ini, membuat mereka terasa nyata. Meski berbagai rintangan datang, mereka terus bersama. Dan soal gambar robot ini... Entahlah, aku hanya suka menggambarnya." Jelasku sambil terus menatap lukisan di hadapanku, dan tersenyum.

"Yah... Aku tidak terlalu mengerti dengan arti yang kau bicarakan tadi. Tapi... Boleh aku membeli lukisanmu ini?"

"Kau boleh ambil yang mana pun. Tapi aku tak akan menjual yang satu ini."

"Kenapa?"

"Karena lukisan ini akan sangat berarti bagiku." Ucapku singkat sambil menyentuh bagian kanvas yang sudah kering. Senyum masih terbentuk di bibirku.

"Hmm.. Baiklah kalau begitu." Katanya agak sedikit kesal. Aku tahu dia hendak melangkah pergi, tapi dia berbalik untuk menanyakan satu hal lagi padaku. "Boleh aku tanya satu hal lagi? Apa judul lukisanmu ini?"

Aku terdiam sejenak. Aku belum terpikir tentang judul lukisan ini. Tapi aku tersenyum ketika sebuah kata terlintas di otakku.

"Mungkin ini tak ada hubungannya, dan kau tak akan tahu apa artinya."

"Apa itu?"

Aku terdiam sejenak. Kuletakkan kuasku ke dalam gelas. Aku sangat senang karena akan mengatakan ini sekali lagi. Memang sudah lama aku tidak mengucapkannya. Mataku masih menatap hasil karyaku sendiri. Senyumkupun makin lebar.

"Judulnya: VIXX"

.

.

.

.

.

THE END


A/N: TAAMAAAAT! Gimana? Gimana? Bingung, kan? Nggak nyangka, kan? WKwk... Sama, author juga nggak nyangka. Author sendiri malah nggak ngerti kenapa bisa jadi gini. Waktu nulis cuma ngikutin yang ada di otak dan voila! jadilah seperti ini -_-

Thanks for reading and please review! Criticisms are allowed as long as you guys are not rude! Also, please wait for my next story ^^