Keramaian di pasar sudah menjadi sarapan harian warga Konoha saat pagi menjemput. Suara anak-anak yang tengah berlarian di jalan membuat para orang dewasa hanya bisa menggeleng sambil tertawa lepas. Aroma roti dan teh dari jendela rumah-rumah yang berjajar di pinggir jalan membuat pagi terasa lengkap. Suara ringkikan kuda-kuda pedagang yang membawa barang-barang dagangan terdengar jelas di telinga.

Mendorong pintu yang memiliki lonceng membuat kehadiran pengunjung disambut senyum hangat. Sepasang kaki menjejak ke dalam toko yang yang bersuhu lebih nyaman dari pada di luar. Seorang gadis bermata ungu menatap seisi toko. Aroma roti yang baru selesai dipanggang membuat gadis itu tersenyum. Ia mendekat menuju rak berisi roti-roti yang masih hangat.

"Selamat pagi, Hinata!"

Gadis berambut ungu menoleh. Merasa disapa, ia tertawa sopan, "Pagi, Asuma-san."

"Apa yang ingin kau beli?"

"Roti dan sedikit bacon. Ah, sedikit bubuk teh akan menjadi pelengkapnya."

"Baiklah, pilih saja rotinya. Tunggu sebentar, kuambilkan yang lain."

Hinata menunggu si pemilik toko kembali dari ruang dalam. Ia mengambil kantong kertas berwarna coklat dan memilih roti yang ia mau. Ia mengambil dua buah roti panjang dan satu muffin. Menunggu sekitar tiga menit, si pemilik keluar dan menyerahkan sebuah kantong berisi pesanan Hinata. Gadis itu menerima dengan sumringah.

"Berapa semuanya?"

Asuma tertawa, "Seperti biasa."

"Baiklah."

Hinata tersenyum dan merogoh isi dompet, mengeluarkan lima buah koin dan menyerahkannya pada Asuma. Si pemilik toko berbalik cepat menuju sebuah rak dan kembali dengan satu buah roti, "Ini roti cokelat. Bonus."

"Ah, terima kasih banyak."

Hinata melangkah keluar dari toko roti Asuma. Melangkah menuju jalan yang ramai. Memperhatikan anak-anak yang berlarian dengan ranting di tangan mereka, bermain perang-perangan. Sesekali Hinata terkikik mendapati anak-anak perempuan memberikannya bunga liar yang mereka petik sembarangan.

Hinata mengucapkan terima kasih dan berlalu ke sebuah gang sempit. Ia berjalan sebentar sebelum menatap sebuah rumah minimalis yang berada di kawasan sepi. Tak pernah ramai layaknya di pasar Konoha. Hinata mengeluarkan kunci dari dompet, memutarkan salah satu anak kunci dalam kenop pintu. Ia melangkah masuk, tak lupa mengambil sebuah plakat bertali yang ia gantungkan di luar pintu.

Amethyst Tailor. Open.

.

.

.

Futari no Otogibanashi © Eternal Dream Chowz

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

|I don't own any chara in this fanfict. This is an unprofitable fan work.|

Pairing: Sasuke U. x Hinata H.

Genre: Romance

Rate: T

Warning: Out of Character, Typo(s), Alternate Universe, Rush Plot

.

.

.

Chapter 1. Tailor; Hinata

Bekerja sebagai penjahit memang agak membosankan. Tidak pernah berjumpa dengan banyak orang karena para pelanggannya hanya akan menitipkan pekerjaan dan mengambilnya beberapa hari kemudian. Terkadang Hinata iri pada Paman Asuma yang bisa mengobrol panjang lebar dengan pelanggannya di depan teras toko. Sedangkan Hinata sebaliknya, sepanjang hari hanya akan sendirian. Menjahit dan memperbaiki pakaian yang robek, perlu jahitan tambahan atau merubah ukuran.

Hinata memang hidup sendirian. Ia anak tunggal. Ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, ibunya sudah tiada saat ia berusia tiga tahun. Hinata tak mempermasalahkan apapun. Ia hidup seperti biasa walau tak menampik bahwa kesendirian dan kesepian adalah hal yang membuatnya merasa terasingkan.

Hinata mewarisi toko milik orangtuanya. Hinata memang sudah mahir menjahit sejak kecil. Mungkin semua wanita di desa sanggup melakukannya, tapi beberapa orang lebih memercayakan masalah jahit menjahit pada Hinata. Dan Hinata merasa terbantu oleh hal itu.

"Masih sepi …" gumam Hinata.

Ia baru saja menyelesaikan pakaian titipan Yamanaka yang akan diambil hari ini. Tak begitu banyak, hanya memperkecil ukuran karena si pemilik merasa kurusan akhir-akhir ini. Hinata mengantungkan gaun berwarna kuning itu dengan rapi.

Roti cokelat yang diberikan Asuma dihabiskan Hinata dengan teh hitam yang baru ia beli tadi pagi. Hinata berjalan ke belakang. Ia membuka pintu menuju halaman belakang. Halaman yang sempit di belakang rumah tak membuat Hinata mengabaikan lahan yang berpotensial dan bisa membawa manfaat. Ia menanam sedikit sayuran yang bisa ia pakai untuk memasak. Tomat dan selada menghiasi petak paling ujung. Hinata mengambil pot air dan mengisinya dengan air hujan yang ditampung di sebuah bak kecil. Hinata menyiram tanamannya sambil bersenandung riang.

Beberapa buah tomat yang sudah masak dimasukkan dalam keranjang rotan. Tanaman paprika yang baru mencapai tinggi sekitar tiga puluh senti ikut disiram dengan hati-hati. Hinata tidak sabar menunggu bunga yang akan muncul sekitar satu minggu lagi. Tanaman-tanaman stroberi yang berbuah barang satu atau dua dicabut dengan perlahan. Stroberi-stroberi yang ranum itu membuat Hinata menimbang-nimbang untuk membuat selai. Hinata kemudian mencabuti tanaman liar dan gulma yang mengganggu. Semua tanaman liar ia sisihkan dalam karung putih yang ada di dekat pintu belakang.

Selesai dengan pekerjaan singkat itu, Hinata mendengar panggilan.

"Permisi! Hinata!"

Hinata mencuci tangan. Mengelapnya dengan sebuah saputangan bermotif kotak-kotak. Keranjang berisi tomat dijinjing menuju ruang depan dan diletakkan dekat meja kasir. Hinata memasuki ruang depan yang menjadi tempat kerjanya.

"Ah, Hinata! Mana gaunku?"

Hinata tersenyum tipis. Nona Yamanaka datang dengan menggebu-gebu, senyumannya tak hilang. Mata biru langitnya berkilat senang. Hinata mengambil gantungan gaun berwana kuning. Yamanaka Ino bersorak gembira. "Boleh aku coba sekarang, kan?"

Hinata mengangguk, menunjuk bilik kecil di samping lemari berisi gaun-gaun pesanan orang lain. "Silakan, Ino-san."

Tanpa banyak komentar, gadis berambut pirang melesat cepat dan menyibak tirai bermotif bunga-bunga kecil. Hinata duduk di sebuah kursi sambil menunggu. Ia melipat beberapa kain yang baru saja ia pesan dari kota. Beberapa minggu lagi ada acara di alun-alun kota, para gadis desa pasti datang mencari kain terbaik untuk membuat gaun-gaun yang indah. Hinata bersiap menerima pesanan yang berpotensial membuatnya kelelahan untuk bekerja.

Dan benar saja, Hinata mendengar Ino menyeletuk.

"Hinata, aku ingin pesan gaun yang cantik untuk pesta. Bisa kan, kau buatkan untukku?"

Hinata menyahut, "Tentu! Apakah aku perlu membantumu?"

"Tolong bantu aku dengan zipper-nya, Hinata."

Hinata memasuki bilik kecil. Mendapati si nona muda kesulitan menaikkan zipper gaunnya. Hinata membantunya dengan cepat. Si gadis pirang keluar dari bilik, segera berpose di depan cermin besar milik Hinata.

"Pas sekali! Terima kasih, Hinata!"

Hinata tersenyum. "Sama-sama."

"Baiklah, aku akan pulang dan memamerkan ini pada Ibu!"

Hinata kembali ke kasir. Ia memerhatikan gerak-gerik Ino di depan cermin. Ino sungguh beruntung. Mereka seumuran dan sama-sama anak tunggal. Namun Ino bernasib baik, hidup dengan gelimangan harta sebagai anak pedagang. Bebas ke mana saja dan menghamburkan uang untuk apa saja.

Berbeda dengan Hinata yang masih harus menghitung laba usaha jahit dan membagi-bagikan uang untuk makanan dan pajak. Hinata menghela napas. Pesimis dan menyedihkan, oh, Hinata bodoh!

"Hinata, berapa upah jahitnya?"

Hinata terperanjat. "O-oh, empat koin saja."

Ino tersenyum, meletakkan tujuh koin di atas meja kayu, "Bonus karena pekerjaanmu selalu mengagumkan."

Hinata ingin menolak tapi Ino bersikeras mendorong kelebihan uang di tangan Hinata. Hinata menyerah, Ino memang keras kepala kalau sudah punya komitmen, koin disimpan dalam laci. Hinata berdiri, mengantarkan si pelanggan menuju pintu, "Terima kasih banyak."

"Sampai jumpa, Hinata! Aku akan datang lagi untuk mengecek rancangan gaun terbaru besok!"

"Baiklah."

Hinata mengangguk. Melambaikan tangan pada si pelanggan setia.

Hinata memandang jalanan yang tetap sepi. Miskin pejalan kaki dan kaya akan angin dingin. Hinata berbalik menuju ruangannya. Mengambil pensil dan kertas untuk membuat sketsa gaun. Besok Ino akan datang lagi, katanya.

Hinata bersenandung pelan, mendendangkan nada lagu klasik yang sering ia dengar di toko buku Tuan Kakashi.

"Permisi!"

Hinata memandang pintu yang dibuka sedikit. Kepala terjulur ke dalam, seorang pemuda pirang yang mengingatkan Hinata akan Ino menyengir dengan wajah mirip kucing, ada goresan-goresan di pipinya yang berbentuk seperti kumis kucing. Hinata masih tetap diam di kursinya.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya butuh penjahit."

Hinata mengerutkan kening, heran. Jelas-jelas sudah menaruh tanda 'tailor' di depan toko. Ia bergegas menuju pintu. Ia terbelalak, heran dengan satu kereta kuda yang mengisi jalanan sepi. Pemuda di depannya ini punya sedikit masalah dengan mata dan kepalanya?

"Apa … yang mesti saya perbaiki?" tanya Hinata masih dengan nada heran.

"Sebentar."

Si pemuda pergi menuju kereta, membuka pintunya dan berbisik.

Hinata sedikit terkejut mendapati sebuah garmen dilempar telak ke wajah si pemuda pirang. Betapa kasar si majikan yang duduk dalam kereta. Hinata memberanikan diri keluar menuju teras toko, menunggui si pemuda pirang yang tertawa-tawa karena dihardik. Hinata tak bisa mendengar begitu jelas jadi ia hanya menatap tanpa berkedip pada kereta kayu yang dibawa kuda-kuda hitam yang terawat.

"Nona?" Pemuda itu menyeletuk. Hinata tidak menyadari pemuda itu sudah berada di sampingnya.

Hinata menatap si pemuda. "Ya?"

"Tolong perbaiki ini ya. Apa bisa selesai hari ini juga?"

Hinata menatap garmen mahal yang diberikan padanya. Pakaian seperti ini bukanlah jenis pakaian pedagang kaya dari kota. Jauh kelihatan lebih mahal. Mendapati beberapa batu mulia di permukaan pakaian itu juga membuat Hinata memendam rasa penasaran akan pemiliknya.

"Yang diperbaiki hanya jahitan kancing saja ya? Hanya perlu waktu sebentar," ujar Hinata setelah selesai mengamati pakaian itu. Pemuda di depannya mengangguk dan menghela napas lega, Hinata sedikit geli dengan ekspresi pemuda itu namun ia menahan tawanya.

Hinata sedikit ragu tapi akhirnya bertanya. "Ah, maaf, tapi saya tak punya benang emas untuk menggantikan jahitan ini agar serupa dengan yang lain. Apakah tidak masalah?"

"Tidak apa-apa, ini darurat. Tolong secepatnya ya."

Hinata mengangguk, "Baiklah."

Sebelum masuk, si pemuda menyeletuk, "Nona, di mana saya bisa mencari penjual sayur ya?"

"Di … pasar?" jawab Hinata. Heran saja, mana ada orang yang bertanya hal sejelas itu. Beli sayur ya di pasar.

"Darurat, Nona. Butuh yang terdekat," bisik si pemuda sambil melirik kereta kuda yang menepi di dekat toko.

Hinata mengangguk. "M-memangnya mau beli apa?"

"Tomat."

Hinata mengangguk tanda paham, "Pasar agak jauh di depan jalan yang ramai,"

Mendapati ekspresi kecewa si pemuda yang mirip wajah anjing memelas, Hinata menghela napas, "Sebentar."

Hinata merasa agak rugi menyerahkan tomat yang baru ia panen pada orang asing. Apa boleh buat, Hinata merasa kasihan pada si pemuda yang dari tadi kena amukan majikannya. Hinata meraih keranjang rotan dan kembali ke pintu depan, "Silakan diambil."

Pemuda pirang itu kembali ceria tapi sejenak memandang ragu.

"Ini … aman kan?"

Hinata mengerutkan kening. "Aku baru saja memetiknya, Tuan."

"O-oh, baiklah."

Setelah berucap terima kasih, dua buah tomat segar yang masih dihiasi embun segera dibawa menuju kereta. Hinata berbalik ke dalam ruangan. Keranjang diletakkan di meja kasir.

Hinata berjalan menuju meja berisi mesin jahit dan mengambil benang berwarna paling mirip. Benang yang harga dan kualitasnya jauh lebih murah dari semua bahan yang menyusun pakaian yang dititipkan padanya. Hinata memperhatikan kancing pakaian yang tersusun dari batu mulia. Berusaha bekerja secepatnya, suara mesin jahit mulai terdengar di ruangan yang sepi.

Pelanggannya menunggu di luar sana.

Dan lagi, campuran batu ruby dan amethyst yang menjadi emblem di pakaian itu mengingatkan Hinata akan sesuatu.

.

.

To Be Continued (?)

A/N: Mungkin hanya nyampah di ffn. Tidak jamin apa bakal dilanjut atau tidak. Tapi saya lagi pengen membuat sesuatu. Hahaha, apalah saya ini. *digebuk* Saya lagi siap-siap tempur UN! SEMANGAT! Semoga saya lulus. Hieeyyy!

Thanks for reading!

Mind to RnR?

Sign,

Ether-chan