[ Wedding ]

Ditulis oleh Mioreo.

Kuroko no Basuke milik Tadatoshi Fujimaki. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini.

Sangka Daiki jika undangan itu palsu adanya. Atau, nama dua sejoli yang terukir di sana adalah kesalahan cetak. Nyatanya, sesuatu dalam dirinya menyadarkan bahwa itu realita, bukan drama atau rekayasa. Terbukti kala Satsuki yang memberinya langsung saat itu juga.

Kau yang kuberi pertama, katanya, sedikit memberi bonus dengan sunggingan dan satu kedipan di mata.

Daiki enggan datang. Tapi ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi pengecut terlalu lama. Mungkin, mungkin untuk yang pertama dan kali terakhir, ia bisa mencuri satu kecupan dari bibir Satsuki. Masa bodoh dengan tamparan atau hinaan calon suaminya. Yang ia ingin Satsuki tahu perasaannya selama ini. Rasa yang terkubur jauh dalam lubuk hatinya. Dan baru muncul bersamaan dengan penyesalan.

Aomine Daiki lantas duduk di sudut. Sengaja terpisah dari kawan pelangi yang mengadakan reuni dadakan, sengaja. Demi meredam emosi yang menggebu. Bisanya hanya tersenyum kecut. Sedang Satsuki di sana terlihat anggun nan cantik, cantik sekali kala senyumnya merekah dan tak lagi kuncup.

( ia berandai. andai. andai saja yang berdiri, yang memasangkan cincin, yang mencium satsuki di hadapan hadirin, adalah dirinya. andai takdir menyuratkan itu adalah daiki. )

Adalah jarak, di mana Satsuki duduk di pelaminan sedang Daiki di jajaran tamu undangan. Jarak serupa dinding yang tinggi pula kokoh, yang meski Daiki berusaha untuk memanjatnya, menghancurkannya, tetap tak sampai. Tak tercapai. Tak teraih.

Rasanya pahit, pahit. Dada bagian kirinya sakit dan perih. Daiki perlu obat atau terapi atau apapun untuk kesembuhan hatinya yang sudah tergerus terhujam dan tertohok.

Terbuai dalam derita hingga Daiki tak sadar jika Satsuki berhambur menghampirinya, terburu-buru, namun takut terjatuh sebab bisa saja ia menginjak gaunnya yang menyapu lantai.

"Dai-chaaannn~~!"

Bahkan ia tetap memanggil Daiki dengan nama lama.

Daiki ingin berbalik, lari, dan lari. Tidak lagi ingin melihat Satsuki. Maupun senyumnya. Maupun lelakinya. Maupun dunia. Ia ingin menyingkir ke suatu dimensi di mana hanya ada ia, dan bayangan yang menertawainya.

Biarkan ia terkulai dalam kubangan merah darah. Sekalipun tangisnya tumpah-ruah, sekalipun jeritannya melengking di udara—percuma. Karena tidak akan ada yang berganti.

"Aku khawatir kamu nggak bakal datang! Yah, kejam juga sih kalo kamu beneran gak datang."

Satsuki menjulurkan sebuket bunga yang sedaritadi ia genggam sejak memasuki gereja. Fokus Daiki hanya pada platina yang tersemat di jari manis si gadis, mengilap mengejeknya. "Sengaja gak ada lempar-lemparan. Sengaja buat Dai-chan. Biar cepet nyusul aku~!" ia terkekeh, "yah, gak tahu ngaruh gak tahu nggak sih."

Dengan sangat, sangat terpaksa, Daiki mengulurkan tangan jua. Ia tak cukup yakin bahwa Satsuki bisa menerima ucapan selamat darinya. Pula senyumannya yang kelewat artifisial.

Aomine Daiki pergi sebelum bergelarnya resepsi.

( label 'pengecut' akan terus menempel pada dirinya hingga mati. )

.

Pada akhirnya nasib bunga itu layu, tubuhnya lunglai dan terluka, habis karena siksaan jejak sepatu di bak sampah dekat rumah si pelaku.

.

Bagaimana bisa aku menyusul, jika wanita yang ingin kunikahi saja sudah menikah duluan?

FIN

Saya sendiri sebenarnya gak tau nulis apa. Ini sangat random dan absurd. Mohon maaf apabila berlebihan dan penulisannya kaku atau—yah, begitulah. Dan terimakasih bagi yang sudah membaca!

Salam hangat,

Mioreo.