Sehun POV

Suasana rumah sakit selalu sama. Ramai, penuh orang berlalu lalang, banyak pasien keluar-masuk, beberapa kali suara sirine juga suara isak tangis keluarga yang berduka. Umumnya seperti itu. Tapi tidak dengan bangsal VIP yang kutempati.

Begitu tenang, hingga satu langkah kaki saja bisa terdengar jelas.

Aku terjaga saat tenggorokanku terasa kering. Aku berdiri dengan sedikit paksaan pada luka diperutku. Sedikit perih, tapi kutahan. Aku berjalan tenang dengan tiang infus disebelahku sebelum sebuah suara menyadarkanku tentang sesuatu.

"Mau kemana kau?"

Ah, ya. Hampir saja aku lupa. "Aku mau cari udara segar. Ruangan ini terasa pengap." Kuputuskan untuk keluar kamar dari pada berdebat. Ya, ayahku masih berada dikamar.

Aku membuka pintu dan disambut dengan tatapan terkejut para pengawal ayahku. Aku tidak menghiraukan mereka dan terus berjalan mengikuti kakiku melangkah. Beberapa perawat dan dokter yang kutemui menyapaku saat berpapasan. Well, rumah sakit ini memang salah satu cabang usaha ayahku.

Aku nyaris berbelok saat penunjuk arah menunjukan arah kantin. Seseorang yang duduk menghadap keluar jendela itu menarik perhatianku. Kupikir aku mengenalnya dan kuputuskan untuk menghampirinya.

Semakin dekat, pandanganku semakin yakin.

"Eomma?"

Wanita itu menoleh, terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

"Oh, kenapa kau disini? Ada yang sakit? Kenapa tidak tekan tombol diatas ranjangmu saja, bagaimana jika terjadi sesuatu?"

Ya, inilah ibuku, aku selalu suka saat ia bicara panjang lebar. Ibuku selalu menjadi penghangat dirumah. "Lalu apa yang eomma lakukan disini?"

Aku tidak yakin, tapi aku bisa melihat matanya sedikit memerah dan berair. Terlihat seperti habis menangis, atau mengantuk karena kurang tidur. Aku memutuskan opsi yang kedua. "Eomma harusnya istirahat dikamar, kenapa malah disini? Coba lihat, wajah eomma pucat. Berapa jam eomma tidur?"

Wanita itu sedikit mendengus. "Aigoo, kenapa anak lelaki eomma cerewet sekali, huh? Yang sakit itu kau, bagaimana jika ada perawat ceroboh yang menabrakmu dan kau pendarahan? Kau mau membunuh eomma, huh?"

Aku sedikit meringis. Kadang aku tidak bisa mengontrol diriku saat berada didekat ibuku. Aku sangat menyayanginya sama seperti aku menyayangi ibu kandungku. Aku selalu merasa nyaman berada disekitarnya. Dan saat ia menyeretku kembali kekamar dengan serentetan omelannya, aku hanya bisa tersenyum bahagia. Aku tidak akan pernah mau berbagi ibuku dengan siapapun. Kecuali dengan ayahku, tentu saja.

.

.

.

The Perfect Storm

HunHan Indonesia Big Event

HunHan

Lima Belas

.

.

.

Suasana rumah sakit memang selalu sama. Penuh dengan ketidakpastian, ancaman dan kesedihan berkepanjangan.

Luhan bangun saat suara pintu terbuka. Kyungsoo dan Jongin baru saja sampai.

"Aigoo siapa yang baru saja bangun saat mencium aroma kopi ini." Ucap Kyungsoo sambil melepas jaketnya.

Sementara Jongin langsung menghampiri Luhan dan memeriksa keadaannya seperti seorang perawat. "Kau baik-baik saja? Ada yang sakit? Atau masih pusing?"

"Bisakah kalian berhenti menganggapku seperti seorang pasien? Aku tidak sakit."

"Biar kuperjelas, tidak ada orang sehat yang hanya berbaring seharian diatas kasur rumah sakit, Lu." Sanggah Jongin.

"Tapi aku sungguh baik-baik saja. Buktinya aku bisa mencium aroma kopi dari jarak empat meter."

"Lalu hubungannya dengan tanganmu yang diinfus itu apa?"

Luhan mengangkat bahu. Tidak terlalu mempedulikan tatapan intens Kyungsoo. Memang tidak ada hubungannya. Ia hanya asal bicara saja.

Satu tarikan nafas terdengar dari Kyungsoo. "Bisakah kau berhenti membuatku khawatir? Demi Tuhan jadwal penerbanganku tepat dua setengah jam lagi."

"Lalu hubungannya dengan tanganku yang diinfus?" timpalnya asal membuat Kyungsoo benar-benar melebarkan kelopak matanya dan lelaki tan dibelakangnya terkikik geli.

"Aku sedang tidak dalam mood bercanda. Kumohon berhentilah main-main dan perhatikan dirimu."

Luhan mendudukan dirinya, mencoba bicara lebih focus dan serius. "Jadi kalian benar-benar akan pergi? Secepat itu?"

"Kau pikir Jongin membeli kertas itu dengan harga murah?"

Luhan termenung. Untuk ukuran penerbangan Korea-Amerika tentu bukan hal murah. Ya, tentu saja Luhan tahu itu. Jongin sudah bekerja keras untuk mendapatkannya. Dan hari ini harusnya menjadi hari bahagia mereka. "Bukan begitu, hanya saja kalau kalian pergi siapa yang akan menjagaku nanti?"

"Astaga, apa setelah dua puluh tiga tahun kau masih belum bisa berjalan sendiri? Kau bahkan punya Sehun, sekarang." Timpal Kyungsoo sedikit terbawa suasana. Tanpa ia sadari gadis dihadapannya meredup layu.

"Tapi Kyung, kau tahu hubunganku dengan Sehun tidak akan berjalan baik. Dan Baekhyun, aku bahkan tidak berani menyapanya pagi ini."

Sekali lagi Kyungsoo menghela nafas. Melirik pada Jongin yang duduk memperhatikan diatas sofa, dan mengangkat bahu. Ada jeda hening diantara mereka. Menandakan bahwa topik yang mereka ambil terlalu serius.

Bukan seperti itu maksud Kyungsoo. Ia hanya ingin agar Luhan berhenti bertindak ceroboh dan membahayakan dirinya. Karena Demi Tuhan, dua puluh tiga tahun bukan umur yang pas untuk menangisi kecerobohan luar biasanya itu.

Sementara Luhan dengan segala pemikiran rumitnya masih bungkam diatas ranjangnya. Luhan menyadari itu. Tidak seharusnya ia bersikap egois. Sudah cukup ia merepotkan Kyungsoo dan Jongin. Tapi bagaimana dengan Baekhyun?

Kyungsoo mengambil tempat disisi ranjang Luhan. Meremas tangan dengan jari-jari lentik itu. "Hey, bukan seperti itu maksudku. Aku sudah bicara dengannya, lagipula dilihat dari responnya sepertinya dia sudah bisa menerimamu sebagai calon 'adik ipar'nya." Ucap Kyungsoo dengan nada menggoda.

Gadis berbulu mata lentik yang masih menggunakan pakaian khas pasien itu terlihat penuh pengharapan dan semburat merah tercetak jelas dikedua pipi tirusnya. Mendengar kata 'calon adik ipar' membuatnya membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Dan tanpa sadar ia tersenyum dalam lamunannya tapi juga meneteskan sesuatu dari balik kantung matanya.

"Luhan, kau tidak sedang berpikir yang aneh-aneh kan? Tunggu, kau menangis?"

"Tidak." Kilahnya. "Kyung, aku lapar. Tapi ijinkan Jongin yang menyuapiku kali ini."

"Apa? Kau meminta ijin pada seorang istri yang suaminya ingin kau pinjam? Kau gila?"

"Kumohon, untuk yang terakhir kalinya sebelum kalian berangkat. Ijinkan Jongin menjadi milikku, hanya satu jam. Aku janji akan mengembalikannya dengan utuh."

"Tidak. Biar aku saja."

"Tidak mau. Kau selalu kasar padaku."

"Kalau begitu makan dengan tanganmu sendiri."

"Tidak bisa, tanganku kebas."

Dan demi segelas kopi disiang hari, tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini. Jongin terus terkekeh melihat tingkah dua gadisnya itu. Melihat sinyal pertengkaran diantara mereka, Jongin pun turun tangan dan meyakinkan Kyungsoo. Hanya satu jam. Setelah itu Jongin selamanya milik Kyungsoo.

"Kau tahu aku hanya mencintaimu, sayang. Jadi untuk apa mencemburui Luhan? Aku selamanya hanya milikmu. Apa kau meragukanku?" ucap Jongin pelan dan dibalas dengan gelengan oleh Kyungsoo.

Setelah sepersekian detik, Luhan sudah asik mengobrol dengan Jongin tanpa menghiraukan keberadaan gadis penguin yang tengah cemburu dipojokan sana.

"Jongin, bagaimana keadaan Sehun?"

"Parah. Terakhir kali aku melihatnya berjalan terseok dengan lumuran darah dan berteriak sambil memelukmu malam kemarin. Aku tidak tahu cara berpikir orang-orang aristocrat, tapi untuk ukuran seorang lelaki yang mencintaimu, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama."

"Benarkah? Menurutmu Sehun benar-benar mencintaiku?"

Satu tarikan nafas Jongin lakukan. "Kau sudah menanyakan itu empat kali dalam kurun waktu sepuluh menit. Tidak ada pertanyaan lain?"

Luhan hanya membalasnya dengan senyuman. Sambil mengunyah kimchi dalam mulutnya, satu pertanyaan konyol terlintas dipikirannya.

"Jongin, kenapa dulu kau bertemu dengan Kyungsoo? Kenapa bukan aku saja? Kyungsoo selalu pamer kebahagiaannya setiap malam dan saat bangun tidur. Memperlihatkan kegiatan barunya sebagai seorang istri. Bahkan saat menyelimutimu tidur dan saat membangunkanmu. Dia selalu pamer. Dan aku yakin dia benar-benar bahagia."

Jongin terkekeh mengdengar ucapan rusa mungil dihadapannya. "Masalahnya adalah aku lebih suka gadis bermata bulat dan garang. Itu terlihat menantang sekaligus menggiurkan."

"Padahal aku bisa saja melakukan operasi plastic untuk mempersempit kelopak mata." Nyinyirnya lagi membuat Jongin kembali terkekeh.

Luhan memang selalu seperti itu. Kekanakan dan tidak bisa ditebak. Siapapun pasti akan salah paham mendengar semua ucapannya. Tapi percayalah, itu hanya bentuk pertahanannya dari tekanan, dari masalah-masalah yang tidak bisa benar-benar dia atasi.

Jongin paham, sangat paham dengan keadaan Luhan. Dia akan meracau tidak jelas dalam tidurnya setiap kali merasa tertekan. Menangis, bergumam menyedihkan, dan meyebut nama semua orang-orang terdekatnya. Selalu seperti itu.

Jongin mengusap rambutnya dengan lembut. Tersenyum sangat menenangkan, mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan itu membuat Luhan semakin tidak ingin berjauhan dengannya, dengan Kyungsoo.

Beberapa tetes cairan bening itu kembali turun, terus hingga melewati dagu lancipnya. Memikirkan bahwa setelah hari ini tidak akan ada lagi tempat ia berbagi rahasianya. Memikirkan bagaimana hubungannya dengan Baekhyun, juga Sehun yang masih belum jelas kabarnya.

Luhan terus terisak dipelukan lelaki tan itu.

"Hey, aku tidak akan pernah benar-benar meninggalkanmu, Lu. Kau bisa datang padaku kapanpun kau mau. Kau hanya perlu menjalaninya seperti biasa. Atau jika kau merasa sudah tidak sanggup, hubungi aku dan akan kupastikan kau melihatku saat membuka matamu nanti. Kau mengerti?"

Luhan mengangguk.

"Apa kau sadar, Lu? Akhir-akhir ini kau sangat cengeng. Aku tidak suka itu. Apa perlu kujauhkan kau dari Oh Sehun? Mau ikut dengan kami?"

Lalu sebuah suara yang familiar terdengar dari arah pintu. "Tidak ada yang bisa menjauhkannya dariku dan tidak akan ada orang lain yang pergi selain kau."

Luhan segera melepas pelukannya untuk memastikan pendengarannya normal. Begitu juga dengan Jongin yang kini membalikkan badannya untuk melihat siapa yang baru saja menginterupsi.

Sehun berjalan dengan tangan kiri yang menyeret tiang infus. Terlihat baik-baik saja karena lukanya tertutupi piyama rumah sakit. Mendekati Luhan dengan sedikit terburu-buru dan segera mengambil alih tempat Jongin.

"Kau tidak boleh pergi kemanapun." Ucapnya lagi. "Jawab aku, Lu. Jangan membuatku takut."

"Sehun.."

"Kumohon.."

Butuh beberapa detik untuk membuat Luhan mengangguk dan segera melesakkan diri didada bidang Sehun. Keduanya sama-sama meneteskan air mata, tapi hanya Luhan yang terisak sampai sesegukan.

"Kupikir aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku sangat ketakutan karena tidak ada satupun yang mendengar teriakanku." Ucap Luhan disela isakannya. "Jangan pernah tinggalkan aku sendirian lagi. Kau harus berjanji."

"Hm. Aku janji. Maafkan aku, maafkan aku.." balas Sehun dengan mengeratkan pelukannya.

Tidak ada yang tahu seberapa dekat Sehun dan Luhan berhubungan sebelum melihat pemandangan mengharukan tersebut. Termasuk Baekhyun yang sudah datang beberapa detik yang lalu dengan Chanyeol yang memegang tangannya erat; menahan agar Baekhyun tidak serta merta merusak momen tersebut.

Baekhyun berdeham, menginterupsi kegiatan HunHan. "Baguslah. Kupikir kau tidak akan pernah bangun."

Dan seketika tubuh Luhan menegang. Luhan tahu ia tidak bisa menghindari Baekhyun, tapi tidak sekarang. Sungguh, posisinya yang tengah memeluk Sehun bukan pemandangan bagus untuk membuat mood Baekhyun lebih baik.

"Kau tidak mau melihatku? Bukankah banyak sesuatu yang harus kau katakan?"

Sungguh, nyalinya menciut hanya dengan mendengar suara Baekhyun. Intensitas pelukannya semakin erat. Membuat Sehun harus sedikit menahan sakit.

"Kau tidak mau bangun, Lu?" Bisik Sehun.

"Tidak sekarang, aku takut Baekhyun mengamuk."

Baekhyun berdecak sebal. "Luhan, jika kau terus menerus seperti itu, kau bisa menyakiti luka Sehun. Kau mau Sehun mati pendarahan, huh?"

"Oh, benarkah? Apa itu sakit? Sangat-sangat sakit?"

Sehun menjawabnya dengan sebuah ringisan, tapi tetap tersenyum manis pada Luhan.

"Ah, maafkan aku. Aku benar-benar lupa."

Dan sekali lagi Baekhyun berdecak sebal. "Kau sudah selesai? Aku masih menunggu."

.

.

Jangan salahkan Luhan jika Sehun harus beberapa kali tersenyum geli dan menahan diri untuk tidak mengecup bibir si gadis manja itu dihadapan semua orang. Tingkahnya benar-benar menggemaskan saat mendengarkan berbagai penuturan Baekhyun.

Sudah hampir satu jam, dan Baekhyun masih belum selesai dengan segala unek-unek yang ada dikepalanya. Mulai dari Luhan yang membohonginya, sampai kejadian semalam yang demi Tuhan benar-benar membuatnya terkejut setengah mati.

Sementara Kyungsoo yang sudah jengah dengan kelakuan dua sahabatnya itu memilih untuk tertidur sebentar dipangkuan suaminya sebelum perjalanan panjangnya menuju Los Angles. Semuanya akan berkahir sama, sampai kapanpun Baekhyun adalah sosok jelmaan ibu tiri cerewet yang baik hati untuk Luhan. Begitu pikir Kyungsoo.

Dan perkiraan Kyungsoo seratus persen tepat. Karena saat ia membuka matanya, Baekhyun dan Luhan sudah berpelukan dan saling minta maaf.

"Kalian sudah selesai? Jika ya, aku dan Jongin pamit."

.

.

Sehun kembali ke kamarnya setelah meninabobokan gadis manja yang ceroboh namun sialnya sangat ia sayangi. Chanyeol masih belum kembali sejak dua jam yang lalu, ia mengantar Kyungsoo dan Jongin ke bandara. Dan Baekhyun yang bersikeras mengantarnya ke kamar pun kini tengah berbincang dengan ibunya.

"Ahjumma, masakanmu benar-benar luar biasa! Ah.. rasanya sudah lama sekali sejak kita bisa makan di satu meja bersama."

Wanita paruh baya itupun terkekeh. Ia baru saja kembali setelah mengantar suaminya pulang dan memasakkan sesuatu untuk dibawanya kembali ke rumah sakit.

"Telan makananmu sebelum bicara. Dasar tidak sopan." Cibir Sehun.

"Hm.. ayahmu sangat sibuk setelah mendapat gelar masternya di China. Kapan ayahmu pulang?"

"Entahlah, mungkin saat liburan akhir tahun nanti?"

"Kalau begitu pastikan kau memberitahuku kepulangan ayahmu. Aku akan masak banyak makanan enak." Ucapnya antusias.

"Tentu. Tapi, kupikir makanan ini terlalu banyak jika Ahjumma memasaknya hanya untuk Sehun. Dan aku juga tidak akan sanggup lagi menampungnya diperutku."

"Aku sengaja memasaknya lebih banyak. Kau bisa membaginya dengan temanmu itu. Dan jangan lupa sampaikan salamku untuknya."

Baekhyun mengangguk mengerti. Melirik Sehun yang sudah beranjak ke dunia mimpi, lalu berdehem untuk menetralkan tenggorokannya. "Ahjumma, sepertinya aku harus kembali. Temanku yang satu itu sedikit cengeng, sedikit manja dan terlalu ceroboh. Aku takut dia melakukan hal-hal aneh saat dia bangun nanti."

"Ah.. benarkah? Tapi sepertinya dia anak yang manis."

"Dan juga menyenangkan." Tambah Baekhyun. "Karena itulah aku bahkan tidak bisa berlama-lama marah padanya. Dia kadang sedikit keras kepala dan menyebalkan, tapi tidak ada yang tahan saat melihat mata seindah bintang kejora itu saat ia merajuk. Tapi selebihnya, seperti yang Ahjumma katakana, dia sangat manis. Ahjumma harus berkenalan dengannya."

Baekhyun terlampau ceria saat mendeskripsikan bagaimana seseorang yang disebutnya sebagai teman itu tanpa menyadari raut sendu wanita dihadapannya.

"Hm.. Aku akan mengunjunginya lain kali."

.

.

Terhitung satu minggu sudah setelah kejadian percobaan penculikan dan pembunuhan itu. Suasana dikediaman keluarga Oh masih terlihat ramai dengan berbagai macam prosedur penjagaan ketat. Sebenarnya tidak ada yang berubah, hanya saja Oh Jaewon memiliki kekhawatiran berlebih. Ia bahkan mengurung putra semata wayangnya untuk tidak pergi kemanapun kecuali area halaman depan dan belakang mansion mewah itu.

Sehun baru saja akan kembali masuk bekerja setelah hampir mati kebosanan sejak tiga hari yang lalu karena terus menerus berada dirumah dengan pengawasan cukup ketat. Sungguh kekuatan dan kearoganan seorang Oh Jaewon memang tidak bisa dipatahkan. Yang lebih parah, ia tidak memperbolehkan Sehun mengendarai mobilnya sendiri. Seorang supir dan beberapa pengawal telah disiapkannya untuk mengawal kemanapun Sehun pergi.

Meskipun enggan, kekeraskepalaan ayahnya tidak akan pernah bisa ia bantah.

Mobil yang membawanya melaju cepat dijalanan kota. Suasana masih belum terlalu ramai mengingat ini masih sangat pagi untuk ukuran jam kerja kantor. Sambil memeriksa berkas-berkas ditangannya, Sehun sesekali menyeruput kopi yang sengaja ia bawa setelah mencuri satu ciuman dari ibunya. Entah untuk alasan apa, Sehun sangat ingin meminum kopi dibandingkan susu atau teh yang biasanya ia konsumsi.

Satu tegukan lagi cairan hitam itu melewati kerongkongannya. Menghirup aroma kopi adalah salah satu kegiatan rutinnya sejak beberapa hari yang lalu. Karena kopi mengingatkannya pada Luhan. Setiap Sehun menggila merindukan perempuan mungil itu, maka kopi adalah obat penenangnya.

"Kita hampir sampai." Ucap Tiffany yang duduk di samping kursi pengemudi.

Sehun hanya mengangguk dan membereskan kancing jas yang tidak ia kaitkan. Seulas senyuman terlihat saat mobil itu memasuki area kantor dan berhenti tepat didepan pintu utama. Ini adalah hari yang sangat ia tunggu-tunggu. Hari dimana ia bisa bertemu dengan Luhan setelah satu minggu yang sangat menyebalkan.

Seorang pengawal membukakan pintu dan mempersilahkannya memasuki gedung itu. Beberapa pengawal lainnya sudah berdiri disekitaran gedung. Sehun sedikit menggelengkan kepala lalu melenggang masuk.

Kantor itu masih terlihat lengang. Beberapa karyawan yang sudah datang membungkuk memberi hormat sekaligus memberikan ucapan prihatin atas kejadian yang menimpanya.

Tidak seperti biasanya, Sehun pergi menuju kantin. Masih dengan wajah yang berseri-seri, ia mengumumkan bahwa semua orang berhak mendapatkan makanan gratis atas kerja keras mereka selama satu minggu ini. Mereka pun bersorak senang dan memuji sikap dermawan pemimpin baru mereka.

"Kutebak pasti ada sesuatu yang harus dibayar untuk semua ini."

Sehun tersenyum. "Kau berlebihan, Tiff. Aku hanya ingin berbagi atas kesembuhanku. Itu saja, apa tidak boleh?"

Tiffany berdecih, melanjutkan langkahnya yang tergantung ditengah pintu masuk ruangan Sehun. "Baguslah. Karena aku benar-benar lelah menuruti perintah ayahmu yang berlebihan itu. Dan kau, jadi anak baik saja hari ini."

Sehun tidak terlalu memperdulikan ucapan Tiffany yang kini sudah duduk menyandar di sofa. Tapi saat sebuah ketukan pintu kembali terdengar, keduanya sama-sama menoleh. Terutama Sehun yang kini sudah tersenyum penuh arti dari balik meja kerjanya.

Sehun langsung berdiri dan membukakan pintu lebih lebar. Siapa lagi kalau bukan si gadis berbulu mata cantik dambaan hatinya.

"Maaf, apa aku mengganggu?" ucapnya saat menyadari bahwa Sehun tidak sendirian didalam.

"Jika yang kau maksud mengganggu pikiranku, sudah sejak dulu kau melakukannya. Masuklah, dan apakah itu untukku?" ucap Sehun seraya melirik jinjingan ditangan Luhan.

Sementara Luhan mengangguk, Sehun menyempatkan diri untuk mencium pipinya. Membuat perempuan itu terbelalak kaget, karena Tiffany tentu saja masih disana melihatnya.

"Morning kiss." Ucap Sehun dengan semangat dan sangat kekanakan.

"A-apa yang kau lakukan?" ucap Luhan terbata-bata.

"Kenapa? Ah.. kau mau ku cium ditempat lain?"

"Hentikan itu, Oh Sehun. Kau bisa membuat wajahnya terbakar." Tiffany memutar kedua bola matanya jengah.

Sehun terkikik geli. "Apa kau malu karena ada Tiffany? Jika kau berpikir ia orang yang menyebalkan, maka aku juga."

"Yak!"

"Pergilah Tiff, aku harus menyelesaikan quality timeku dengan Luhan."

"Aku juga belum sarapan."

"Kalau begitu pergilah ke kantin, kau bisa makan apapun disana."

"Bukankah makanan yang kau bawa cukup untuk kita bertiga?" Tiffany menatap Luhan.

Luhan melirik pada Sehun yang menatap tajam pada sekretarisnya itu.

"Cukup Nona Tiffany, sekarang kuperintahkan kau untuk menyingkir dari ruangan ini. Kau tidak mengerti? Perlu kupanggilkan security karena sekretarisku ini benar-benar mengganggu?"

Dengan wajah sebal, akhirnya Tiffany mengalah dan keluar dari ruangan bernuansa maskulin itu.

"Apa tidak apa-apa mengusir Tiffany seperti itu?"

"Kenapa kau memikirkan Tiffany? Kemarilah, aku sangat kelaparan." Ucap Sehun dengan nada manja. Sangat berbeda dengan Tuan Oh Sehun yang biasa dilihat semua orang.

"Kalau kau lapar kenapa tidak sarapan dirumah? Menyebalkan."

"Karena aku merindukanmu. Baekhyun yang memasak?"

Luhan memutar bola matanya. "Kau tahu aku tidak bersahabat dengan dapur. Lagipula Baekhyun tidak akan mau berbagi dapur cantiknya denganku."

"Kalau begitu aku akan mengajarimu."

"Kau bisa memasak?"

"Tentu saja. Kau harusnya merasa beruntung karena aku ini lelaki idaman."

Luhan berdecih medengarnya.

"Walau bagaimanapun kau ini perempuan, mana mungkin kau tidak bisa memasak? Bagaimana kau akan menyambut suamimu saat ia pulang bekerja nanti?" lanjut Sehun.

"Kalau begitu aku akan menikah dengan lelaki yang tidak manja dan bisa memasak." ucap Luhan asal.

"Apa itu artinya kau akan menikahiku?"

"A-apa? Oh, itu.." Luhan menggigit bibir bawahnya tidak tahu harus menjawab apa. "Aku.. habiskan sarapanmu, pekerjaanku sangat menumpuk hari ini." Ucap Luhan yang langsung beranjak dari duduknya, membuat Sehun tidak bisa menahan tawa.

.

Luhan kembali ke ruangannya dengan senyum selebar daun maple disertai deretan giginya yang rapi. Hidup dengan Sehun bukan ide yang buruk, batinnya. Tapi senyum itu hanya sampai dibatas pintu. Segera setelah ia menyadari siapa yang ada didalam ruangannya, raut yang tadi berseri-seri itu berubah tegang.

"Sepertinya kau senang sekali pagi ini. Menikmati sarapanmu?"

Perempuan dengan blus biru laut itu menundukkan kepalanya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus takut.

"S-sajangnim.."

"Aku tidak tahu sudah sejauh mana hubunganmu dengan Sehun, aku tidak peduli dan aku tidak suka. Kau tahu ia akan semakin sibuk dengan perannya sebagai penerus perusahaan. Apa kau berniat menjadi kerikil penyandung jalannya?"

"Bagaimana kabar ayahmu?" tambahnya.

"Ya? O-oh, itu.."

"Bagaimana jika kita lakukan kesepakatan?"

.

.

Luhan masih duduk disalah satu kursi ruang rapat. Well, ya. Hampir semua orang tahu hubungannya dengan Sehun, dan masih banyak juga tatapan-tatapan menghakimi akibat kejadian minggu lalu yang menyebabkan Sehun hampir kehilangan nyawanya. Luhan tidak tahu, ia tidak mengerti apa yang salah dengan hubungannya dengan Sehun.

Jika karena status mereka 'atasan dan bawahan' bukankah banyak yang memiliki hubungan seperti itu?

Pikirannya jauh menerawang. Bukan karena hasil presentasi yang tidak memuaskan, bukan juga karena kritikan dan tatapan menghakimi semua orang. Tapi karena sebuah tawaran menggiurkan sekaligus menyakitkan yang ditawarkan seorang Oh Jaewon kemarin pagi.

Apakah ia harus menerimanya? Jika ya, maka hubungannya dengan Sehun..

Dan jika tidak, satu-satunya kesempatan besar harus ia lewatkan begitu saja.

Luhan sedikit memijit kepalanya. Padahal baru saja ia bersyukur karena bisa merasakan manisnya hidup bersama Oh Sehun. Tapi kenyataannya kini berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan.

Benar-benar membuat kepalaku pusing.

Sehun memperhatikan Luhan dari ujung meja rapat itu. Luhan terlihat tidak fokus dan sedikit pucat. Apa dia sakit? Sehun bertanya-tanya salam hati. Tanpa mengalihkan matanya, Sehun mengirimi Luhan sebuah pesan singkat.

To: My Precious Luhan

Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat. Jika kau merasa tidak baik, kau boleh meninggalkan ruangan. Jangan paksakan dirimu.

Luhan langsung melirik dimana tempat Sehun duduk. Mata mereka bertemu. Luhan hanya tersenyum dan mengisyaratkan dengan matanya bahwa ia baik-baik saja tanpa membalas pesan itu. Dan dari kejauhan, Sehun terlihat menghela nafas lalu kembali fokus pada seseorang yang sedang melakukan presentasi didepan.

Setelah dua jam, akhirnya rapat itu ditutup dengan keputusan yang cukup memuaskan. Semua orang berkemas kembali ke ruangan masing-masing. Termasuk Luhan. Dengan tidak semangatnya ia membereskan berkas-berkas dihadapannya dan beranjak keluar ruangan sama seperti yang lainnya.

Tapi sebuah tangan kekar menariknya untuk kembali duduk. Sehun memutar kursi yang diduduki Luhan sehingga kini mereka berhadapan. Luhan terbelalak karena saat ini masih ada beberapa orang yang tinggal di ruangan itu. Dan demi Tuhan, Luhan ingin segera berlari ke toilet saat Sehun dengan gamblangnya menyentuh kening Luhan tanpa dosa.

"Kau yakin kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat, dan kau tidak fokus selama rapat."

"S-sajangnim.."

"Jawab aku, Luhan." Ucap Sehun penuh penegasan.

Luhan menggigit bibir bawahnya dan melirik sekitar. Merasa putus asa karena setengah dari orang-orang itu ternyata masih berada diruangan. Ada yang memekik iri dengan perlakuan manis Sehun, tapi ada juga yang berdecih merendahkan. Ia mendesah pelan, sedikit mengutuk Sehun karena tingkahnya.

"Jika kau tidak menjawab, aku akan membawamu pulang sekarang juga."

Luhan lebih terbelalak lagi. Ingin rasanya ia terjun ke lantai dasar dan melarikan diri sekarang juga. "T-tidak, maksudku, ya.. saya baik-baik saja. Hanya.." Luhan menggulung ujung rok dengan jarinya. "..sedikit kelelahan. Ya, saya hanya sedikit lelah. T-terima kasih sudah memperhatikan." Ucapnya secara formal. Masih dengan menundukan kepalanya.

Sementara Sehun menyelidik dengan matanya. Apakah Luhan berbohong atau tidak. Dan saat ia akan kembali bicara, Tiffany menginterupsi untuk segera bersiap-siap menemui investor dari Jepang.

Sehun menghela nafas. "Pastikan kau beristirahat dengan nyaman diruanganmu." Lalu pergi meninggalkan Luhan bersama tatapan-tatapan penasaran disekitarnya.

.

.

"Kau gila?! Kenapa kau memperlakukan Luhan seperti itu didepan orang lain?"

Mereka sudah sampai diruangan Presiden Direktur perusahaan itu. Dan Tiffany melempar tablet berisikan jadwal padat Sehun selama beberapa hari kedepan. Lalu duduk dengan cara tidak sopan disofa ruangan itu.

Sementara Sehun terus bungkam, pikirannya seperti tidak sedang bersama tubuhnya. Ia melonggarkan sedikit dasinya, lalu duduk dikursi kebesarannya.

"Oh Sehun, kau tidak mendengarkanku?! Yak!"

"Diamlah Tiff. Aku sedang berpikir." Jawabnya tak kalah keras. "Menurutmu kenapa Luhan terlihat pucat dan tidak bersemangat hari ini?"

"Apa dipikiranmu hanya ada Luhan saja? Kau mau kulaporkan cara kerjamu yang tidak berkualitas ini pada ayahmu? Kau harus bertemu investor dari Jepang."

Sehun sedikit berpikir tentang jadwalnya. Tentu saja ia harus pergi, ini adalah pertemuan penting. Tiffany sudah mereservasi ruangan VIP di sebuah hotel berkelas sejak malam tadi. Dan mengenai investor asal negeri sakura itu, Sehun menyeringai senang.

"Kalau begitu pindahkan pertemuannya ke restoran Jepang. Aku lapar dan sangat ingin makan masakan Jepang." Ucapnya sambil berlalu.

Sementara Tiffany memijit keningnya menghadapi putra Tuan Oh yang sangat menyebalkan. "Haruskah aku berhenti dan mencari pekerjaan lain saja? Aish! Menyebalkan!"

.

.

"Puas? Kau membuat klienmu kebingungan. Beruntung ia masih mau bertemu denganmu."

"Oh ayolah Tiff, bukankah ini ide yang bagus? Harusnya kau bersyukur karena tidak perlu mengurus pembayaran dan reservasi ulang."

Tiffany memutar bola matanya. "Terserah padamu."

Sementara Sehun dengan segala macam makanan didalam mulutnya hanya mengangkat bahu acuh.

.

.

Luhan berjalan gotai menuju lift. Memikirkan apakah keputusannya benar? Apakah ia bisa menghadapinya? Apakah tidak apa-apa ia menjadi seorang murahan yang hanya luluh karena uang?

Tidak. Semua akan baik-baik saja. Ini demi ayahnya. Rasa sakit ini hanya sementara. Luhan hanya perlu bertahan. Ya, setidaknya itulah yang ia pikirkan.

Tapi saat Sehun menghampiri pikirannya, Luhan tidak sanggup. Ini tidak adil. Mengapa ia harus merasa kesakitan saat cintanya benar-benar terbalas? Mengapa cintanya dianggap tidak pantas? Mengapa harus dirinya? Mengapa mencintai Sehun harus sesakit ini?

Luhan manangis terduduk didalam lift. Rasa sesak itu menyeruak hingga rasanya untuk menghirup udara saja ia tidak mampu. Air mata itu seolah berlomba, terjun, terus menuruni dagu lancipnya dan berakhir di ujung bajunya yang mulai basah.

.

.

Luhan merogoh ponselnya untuk menelepon seseorang. Seseorang yang mungkin akan sangat dirindukannya dimasa depan. Seseorang yang sangat dicintainya.

"Pangeran Oh Sehun yang tampan disini, apa yang bisa kulakukan untuk My Precious Luhan?"

Butuh beberapa detik untuk Luhan menjawab Sehun. Rasa sesak dan perasaan bersalah itu tidak bisa ia tahan. Luhan bahkan harus menggigit tangannya dan menjauhkan ponselnya agar Sehun tidak curiga.

My Precious Luhan.

Astaga, sanggupkah Luhan berbohong padanya? Sanggupkah Luhan meninggalkannya?

"Sehun.."

"Yes, My Precious?"

"Kau bilang, kau akan mengajariku memasak. Ayo kita lakukan."

.

.

.

TBC

.

.

.

Hallo readers, long time no see haha

Hiatus hamper setengah tahun gilaaaa. FF gue gaada yg selesai, semua pada gantung. Readers pasti gak suka. ASTAGAAAAAAA gue mau teriak. Rasanya bisa nyelesein chapter ini tuh wow banget! Terdiri dari beberapa file ga keurus karena gue bikin trs ga cocok, trs bikin lagi, trs gak cocok lagi. Dan pada akhirnya jadilah chapter ini. Haha

Gue gak mau berekspektasi bakal banyak yang review, karena demi duit dalem dompet dari kayangan, gue yakin FF ini banyak yang lupa. Wkwk but its ok. Gue gak maksa kok. Gue Cuma sekedar mau ngelunturin kewajiban gue aja sebagai penulis. Seenggaknya satu chapter berkurang dari deadline. Haha

Siapapun yang dapet notif update-an FF ini, gue mau nanya, ini ff menarik ngga sih? Kadang gue ngerasa kok males ya ngelanjutinnya? Setiap mau lanjut, selalu stuck ditengah jalan. Yaa selain dari dunia nyata gue yang semakin rumit, kok bikin ff malah ikutan ruwet ya? Gue gatau penulis yg lain kaya gini atau ngga, gue udah berusaha semampu gue buat lanjut, dan hasilnya kaya gini. Gimana menurut kalian? Apa ff ini layak dinikmati? Layak dinanti?

Aaaaaaaaaaaahh seriously jangan tabok gue pake kolor Lulu, nanti gue minta nambah *ehhh haha so asik banget ya gue. Btw jangan ngarep ff ini bakal cepet update ya. Gue bukan orang jenius yang bisa ngelakuin beberapa hal dalam sewaktu. Harap maklum, mhsswi smt 4 yang udah mulai disuruh nyari tempat magang dan harus begadang nyelesein karya ilmiah *cielaaah* tapi gue usahain secepet yg gue bisa yaa. Sorry juga banyak typo.

Udahlah gue gamau bercuap-cuap kepanjangan nanti kalian bosen dan ninggalin gue, nanti gue gaada yg nemenin, nanti ff gue tambah sepi, nanti gue sedih, nanti, yaa nanti lagi deh ya.

Bye bye readersdeul. Semoga kalian suka.

Love you.