CHAPTER2Bang! Bang!

Srrett-

Seseorang menarik tubuh Luhan mencegahnya untuk mendekati Sehun. Ia menyeret ke bagian yang tak terjangkau oleh mata. Gelap. Sempit. Sekapan tangan itu membuat mulut Luhan mengoyak kasar. Dia mencoba untuk berteriak dan melepaskan sekapan itu.

"Akhhh!" Gigitan kecil ia tujukan untuk orang di depannya. Wajah yang samar terlihat. Tapi wangi parfumnya masih bisa ia cium sangat jelas.

"Siapa kau?"

"Jangan kemana-mana. Tetap disini!"

"Uh? T-Tapi…" Ia berlalu begitu saja tanpa mau mendengar ucapannya. Yang jelas dia bukan Sehun. Sebenarnya, tadi Luhan ingin menyelamatkan Sehun dari sekumpulan orang yang sudah lebih dulu memukulinya. Tapi, ia berakhir di tempat menakutkan ini.

Tangannya bersusah payah mengambil ponsel di dalam slingbag miliknya. Namun, entah kenapa ponselnya tak kunjung ia dapat. Emosinya memuncak dan rasanya ingin menangis kesal saat itu. Takut. Bingung. Kacau. Seluruh kekesalannya entah kenapa memuncak di saat segenting ini.

"Oh, ya ampun… ayolah…" Dapat. Ia berhasil menemukannya meski harus mengeluarkan seluruh isi tasnya. Ia harus berperang dengan kegelapan untuk menemukannya. Liptint, bedak, dompet, dan headshet berserakan tak karuan di tanah kasar. Gadis itu tersungkur menyedihkan sambil menyalakan ponselnya. Memanggil seseorang yang bisa ia hubungi. Tentu saja, ia berharap Lay akan menjawab panggilannya.

"Halo-" terdengar suara lembut di ujung telefon. Luhan tersenyum di tengah ketakutannya. Perasaan kalutnya sedikit hilang hanya karena mendengar suara Lay yang selalu membuatnya tenang.

.

.

.

.

"Ambil ini…." Kai melempar beberapa lembar uang tepat di depan seseorang yang berpakaian serba hitam. Ia manatap tajam Kai. Kai baru saja datang di tengah perkelahian yang mulai sedikit tenang. Ikut bergabung dengan saudara kandungnya dan teman sepermainanya yang telah terbujur lemah di sisi jalan.

"Bukankah ini yang kau mau? Ambilah dan jangan pernah ganggu kami lagi!" Ucap Chanyeol dengan tatapan kemenangan, merasa berhasil menyuap kelemahan mereka. Alasan apa lagi yang bisa membuat mereka menghakimi orang tak bersalah jika bukan karena uang.

"Kau pikir aku pengemis? Ambil kembali uang kotormu itu. Aku sama sekali tak membutuhkannya."

"Apa?!" Chanyeol menghalangi Kai yang akan melayangkan pukulan di wajahnya. Ucapan kasarnya itu langsung membuatnya bertindak. Kata-kata sensitif yang sering dijadikan umpan untuk menarik emosi seorang Kai.

"Apa maumu, brengsek? Kau memukulnya tanpa alasan? Oh, kau benar-benar mengagumkan. Kau pikir kami percaya lalu pergi begitu saja?"

"Ya, Berikan padanya." Seseorang yang berada di pihaknya memberikan selembar foto ukuran 3R. Chanyeol dan Kai membulatkan matanya dan saling menatap tak percaya. Kemudian ia menatap Sehun yang sudah berlumuran darah di sebagian wajahnya. Menyedihkan.

"Aku dengar dia satu sekolah dengan kalian. Ahh, apa bisa kita sebut takdir? Perempuan secantik dia akan menjadi tunanganku dan dia satu sekolah dengan bajingan kecil seperti kalian. Woah! Aku sangat tersentuh."

"Hentikan!" Sehun mencoba berdiri dan mengatakan sesuatu kepada mereka. Chanyeol membantunya berdiri dan memegangi tangannya agar bisa berdiri.

"Sunbae-nim! Aku tidak akan melakukannya lagi. Kau bisa percaya padaku. Maafkan sikap teman-temanku." Ucap Sehun setengah sadar. Orang yang dipanggilnya sunbae tersenyum puas saat setelah Sehun menuruti apa yang tadi ia ucapkan.

"Ohh, mengapa kau jadi penurut? Hmm, baiklah. Aku akan percaya padamu." Sehun terdiam. Chanyeol dan Kai masih bingung tentang keadaan yang sebenarnya terjadi. Ancaman apalagi yang ia katakan hingga membuat Sehun bertekuk lutut dengan mudahnya.

"Bawalah teman kesayanganmu ke rumah sakit. Aku pergi!" Dia pergi menyisakan emosi yang semakin membara saat tatapan mata cantiknya menatap remeh kepada Chanyeol dan Kai. Setelah itu, Chanyeol dan Kai membawa Sehun ke apartment miliknya. Rumah sakit bukan tempat yang tepat untuk Sehun.

Kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi, Sehun sering mendapat pukulan tanpa alasan seperti ini. Itu mereka lakukan aih-alih karena kesalahan yang Sehun lakukan tanpa sadar. Atau karena uang. Chanyeol dan Kai berkali-kali mengingatkan Sehun agar tidak berurusan lagi dengan mereka tapi rupanya Sehun tak pernah mendengarkan ucapan mereka dengan baik.

Pukul 22.40

Sehun terbaring lemah di atas ranjang ukuran king-size. Chanyeol sedang berkutat lembut di dapur. Kai membantunya membalut luka Sehun yang sangat parah. Tak satupun dari mereka memulai pembicaraan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tanpa mau merusak keheningan yang sudah terjadi.

Sehun yang sedang memejamkan matanya tiba-tiba membuka mata dan mengatakan suatu hal tentang kesepakatan yang telah mereka sepakati.

"Aku… Aku tidak bisa melakukannya."

"Apa?" balas Kai sedikit membentak. Ia tetap membasuh lukanya dengan handuk yang baru saja ia rendam dalam air hangat.

"Aku tidak bisa mengikuti kemauanmu untuk bermain dengan Luhan. Aku juga tidak mau kalau foto itu disebarkan. Sebagai gantinya, aku akan melakukan hal lain."

"Sehun-ah! " Kai membuang napasnya perlahan. Menaruh handuk yang telah penuh dengan darah dan membilasnya dengan air hangat baru.

"Kau anggap kami apa selama ini?"

"Eum?" Sehun terdiam. Dia berpikir sangat serius saat itu. Kai hanya melihatnya, menunggu jawaban Sehun.

"Sejak hari itu…"

2 tahun yang lalu,

Malam musim dingin ketiga, beberapa hari sebelum hari natal datang. Malam paling bersejarah dalam kehidupan seorang anak berumur 16 tahun. Saat itu, dia tidak tahu jika dirinya masuk ke dalam siklus balas dendam yang bertahun-tahun terjadi di antara kedua orang tua mereka. Dalam arti lain, mereka adalah korban dari kemunafikan orang dewasa. Hasrat akan uang dan menjadi penguasa.

Oh Sehun merupakan putra tunggal dari keluarga Oh. Dia akan menjadi penerus perusahaan ayahnya yang sudah mendapat perhatian besar di pasar Asia.

Disisi lain, Lee Taeyong juga merupakan putra tunggal dari keluarga Lee. Perusahaan besar yang menduduki peringkat kedua setelah perusahaan keluarga Oh.

Kedua status itulah yang membuat kedua anak polos itu bersaing sejak kecil. Di sekolah mereka bersaing mendapat peringkat. Namun lagi-lagi Sehun selalu menduduki peringkat pertama di sekolahnya. Hal itu membuat Taeyong kesal, dia selalu dimarahi habis-habisan setelah pengumuman hasil ranking. Pertanyaan yang masih sama. Kau tidak diciptakan untuk menjadi nomor 2, kenapa?

Selama kurang lebih 15 tahun mereka selalu bersama dan tumbuh bersama dengan persaingan. Saat memasuki SMA, Sehun berhasil diterima di sekolah tinggi terbaik di Seoul. Namun, Keluarga lee memutuskan jika Taeyong harus homeschooling. Alasannya masih sama, karena Taeyong selalu tak bisa mengalahkan Sehun.

Pertemuan mereka terjadi kembali setelah setahun berpisah, saat itu keduanya menginjak usia yang lebih besar yaitu 16 tahun. Namun, aroma persaingan masih terasa diantara keduanya.

Membuat Sehun menjadi anak nakal adalah rencana Taeyong untuk bisa mengalahkannya. Menghasutnya ikut ke dalam sebuah perkumpulan yang tak jelas aktifitasnya, membujuknya untuk mencoba yang namanya rokok, meminum alkohol, hingga membuat Sehun terlalu jatuh cinta dengan yang namanya kebebasan.

Ia mulai tidak peduli dengan sekolahnya, tak pernah belajar, peringkatnya selalu nomor 3 dari bawah, kerjanya tidur di kelas, berkencan dengan yang namanya club malam dan semua itu berhasil membuat Sehun berubah.

Parahnya lagi, sejak Sehun memasuki sekolah menengah atas, kedua orangtuanya membiarkannya tinggal sendiri di Korea. Perusahaan keluarga Oh memang sedang giat-giatnya menarik hati investor Eropa untuk mau bekerja sama dengannya. Tapi, keputusan besar itu malah membuat Sehun teracuni oleh rencana jahat seorang Lee Taeyong. Dan bodohnya lagi, Sehun tak pernah sadar akan hal itu.

Sampai dimana Sehun mengalami titik kemarahannya karena merasa uangnya selalu dikuras oleh teman-temannya. Mungkin tidak bisa disebut teman, mereka orang suruhan Taeyong. Tentu saja mereka hanya memanfaatkan Sehun dan mendapat keuntungan dari keduanya.

Hari itu, Sehun menolak untuk memberikan uang 10 juta kepada mereka. Sehun yang dalam kondisi mabuk berat terus menolak habis-habisan. Orang-orang itu memukulinya sampai Sehun mau memberikan uangnya. Darah sudah mengucur deras di bagian pelipis serta samping bibirnya. Tapi Sehun tak bisa membalas pukulannya karena ia sedang mabuk.

Brrakk… Sehun terbuang jauh menabrak tong besar yang berdiri bebas di pinggiran. Orang-orang itu gila. Mereka memukuli orang mabuk dan hampir membuatnya mati.

"Ya ! Stop!" Sehun terbaring menahan sakit di seluruh tubuhnya. Seseorang datang. Ia memberikan sejumlah uang yang ia inginkan. Mengancamnya untuk tidak mengganggunya lagi.

"Pergilah!" Sehun mencoba membuka matanya perlahan. Bayangannya terlihat samar namun Sehun bisa mengenalinya. Orang yang telah bersamanya dalam waktu yang lama sekaligus menjadi saingannya dimanapun ia berada.

Lee Taeyong.

"…. Sebenarnya orang yang memukuliku bukan dia. Dia datang menyelamatkanku lebih dulu sebelum kalian datang. Aku ingin menjelaskannya hari itu tapi aku tak sanggup untuk mengatakannya langsung."

"Taeyong?" Sehun mengangguk.

"Lalu?" sahut Chanyeol yang baru saja masuk membawakan semangkuk bubur hangat untuk Sehun.

"Aku takut. Aku marah pada diriku sendiri. Aku merasa sangat menyedihkan. Orang yang seharusnya menjadi rival malah menyelamatkanku disaat kondisiku benar-benar buruk. Karena ketakutanku, aku bersembunyi di belakang kalian. Aku tak sanggup untuk bersaing lagi dengannya. Dia jauh lebih terhormat."

"Karena itu kau memanggilnya sunbae? Menuruti apapun kemauannya seperti yang kau lakukan pada kami? Termasuk jika itu menyakiti dirimu?" Sehun diam. Menahan tangisnya yang mulai memenuhi matanya.

"Sehun-ah, kau pikir kami akan tega mengkhianatimu? Kami bukanlah orang seperti itu. Jangan samakan kami dengan Taeyong, kami memilih untuk menyelamatkanmu karena kau seorang teman yang seharusnya kita lindungi. Tapi ternyata kau hanya menganggap kami seorang yang menakutkan untukmu." Jelas Chanyeol dengan raut wajah seriusnya. Dia seperti seorang bapak yang sekarang sedang menasehati anak kesayangannya.

"Kartu as yang kami bicarakan… sebenarnya tidak ada. Aku bisa saja menempel poster, mengatakan jika kau mantan seorang gangster menakutkan di kota tapi aku tak bisa melakukannya. Lalu, foto itu… kami masih menyimpannya tapi kau pikir sekolah akan gempar melihat foto itu? Seorang pembuat masalah sepertimu? Aku yakin tidak akan berhasil."

"Apa? Jadi… kalian membohongiku?"

"Sehun-ah, jangan terlalu serius jadi orang. Ingatlah kita masih 18 tahun, kita seharusnya bersenang-senang bukan? Lupakan Taeyong atau siapalah dia. Mulai saat ini, lakukan apapun yang kau sukai. Jangan memikirkan tentang siapapun. Pikirkan dirimu sendiri. Apa yang ingin kau lakukan." Chanyeol sudah berhasil menjadi seorang bapak bagi Sehun. Kai tersenyum terharu dengan ucapan Chanyeol yang sangat bijak.

"Apa kau sakit?" tanya Kai. Sehun berusaha menyembunyikan tawanya dibalik luka di bibirnya.

"Tidak! Kenapa?"

"Ahh, lupakan. Ayo kita makan—" Sorak Kai mencairkan suasana yang menegang. Kai mengambil ponselnya, Chanyeol menghalanginya untuk melakukannya.

"Tidak untuk ayam! Aku sudah membuat makananmu di meja makan." Kai mengumpat kesal pada Chanyeol yang selalu tahu kebiasaannya memesan ayam malam hari.

"Baik, abboji! " Ia sampai membungkuk pada Chanyeol. Membuatnya semakin ingin memukulnya dengan sendok yang sedang ia bawa sekarang.

.

.

.

.

Lay menemukan Luhan sedang menangis di sudut jalan yang sangat gelap. Gadis itu terlihat tidak baik dan wajahnya terlihat sangat ketakutan saat Lay datang. Sebagai seorang kakak, Lay langsung mendekapnya dan mengatakan untuk jangan takut karena dirinya sudah disini sekarang.

Lay turut menyesal karena selalu mengabaikan pesan dan telefon Luhan. Padahal disaat seperti itu, Luhan sangat membutuhkan bantuanya. Dan malam ini, merupakan salah satu dari akibat kesalahan yang ia lakukan.

Sesampainya di depan kediaman Luhan, Lay berdiri menghadap Luhan. Memberikan slingbag milik Luhan dan menyuruhnya masuk.

"Oppa, aku masuk dulu. Terima kasih." Lay menahan Luhan untuk masuk. Dia terlihat bingung bagaimana untuk mengatakannya.

"Tidak ada. Masuklah, besok kita bicara lagi." Luhan tersenyum pada Lay dan masuk menutup pintu pagarnya. Alasan lain dari kesibukkan Lay adalah dia sudah diterima untuk menjalani pelatihan di sebuah agensi musik terbesar di Korea. Dia tak sengaja mengikuti audisi dan diterima. Sudah seminggu ini dia melakukannya dan belum sempat ia katakan pada Luhan.

Hari ini? Melihat kondisi Luhan yang tidak baik, ia tidak bisa mengatakannya. Jadi, akan ia katakan lain kali, pikir Lay.

Luhan dengan wajah sembapnya masuk kedalam dan bingung dengan keadaan rumahnya yang setenang air. Sebelum ia berangkat, Mama Jeonghan dan Papa Hanbin masih bertengkar habis-habisan di kamar. Dan sekarang, keadaan berkebalikan.

Luhan duduk di kursi tamu lemas. Ia menoleh ke seluruh bagian rumahnya. Lalu tersenyum pahit. Berdiri dan berjalan kearah dapur untuk mengambil segelas air. Matanya tak sengaja mendapati sebuah tulisan di memo kecil.

-Besok ada hari spesial, pastikan kau tidak keluar rumah setelah pulang sekolah. Mama akan menjemputmu besok.-

"Aneh… sejak kapan dia akan meluangkan waktu ke sekolah. Apa dia tahu jalan ke sekolah? Hhh-" Luhan membuang memo kecil itu ke tempat sampah dan memilih untuk naik ke atas kamarnya.

.

.

.

.

Hari Jumat, tanggal 15 April 2016. Hari spesial yang dibicarakan Mama Jeonghan sungguh membuat kepala Luhan penat mendengarnya. Berulang kali ia mengingatkannya tanpa mau menjelaskan apa maksudnya. Papa Hanbin akan mengantarnya ke sekolah pagi ini dan Mama Jeonghan akan menjemputnya nanti. Apa ini? Hari spesial apa?

"Pa, apa sidang perceraian kalian hari ini?" tanya Luhan saat dalam perjalanan ke sekolah. Papa Hanbin menoleh ke samping, tempat dimana Luhan sedang gusar memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Jika memang hari ini, maka sudah jelas apa yang sedang mereka lakukan. Berusaha membuat kenangan indah untuk perpisahan.

"Sayang… bukan seperti itu. Kami memutuskan untuk melakukannya saat kau lulus nanti. Jadi jangan khawatirkan kami, fokus pada ujianmu. Mengerti?" Luhan menunduk sedih. Menahan air matanya agar tidak keluar lagi. Cukup semalam ia menghabiskan air matanya.

"Tidak bisakah kalian tetap bersama? Aku… tidak tahu harus bagaimana saat tanpa papa atau mama." Tangan Papa Hanbin mengelus lembut rambut Luhan. Meski hanya sebentar, dia merasa sedikit tenang. Setidaknya untuk sementara ini dia tidak perlu memutuskan pilihannya.

"Mama akan menjemputmu nanti. Sampai nanti sayang…" Mobil Papa Luhan melaju cepat dari tempat Luhan berdiri. Diujung gerbang sekolah sudah ada Lay yang menunggu Luhan. Memang itulah yang ia lakukan, setiap pagi dia akan menunggu Luhan di halte. Tapi kali ini Luhan menyuruh untuk menunggunya di gerbang sekolah.

"Hey, rusa…" Luhan menoleh. Ia mendapati Lay sedang tersenyum padanya.

"Jangan memanggilku seperti itu. Kau gila?" Lay mengiyakan lalu tertawa. Luhan menggandeng Lay selama perjalanan mereka ke kelas.

"Oppa, sepertinya nanti kita tidak bisa pulang bersama."

"Kenapa?"

"Benar. Aku juga tidak tahu ada apa dengan hari ini. Papa mengantarku dan Mama akan menjemputku. Aneh kan?"

"Aneh apanya… Justru itu menandakan jika hubungan mereka semakin membaik. Bukankah ini yang kau inginkan." Lay mengacak poni Luhan yang semakin panjang. Membuatnya berantakan.

"Assh- bukan seperti itu…"

"Lalu apa?"

"Akh, tidak tahu!" Luhan melepas genggaman tangannya dan berjalan cepat mendahului Lay. Bahkan dia sampai berlari. Lay merasa jika Luhan sedang PMS hari ini. Candaannya selalu dibuatnya serius dan dia mudah sekali marah. Sejak kemarin selalu sensitif, hal kecil selalu dibuat ribut. Untuk kali ini, Lay tak punya cara khusus untuk menghadapinya.

"Maaf…" Lay berdecak kesal, dia selalu begitu saat sedang marah. Menabrak orang. Itu karena dia hanya memikirkan emosinya selama berlari.

"Kau tidak apa-apa?" Lay datang dan bertanya pada Luhan.

"I-ya… Tapi…" Luhan melirik pada orang di depannya. Orang yang baru saja membantunya berdiri.

"Aku baik-baik saja." Orang yang ditabrak Luhan memberikan senyum memikatnya pagi itu. Luhan terus memandanginya dan langsung terpikat dengan wajah tampannya. Suara beratnya. Sentuhan tangannya.

"Mungkinkah… kau Xiu Luhan?"

"Em! Iya. Bagaimana kau tahu?"

"Syukurlah, kita akan sering bertemu kalau begitu. Sampai nanti…" Wangi parfumnya tercium begitu segar saat melewatinya.

"Oppa, kenapa ada orang setampan dia?" Lay melihat punggung orang barusan dan mengatakan sebaliknya.

"Seleramu sangat payah."

Pertemuan mereka benar-benar terjadi lagi. Luhan melihat sosoknya masuk ke dalam kelas dan diperkenalkan sebagai murid baru.

"Halo, aku Lee Taeyong. Kuharap kita bisa cepat akrab." Wajah baru yang membuat mata Luhan tak berkedip sedikitpun. Ia masih mengagumi sosok tampannya yang seperti kemustahilan menjadi kenyataan.

"Boleh aku duduk disini?" Lay menatap tajam pada Taeyong yang ingin merebut bangkunya. Dia sebenarnya tidak ingin, tapi melihat bagaimana sukanya Luhan padanya dia merelakan bangkunya untuk Taeyong.

"Terima kasih." Luhan kini bisa dengan bebas melihat pahatan sempurna di wajahnya dari satu hal yang masih belum ia sadar. Lay kini berganti menjadi Taeyong. Dia bahkan tak mencari Lay yang kini pindah ke bangku belakang.

"Bisa kau tidak melihatku? Aku ingin fokus pada pelajaran."

Ddeng~

Luhan tertangkap basah karena terlalu dalam menikmati wajah tampannya. Kini ia hanya bisa menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. Berbalik ke belakang dan memberi suatu kode pada Lay.

"Apa?" Begitu polosnya Lay, dia menjawab dengan suara keras disaat pelajaran sedang berlangsung. Itu semua karena Luhan mencoba untuk mengajaknya berkomunikasi.

"Lay, ada yang kau tanyakan?" Saem kini berbalik kearah Lay. Dia menunggu pertanyaan Lay.

"Eum… Saem, aku masih tidak mengerti. Bisa kau jelaskan lagi?" sahutnya sangat sopan diakhiri senyum kecil diakhir kalimat.

"Anak-anak… aku tahu matematika sangat sulit. Karena itu fokuslah pada apa yang aku sampaikan. Jangan memikirkan hal lain, mengerti!?"

"Iya!" Seru mereka bersamaan. Ini semua karena Lay yang mengacaukan keadaan kelas. Kelas dengan siswa berotak superior tidak mungkin sulit untuk memahami materi. Ini semua hanya bentuk pengalihan Lay.

Kring~

"Mau makan bersama?"

"Luhan, kau bilang ingin yogurt… ayo kita beli." Lay menghampiri bangku Luhan. Luhan menatap kedua lelaki itu bergantian.

"Eum, aku harus ke kamar mandi…" Luhan berjalan lebih dulu meninggalkan dua orang lelaki yang sama-sama mencari perhatian Luhan.

"Kau… Lay?" Lay mengangguk.

"Baru saja dia bilang ingin makan denganku. Jadi bisakah kau tidak mengganggunya?" Lay menatap tak percaya pada seseorang yang baru saja bertingkah manis di depan Luhan tapi menunjukan sikap berbeda saat berbicara dengannya.

"Benarkah? Baiklah, aku juga harus pergi. Tolong ingatkan dia, hari ini menunya penuh sayuran. Jangan sampai ia salah memilih makanan. Terima kasih." Taeyong mengangkat salah satu alisnya bingung.

"Kau siapa? Sepertinya kau sangat dekat dengan Luhan."

"Eum, dia sering memanggilku kakak. Tapi entahlah aku juga bingung. Taeyong-ah sampai nanti."

Sepeninggal Lay pergi, Taeyong berjalan menuju kamar mandi. Ia menunggu Luhan di luar. Tapi ketika itu juga dia bertemu orang yang sangat nantikan sejak kamarin. Dua orang yang ia sebut bajingan kecil.

"Ya—"

"Kau… Apa yang dilakukan seorang gangster di sekolah? Kau butuh uang hingga pergi ke sekolah?" Sahut Kai sambil menetertawakannya. Chanyeol sampai memukul-mukul bahu Kai karena terlalu lucu untuknya.

"Apa? Beraninya kalian…" pukulan pertama akan mendarat di pipi Chanyeol tapi ia menungkasnya.

"Wooo- ini sekolah, bukan arena perkelahian." Disaat itu, Luhan baru keluar dari dalam dan terkejut dengan keributan yang terjadi di luar.

"Taeyong-ah… kenapa disini?" Beberapa pria sedang berkumpul di depan toilet wanita, apa itu normal.

"Aku menunggumu. Ayo makan…"

"Luhan-ssi, jangan ikut dia." Bau parfum yang amat dikenalinya tercium saat Kai mendekat. Menghalanginya untuk pergi dengan Taeyong.

"Lepaskan tanganmu…" Taeyong meletakan tangannya juga. Taeyong dan Kai sepertinya memiliki dendam pribadi semenjak pertemuan mereka kemarin. Sekarang mereka terlihat tidak akur. Membuat Luhan bingung.

"Maaf, aku tidak mengenalmu." Luhan melepas tangan Kai dan mengikuti Taeyong pergi. Taeyong masih menggenggam lengan Luhan. Kemudian turun perlahan. Sentuhan jarinya terasa sangat lembut. Hingga berhenti di telapak tangannya, menggenggamnya erat kearah kantin.

"Jangan makan sop jamur, aku akan memberikan ikanku untukmu." Luhan terkejut saat Taeyong tahu makanan yang tidak ia sukai. Ia hanya bisa diam mendengar apapun yang Taeyong katakan padanya.

"Ini…" Sekotak yogurt rasa strawberry sudah ada di atas meja tepat di depan Luhan. Taeyong lagi-lagi tersenyum pada Luhan. Sikap lembutnya membuat Luhan jatuh hati pada Taeyong. Seseorang yang entah darimana datanganya dan berhasil membuat jantungnya berdetak sejak kehadirannya.

Tting!

Oh Sehun : Maaf kemarin aku tidak bisa mengantarmu pulang. Apa kau baik-baik saja?

Luhan terdiam sejenak. Ia melupakan seseorang yang semalam ia khawatirkan. Luhan menggigit bagian bawah bibirnya dan bingung untuk membalas pesannya.

"Siapa? Pacarmu?"

"Ha… Pacar?" sedikit demi sedikit ia menampakkan barisan gigi rapinya dan tertawa datar. Berusaha mengelak jika itu dari seorang pacar. Memang benar, Sehun sudah mengatakannya tapi Luhan sama sekali belum menjawabnya.

"Eum, jika boleh kutahu… apa hubunganmu dengan Sehun?"

"Kau kenal Sehun?" Taeyong mengangguk. Luhan semakin tak mengerti, kenapa semua orang yang ada disekolahnya mengenal Taeyong. Orang yang termasuk asing di matanya.

"Dia hanya seseorang. Iya, hanya kebetulan saja aku mengenalnya. Bukan sesuatu yang penting. Kenapa?" kebohongan terdeteksi di kedua matanya.

"Ahh begitu? Baguslah!"

"Bagus?"

"Kalau memang seperti itu, kupikir kita bisa dekat." Deg. Apa itu termasuk juga sebuah pengakuan, pikir Luhan. Ia masih tak bisa membedakan sebuah pengakuan atau hanya ucapan biasa. Perasaannya dikacaukan oleh beberapa orang yang seenaknya datang ke kehidupannya. Oh Sehun atau Lee Taeyong, siapa mereka?