CHAPTER 1

Tempat dimana Luhan menghabiskan waktu ketika saat bel istirahat tiba, yaitu perpustakaan. Alasannya, dia menyukai ketenangan dan aroma khas buku. Hal itu akan membuatnya terlelap dengan mudah. Apalagi jika sepasang headset tertempel di telinganya, sudah dipastikan ia tak akan terbangun oleh suara apapun kecuali, sentuhan manis jari seseorang.

Istirahat yang berlangsung 45 menit terasa cepat berlalu. Pelajaran selanjutnya ialah olahraga, tapi entah mengapa hari ini Luhan tampak sangat malas melakukan apapun. Sosoknya yang selalu rajin belajar tiba-tiba berubah. Ia tak menceritakan apapun pada sahabat dekatnya, Lay. Dia lebih memilih untuk berdiam diri dalam ketenangan yang ia sukai. Biasanya, Lay akan mendengarkan dengan baik apapun yang dikeluh kesahkannya, termasuk masalah keluarga ataupun dirinya sendiri. Belakangan ini, Lay sibuk melakukan kerja paruh waktu untuk menghidupi dirinya sendiri di kota besar seperti Seoul. Biaya hidup di Seoul tidaklah murah, apalagi bagi sosok pelajar seperti Lay yang tinggal seorang diri. Pastilah dia butuh yang namanya pekerjaan untuk mencukupi biaya kebutuhannya selama disini.

Kini, matahari sudah naik tepat di atas kepala. Bel masuk sudah nyaring berbunyi tapi ia tak kunjung bangun dari tidurnya. Tak seorang pun menyadari, jika ada siswa tidur di pojok ruangan karena tempat ini memang sangat tersudut dan hampir tidak ada siswa.

Anehnya, hari itu seseorang tiba-tiba mendekati rak buku yang tepat berada di dekat Luhan tertidur. Diluar ekspetasi Luhan sebelumnya, yang mengira hari ini akan sama seperti kemarin. Ia mengganggap tempat ini tempat terbaik untuk membolos dan bermalas-malasan di sekolah. Nyatanya, hari ini keberuntungan tak memihak padanya.

Langkah suara kaki mulai terdengar pelan. Suara yang samar-samar terdengar berganti menjadi lebih jelas dan terasa jika orang itu mulai mendekat. Seorang lelaki bertubuh tinggi terlihat seperti akan bersembunyi dari seseorang. Matanya terlihat bimbang dan selalu berputar mengawasi keadaan sekeliling. Hingga kedua matanya menyadari, ada seseorang yang sedang tidur disana dengan nyenyak. Dengan hati-hati, ia memilih duduk di sebelah Luhan. Lalu, mengikuti posisi yang sama dengan apa yang dilakukan Luhan. Keadaan lalu berubah menjadi setenang air dan cukup membingungkan. Apa yang dilakukan lelaki itu tak jelas sama sekali.

"Oh Sehun… keluar kau!" terdengar sebuah suara, Disusul dengan beberapa langkah kaki yang mendekat.

Rupanya panggilan itu cukup membuat bising, Luhan pun tampak bangun untuk melihat. Ini memang aneh, biasanya Luhan jarang sekali terganggu oleh suara-suara seperti ini tapi hari ini… dia terbangun hanya karena panggilan yang bukan miliknya.

"Oh! Siapa…" sahutnya bingung saat mendapati ada seseorang tidur di sebelahnya.

"Oh Sehun— Aku tahu kau disini! Keluarlah…"

"Sstt—" Lelaki itu menyandarkan wajah Luhan agar kembali menyandarkan wajahnya ke meja. Lalu tangannya mengambil buku yang letaknya tak jauh dari mereka. Dia menggunakan buku itu untuk menutupi kedua wajah mereka agar tak bisa dikenali.

Tap. Tap. Tap.

"Omo!" Seseorang baru saja datang dan mendapati kedua mahkluk yang terlihat sedang berciuman di balik buku yang menutupi wajah mereka. Dia pun memasang wajah kaget sambil menjauh dari mereka karena takut mengganggu.

"Jangan kesana… siswa sekarang tak punya malu melakukannya di tempat umum. Ahh, aku mau muntah—" kata seseorang sambil berlalu pergi.

Sepeninggal mereka pergi. Kedua pasang mahkluk yang masih terhimpit kondisi tak mengenakan itu pun segera mengakhiri adegan yang membuat tubuh mereka terasa gerah.

"Arghh, panasnya—" Lelaki itu pun beranjak berdiri. Luhan memandanginya dengan mata kecilnya penuh tanya.

"Ya! Kau mau pergi?" Luhan sedikit menaikan nada bicaranya sambil terus memandanginya yang masih tak sadar akan kesalahannya.

"Ahh! Untuk yang tadi kumohon jangan salah paham. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka. Jadi…"

"Apa kau bisa disebut lelaki? Bagaimana bisa kau tidak tahu apa kesalahanmu? Apa tak ada sepatah kata yang ingin kau ucapkan padaku?" ucap Luhan dengan kesal. Luhan melangkah mendekati Sehun. Sehun pun melangkah mundur. Dia tak mengindahkan apa yang Luhan katakan. Ia hanya diam dan memperhatikan saat gadis itu berteriak padanya. Baginya, cara dia marah dengan wajah imutnya terlihat sangat menggemaskan.

Sehun pun tertarik memandangi Luhan sedikit lebih lama. Memperhatikan setiap lekukan wajahnya yang tergambar cantik. Menatap hangat ke dalam matanya yang berbinar, lalu ke hidung mungilnya dan terakhir bibirnya yang kemerahan. Sehun nampak tersenyum tipis.

"Inikah yang membuatmu marah?" tanyanya masih didalam hati. Sehun melangkah maju untuk mendekati Luhan kembali. Luhan memasang wajah bingung, kenapa Sehun melakukan hal yang berkebalikan dengannya. Tubuh Sehun membuat Luhan terpojok. Kini, Luhan telah sampai di perbatasan ruang, dinding telah menahannya untuk berhenti. Tapi, Sehun masih tetap mendekati wajah Luhan yang cukup menarik baginya.

Bibir itu telah mengarah lebih dekat ke arahnya, membuat Luhan tak bisa berkutik dengan apa yang akan Sehun lakukan padanya. Luhan pun hanya bisa menutup matanya rapat-rapat seolah menyerah dengan nasib bibirnya sesaat lagi. Dia terlihat tidak nyaman dengan posisi itu. Panas. Dia mulai merasakan naiknya suhu panas di ruangan ber-AC itu. Tubuh mereka sudah semakin dekat, bibir Sehun mulai mengambil langkah untuk mendekati bibir mungil milik Luhan. Ia bisa mendengar detakan jantung milik keduanya yang memacu saling bergantian. Kedua tangan Luhan mulai menahan tubuhnya untuk tidak berdempet, tapi tangannya malah menyentuh bagian dadanya yang bidang.

"Bagaimana ini…" Luhan menutup kedua matanya rapat-rapat dengan mimik ketakutan yang masih jelas terlihat.

Ckrekk..

Keduanya terkejut dan menoleh ke sumber suara yang merupakan bunyi kamera. Luhan menampar pipi Sehun sedikit keras ketika wajahnya sedikit menjauh. Mungkin tamparan itu belum seberapa, tapi setidaknya hal itu mampu membuatnya sadar.

"Ke-kenapa kau… Aarghh!" Sehun memegangi pipinya yang mulai memerah. Sedangkan Luhan masih dengan tatapan tajamnya.

"Dasar mesum!" Luhan meninggalkan Sehun dengan kesalnya. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan perpustakaan. Dan apa yang ia dapat ketika sampai di ganggang pintu masuk. Dua orang sedang menertawakan fotonya dengan Sehun.

"Yakk! Jangan lari—" Luhan menamati betul nama dari dua orang tadi. Untungnya penglihatannya sangat tajam. Meski tulisan sekecil semut dengan jarak kurang lebih seratus meter, Luhan bisa dengan cepat membaca tulisan itu dan mengingat dengan tepat namanya.

"Kai Wu… Chanyeol Wu ..." katanya pelan. Ia bergerak cepat kembali kearah perpustakaan untuk pergi ke ruang guru. Dalam pikirannya hanya ada dua nama yang siap untuk dihabisinya. Dengan kata lain, sebagai mangsa baru untuk siap dikulitinya sampai ke tulang.

"3-3" Ruang kelas sudah ia dapatkan, hanya strategi untuk menangkap mangsanya agar tepat sasaran.

Ddrrtt…

Luhan tersenyum senang saat melihat siapa yang menelfonnya ketika itu.

"Lay! tunggu aku, aku akan kesana." Seusai menerima telefon darinya, Luhan berlari secepat yang ia bisa untuk menemui sahabat yang sudah lama tak ia temui karena kesibukannya.

Di tempat lain yang tak kalah tenangnya dengan perpustakaan, Luhan berjalan manja menuju Lay yang berdiri membelakanginya.

"Uri-Lay…" soraknya sedikit senang, namun wajahnya tetap tak bersemangat. Seperti biasanya, ia akan memeluk Lay dengan manja saat ia sedang dalam keadaan tidak baik atau saat ia benar-benar merindukan sosoknya.

"Apa ada yang terjadi?" Lay terkejut saat melihat Luhan langsung pergi memeluknya sambil merengek seperti anak kecil. Luhan tau Lay itu orangnya sangat mandiri dan pekerja keras jadi ia pasti bisa kuat saat menerima sedikit cobaan yang menimpanya. Berbeda dengan Luhan yang mengalami brokenhome, karena kedua orang tuanya sebentar lagi akan bercerai. Bulan depan sidang perceraiannya dan ia harus memilih untuk ikut papanya ke China atau tetap di Korea bersama ibunya. Ia tidak yakin bisa kuat menghadapi masalahnya sendiri, karena itu ia butuh sosok seperti Lay. Lay sudah kenal baik dengan kedua orang tua Luhan, karena mereka sering membantu Lay dalam hal keuangan dan sudah menganggap Lay sebagai anak sendiri di keluarga Luhan. Karena itu Luhan selalu nyaman jika bersama Lay, dia sudah seperti sosok kakak untuknya.

"Kau sudah memilih?" Luhan menggeleng. Matanya menatap kosong kearah hamparan langit yang sekilas memberi kesan menenangkan untuknya. Lay memberikan bahunya untuk Luhan baringkan agar ia bisa sedikit enteng.

"Jika aku kakakmu dan aku juga disuruh memilih, aku akan memilih untuk hidup sendiri dan mengajakmu tinggal bersamaku. Sayangnya, aku hanya teman. Bagaimana ini…" Saat mendengar pengandaian Lay, Luhan seperti mendapat ide cemerlang.

"Kalau begitu mari kita lakukan! Papa Hanbin akan menyetujuinya karena sudah menganggapmu sebagai kakakku. Mama Jeonghan juga pasti akan terima-terima saja asal masih di Korea. Benarkan?" Lay sedikit khawatir dengan jalan pikiran Luhan yang terkesan berani. Bagaimanapun juga istilah 'mengganggap' berarti mengandung kalimat tidak sebenarnya, bukan berarti dipaksa harus menjadi kenyataan.

"Oppa… Mari kita tinggal bersama? Jujur, aku jauh lebih suka saat bersamamu… Andai kau terlahir sebagai kakakku." Luhan menundukkan kepalanya dengan sedih. Kenapa dia harus dilahirkan menjadi anak tunggal dan harus mengalami perceraian keluarga. Parahnya, ia harus memilih diantara papa atau ibunya. Keduanya amat disayangi Luhan, terlebih lagi mereka sudah memenuhi apa yang selalu Luhan inginkan. Bagaimana bisa dia memilih antara keduanya.

"Ya ampun… otakmu ini isinya apa sih? Kenapa pikiranmu jadi tidak waras. Jika kau tinggal denganku, lalu apa yang akan dikatakan orang-orang. Aku tidak yakin Papa Hanbin bisa menyerahkanmu kepadaku dengan mudah, bagaimanapun juga aku tetap orang asing bagi kalian. Dan ingat, aku tetaplah laki-laki!" Ucap Lay sambil mengacak-acak rambut halus Luhan yang bewarna hitam.

"Hei, aku tidak pernah menganggapmu laki-laki. Tak sedikitpun! Oppa, yayaya... tinggalah denganku. Aku bisa membeli Apartment untuk kita." Entah apa yang membuatnya bisa berani berpikiran seperti itu, Luhan hanya berpikir jika ia merasa lebih baik jika bersama Lay. Hanya itu. Karena Lay membuatnya selalu tenang dan nyaman. Perasaan yang amat ia sukai.

"Kita pikirkan saja nanti ya, ayo kembali ke kelas!" Luhan pun dengan malas bergerak kembali ke kelas. Tapi tangan Lay membantunya untuk beranjak. Kemudian Luhan menggandeng tangan Lay dan berjalan bersama ke kelas.

.

.

.

Di depan sebuah rumah mewah, dengan bangunan yang menjulang tinggi bak istana. Berjejerlah deretan mobil sport keluaran terbaru di luar. Sisi paling kanan bewarna hitam elegan, yang tengah bewarna putih dan paling kiri bewarna merah. Sudah bisa ditebak itu milik siapa saja. Tiga orang yang cukup populer di sekolah. Kepopuleran yang mereka dapat karena suka berkencan kesana-kemari, suka clubbing dan banyak yang menyebutnya gangster sekolah. Guru-guru pun tak berani melawan karena orang tua mereka memegang pengaruh besar untuk sekolah.

Chanyeol dan Kai berasal dari keturunan Korea dan Amerika. Ibunya bernama Kim Suho dan ayahnya yang keturunan Kanada itu bernama Kris Wu. Kedua orang tuanya merupakan professor yang sudah memiliki nama di beberapa kampus besar di Korea. Seharusnya, anak mereka juga mewarisi beberapa persen kecerdasan mereka tapi nyatanya tidak sama sekali. Malah berkebalikan seratus delapan puluh derajat.

Oh Sehun, kedua orang tuanya ada di Jepang dan jarang sekali pulang ke Korea. Tiap bulan ia dikirimi uang untuk biaya keperluan sehari-hari. Sehun tinggal di Apartment yang biasa ditinggali para aktor, model dan artis terkenal. Apartment itu berada di daerah gangnam-gu yang menjadi pusat belanja terbesar di Korea. Sehun pernah terlibat dengan suatu gangster terbesar di Seoul. Namun, ia memutuskan untuk keluar karena saat itu Sehun pernah hampir mati karena dikeroyok. Beruntung, Chanyeol dan Kai menyelamatkannya. Sejak saat itulah, Sehun berteman dengan Chanyeol dan Kai. Sehun sampai selalu menuruti apapun apa yang mereka mau. Tapi, keadaan mulai berubah sejak beberapa hari ini.

Termasuk kejadian tadi, Sebelum Sehun datang ke perpustakaan. Chanyeol dan Kai mengenalkannya pada seorang gadis cantik yang usianya lebih tua darinya 3 tahun. Tapi, Sehun sudah lelah bermain dengan wanita-wanita itu. Dia bosan dan sudah malas untuk pergi ke tempat seperti club malam. Tapi, Chanyeol dan Kai memaksanya untuk menerima ajakan kencan butanya. Jika Sehun tidak mau, maka kartu as yang di pegang mereka berdua bisa ia sebarkan dengan mudah. Jika itu tersebar, maka dipastikan dia tidak akan tenang bersekolah disini. Satu masalah belum selesai dan Sehun membuat masalah yang lain.

Foto yang mereka ambil tadi siang saat bersama Luhan di perpustakaan, dijadikan sebagai kartu as lain untuk membuat Sehun berada di pihak mereka. Tujuan Sehun datang kemari dan berlutut di depan mereka adalah agar foto itu bisa dihapus sehingga tak membuat korban lain bertambah. Sehun hanya tidak mau melibatkan orang lain atas kesalahannya.

"Bermainlah dengannya, setelah itu putuskan dia! Bagaimana?" Kai memang tidak punya hati. Hobinya adalah berkencan lalu putus. Jika ia bosan, maka dia akan mencari yang lain. Yang ia lakukan sudah seperti daur hidup yang terus menerus terjadi.

"Kau mau? Waktunya sebulan dari sekarang. Akan kupastikan hidupmu tenang jika kau menurut pada kami." Chanyeol ikut bersuara dan membuat Sehun terlihat berpikir berat.

"Akan kulakukan…"

.

.

.

Keesokan harinya,

Terik matahari siang tak membuatnya beralih dari tempat itu sejak 30 menit yang lalu. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan bahu tegapnya duduk di atas sebuah bangku panjang sambil memeluk lututnya. Suasana atap sekolah yang tenang membuatnya bisa leluasa berpikir. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dengan lembut membuat beberapa helaian rambut kecokelatannya menari pelan. Dalam lamunanya, pria dengan lekukan wajah yang hampir sempurna itu terlihat serius menatap satu titik di depannya. Seperti ada sesuatu yang harus ia putuskan.

"Sehun-ssi! Kau disini rupanya… Guru menyuruhmu pergi ke ruangannya, sekarang!" Sebuah suara muncul dari pangkal pintu yang menghubungkan antara sekolah dan bagian atap. Suaranya terdengar melengking namun bisa memberikan sensasi manis saat mendengarnya.

"-" Lelaki tampan bermarga Oh itu bersikap acuh pada orang yang sedang mengajaknya bicara. Karena merasa kesal ucapannya tak di dengar sama sekali, gadis berambut hitam nan cantik itu pergi mendekatinya. Sesampainya tepat di sebelah Sehun, dia mulai mengulangi apa yang ia ucapkan. Dengan nada yang cukup keras dan jelas. Ia mengulanginya sekali lagi. Tapi, ia tidak juga menoleh.

"Eii- Tuan Oh!" sebuah jari mungil menyentuh pelan bahu kekar Sehun. Dia menunjuk-nunjuk pelan di bahunya berharap lelaki itu akan menoleh. Tapi, dia seperti berbicara pada patung. Tak ada respon darinya sejak tadi.

Gadis itu berniat berbalik badan dan tak memperdulikannya lagi. Namun, saat ia akan melakukannya sebuah tangan mencekamnya dengan kuat. Ia sampai ingin berteriak karena kesakitan, tapi lebih dulu kelima jari Sehun membungkam mulut Luhan. Perlahan Sehun membawanya ke bagian sudut atap. Tempat itu terbilang cukup kecil dan sempit. Jika dari arah pintu masuk, tempat itu tidak akan terlihat sama sekali.

Sehun terus memandang orang di depannya dengan mata hitamnya dan berjalan pelan ke tempat terpencil itu. Sesampainya disana, jari manis Sehun mulai ia lepas. Luhan bersandar di sebuah tembok dan Sehun berada tepat di depannya. Jarak mereka cukup dekat berkisar sepuluh centimeter.

"Tuan Oh! Apa kau mulai bosan dengan mainanmu? Carilah yang lain, aku tidak punya waktu untuk berurusan lagi denganmu." Luhan mulai melangkah untuk pergi. Sejak kejadian kemarin dia memang sudah malas bertatap muka dengan Sehun. Apalagi harus ikut bermain dengannya.

Sehun membawa tubuh Luhan kembali di depannya. Sehun masih menatapnya dengan serius, lalu sebuah ungkapan muncul dari mulutnya.

"Jadilah pacarku…" Luhan tak bisa menjawab pernyataan dari mulut Sehun yang tiba-tiba membuat jantungnya berdebar cepat.

"Jika kau mau foto itu tidak tersebar, berpacaranlah denganku!" Ucapnya yang terdengar meyakinkan. Tapi cara mereka berbicara ini sungguh tak lazim untuk dilihat. Jarak kedua wajah mereka yang begitu dekat dan napas yang sedari tadi saling mereka cium bersama membuat tak satupun dari mereka bergerak mundur. Aroma parfum khas milik Sehun yang wangi tercium hingga bagian terdalam rongga hidung Luhan membuatnya sesak tapi juga menyegarkan.

Perlahan, adegan yang tadinya terlihat sama berubah dengan pergerakan pelan dari mulut Sehun yang seakan ingin mencium gadis yang baru saja ia nyatakan cinta.

Semakin dekat, Luhan ikut memejamkan matanya. Ia membiarkan bibir Sehun berhasil menyentuh bibir tipisnya yang kemerahan. Merasakan dengan nyaman saat lelaki itu mengecupnya. Tangan kanan Sehun yang tadinya menyangga tembok kini ia turunkan dan melingkarkannya ke leher Luhan agar bisa leluasa menciumnya. Luhan memang lebih pendek dari Sehun karena itu ia harus berjinjit untuk mencapai bibir Sehun. Tanpa penolakan, Luhan ikut terhanyut dalam sensasi balutan bibir Sehun yang melumatinya sampai ke dalam. Meningkatkan nafsu mereka hingga titik klimaks. Adegan itu terus berulang. Sehun benar-benar menikmati ciumannya dengan Luhan untuk pertama kalinya. Begitu juga Luhan yang merasa jika Sehun adalah pencium terhebat. Yang berhasil membuatnya lupa tentang identitas Sehun sebenarnya.

Beberapa menit kemudian, keduanya berhenti. Luhan menatap Sehun yang juga memandanginya dari jarak yang sama. Ia melihat ke dalam kedua matanya yang cantik.

"Sehun-ssi…" mata Luhan mulai berbinar bening ingin menangis. Ia tak tahu kenapa ia begitu mudahnya melakukan adegan itu dengan Sehun, bersama lelaki yang sempat ia sebut brengsek.

"Iyaa?" jawabnya pelan.

"K-ke-na-pa?" Luhan berteriak cukup kencang. Air matanya kini bukan hanya sebuah buliran bening. Namun, telah menetes dengan deras menjatuhi pipinya.

Dia kemudian memeluk gadis yang belum menjawab pengakuannya, barusan. Pelukan itu terasa sangat hangat dan menambah kegerahan di saat cuaca musim panas yang panjang. Bahkan semilir angin yang tadi sempat berhembus, kini hilang entah kemana.

Luhan melepas pelukan Sehun, ia tidak tahu harus menjawab apa untuk pernyataan yang Sehun berikan untuknya. Jari lembut Sehun kemudian menyentuh bagian pipi Luhan untuk menghapus air matanya. Sikap yang ia tunjukkan pada Luhan kini seolah menutupi semua pandangan buruk tentangnya selama ini.

"Jangan tinggal dengan Lay! Kau bisa tinggal denganku jika kau tidak ingin pergi mengikuti kedua orang tuamu." Luhan terkejut, darimana ia tahu tentang semua masalah yang ia hadapi. Sejenak, Luhan memandang dimana ia berdiri sekarang. Jangan-jangan saat ia dan Lay berada disini, Sehun juga sedang disini.

"Kenapa kau melakukan semua ini padaku?" Luhan mulai meninggikan suaranya tapi dalam balutan suara serak khas tangisnya.

"Luhan-ssi… Aku… menyukaimu." Luhan menggeleng dan tidak ingin mempercayai apapun yang dikatakan Sehun. Dia memilih untuk meninggalkan Sehun sambil terus menangis. Sambil tangannya membungkam rapat mulutnya.

.

.

.

Pukul 20.55

Luhan berniat mengunjungi tempat Lay bekerja. Otaknya hampir meledak jika ia berdiam diri di rumah yang membuatnya penat. Ditambah lagi masalahnya dengan Sehun yang terus sudah berdiri di depan pintu Café dan mengintip sejenak. Matanya mencari ke seluruh bagian dan tak mendapati Lay dimanapun. Entah di kasir, meja pelanggan atau di tempat pembuangan sampah. Ia tak ada disana. Luhan pun memilih untuk menghubungi sahabatnya. Tapi, nomornya diluar jangkauan. Gadis itupun sedih dan perasaannya bertambah kacau. Ia berharap Lay bisa menjadi pendengar yang baik untuknya kali ini, tapi ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Sambil menikmati malam, Luhan berjalan sedih di sekitar jalanan Sungai Han. Pemandangan langit yang gelap dengan sedikit bintang membuat gadis itu sejenak merasakan sebuah kebebasan. Melihat orang-orang melakukan aktivitas malam disini dengan orang yang mereka sayangi, sejenak membuatnya iri. Gadis itu sedikit kecewa dengan kenyataan yang berbeda tak seperti harapannya.

"Argh, Lay! Aku membutuhkanmu…" teriaknya cukup kencang. Luhan duduk di tangga dekat sungai. Ia melempar bebatuan kecil yang ada di sekelilingnya ke sungai. Membuang seluruh kekesalan yang ia rasakan bertubi-tubi.

Kondisi rumah yang berantakan. Pertengkaran yang selalu terjadi tiap malam. Sahabat yang tidak ada bersamanya ketika ia benar-benar membutuhkannya. Dan ia seperti merasa sendiri di dunia seluas ini. Banyak manusia yang hidup dan merasakan yang namanya kebahagian dengan orang-orang tersayang. Tapi hal itu tidak berlaku baginya, hidupnya selalu kosong dan hampa. Itulah yang dirasakan Luhan.

Tting!

Sebuah pesan muncul di layar ponselnya sebagai notification baru. Oh Sehun mengiriminya pesan lewat kakaotalk. Luhan sedikit terkejut darimana Sehun mendapat akun miliknya.

Oh Sehun : Lihatlah ke belakang jika kau merasa kesepian^^

Luhan terlihat ragu-ragu menoleh ke belakang. Apa benar dia ada di belakangnya sejak tadi? Tidak mungkin. Seseorang seperti Oh Sehun tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti itu. Dan ternyata benar, yang Luhan lihat hanyalah beberapa orang yang melakukan kesibukannya masing-masing. Dia tak mendapati Sehun dimanapun. Dalam hati ia mengumpat kesal, kenapa harus mempercayai orang sepertinya.

"Kau mencariku?"sebuah suara muncul ketika Luhan kembali ke depan. Dia terkejut Sehun sudah berjongkok di depannya sambil menunjukkan senyum manisnya untuk Luhan seorang.

"Ehm, tidak! Pergilah, aku ingin sendiri."

"Bohong! Buktinya tadi kau menoleh saat kusuruh"

"Aku ingin tahu apa kau bisa dipercaya atau tidak." Sehun mengubah posisinya dan duduk di samping Luhan. Dia membelikannya minuman untuk penghilang dahaga. Sehun sudah mengikuti Luhan sejak mencari Lay di café sampai kesini. Jadi dia tahu betapa lelahnya berjalan sampai kesini.

"Bubble Tea-" Luhan tiba-tiba bersorak saat tahu Sehun membawakannya bubble tea yang menjadi minuman favoritnya.

"Kau suka?" tanya Luhan penasaran. Jarang sekali ada laki-laki yang menyukai bubble tea. Biasanya mereka lebih suka membeli kopi atau soda.

"Sangat! Woah, apa ini… sepertinya takdir sudah menyatukan kita untuk bersama." Sehun tertawa tak percaya, ia sampai menyenggol bahu kecil Luhan bermaksud menggodanya. Tapi wajah Luhan menunjukkan yang lain.

"Berhentilah berbicara!" Luhan kembali bertingkah dingin.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Jadi?" Sehun melihat Luhan bersiap menagih jawaban atas pernyataanya tadi siang.

"Jadi apanya?"

"Jadilah…"

"Ah! Aku lupa! Sehun-ssi maaf, aku harus pulang!" Sehun masih terus berusaha berbicara dengannya tapi Luhan sudah pergi. Dia bahkan tak ingin mendengar kelanjutan kalimat Sehun yang masih terdengar menggantung.

.

.

.

Pukul 21.43

Kaki mereka berjalan bersama dengan jarak yang tak cukup jauh. Luhan sudah tau jika Sehun sedari tadi mengikutinya, tapi ia tetap tak peduli dengannya. Ia tetap berjalan dengan santainya tanpa menoleh kebelakang, menganggap Sehun bukanlah hal yang harus ia pedulikan.

Beberapa menit berlalu, Luhan masih mendengar langkah kaki sepatunya. Tapi, selepasnya keluar dari area kompleks, kini Luhan tak mendapati diri Sehun yang sejak tadi selalu mengikutinya. Bahkan bayangan tinggi tubuhnya kini menghilang entah kemana. Perasaan Luhan mulai tidak sekali kembali ke area kompleks dan memastikan satu hal, Apa Sehun sudah tidak mengikutinya atau memang ada sesutu yang terjadi?

"Azz! Haruskah ..." Luhan berpikir ulang saat ingin kembali ke area kompleks. Langkah kakiknya berkali-kali hanya maju, lalu mundur. lalu kembali maju lagi dan ia berhenti.

"Baiklah! Hanya sampai belokan pertama." Akhirnya Luhan mengikuti kata hatinya untuk mencari Sehun. Namun, sesampainya di persimpangan jalan Luhan menyaksikan sesuatu yang membuat tangannya mengepal kuat.