Hai! Kembali dengan story yang mungkin semakin membosankan. Entah itu dari pemilihan katanya atau alurnya.

Maaf jika banyak kesalahan, membosankan, atau alurnya tidak jelas. Karena yang sempurna hanya milik Tuhan YME.

RnR jangan lupa ya!

Karena apresiasi Anda sangat berpengaruh pada story ini

.

.

Happy Reading!

.

.

9.56pm

Cklek!

"HYUNG! Ada darah di kaki Jongin Noona."

Baik Sehun maupun Kris sama-sama terlonjak dari duduknya. Dengan gerakan secepat kilat Sehun memasuki kamar inap Jongin.

"Akh!" ringis Mark saat tak sengaja terdorong Sehun bahkan ia sampai terbanting ke pintu menunjukan betapa kerasnya sang kakak mendorongnya.

"Jongin?!"

"H-Hun... Ad-ada yang keluar l-lagi..."

Sehun segera menghampiri Jongin. Ia kalap. Jonginnya meringis kesakitan.

"Bodoh," gerutu Kris yang memperhatikan Sehun.

Melihat Sehun yang hanya diam saja dan nampaknya darah akan terus bertambah banyak, Kris memencet bel dua kali yang berada tepat di atas ranjang Jongin untuk memberitahukan keadaan darurat pada perawat juga dokter.

Tak perlu menunggu waktu yang lama, para perawat juga dokter yang setia menangani kehamilan Jongin datang. Dokter lelaki muda yang Jongin akui tampan itu segera memeriksa kaki Jongin. Celana panjang rumah sakitnya sudah berubah warna menjadi merah pekat.

Mark melongo, "Pi, Jongin Noona kenapa?"

Mata Mark tak berkedip sedikit pun. Ayolah, ia belum mengetahui keadaan kakak iparnya yang sesungguhnya. Ia hanya tau Jongin pingsan.

"Panggil ahli anestasi. Suruh mereka sediakan lebih banyak darah A untuk transfuse!" ujar sang dokter setelah memeriksa keadaan Jongin dan langsung disanggupi satu perawat sehingga sang dokter tinggal bersama satu perawat lainnya. Membantu membersihkan darah.

Sang dokter kini menatap Sehun yang juga menatapnya, "darah yang dikeluarkan terlalu banyak. Ini terlalu berbahaya. Tuan Jongin harus dioperasi," Sehun terkejut bukan main, "Secepatnya," lanjut sang dokter tak menenangkan Sehun sedikit pun.

Dirasakannya genggaman pada tangan Sehun mengerat membuat pandangan Sehun bukan fokus ke dokter lagi. Jantungnya berdegup kencang. Jongin memandangnya sendu. Tampak bulir keringat mengalir di sekitar pelipis istrinya.

"Tuan Jongin juga membutuhkan tranfusi darah," kapan sang dokter ini berhenti memberikan kabar yang membuat jantung berdebar-debar.

Dokter tampan itu kini menyibukkan diri dengan membuka lebar-lebar pintu masuk yang ternyata sudah ada beberapa perawat membawa ranjang rumah sakit untuk memindahkan Jongin ke ruang operasi.

"Saya harus memeriksa kapasitas darah yang tersedia ke ahli anestesi. Kalau begitu saya permisi."

Setelahnya, para perawat mulai memasukan ranjang ke ruang inap Jongin dan menempatkan ranjangnya tepat di samping ranjang Jongin. Mereka bersiap untuk memindahkan tubuh Jongin sebelum di cegah Sehun.

"Biar aku saja," pintanya lirih.

Cepat tapi pasti Sehun menempatkan kedua tangannya di antara tubuh Jongin untuk menggendong tubuh yang sedang menampung buah hati keduanya dan memindahkannya ke ranjang yang di bawa perawat.

Jongin tersenyum lemah menanggapinya, "Terimakasih. Kau tunggu ya?"

Sehun kesal sendiri.

Bagaimana Jongin masih bisa tersenyum di saat keadaannya sedang kritis dan apa katanya tadi menunggu? Hell. Ia mau menemani Jongin.

"Apa bisa nanti saja? Dokter tadi bilang operasinya besok," Tanya Sehun pada para perawat yang mulai menjalankan ranjangnya berusaha menghiraukan Jongin yang sedang kritis.

"Tidak bisa, Tuan. Besok dan sekarang sama saja. Mungkin besok akan lebih parah karena Jika dibiarkan Tuan Jongin akan terus-terusan kekurangan darah dan sangat berbahaya untuk janinnya," jawab sang perawat berusaha memberi pengertian pada Sehun.

Sehun berkeringat. Bulirnya mengalir menuruni lehernya terus membasahi kemeja hitamnya, "Saya bisa menemani istri saya?"

"Kebutuhan pasien adalah yang paling utama. Tuan Jongin telah berpesan agar anda menunggunya oleh karena itu Anda lebih baik mengurus adminstrasinya. Saya permisi."

Rahang Sehun mengeras. Ingin dia berteriak. Tapi ia tahu tempat. Tangannya mengepal. Meninju pintu kamar kemudian.

Brak!

Kris langsung mendekati putra sulungnya, "Sehun! Kau gila? Banyak orang sakit di sini."

"Aku ingin menemaninya, Pi!" bentak Sehun penuh emosi. Ia sangat khawatir, tetapi ia tidak bisa melampiaskannya jadi marahnya lah yang keluar.

Mark tersentak sejenak. Menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Mungkin efek melihat keadaan Sehun yang tidak begitu enak dipandang.

Lihat saja. Muka merah, berkeringat, rambut hitamnya acak-acakan, ada bercak darah di bajunya, belum mandi. Pasti bau. Eww.

Tapi kata Jongin mau bagaimana pun keadaannya, Sehun selalu tampan kok.

Usapan pada pundak lebar Sehun diberikan Kris sebagai penenang, "Kau tidak mendengar apa yang Jongin dan perawat bilang tadi? Papi temani ke adminstrasinya. Ayo."

.

.

7.30am

Haowen menguap lebar. Tubuhnya menggeliat lalu ia beranjak duduk. Rambutnya acak-acakan. Mata sipitnya yang sedikit membengkak karena baru bangun tidur menelisik ruangan.

Kamar yang familiar tapi jelas itu bukan kamarnya. Kamar daddynya dulu. Berarti dia di rumah Grandma dan Grandpanya.

Kaki kecilnya bergerak keluar kamar. Seperti halnya sudah biasa, ia berlari menuruni tangga mengitari lantai satu.

Bug!

"Eh?!"

Mari kita salahkan Putra Sulung Tuan Oh Junior yang tidak melihat ke depan karena keasyikan menengok ke kanan dan kirinya.

Haowen mendongak dan mendapati Jaemin yang tersenyum setelah terkejut barusan.

"Pagi, Hao. Rajin sekali sudah bangun?" sapa Jaemin ramah tak melunturkan senyumannya, "Bagaimana tidurnya nyenyak?"

Bukannya menjawab Haowen malah merentangkan tangannya minta gendong dan untungnya disanggupi Jaemin. Haowen langsung menelusupkan kepalanya ke leher Jaemin. Menyembunyikan wajah baru bangun tidurnya.

"Hao lapar?" Haowen mengangguk tanpa merubah posisinya.

"Sudah gosok gigi?" kini bocah berumur 4 tahun itu menggeleng.

"Hyung temani, ne?" kembali diangguki Haowen meski sempat mendengus sebentar karena noonya masih tidak menerima panggilan Haowen.

.

"Hao ingin melihat dongsaeng tidak?"

Jaemin sedikit meringis pelan mendengar pertanyaan dadakan yang sebenarnya dilayangkan bukan untuk dirinya. Ia pernah diberi pertanyaan yang sama oleh ayahnya.

Diam-diam Jaemin menatap reaksi Haowen yang terdiam sembari mengunyah makanannya. Mata sipit warisan daddynya itu menerawang ke atas. Tengah menimang jawaban atas pertanyaan grandmanya.

Haowen mengangguk.

Jaemin lega.

Begitupula Luhan.

Luhan hanya takut reaksi Haowen akan sama seperti Sehun dulu yang tidak siap menerima kehadiran anggota keluarga baru.

"Tapi Mommy bilang Hao bisa melihat saeng tiga minggu lagi. Tiga minggu lagi belalti..."

Tangan kanan Haowen tidak lagi mengengam sendok. Tangan itu kini membantu tangan kirinya untuk berhitung. Haowen kebingungan karena jarinya hanya bisa sampai sepuluh sedangkan tiga minggu itu tujuh harinya harus tiga kali, "Noona, Hao bisa pinjam jali noona tujuh, tidak?"

Jaemin tersenyum maklum saat melihat Haowen meminta kepadanya dengan tatapan polos tetapi datarnya itu. Haowen langsung menghitung setelah Jaemin dan Grandmanya meminjamkan tujuh jarinya.

"...sembilan belas... dua... belas puluh... dua belas puluh satu! Dua belas puluh satu hali lagi Hao bisa beltemu saeng!" teriaknya kegirangan karena dianggap telah menyelesaikan hitungannya dengan benar.

Baik Jaemin maupun Luhan tak kuasa menahan tawanya. Tawa mereka meledak yang justru membuat senyuman pagi Oh Haowen luntur.

Wajah itu kembali datar dan menatap kedua orang besar-kata Haowen- dengan sebal. Kedua tangan kecilnya menyilang di depan dada.

Seharusnya mereka menepuk tangan atau memujinya karena berhasil menghitung sampai dua belas puluh satu... Kan?!

Haowen tetap mempertahankan posisinya sampai keduanya mulai meredakan tawanya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu kembali melanjutkan makanannya yang sempat tertunda tanpa memperdulikan lagi kedua orang di depannya.

Luhan berusaha mengontrol kembali wajahnya. Wajahnya mungkin sudah memerah karena puas tertawa, "Hhhh.. Dua puluh Haowen kkk hahaha... Tidak ada belasnya. Aduh perutku!"

Mau tau reaksi Haowen?

Ia hanya melirik Luhan sekilas dengan tatapan tajamnya. Auranya benar-benar gelap. Ah! Jangan lupakan tatapan tripleknya. Bocah itu merasa diremehkan hingga membuat kedua orang yang disayanginya itu menertawakannya. Itu sakit... Kau tahu... Sesak?

Luhan saja sempat terkejut karena reaksi Haowen yang sangat menyeramkan, hmm karena mungkin... Berlebihan untuk seusia Haowen.

"Wah ... Wah... Kenapa melihat Grandma seperti itu. Jahat sekali."

"..."

"Hao?"

"..."

Alis kanan Luhan naik beberapa centi. Jaemin dan dirinya saling menatap tak mengerti apa yang terjadi pada Haowen.

"Haowen?" panggil Jaemin hati-hati.

"..."

"Oh Haow-"

"Belisik!"

Haowen turun dari kursinya. Berlalu begitu saja dari dapur entah kemana. Dilihat dari belokannya sih sepertinya ke ruang tengah atau mungkin kamarnya –Kamar Sehun-.

Luhan maupun Jaemin menyadari Haowen telah menghabiskan bibimbap sebagai sarapannya pagi ini.

Jaemin tidak tinggal diam. Ia segera mengejar Haowen setelah berpamitan pada Luhan.

Benar saja.

Bocah itu menuju kamarnya.

Anehnya. Putra Oh Sehun itu berjalan sembari menghentakkan kakinya. Badannya Nampak tegap atau mungkin... Tegang? Entahlah. Kepalanya pun tidak bergerak sama sekali menunjukan tatapannya lurus konsisten sudah mengetahui tujuannya.

Jemari Haowen membuka kenop pintu dengan kasar lalu mendorong pintu itu sedikit keras hingga menghasilkan debuman pelan untuk meluaskan ruang agar ia bisa masuk ke dalam kamar.

Brak!

Hmm... Terlalu kencang menutup pintu untuk Haowen, sepertinya.

Tak mau membuat mood Haowen semakin hancur, Jaemin segera mengikuti jejak Haowen dan langsung menemukan manusia triplek junior tengah menatapnya sinis -maksudku sangat sinis. Ia duduk bersila dengan tubuhnya masih terbalut piyama.

"Boleh Hyung masuk?"

Manusia trip- Oh Haowen maksudnya, menghela napas kasar sembari memutar bola matanya malas, mengangguki pertanyaan Jaemin dengan tatapan melayang entah kemana.

"Hao sudah kenyang?" Tanya Jaemin setelah Haowen merasakan kasur di sampingnya merendah.

Sama seperti di meja makan tadi, Haowen lebih memilih kembali menyilangkan kedua tangannya di depan dada bukannya menjawab pertanyaan Jaemin.

"Hao ma-"

"Noona kalau mau meneltawakan Hao lagi mending kelual saja!"

Owh. Sarkasme keluarga Oh sepertinya menurun dengan baik, ya.

"Ani... Hyung dan Lu Grandma tidak bermaksud menertawakan Haowen, kok."

Mata sipit itu kembali melirik Jaemin tajam sedangkan posisi tubuhnya tetap bertahan. Kalau di komik-komik mungkin tubuh Haowen tergambarkan dipenuhi warna gelap.

Pemuda bermarga Na itu tersenyum manis menanggapinya, "Hao sudah bisa berhitung, ya? Hebat sekali," bukankah cara terbaik meluluhkan anak kecil adalah berbasa-basi dahulu agar mereka terpancing untuk berbicara?

"Noona jangan membuang waktu ku!"

Haowen sering mendengar seseorang bilang begitu di kantor kalau ada yang sedang memuji atau menyanjung. Itu Daddynya.

"Hao... Hyung dan Lu Grandma ..."

Kita tinggalkan saja, ya? Karena ku pikir Kalian sudah cukup besar untuk mengerti kesalahan Haowen dalam mengucapkan angka kan?

.

.

.

Sehun dan Mark memasuki rumah beriringan. Luhan yang menemukan mereka di ruang tengah dengan Sehun yang hendak menuju tangga segera menghentikannya.

"Sehun?!"

Yang dipanggil segera membalikan tubuhnya, memberikan senyuman tipis khasnya kemudian.

"Bagaimana Jongin? Apa dia baik-baik saja?" lanjut Luhan sembari mengajak Sehun untuk duduk di sofa ruang tengah yang sudah dilakukan Mark begitu menginjakan kakinya di rumah.

"Jongin baik-baik saja," jawab Sehun lemah.

Luhan tersenyum maklum. Ia tahu pasti Sehun kelelahan menjaga Jongin semalam.

"Lalu... Mana Jongin dan Papimu? Kenapa mereka tidak ikut?"

Mark melirik Sehun. Ingin melihat reaksinya bagaimana. Namun, hyungnya itu hanya terdiam menatap ke arah meja di depannya. Bagaimana pun ia ikut menyaksikan perjuangan Jongin dan Sehun tadi malam.

Mark, Kris, maupun Sehun tidak tertidur sama sekali tadi malam. Maunya sih Mark tidur, tapi karena kakaknya yang tidak bisa tenang saat persalinan Jongin membuatnya tidak enak untuk tidur.

Senyuman kembali diberikan Sehun setelah puas menatap meja yang tidak ada apa-apanya itu, "Papi menemani Jongin di sana. Aku ke sini mau mengantar Mark pulang saja sekalian menjemput Haowen ke sana."

"Hm? Kalau tidak salah kemarin Mark bilang kau tidak mau Haowen tahu keadaan Jongin?"

Sehun tetap mempertahankan senyumnya malah membuat Luhan merasa ada yang ganjal, "Heem... Aku hanya mau Haowen melihat adik yang ditunggunya untuk yang terakhir kali agar dia tidak merasa dibohongi adiknya maupun Mommynya."

Mark menahan napasnya saat Sehun mengatakan itu dengan senyuman.

Bukan senyum kebahagiaan.

Namun, senyum kepedihan yang ditunjukannya.

Mata Luhan membesar karena terkejut. Ia menatap Sehun tak percaya, "Jongin sudah lahiran?" Luhan hanya tahu Jongin masuk rumah sakit, kan? Tadi malam tidak ada yang mengabari keadaan menantunya itu.

Sehun mengangguk. Kini melunturkan senyumannya hingga menjadi senyuman tipis.

"Lalu... Maksudmu.. Haowen melihat adiknya yang terakhir kali?"

Tidak ada yang berniat membuka suaranya. Mark sekali pun.

Mata rusa Luhan mulai berkaca-kaca. Masih tak percaya. Ia masih menunggu penjelasan yang lebih detail dari putra sulungnya.

Nihil.

Tidak mungkin.

Pelukan segera di rasakan Sehun, elusan pada punggungnya pun kini turut ia rasakan. Luhan mengecup pipi Sehun sembari membisikan sesuatu yang menenangkan hati putranya.

Sehun membalas pelukan orang yang telah melahirkannya dan membenamkan wajahnya di leher Luhan. Menahan isakan tangisnya sebisa mungkin.

Cukup tadi malam saja ia menangis. Tidak lagi. Bagaimana pun juga ia akan bertemu Haowen nanti. Jangan sampai putranya itu melihat sosok Daddynya yang terkenal kuat dan gagah sedang menangis.

"Asher Oh. Namanya, Mi. Keluarga Jongin atau keluarga kita di korea bisa memanggilnya Taeoh."

.

.

.

11.34am

"Dad, apa Daddy bisa membawa Saeng dali kotak itu? Hao ingin mengajaknya belmain."

.

.

4.30am

"Mohon maaf sebelumnya karena persalinan yang lama karena kami harus melakukan beberapa penanganan agar Putra Anda tetap bernapas tetapi Putra Anda tidak menunjukan dampak apapun. Putra Anda tidak bisa kami selamatkan karena asfiksia yang di deritanya. Ini efek dari Tuan Jongin yang mengalami anemia, kadar hemoglobin dalam darahnya berkurang. Padahal hemoglobin ini adalah protein yang bertugas membawa oksigen dari sel darah merah. Apabila jumlahnya menurun, maka otomatis penyaluran oksigen ke plasenta juga akan berkurang. Ini yang menyebabkan janin dan Tuan Jongin sendiri lemah karena janinnya terganggu pernapasannya dan terus berlanjut hingga Putra Anda dilahirkan. Organ pernapasan serta jantungnya sudah tidak berfungsi lagi sejak semenit yang lalu."

.

.

Haowen memandang wajah manis Mommynya yang Nampak pucat.

Siang tadi, Setelah Sehun mengenalkan Haowen pada adiknya, Haowen beserta keluarga besarnya menghadiri pengantaran saengnya kembali ke Tuhan, Mommynya bilang begitu.

Kini Sehun dan Haowen tengah menemani Jongin yang tiduran kembali di ranjang rumah sakitnya. Jongin membutuhkan seminggu untuk penyembuhan jahitan pada perutnya sebenarnya. Tapi ia memaksa ingin mengiringi putra bungsungnya kembali pada Sang Pencipta.

Tangan mungil Haowen mengusap perut Jongin yang sudah rata. Tidak ada penghuninya lagi di sana.

"Mom, apa Saeng lebih ingin belmain dengan Tuhan dalipada dengan Hao?" Tanya Haowen setia memandang wajah Jongin.

Jongin menggeleng pelan, "Ani... Tetapi Tuhan yang mau bermain dengan saeng lebih cepat."

Putra sulung Jongin itu memiringkan kepalanya, "Hm... Wae?"

"Saeng sangat disayang sama Hao, Mommy, juga Daddy. Makanya Tuhan ingin juga menyayangi Saeng dengan cara mengajaknya bermain ke istana-Nya," jawab Jongin hati-hati.

"Huh? Kalau begitu... Sehalusnya Hao, Mommy dan Daddy jangan telrllalu menyayangi saeng agal Tuhan tidak ikut-ikutan, jadi saeng bisa belmain dengan kita."

Jongin terkekeh akan tanggapan polos Haowen, Sehun yang melihatnya pun tersenyum, "Kita harus saling menyayangi, Sayang. Nanti juga Haowen akan diajak bermain Tuhan ke istana-Nya, Mommy juga, Daddy juga, Grandma juga, Grandpa juga, semua orang juga. Kita di sana nanti bisa berkumpul lagi."

"Allaseo... Hmmm... Kapan Hao diajak Tuhan belmain ke istana-Nya?"

"Tidak ada yang tahu kapan Tuhan akan mengajak kita ke istana-Nya. Kita harus siap-siap saja dipanggil."

"Siap-siap? Belrlkemas begitu?"

"Ne berkemas."

"Waa... Apa kita nanti akan diajak main ke taman hibulan? Balang apa saja yang halus kita siapkan, Mom? Topi? Baju atau minuman?"

Jongin mengusap pipi halus Haowen lembut, "Kita tidak harus menyiapkan itu semua, Sayang. Karena Tuhan punya taman-Nya sendiri di istana-Nya. Yang harus kita siapkan adalah perbuatan baik kita, kita tidak boleh nakal, tidak boleh melawan Mommy juga Daddy, Hao harus bermanfaat untuk orang banyak, juga jangan lupakan Tuhan karena kalau kita melupakan Tuhan, kapan kita siap-siapnya jika sudah diajak mengunjungi istana-Nya, kan?"

"Beluntung sekali saeng sudah diajak Tuhan belmain. Apa taman-Nya bagus, Mom?" tanyanya tiba-tiba mengingat ucapan Jongin tadi.

"Baguuuus sekali. Oleh karena itu Haowen harus siap-siap ok? Daddy juga mommy sedang bersiap-siap."

Sepertinya rasa penasaran Haowen belum juga terbayar.

Anggukan kembali diberikan Haowen, "Hao akan selalu bersiap-siap untuk ke taman Tuhan dan beltemu adik di sana."

"Maafkan Mommy tidak bisa membuat saeng bermain dengan Hao, ne?" lirih Jongin penuh sesal sembari mengelus rambut tebal Haowen.

Haowen menggeleng, "Gwenchana... Hao masih punya banyak teman untuk belmain. Mommy dan Daddy juga bisa belmain dengan Hao. Hao tidak masalah saeng belmain dengan Tuhan. Kan Tuhan sangat baik, tidak mungkin membuat saeng menangis."

Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Mommynya, Haowen diam membisu. Mata sipitnya lekat menatap mata bulat Mommynya, "Tadi pagi Hao malah pada Glandma dan Nana Noona kalena Hao kesal diteltawakan. Apa kalena itu Tuhan tidak mengajak Hao belsama saeng?"

"Mungkin saja. Hao tidak boleh marah pada mereka, ok?"

Jongin mengulurkan tangannya. Menjulurkan jari kelingkingnya ke depan, Haowen.

Nampak tidak asing.

"Andwae!" tolak Haowen tegas mengundang tanda tanya pada benak Jongin.

"Waeyo? Hao tidak mau berjanji pada Mommy?" kata Si Beruang kecewa.

"Hao tidak akan teltipu lagi!"

Merasa tidak akan mendapat jawaban dari sang putra, kini Sang Beruang menatap Sang Manusia Salju penuh selidik.

"Aku pernah menjahilinya dulu," kekeh Sehun tanpa dosa.

Jongin mendecak pelan, "Kalau begitu," jari itu sudah tidak mengacung lagi, "Janji pada Mommy Hao harus meminta maaf pada Nana Hyung dan Grandma, Ok?"

Haowen mengangguk imut menandakan ia menyetujuinya, "Janji!"

Usakan serta kecupan pada keningnya diterima Haowen setelahnya. Kini bocah yang sudah berada pada tingkat Hijau Strip di Taekwondonya tengah berada di pelukan sang Mommy.

Haowen menyamankan posisinya dan tak lama dengkuran halus terdengar.

Memang jadwalnya Haowen tidur, jadi biarkan dia istirahat, ya?

"Dia tidur?" tanya jongin tanpa bersuara dibalas anggukan Sehun.

Hening setelahnya. Hanya denting jam yang terdengar di kamar inap kelas VIP itu.

Jongin sibuk menikmati usapan pada rambutnya sedangkan Sehun terus mengucapkan syukur serta mendoakan yang terbaik untuk anak bungsunya serta keluarga kecilnya dalam hati sembari menatap karya Tuhan yang sangat indah dan beruntung ia diberi kepercayaan Tuhan untuk menjaga dan mencintainya.

Namun, karya Tuhan yang Indah kini tengah berduka membuat dada Sehun terasa sesak karena membuat titipan Tuhan padanya bersedih, "Maafkan aku tidak bisa menj-"

"Sssst. Tidak apa-apa. Kau benar, Bear. Tuhan lebih menyayangi Asher," potong Sehun lalu mendudukan tubuhnya pada tempat biasa ia menemani Jongin.

Jemari besar Sehun dengan cepat mengagalkan air mata itu menetes, "Mianhae..."

"Gwenchana, Tuhan punya rencana yang lebih bagus untuk kita. Terimakasih sudah berjuang dan berhasil melahirkan Asher. Aku semakin mencintaimu."

.

.

.

TBC/END?

Hwehehe maap ya membuat keluarga ini dilanda duka.

Vote dan Comment jangan Lupa!

Kritik dan Saran sangan dibutuhkan untuk pengembangan saya dalam menulis juga story ini.

Terimakaseeh