"Permisi, Slaine-sama."

Inaho kini berada di luar ruangan Slaine. Slaine masih mengurus beberapa administrasi. Inaho melangkahkan kaki ke penjuru lain setelah meminta izin pada Slaine agar diperbolehkan mengusut kasus racun bersama Harklight. Namun langkah Inaho terhenti di tengah, tanpa sengaja netra merahnya melirik pada ruang Asseylum yang terdapat di ujung lorong sebelah kanan dari jalannya. Inaho berbelok, berjalan menuju ke sana.

Inaho menggunakan kemampuan mata kirinya untuk mengecek. Tidak ada seorangpun selain Asseylum di dalam. Inaho yang kini berdiri di depan pintu, langsung mengetik password tanpa kesalahan. Pintu terbuka, dan nampak Asseylum yang sedang duduk di atas kursi roda, menerawang ke angkasa, melihat taburan bintang di atas sana.

Gelap gulita.

"Yang Mulia."

Walau Asseylum tak dapat melihat, ia mengenali suara itu meski jarang bertemu,

"Halo, Inaho-san."

Inaho perlu belasan langkah sebelum kini berdiri di belakang kursi roda Asseylum, turut melihat punggung Sang Ratu dan pemandangan yang indah tersebut.

"Maaf jika saya mengganggu."

Asseylum menggeleng,

"Harusnya aku yang mengatakan itu padamu, sepuluh tahun lalu."

Inaho dapat menangkap refleksi tipis Asseylum pada dinding kaca di hadapannya. Asseylum terlihat begitu sedih. Namun, tak lama rautnya berubah menjadi terkejut saat merasakan sebuah benda dingin diletakkan di belakang kepalanya.

"Ada kata-kata terakhir, Yang Mulia?"

Asseylum hanya mengulum senyum, irisnya tertutup kelopak perlahan.

"Begitu, ya. Kau akan membebaskanku dari derita ini, Inaho-san?"

Inaho ternyata marah, tentu saja.

Setiap manusia punya batas kesabaran, tak terkecuali seorang Kaizuka Inaho.

Wanita itu membuka matanya kembali, pada hamparan bintang yang bahkan tidak bisa ia nikmati keindahannya. Sejak Asseylum tahu Inaho dapat memasuki ruangan ini, ia mengerti hidupnya akan segera berakhir.

Karena Inaho selalu menatapnya penuh iri, kata Eddelrittuo.

Asseylum tahu, Inaho membencinya, sama seperti Slaine yang membenci takdirnya. Ia memang pantas untuk itu setelah semua tindakan pengecut yang ia lakukan, maka ia takkan menyesal bila memang harus mati, tapi,

"Apakah kau juga akan membebaskan derita yang selama ini menjerat Slaine? Setidaknya, tepati janjimu padaku dulu, Inaho-san."

Inaho tidak menjawab.

Asseylum menghela nafas sesaat, sebelum melantunkan lagu kebangsaan Vers. Nada per nada, terdengar tak asing lagi di telinganya. Awalnya, Inaho juga tidak tahu, tapi Slaine mengajarinya begitu banyak hal di sini. Inaho rasa semua ini sudah cukup, terlalu lama berdiam diri ia juga takkan mendapat hasil apa-apa. Inaho pun menunggu hingga bait terakhir, ketika Asseylum selesai menyanyikannya.

Inaho selalu saja melihat Slaine berteriak saat tidur ketika menunggunya di bui suatu malam. Waktu itu, Inaho hanya bersandar pada dinding luar dan mendengarkan segalanya. Walau ia bisa melihat wajah Slaine dari tempatnya, tapi ia memilih tidak mengetahuinya. Dan esoknya, ia akan menemukan wajah Slaine yang sembab, tapi ia tidak mencoba untuk menanyakan alasannya.

Itu benar-benar menyakitkan.

Akhirnya Inaho menunjukkan taringnya setelah sekian lama. Asseylum senang, sebenarnya. Akhirnya ada yang benar-benar memperjuangkan Slaine dengan sepenuh hatinya dan bukan bualan semata. Asseylum pun iri dengan Inaho, hanya tak pernah sekalipun mencoba mengatakannya.

Ia terlalu pengecut.

"Sampaikan permintaan maafku padanya, Inaho-san. Dan tolong―"

DOR!

Asseylum terjatuh dari kursi roda, jemari dan wajahnya menempel pada kaca. Helai pirangnya tetap terurai indah, walau gaun putihnya kini ternoda oleh merah.

Wajah Inaho terpantul sekilas sebelum berbalik, memperlihatkan punggung tegap pada dinding transparan. Meninggalkan Asseylum yang mulai berlumuran darah. Berjalan seakan tidak terjadi apa-apa.

Inaho menetapkan hati, sebelum percaya bahwa ini tindakan terbaik agar dapat memiliki Slaine seutuhnya.

Kata-kata terakhir Asseylum pun, sangat jelas ia dengar,

"―selamatkan Slaine sekali lagi."

.

.

.

.

.

.

Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.

Story and written by © panda dayo

(And this is last chapter anyway, guys.)

InaSure ( Inaho x Slaine ) | shounen-ai , hvmv, homoh, boys x boys, BL alias Boys Love, pedang-pedangan(?) dsj |

AR. OOC. Typo(s)

Don't Like Don't Read. I've warned you!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Eddelrittuo sedang menyirami tumbuhan di halaman belakang, merawat bunga-bunga penuh cinta. Terutama mawar biru yang kini jumlahnya bertambah banyak sejak satu dekade lalu.

Eddelrittuo senang melihat bagaimana bunga-bunga kini bermekaran. Tadi Asseylum memintanya mengecek kondisi taman ini, dan majikannya itu ingin ditinggal sendiri. Eddelrittuo mengerti, saat-saat Asseylum ingin menenangkan diri. Ia takkan bertanya lebih lanjut dan memilih mematuhinya.

"Eddelrittuo? Bukankah kau harusnya bersama Ratu?" Harklight muncul tiba-tiba, membuat Eddelrittuo yang sedang mengamati keindahan bunga menjadi terkejut.

"Harklight! Jangan mengagetiku!" Seru gadis itu. Harklight hanya tertawa,

"Maaf, maaf."

Eddelrittuo memasang muka sebal. Harklight lalu membungkuk minta maaf. Ia tahu Eddelrittuo akan memaafkannya bila melakukan hal tersebut.

"Jangan pikir kau―mau ke mana kau, Harklight?" Eddelrittuo menatap Harklight yang berpenampilan rapi, dari atas ke bawah semua tampak berkilau.

"Slaine-sama memberiku titah untuk mengantar persediaan ke Bumi."

"Bukannya Rayet sudah ke sana?"

Eddelrittuo awalnya keheranan, tapi melihat Harklight yang diam, ia yakin ada sesuatu yang tak beres.

"Katakan yang sebenarnya, Harklight."

"Slaine-sama memintaku, agar Inaho-san membencinya seperti dulu."

Eddelrittuo paham maksudnya. Jadi, setelah sepuluh tahun, ini rencananya yang sesungguhnya? Menghancurkan dirinya sendiri, agar Inaho tak akan menyesal di kemudian hari.

"Aku mengerti yang Slaine-sama rasakan, tapi―" Harklight memutus ucapannya kala menyadari Inaho berjalan dari arah lain menyambangi mereka.

"Harklight? Aku mencarimu di ruang mesin tadi, ternyata kau di sini."

Eddelrittuo dan Harklight saling bertukar pandang.

"Ya, baiklah." Harklight dan Inaho lalu berjalan pergi, menjauh dari Eddelrittuo. Hendak menuju ruang mesin untuk diskusi lebih jauh.

Eddelrittuo menatap pada hamparan mawar biru, tampak begitu semu. Terasa nyaman dilihat, sekaligus menyakitkan. Eddelrittuo merasakan angin yang sekilas berhembus menyapanya,

Gadis itu mendapati dirinya menangis entah mengapa.

"Apakah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang mustahil untuk anda, Slaine-sama?"

.

.

.

.

.

.

Mazureek bingung mengapa Inaho berjalan keluar dari ruangan Asseylum tadi. Ia sempat bersembunyi agar tak diketahui. Dan ketika hendak berbelok, ia menjumpai Slaine tanpa sengaja.

"Mazureek-san?"

"Slaine-sama." Mazureek buru-buru membenahi posisinya. Slaine menatapnya aneh,

"Apa kau ingin menemui Asseylum?"

Mazureek harus berdusta untuk menutupi tujuan sebenarnya.

"Aku sedikit tersesat, maafkan aku, Slaine-sama."

Mazureek lalu melangkah pergi. Dilihatnya Slaine melenggang ke ruang istrinya tersebut. Untung tadi ia tak ditanyai apa-apa. Baru saja hendak berjalan lebih jauh, ia mendengar suara Slaine yang menggema,

"Asseylum-sama!"

Mazureek segera berbalik untuk mengetahui apa yang terjadi. Pintu ruangan Asseylum terbuka ―itu pasti karena Slaine. Mazureek langsung memasukinya tanpa pikir panjang, dan melihat pemandangan yang mengerikan.

"Asseylum-sama! Ini saya, Slaine!"

Mazureek lalu membantu memanggilkan dokter dan menyiapkan ruang perawatan, sehingga ia berlari ke luar terlebih dahulu, sementara Slaine hendak mengangkat tubuh di punggungnya meski Asseylum berlumuran darah. Slaine yang panik, tanpa sengaja menginjak sesuatu karena tak melihat. Slaine mundur selangkah, dan mengambil benda yang ternyata adalah sebuah proyektil.

Namun ini bukan proyektil sembarangan, dan Slaine tahu ini milik siapa, karena pernah melihatnya waktu di Bumi. Dilihat dari desain dan bentuknya, Slaine yakin tak ada yang membuat sama persis kecuali dia.

Hanya satu nama yang terlintas di benaknya.

Kaizuka Inaho.

.

.

.

.

.

Inaho sedang mengendarai kataphraktnya bersama Harklight dan Rayet untuk kembali ke Mars. Mabgbaredge dan penduduk yang dikumpulkan akan melakukan penyerangan seminggu lagi.

Usai Inaho menyingkirkan Asseylum, ternyata ada dinding yang lebih besar. Bukan mendekatkan, tapi makin menjauhkan. Inaho merasa bodoh selama ini dapat diperdaya.

Rayet sebenarnya mencoba menjelaskan tadi, tapi Inaho tak mau dengar dan masa bodoh. Menganggap ucapannya sebagai dusta untuk menutup-nutupi dosa.

Rayet hanya memalingkan muka, merasa kesal tingkat dewa.

Sementara Harklight tidak mengatakan apapun, ia hanya membenarkan soal perbudakan, akan tetapi tidak menjelaskan situasi yang sebenarnya, atau kebenaran yang sesungguhnya. Slaine meminta agar berjalan serapi mungkin tanpa menimbulkan curiga.

Mereka sampai di ruang pendaratan, dan masuk ke ruang mesin bersama kataphrakt kataphrakt lain. Inaho yang pertama kali turun, berniat menjalankan awal siasat terlebih dahulu. Akan ia ikuti Slaine seminggu ke depan untuk memastikan. Karena, Inaho pun setengah tak percaya walau telah disuguhi pemandangan kakak perempuan dan teman-temannya yang menderita.

Mungkin ia saja yang terlalu keras kepala.

"Asseylum-sama diserang?" Salah seorang teknisi bercakap dengan kawannya membuka topik tersebut ketika Inaho lewat.

"Semoga Ratu tidak apa-apa, dan Raja kita."

Inaho berlalu tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Harklight dan Rayet yang mendengarnya langsung menuju tangga dan menapak dengan cepat, mendahului Inaho tiba-tiba.

Ada apa dengan orang-orang itu?

Inaho memegang kepalanya yang terasa nyeri. Menaiki satu per satu anak tangga besi dengan kekalutan hati. Pikirannya dipenuhi Slaine, dan Slaine. Inaho tahu sejak lama bahwa otaknya tidak beres. Namun baru kali ini, terasa begitu sakit baginya.

Netra kirinya ia gunakan sesaat, menangkap jejak Harklight dan Rayet yang tak beraturan karena terburu tadi.

Jika memang Slaine seperti yang dikatakan oleh petinggi UFE, mengapa banyak orang yang menghormatinya di sini? Kenapa? Apa yang telah Slaine lakukan untuk mereka? Apakah itu juga bagian dari tipu muslihatnya?

Inaho sendiri ragu akan pemikirannya yang ini.

Slaine tidak pernah berpura-pura, itu yang ia tahu. Bila ia sedih, ia akan bersedih. Bila ia senang―tunggu.

Kapan, Slaine tertawa?

Slaine hanya memberikan senyumnya, tanpa tawa yang berarti. Slaine selalu melakukannya tanpa lelah sepanjang hari.

Inaho menyadari, bahkan selama sepuluh tahun terakhir, Slaine tidak pernah tertawa keras.

Inaho mengingat, sepuluh tahun yang begitu berharga ini. Antara ia dan Slaine, berdua dan berbagi kehangatan yang sama tiap malam. Ia yang melihat wajah pulas Slaine ketika esok tiba dan betah memandanginya lama-lama.

Ketika malam tiba, ia akan memiliki Slaine seutuhnya.

Namun di siang hari, ia berpura sebagai pelayan taat.

Tapi, mengapa Slaine lebih mementingkan Asseylum di atas segalanya?

Kenapa bukan...dirinya?

Inaho lebih dari tahu, kadar cinta bukan hanya diukur dari sekedar banyaknya berhubungan badan.

Inaho ingin mengutuk takdir, menyumpah serapah pada Tuhan yang menggariskan alur begitu jahat kepada mereka.

Apa yang kurang? Apa yang salah?

Inaho tidak tahu. Ia tidak mengenali dirinya sendiri.

Apakah dengan menyingkirkan Asseylum, akan membuat ia dan Slaine berada dalam satu garis kebahagiaan?

Tentu saja, tidak.

Inaho sampai ke atas. Di mana para medis berlalu lalang. Inaho melanjutkan perjalanan, tidak mau ikut menyambangi. Tanpa ia tengok, ia tahu ini karena Asseylum sedang kritis. Inaho memejamkan mata, mengingat kemungkinan hidup Sang Ratu bahkan tidak lebih dari satu persen akibat tindakannya tadi. Ia tahu, hal ini akan terbongkar suatu saat, tapi ia tak menyangka―

"Inaho. Ikut denganku."

Seorang dengan penampilan jubah merah; ―Slaine, berdiri di depannya. Memanggil Inaho yang kemudian membuka pandangannya kembali.

"Ada yang perlu kita bicarakan."

akan secepat ini.

.

.

.

Kondisi Asseylum makin mengkhawatirkan. Meski Slaine pun telah mendonorkan darahnya―yang kebetulan golongannya sama― tetap saja membuat Asseylum masih koma. Eddelrittuo setia menunggu di sisinya. Tak lama setelah kepergian Slaine, Harklight dan Rayet yang muncul dari balik pintu. Mereka sama-sama memandang tak percaya.

"Apa yang terjadi, Eddelrittuo-san?" Tanya Rayet.

"Seseorang berusaha membunuhnya, aku tidak tahu siapa." Eddelrittuo menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai terisak.

Kedua mata Asseylum yang ia sukai, walau tak dapat melihat lagi, kini kembali terpejam.

Harklight turut berduka. Asseylum lah yang pertama kali memberikan tempat baginya, Lemrina, dan para pengikut Slaine kembali di Vers. Ratu menerima mereka semua dengan tangan terbuka, dan konflik perlahan mereda di antara kedua kubu.

Slaine pun juga pasti merasa demikian. Ia akan meletakkan Asseylum pada posisi teratas, prioritas hidup, dan tujuannya selama masih bernafas. Ia akan mementingkan Asseylum lebih dari siapapun. Slaine pernah bercerita, ia pertama kali jatuh hati pada puteri ―Ratu, yang kini tetap diperjuangkan sebagai orang yang harus ia lindungi, saat masih kecil. Namun perasaan itu memudar, berganti pada sesuatu yang lain, tak pernah disangka oleh pihak manapun.

Bukan dengan cinta pertama, manusia akan hidup nantinya.

Rayet memandangi grafik elektrokardiograf yang makin melemah. Secanggih apapun peralatannya, Rayet tahu, bila salah satu alat saja dilepas, hidup Asseylum akan berakhir saat itu juga.

Wajah Asseylum begitu damai, seperti tak memiliki beban sedikit pun. Tidak bisa membuat seseorang untuk membenci paras yang demikian. Kalau bukan karena Asseylum, mungkin selamanya Rayet akan membenci Vers tanpa pijakan jelas. Bisa saja seumur hidup ia akan melakukannya.

Tapi, Asseylum mengulurkan tangannya. Menarik dan membawanya kembali ke tanah air, Vers. Tempat seharusnya ia berada.

Awalnya Rayet masih tidak menyukainya. Tapi, siapa yang tidak luluh bila sering melihat senyum manis dan ketulusan hati seperti itu?

Mungkin, Rayet dapat melakukan sesuatu untuk Vers.

Sesuatu...

Rayet menoleh pada Eddelrittuo.

Ia harus melakukannya, ia harus berani karena yang dipertaruhkan adalah semuanya.

"Eddelrittuo-san." Panggilnya.

Eddelrittuo masih menangisi Asseylum. Membuat Rayet tak tega mengganggunya. Maka Rayet mengalihkan atensi pada Harklight di sebelahnya.

"Harklight, kupikir kau tahu, apa yang harus kita lakukan nanti."

"Tentu saja, kita lebih dari tahu. Selanjutnya adalah bagian Slaine-sama."

Rayet menunduk,

"Hei, Harklight. Kenapa Slaine-sama bertindak sangat jauh?" Tanya gadis itu.

"Aku hanya menjalankan perintah." Sahut Harklight.

.

.

.

Kini mereka dua saling bersisian, melihat bintang bersama-sama dari dalam ruang Asseylum yang baru saja dibersihkan oleh petugas medis, tadi. Kehilangan darah membuat Slaine sedikit pusing, maka ia meminta Inaho menemaninya, sekaligus membahas sesuatu yang krusial.

"Kau yang menembak Asseylum?" Slaine pada dasarnya tidak suka berbasa-basi.

"Jika aku pelakunya, lalu kenapa?"

Inaho melihat Slaine menggeleng, memberi tanda ia tak perlu menjelaskan kejadian secara rinci. Slaine hanya ingin tahu, dan pengakuan implisit tadi cukup sebagai bukti untuknya.

"Kukira siapa."

Atmosfernya tiba-tiba menjadi berat. Slaine pun berbalik dan menghadap Inaho yang sedang membuang muka.

Tidak ada lagi yang mereka katakan. Hanya hening yang menyelimuti. Inaho memberanikan diri menatap Slaine, dan yang ia lihat selanjutnya adalah sosok Slaine yang tersenyum.

"Jangan dipikirkan, aku tak akan balas dendam. Tenang saja."

Iris indah favorit Inaho itu lalu meredup perlahan,

"Tapi, berikan aku alasannya, Inaho."

Slaine ingin jawaban. Dan dilihat darimana pun, Slaine lebih peduli dengan Asseylum.

Bukan kepadanya.

"Aku hanya membencinya."

Inaho jujur mengakui. Ia membenci segala sesuatu yang membuat Slaine terkekang dan menderita, tak terkecuali Asseylum. Seorang bangsawan yang memutar takdir seseorang seenak hatinya. Seorang wanita yang dulu sangat ia hormati, sekarang sosoknya lenyap entah ke mana.

dan seseorang yang merebut Slaine darinya.

Ini bukan lagi sekedar iri, tapi cemburu buta. Rasa ingin memiliki yang nyata.

Slaine berjalan mendekat ke arah Inaho, lalu berhenti tepat pada jarak tiga kaki di hadapannya.

"Apa kau juga akan membenciku karena masalah perbudakan itu?"

Telak, Inaho terbeliak.

Bayangan kakak perempuan dan teman-temannya yang menderita terngiang kembali. Bukan hanya mereka, tapi seluruh penduduk bumi dijadikan anjing-anjing Vers.

"Jadi, itu semua benar..Slaine?" Inaho sedikit ragu bertanya. Berharap Slaine tengah berdusta.

"Aku tak menyangkal."

Harklight benar-benar dapat diandalkan.

Inaho menggenggam tangannya erat ketika mendengar jawaban itu. Kenapa Slaine masih saja tersenyum? Apa yang dia pikirkan?

"Tolong katakan semua ini bo―"

"Kapan aku berbohong padamu?"

Bila Slaine bersedih, ia akan menunjukkannya. Jika ia senang, maka―

"Sepuluh tahun?"

"Kau tidak bertanya."

Slaine tertawa keras bagai orang gila. Terpingkal karena melihat sisi bodoh Inaho.

ia akan tertawa?

"Harusnya kau ingat, aku ini musuhmu."

"Tidak ada musuh yang tidur bersama."

Slaine berhenti. Lalu menunjuk lancang pada Inaho,

"Kau pikir aku melakukan semua itu untuk apa?"

Kembali, hening yang menyelimuti. Inaho tidak tahu harus berkata apa, dan Slaine tidak tahu bagaimana agar Inaho percaya kebohongannya.

Slaine melakukan ini semua, juga demi Inaho. Agar Inaho tidak berbelas kasihan padanya. Supaya pria itu tak memiliki sesal di sisa hidupnya.

Kaizuka Inaho tidak boleh menyesal karena telah membencinya.

Inaho tidak lagi ingin melihat wajah Slaine. Ia pergi dari sana tanpa mengucap barang sepatah kata. Slaine mengerti, dan memilih melihat bintang-bintang yang nampak berkilauan. Dapat didengarnya suara tapak kaki yang menjauh lalu menghilang seketika. Meninggalkannya kembali pada rasa kesepian.

Slaine berharap menjadi bintang suatu saat nanti.

"Hah?"

Berkedip, Slaine merasakan sesuatu yang hangat mengalir ke pipinya, basah. Dan akhirnya jatuh setetes ke bawah, di antara kedua kakinya. Slaine menunduk, tampak tak percaya.

"Tidak, ini tidak benar." Ia mengusapnya tanpa aturan. Tapi, kenapa intensitasnya justru bertambah secepat apapun ia coba menghapusnya?

Slaine mengangkat wajahnya dan melihat pantulan semu dirinya pada pembatas translusen; tampak begitu menyedihkan.

Apa yang salah?

(―semuanya)

.

.

.

.

.

"Apakah benar jika kita melakukan ini?" Tanya Calm. Bukannya apa-apa, tapi ia jadi tak enak pada Inaho tadi. Mereka telah memutuskan penyerangan ke Vers, namun tetap saja harus mencari persediaan senjata untuk nantinya.

"Kau mau jadi budak selamanya?" Kecam Magbaredge.

Calm menggeleng cepat. Tidak ada manusia yang menginginkan hal seperti itu.

"Tapi, bukankah Inaho―" Nina hendak menyela, tapi dipotong oleh petinggi UFE tersebut,

"Sampai kapan seisi bumi harus menjadi budak?"

Lalu mereka terdiam.

"Kupikir, Inaho bahagia di sana." Yuki tersenyum. Magbaredge mendecih,

"Bahagia, katamu? Lalu, kau?"

Yuki tidak tahu harus menjawab apa.

Inaho mengatakan, ia harus diberi waktu seminggu lagi untuk penyelidikan. Tapi itu sia-sia saja menurut Magbaredge. Ia tak boleh lagi membiarkan pelanggaran hak asasi manusia ini lebih lama. Nyawa satu planet dipertaruhkan. Bertindak atau tidak, dan Magbaredge lebih memilih bertindak duluan.

"Omong-omong, apa dua bocah Vers tadi akan benar-benar tutup mulut?" Marito berpendapat.

"Tidak. Mereka pasti akan bicara. Sisa pasukan UFE pun masih banyak. Kita berangkat tiga hari lagi." Magbaredge menutup rapat.

"Lalu, Inaho?" Tanya Calm sedikit khawatir. Inaho kan, tidak tahu perubahan rencana ini.

"Kita akan membawanya bila tiba di sana. Yang penting, kita harus bersiap. Kita akan berperang, meski tanpa Deucalion."

Magbaredge yakin ini keputusan yang benar. Awalnya ia ingin menyelamatkan Inaho dan Slaine ketika perang lalu, tapi Slaine bukanlah orang baik ternyata. Keangkuhannya masih ada, dan Magbaredge akan menjatuhkan ambisinya dari ketinggian seperti dulu.

.

.

.

.

Tidak ada yang menarik bagi Inaho saat ini. Ia hanya berbaring di atas tempat tidur. Penutup matanya ada di atas meja nakas. Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam waktu Vers. Ia ingin tidur tapi tak bisa.

Inaho mendengar suara pintu yang terbuka, dan mendapati Slaine masuk seperti biasa. Setelahnya Slaine menutup kusen. Wajahnya terlihat sembab dari posisi Inaho, seperti yang ia lihat di masa lampau.

Terulang.

Dan Inaho tidak mencoba untuk menanyakan alasannya.

Karena itu benar-benar menyakitkan.

Slaine melepas pakaian yang dipakainya dan menggantinya dengan jubah tidur miliknya. Kemudian, berbaring di samping Inaho―namun memunggunginya― seperti malam-malam yang telah lalu; hanya saja tanpa sentuhan sensual kali ini.

Inaho hanya bisa melihat punggung pria itu. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, berharap semua ini hanya mimpi.

Slaine tidak lagi peduli selama masih dapat berjumpa dengan Inaho.

Jam terus berdetak. Jarumnya maju berputar. Mereka mencoba saling mengabaikan, walau hati mereka menolak hebat. Menebak bagaimana hari esok dalam pikiran mereka. Terlarut, hingga keduanya sama-sama terlelap.

Memikirkan esok yang berbeda.

.

.

.

.

Di pesta pernikahan sepuluh tahun silam, Slaine dan Asseylum saling melempar senyum yang menurut Inaho terlihat bahagia―walau Inaho yang paling tahu bahwa itu hanya sebatas sandiwara.

Malam itu, Slaine dan Asseylum berdansa; sebuah kebiasaan Kerajaan apabila ada anggota keluarga yang melaksanakan upacara pernikahan.

Tangan mereka saling bertautan, seakan enggan bila melepaskan. Musik pengiring memainkan lagu yang tidak Inaho pahami bahasanya.

Mereka berdua tampak begitu serasi, di bawah kandiler megah dan mewah sebagai penerang. Kaki mereka melangkah beraturan dari satu ubin lantai ke yang lain, temponya tidak terlalu cepat. Mereka saling memandang satu sama lain, seolah takut bila berkedip akan kehilangan salah satunya. Menjadi satu untuk sementara demi tontonan khalayak.

Musik menjadi sedikit lebih cepat. Asseylum dan Slaine langsung menyesuaikan gerakan mereka. Slaine mundur selangkah, diikuti Asseylum yang sedikit maju ke arahnya. Keduanya berputar, membuat bagian bawah gaun putih panjang Asseylum sedikit mengembang.

Dulu, Asseylum dan Slaine sering melihat tarian ini pada pernikahan Ksatria Orbit. Mereka tak butuh latihan, hanya perlu merepresentasikannya kembali berdasar ingatan.

Kini salah satu dari kedua kaki mereka saling berlawanan arah mengikuti, dilanjutkan dengan Slaine yang memutar tubuh Asseylum sebelum jatuh pada dekapannya. Beberapa detik setelahnya, tepat ketika musik pengiring berhenti, mereka berciuman.

Inaho hanya diam ketika mendengar suara riuh dari tepukan para hadirin.

Mereka bersinar, sangat menyilaukan.

Dilihatnya kedua celah ranum yang menyatu dari kejauhan, dan kemudian menghilang di antara kerumunan.

.

.

.

.

.

Eddelrittuo membuka pintu ruang rapat kabinet. Mengumpulkan semua Ksatria Orbit guna membahas sesuatu.

Harklight dan Rayet pun turut menjadi saksi dalam pertemuan itu. Mengatakan penduduk Bumi akan membelot sebentar lagi.

Mengapa ia bisa mengumpulkan Ksatria Orbit dengan status pelayan?

Sederhana. Karena Asseylum dan Slaine tidak memiliki anak, maka mereka mengakui Eddelrittuo sebagai bagian keluarga mereka. Walaupun ia masih melayani Asseylum, namun keputusan itu lekat adanya.

Tanpa Slaine mereka mengadakan rapat dadakan dini hari ini. Para Ksatria diharapkan bersiap kapan saja untuk menangani ini. Demi melindungi Raja mereka, Slaine Saazbaum Troyard. Juga kekuasaan darah murni Asseylum Vers Allusia.

Eddelrittuo yakin, ini adalah pilihan terbaik. Harklight dan Eddelrittuo sudah mengungsikan sebagian rakyat Vers ke planet di galaksi lain yang mereka kenal guna meminimalisir jumlah korban. Kataphrakt ditambah. Mereka harus benar-benar siap dan serius dalam menghadapi hal ini.

"Eddelrittuo-san, apa kita tidak perlu menyampaikan ini pada Slaine-sama?" Tanya Rayet.

"Slaine-sama akan mengerti." Harklight yang menjawab. Eddelrittuo mengangguk pelan.

.

.

.

.

.

Pagi ini terasa sangat buruk.

Keduanya bangun bersamaan. Tapi tak satupun berniat memulai percakapan.

Slaine beringsut turun, dan langsung menuju ke kamar mandi, sementara Inaho memilih membereskan tempat tidur dan memeriksa beberapa dokumen revisi karena Slaine tidak mengizinkannya membaca sebelum disahkan. Bahkan ketika ia diajak rapat, ia lebih memilih fokus pada orang lain, bukan mendengarkan isi dokumen revisi.

Inaho -_-

Namun ketika ia mengecek laci, tak ada satupun yang terlihat. Inaho berkedip heran.

Atau mungkin telah disahkan?

Inaho mengecek laci lain. Namun nihil. Akhirnya Inaho mengobrak-abrik meja kerja Slaine yang sedikit jauh terletak di ujung ruang. Mejanya pun sama kosongnya. Inaho bergegas membuka semua laci, dan ia menemukan sebundel dokumen yang tampak tebal pada laci ketiga.

Inaho sedikit menunduk untuk mengambilnya dan berdiri kembali supaya nyaman membaca.

Pupil Inaho mengecil sesaat ketika membaca judulnya.

'Revisi UU No 33 Pasal 2

Penghapusan Perbudakan Pada Penduduk Bumi.'

Inaho membuka lembar pertama. Dibacanya secara urut dan teliti.

Tunggu dulu, tunggu dulu.

Bukankah Slaine yang memperbudak kakak perempuan dan teman-temannya? Slaine bahkan mengakuinya sendiri tadi malam. Lalu kenapa ia juga yang menghapusnya?

Apa maksudnya semua ini?

"Benar, Rajamu yang memperbudak kami, Inaho."

Siapa yang benar?

Siapa yang berbohong?

Siapa?

Inaho mendengar suara gaduh dari dalam kamar mandi. Itu pasti Slaine yang terpeleset lagi. Memang begitulah rutinitas yang terjadi tiap pagi. Slaine lalu akan berteriak kencang seperti hendak membuatnya tuli. Memerintah Inaho untuk mengobati kakinya yang terpeleset. Inaho sempat protes, tapi Slaine lalu menyerukan bahwa itu salah Inaho hingga ia tak bisa membuatnya berjalan dengan benar di pagi hari.

"Orenji! Pokoknya ini salahmu! Kubilang pelan-pelan saja tapi kau tak mendengarkanku!"

Inaho tersenyum tanpa sadar, mengingat wajah Slaine yang begitu kesal membuatnya ingin tertawa.

Tapi, tak ada teriakan kali ini. Mungkin Slaine sedang gengsi akibat konversasi semalam.

Inaho membuka cepat dan merekamnya dengan mata kirinya, sebelum mengembalikan dokumen itu ke tempat asalnya. Buru-buru ia berlari membuka pintu kamar mandi.

"Sudah kubilang, hati-hati jika ber―"

Slaine terjatuh ke arahnya, dengan kondisi tak sadarkan diri.

"―jalan."

.

.

.

.

.

"Sederhananya, Slaine-sama kekurangan darah?" Inaho bertanya pada dokter. Slaine kini dirawat di ruang sebelah dimana Asseylum yang juga sedang dalam masa pengobatan. Slaine masih belum sadar semenjak Inaho membawanya ke sini satu jam lalu.

"Benar. Kemarin ia mendonor terlalu banyak untuk Asseylum-sama. Aku memintanya berhenti karena sudah cukup banyak kantong darah, tapi Yang Mulia bersikeras, aku tak bisa apa-apa. Ia akan sehat setelah beberapa hari ke depan." Jelas dokter itu.

"Terima kasih." Ucap Inaho. Dokter itu lalu menuju ruang sebelah. Inaho hanya menatapnya datar, dan mulai mengupas apel di meja. Yang lalu ia makan sendiri untuk sarapannya.

Slaine tampak begitu lemah jika berbaring seperti ini.

Inaho menggunakan waktu luang ini untuk mengecek potret dokumen tadi. Inaho membaca satu per satu dengan cermat. Hingga menemukan kalimat di halaman ke 39,

'Maka, saya, Slaine Saazbaum Troyard, akan mencabut keputusan Asseylum Vers Allusia dan mengganti Undang-Undang Nomor 33 Pasal 2, menjadi;...'

Inaho mengakhiri waktu luangnya sendiri, ketika mengetahui Slaine membuka mata.

"Ng, Inaho?"

Slaine mengedipkan kelopaknya. Menjelajahi langit-langit sebentar sebelum mendapati Inaho dalam jangkauan penglihatannya.

"Pingsanmu lama sekali." Tutur Inaho.

"Oh, begitu rupanya."

Kenapa mereka sekarang jadi bicara normal?

"Slaine." Panggil pemuda bumi itu. Slaine hanya menoleh dengan pandangan menanyakan maksud Inaho. Inaho tetapi tak mengatakan apapun selama beberapa menit. Namun Slaine tetap menunggu hingga Inaho bicara pada akhirnya.

"Mau main catur denganku?"

Slaine terbengong untuk beberapa saat, sebelum tersenyum ke arah Inaho.

"Kau kerasukan apa, Inaho?" Tanyanya.

"Kerasukan cintamu."

Slaine melempar bantal yang berada di bawah kepalanya untuk Inaho. Menyembunyikan rona-rona merah yang muncul seenak jidat di kedua pipinya, canggung.

"Jeruk bodoh!"

.

.

.

.

.

Mereka tetap bermain catur. Inaho membawakan papan beserta bidak-bidaknya ke ruangan Slaine. Papannya diletakkan di pangkuan pasien berbatas selimut, sementara Inaho duduk di sisi ranjang dengan raut serius. Keduanya saling mengejar dengan kekalahan dan kemenangan, nyaris seimbang.

"Aku tak tahu kau sangat bagus dalam catur, Slaine." Puji Inaho. Di penjara saja, Slaine tak pernah mau menggerakkan bidaknya padahal Inaho sudah menunggunya menjalankan pion. Inaho salah duga tentang Slaine yang tak bisa bermain catur. Rupanya dia sangat pandai dalam permainan strategi seperti ini.

"Asal kau tahu, dulu Tuan Saazbaum sering―"

Slaine berhenti mengatakannya. Air muka Slaine tampak berubah tiba-tiba.

"Tuan Saazbaum?" Inaho mengernyit.

Tak ada jawaban.

"Slaine?" Inaho malah menjadi khawatir. Siapa itu Tuan Saazbaum? Asseylum maupun Eddelrittuo tak pernah menceritakan bagian yang itu secara detil.

Slaine nampak seperti tersadar beberapa detik kemudian.

"Ah, maaf. Rasanya kepalaku pusing. Kita akhiri saja, ya." Kata Slaine seraya membereskan pion-pionnya. Padahal sedikit lagi dia hampir menang. Inaho tak banyak bertanya, ia melakukan hal yang sama.

Tapi ketika Slaine akan mengambil bidak kuda hitam miliknya, sesuatu terngiang kembali di kepalanya.

Rasa sakit itu.

Cambukan itu.

Sengatan listrik.

"Tuan Cruhteo..." Slaine memegang kedua sisi kepalanya. Kenapa dia tiba-tiba teringat ketika dirinya disiksa habis-habisan? Kenapa ia mengingat Cruhteo yang sudah tak ada lagi di dunia?

"Kau pengkhianatnya, bukan?"

"BUKAN! BUKAN AKU!"

"Untuk siapa kau mengangkat senjatamu?"

"UNTUK VERS!"

"Lalu kenapa kau ingin menghancurkannya?" Bayang-bayang Cruhteo dan salah satu pasukan waktu perang pertama dulu―entah siapa―menghantui pikirannya.

"AKU HANYA―"

"Kau pengkhianat."

"BUKAN AKU! TAPI TUAN SAAZBAUM!"

"Kau buta huruf? Namamu sekarang Slaine Saazbaum Troyard, bukan?"

"Tidak, tidak, tidak!" Slaine terus berteriak kepada bayangan imajiner dan suara-suara aneh di dalam kepalanya. Inaho lalu mengguncang bahu Slaine keras-keras.

"Slaine, ada apa?"

Slaine refleks memeluk Inaho di dekatnya.

"Tolong, tolong aku..."

Inaho diam saja. Membiarkan Slaine mengatakan segala sesuatunya.

"...rasanya sakit...tolong.."

Inaho tidak akan bertanya.

.

.

.

.

"Slaine-sama memiliki trauma, mungkin." Eddelrittuo menjelaskan pada Inaho di taman belakang, menikmati bunga-bunga yang kini bermekaran.

"Trauma?"

"Setahuku, ia sering disiksa oleh Tuan Cruhteo. Tapi, akhirnya Slaine-sama diselamatkan oleh Tuan Saazbaum. Slaine-sama juga yang tak pernah berhenti berharap Ratu hidup walaupun kondisinya sedang koma. Kau dapat menebak kelanjutannya."

Inaho kini tahu darimana nama Saazbaum itu didapat. Helai cokelat Eddelrittuo yang kini tak lagi ia kepang, tertiup angin untuk ke sekian kali.

"Mungkin, waktu itu Slaine-sama menahannya demi Ratu."

Inaho mendengarkan.

"Karena itu, kumohon jangan buat ia bersedih, Inaho-san."

.

.

.

"Aku tak memintamu."

Slaine menolak mawar biru pemberian Inaho. Yang dipetik si pelayan langsung dari kebunnya. Inaho tampak tidak terima.

"Bukannya kau suka?" Inaho memandang heran.

"Sudahlah, bawakan aku buku saja, Inaho."

"Aku susah payah mengambilnya hingga lecet." Desak Inaho. Menunjukkan telapak tangannya yang diperban.

"Kaizuka Inaho! Sejak kapan kau tuli?!"

"Aku tuli hanya untuk penolakanmu."

"Mana bisa begitu!"

Eddelrittuo yang mengintip dari balik pintu tertawa tanpa suara. Syukurlah Slaine dapat kembali seperti biasanya.

Eddelrittuo lalu beralih menuju ke ruangan Asseylum di sebelah. Diputar kenop hati-hati setelah memasukkan password. Semua ruangan di istana memang diberi kata kunci yang berbeda. Semua Ksatria Orbit hanya diberi untuk ruangan tertentu, sedang untuk bebas keluar masuk dan mengetahui semuanya adalah Raja, Ratu, dan pelayan pribadi mereka yang telah memiliki ijin langsung, termasuk Eddelrittuo ―yang tinggi posisinya saat ini― dan Harklight dalam konteks ini.

"Asseylum-sama, saya datang." Kata Eddelrittuo pelan sebelum menutup pintu. Di dalam ada Rayet dan Harklight yang juga sedang menunggunya.

"Bagaimana kondisi Slaine-sama?" Tanya Harklight. Alas kursi yang ia duduki memang nyaman, tapi tak lengkap rasanya apabila tak mengetahui keadaan Slaine saat ini. Begitu pula Rayet yang sedari tadi bersikap waspada di dekat pintu masuk. Nampaknya tak ada dari mereka yang dapat tenang sekarang.

"Slaine-sama baik-baik saja, ia akan sehat untuk beberapa hari ke depan." Jawab Eddelrittuo.

"Begitu, syukurlah. Tapi kita tak bisa bersantai. Kudengar ada sebuah pesawat milik penduduk Bumi mendarat di balik planet ini." Ujar Rayet.

"Kita sudah mengerahkan pasukan untuk menyelidikinya." Sambung Harklight. Tidak akan ia biarkan siapapun menodai Vers, tanah kelahirannya ini.

"Markas Bulan juga masih aman, menurut Mazureek." Eddelrittuo tadi usai menghubungi Markas Bulan dan Mazureek menjelaskan tak ada kendala sama sekali. Skala penyerangan belum nampak. Eddelrittuo menebak mungkin sekitar satu atau dua hari lagi akan ada pertempuran besar-besaran seperti dahulu.

"Tapi, kapan Asseylum-sama akan bangun? Kita tetap membutuhkannya untuk memberi perintah―bukan maksudku meragukan Slaine-sama, tapi..." Rayet tak lagi melanjutkan perkataannya.

"Slaine-sama selalu siap untuk situasi terburuk, percayalah." Eddelrittuo memberikan semangat untuk Rayet.

"Kau benar, Eddelrittuo-san. Hanya saja, Aldnoah miliknya tak sestabil kemarin. Apa ini karena Inaho-san?" Harklight penasaran.

"Mungkin saja mereka menyatukan Aldnoah mereka saat di Bumi silam, kulihat Aldnoah mereka sama. Aldnoah akan melemah, bila hati pengguna ikut melemah. Tapi, aku yakin, Slaine-sama akan mengatasinya." Eddelrittuo menjelaskan apa yang ia ketahui. Selebihnya ia juga tak tahu mengapa Aldnoah Slaine tak stabil saat ini. Misteri Aldnoah tidak benar-benar terpecahkan seratus persen, dan mungkin saja Asseylum mempunyai informasi rinci serta lengkap mengenai hal ini.

"Hanya Yang Terpilih yang dapat menggunakannya. Itu berarti aktivasinya tidak sembarangan." Rayet tampak serius berpikir.

"Ya, kau benar, Rayet-san."

Eddelrittuo mendapat panggilan dari saku pakaiannya. Sebuah walkie talkie berwarna biru-abu, dengan lampu indikator yang menyala. Pertanda ada panggilan penting.

"Eddelrittuo Saazbaum vers Allusia di sini."

Eddelrittuo mendengarkan seksama, dan sesekali mengangguk. Tak lama kemudian panggilan berakhir dan Eddelrittuo bergegas ke luar ruangan.

"Eddelrittuo-san? Anda hendak ke mana?" Tanya Rayet. Mengapa Eddelrittuo tampak terburu-buru?

"Orang bumi sudah menyerang Markas Bulan. Sial. Aku tak tahu akan secepat ini. Jangan biarkan Slaine-sama tahu!"

"Lalu, Kaizuka Inaho?" Harklight melirik. Eddelrittuo berhenti, mengambil nafas sejenak sebelum berbicara.

"Bunuh dia ketika berpisah dengan Slaine-sama nanti. Dia hanya parasit yang membahayakan hidup Yang Mulia dengan menggerogoti Aldnoahnya." Eddelrittuo lalu berlari kencang, menyisakan Harklight dan Rayet yang saling bertukar pandang. Kemudian mereka mengalihkan atensi pada eksistensi Asseylum. Elektrokardiografnya masih lemah, selang oksigen juga masih lancar. Tapi pemilik tubuh tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran sedikit pun.

"Apa yang akan kita lakukan?"

.

.

.

.

Mazureek masih sempat menghubungi Eddelrittuo yang berada di Vers. Tapi seluruh bangunan Markas Bulan hampir runtuh. Sebagian telah terbang kembali guna mempersiapkan perang, tapi tak sedikit juga yang masih berada di sini walau sekedar bertahan.

Penduduk Bumi datang dengan jumlah banyak. Pun senjata yang memadai. Mereka kemari hanya dengan bermodal tiga buah roket. Sistem penerangan hampir mati, dan objek reruntuhan semakin menjadi. Entah bagaimana caranya mereka menjadikan roket tersebut tak terlacak pada radar pengamatan, membuat semua yang ada di sini kalang kabut bersamaan.

Mazureek masih mencoba melawan dengan pistol yang ia bawa, tetapi ia terus menghindar sedari tadi. Ia pecinta damai dan tidak mungkin membunuh seseorang tanpa alasan kuat. Terlebih, dia sangat menyukai Bumi, mengingat asal namanya juga dari planet hijau-biru itu.

"Sistem komunikasi masih belum tersambung!" Kepanikan lain terdengar. Huru-hara tak lagi terhindarkan.

"Sial. Bahkan pesan sandi?"

Yagarai dan Marito berhasil menembus barikade pertahanan dengan mudah. Magbaredge langsung menuju Vers dengan salah satu pesawat yang kosong di ruang mesin Markas Bulan. Sementara yang lain akan menyusul nanti ketika Magbaredge memberitahukan situasi di sana secara langsung.

"Kita tidak dibayar untuk ini." Oceh Yagarai. Marito menembak kaki orang-orang yang menghalangi mereka.

"Berapa lama dari sini ke Vers?" Tanyanya. Saling memunggungi satu sama lain untuk menjaga.

"Bila menggunakan pesawat mereka, kurasa sekitar dua atau tiga jam. Aku sangat kagum dengan teknologi mereka." Komentar Yagarai.

Selanjutnya, penduduk bumi yang berjuang dengan mereka mulai mengambil alih Markas Bulan. Awak Vers keteteran, tidak bisa melawan.

"Dan masalah dokumen kelengkapan Aldnoah, aku baru tahu ternyata begitu mudah."

"Apa maksudmu?"

Marito mengganti peluru, guna berjaga-jaga. Sementara Yagarai menjelaskan seraya memasukkan pistol ke dalam saku pakaiannya.

"Semua Aldnoah berasal dari satu sumber, bukan faktor darah biru Vers, tetapi sebuah, karena efek material yang terkumpul dalam satu wadah. Semacam kuantum fisika dalam versi yang lain."

"Wadah?"

"Aku tidak tahu bentuknya. Yang pasti, seseorang masih menyimpannya untuk Vers."

.

.

.

.

.

.

Magbaredge menyusup tanpa ketahuan di salah satu kapal tentara Vers yang kini sedang menuju ke planet merah itu. Kecepatannya ia tidak tahu, tapi teknologi Vers memang patut diberi tanda tanya. Karena apa sehingga teknologi mereka jadi sebegini canggihnya?

Magbaredge melirik pada layar. Jarak Vers masih sekitar dua ribu kilometer lagi. Kakinya dinaik-turunkan untuk menghilangkan kebosanan. Hingga akhirnya muncul sebuah tampilan layar hologram dari sebuah alat yang tak ia tahu apa.

"Untuk semua para penduduk Vers, kita akan berperang lagi dengan orang Bumi. Bila kalian ingin pergi, pergilah. Tapi, aku akan tetap berada di tanah airku hingga mati." Jeda,

"Slaine Saazbaum Troyard."

Terputus seketika.

Mengapa sikapnya sok pahlawan sekali? Tanah air, katanya? Magbaredge ingin segera meremukkan mulut pria yang disinyalir sebagai penjahat perang itu. Semua orang pasti akan membela tanah airnya. Itu adalah hal yang tak perlu ditanyakan lagi. Wanita berambut pendek itu lalu menekan tuas ke belakang, mempercepat laju pesawatnya.

.

.

.

.

.

Inaho menutup pintu, membiarkan Slaine beristirahat di dalam ruangannya. Manik merahnya beralih pada kamar sebelah, di mana Asseylum berada. Tapi, itu tidak lama karena ia melihat Eddelrittuo terburu keluar dari dalam sana.

"Eddelrittuo-san?" Panggilnya. Tapi Eddelrittuo tidak memedulikannya. Inaho mencoba maklum saja.

Ia lalu berjalan, berniat mencarikan Slaine bacaan agar tidak bosan.

Kenapa Inaho merasa begitu plin-plan begini?

Setelahnya terdengar suara ledakan dari lorong kiri di depannya. Angin ledakan datang berikutnya. Membuat Inaho bertanya-tanya ada peristiwa apa yang tiba-tiba.

Inaho bersembunyi terlebih dahulu, di menyerempet raga di balik dinding saat mendengar suara langkah kaki.

"Keluar kau, Slaine Troyard."

Inaho mengenali suara ini.

Magbaredge.

Tunggu, apa yang dilakukan wanita itu di sini? Bukankah ini belum waktunya?

"Penyusup!"

Dan ia mendengar suara itu menjauh.

Sial.

Inaho berbalik, hendak kembali ke ruangan Slaine untuk memberitahunya. Namun langkahnya dihadang oleh seorang gadis tanpa ia sadari sebelumnya.

"Mau ke mana kau, Kaizuka Inaho?"

Inaho berdiri. Menatap intens pada objek di depannya yang menggenggam sebuah laras pendek dan diarahkan tepat ke wajahnya. Pakaian hitam-putih dan rambut kecokelatan itu sudah tak asing lagi bagi netra pria bermata satu itu.

"Eddelrittuo?"

Sekembalinya memutar kaset video yang telah lama direkam Slaine untuk rencana ini kepada semua tentara Vers, Eddelrittuo berpura-pura seakan penyerangan Markas Bulan baru terjadi beberapa menit lalu di hadapat Harklight dan Rayet. Bagaimana bisa Asseylum menjadi seperti ini lagi? Mau meninggalkannya sendiri tanpa tujuan hidup?

"Sepertinya kau telah mengetahui rencana Slaine-sama. Takkan kubiarkan kau menggagalkan semua ini."

Intonasi, penuh keyakinan. Eddelrittuo benar-benar tanpa ampun bila telah menyangkut Slaine. Inaho lalu membalas,

"Kau pikir aku juga tak tahu tentang racun itu?"

Hening.

Eddelrittuo mengernyit, semakin menggenggam erat bodi pistol di antara jemari tangan kanannya.

"Jadi kau yang menukarkannya dengan makanan milik Rayet." Ujarnya.

"Itukah alasanmu?" Inaho berkedip. Nampaknya Eddelrittuo benar-benar membenci Rayet. Inaho sudah lama tahu bahwa Slaine kebal terhadap racun semenjak di penjara, jadi ia memilih menukarkan menu untuk menyelamatkan Rayet karena tahu Slaine tak mungkin mati meski memakannya. Slaine mungkin juga sudah tahu, tapi ia diam saja.

"Surat kaleng juga?" Tanya Inaho.

"Itu bukan aku. Mungkin seseorang yang benar-benar membencinya." Jawab Eddelrittuo.

"Aku tidak tahu mengapa Yang Mulia membiarkan orang yang membenci Vers berada di antara Ksatria. Itu...keterlaluan, bukan?" Sambungnya.

Inaho tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan ketika Eddelrittuo mulai terisak pelan.

"Aku tidak mengerti..."

Inaho juga bingung.

Di tengah rasa iba, di saat Inaho ingin mendekati gadis itu, Inaho merasakan sesuatu yang hangat. Sebelum ia menyadari bahwa sebuah peluru telah menembus tengkoraknya.

"Pembunuh." Ucap Eddelrittuo. Merepetisi perkataan dan penembakan peluru kepadanya.

Inaho terbeliak.

Gadis itu menyeringai, "Pergilah ke neraka, pembunuh Asseylum-sama."

Inaho lalu jatuh tergeletak tiba-tiba. Kesadarannya berada di ambang batas. Ingin menggerakkan tubuhnya tapi tak bisa, kaku meliputinya.

Eddelrittuo meniup ujung laras yang memanas, diisi proyektil kembali lalu diarahkan kedua kali ke arah Inaho.

"Hadiah untukmu."

Eddelrittuo menembaki tubuhnya berkali-kali tanpa henti. Raga Inaho sedikit terlonjak ketika menerimanya. Tapi Inaho hanya diam. Dan ketika ia menoleh, warna merah menggenang, memenuhi penglihatannya di detik-detik terakhir nafas hidupnya.

ZRAAASHH

Eddelrittuo tersentak. Ia melirik ke bawah. Sebuah tangan menembus hingga ke rangka depan. Eddelrittuo sedikit menoleh, melihat orang yang ia kenal justru membunuhnya.

"Slaine-sa...ma.."

Slaine menarik, lalu menusukkannya kembali. Menghujamnya begitu banyak dan menarik jantungnya keluar saat dirasa cukup. Membuat dada Eddelrittuo terasa sesak.

Gadis itu terjatuh, telungkup di sebelah Inaho. Matanya berkunang-kunang. Irisnya melihat ke arah iris Inaho yang masih terbuka.

"Apa kau mengutukku, Kaizuka Inaho?"

Sudut bibir Inaho terangkat tipis mendengarnya. Seakan meremehkannya dan menertawainya keras-keras dari alam sana.

Slaine masih diam mengamati dua mayat di depannya. Di belakangnya, Harklight dan Rayet menyertai. Slaine lalu membuang jantung Eddelrittuo ke mukanya. Ia lalu melangkah di antara kedua jenazah itu, dengan tangan kanan berlumuran darah. Menetes-netes pada ujung kuku jari, menciptakan jejak tipis pada jalur yang telah dilalui.

"Dengar, Harklight, Rayet. Biarkan mereka menang. Tinggal bunuh aku dan hancurkan benda yang menggantung di leherku ini. Semua akan selesai."

Kalung peninggalan ayahnya adalah harta tak tergantikan. Sumber dari segala sumber ilmu dan rahasia alam semesta tak terpecahkan; Aldnoah.

Tidak ada yang menolak, atau membantah.

Tidak akan pernah.

Walau harus membunuh Raja dengan tangan mereka.

Magbaredge berputar lagi ke lorong yang tadi dilaluinya untuk menghindar dari kejaran pasukan Vers. Berbekal peta seadanya, tapi ia justru tak mengingatnya. Menyerang sendirian memang terlalu beresiko, dan inilah hasilnya.

Ia berhenti berlari ketika melihat sosok Slaine dari kejauhan. Tanpa diduga, Slaine menoleh ke arahnya, iris tealnya tampak lelah. Ia lalu tersenyum mengucapkan sebuah kata,

"Maaf."

Lalu Slaine jatuh tak berdaya. Darah merembes entah dari bagian tubuhnya yang mana. Mewarnainya semakin merah. Menodainya sedemikian rupa.

"Apa?"

Magbaredge tampak shock. Tak sempat memikirkan pasukan Vers yang berhasil mengejarnya dan menembaki punggungnya.

Kenapa penjahat itu tersenyum?

Kenapa?

Mungkin Magbaredge akan menemukan jawabannya bila menyusulnya ke neraka.

.

.

.

Tersisa Harklight dan Rayet yang saling mengacungkan moncong pistol. Berlawanan, menyerang tepat pada organ pusat kehidupan.

Mereka tidak punya tujuan hidup, bila apa yang mereka lindungi sudah tidak ada. Sebagai bagian dari sumpah pelayan Vers kelas tinggi untuk Harklight, tidak etis bila ia tak ikut bunuh diri menyusul kepergian Tuannya; Slaine Saazbaum Troyard.

Dan sejak Asseylum tiada, Rayet tak punya lagi alasan untuk hidup. Itu lebih dari cukup.

Mereka bertukar pandang, saling menatap dan tersenyum satu sama lain.

"Maafkan kami, Asseylum-sama, Slaine-sama."

Keduanya berakhir saling menembak diri.

.

.

Beberapa menit yang lalu

Slaine keluar dari ruang rawatnya untuk menjenguk Asseylum di sebelah selepas Inaho pergi dan berjanji akan membawakan bacaan untuknya. Saat ia masuk ke dalam sana, ada Harklight dan Rayet yang sedang menjaga Ratu Vers itu.

"Bagaimana kondisi Asseylum-sama?"

"Kami tidak tahu ia akan bertahan hingga kapan." Lapor Harklight. Rayet hanya mengangguk pelan, mengiyakan.

Slaine mendekat ke arah istrinya, mengamati paras itu sebelum tangannya membelai helai pirangnya.

"Tepat keputusanku untuk menjaga anda hingga nanti, Asseylum-sama."

Tangannya beralih, mencium punggung tangan Asseylum yang kaku sebagai bentuk pengabdian. Slaine tahu Asseylum tak akan mungkin tersadar, tapi ia mencoba menyangkal fakta seperti dahulu. Membiarkan imajinasinya hidup sesuka hati. Memilih menjalani hidup dalam harapan palsu miliknya.

Ia benar-benar mencintai Vers.

Juga Kaizuka Inaho.

"Cabut semua alat-alat ini. Jangan biarkan Yang Mulia menderita di dunia yang busuk begini."

Harklight dan Rayet nampak terkejut setengah mati. Apa yang baru saja dikatakan Slaine?

"Tapi, Slaine-sa―"

"Kalian membantahku?" Slaine menyorot tajam. Rayet hanya menunduk, meski mengerti ini demi kebaikan Asseylum, tapi bukankah ini namanya menyerah terlalu cepat?

"Asseylum-sama tidak boleh lagi menderita di dunia yang kotor ini. Biarkan ia menjadi salah satu bintang di angkasa tanpa memikul dosa."

Maksudnya, surga.

Tidak ada tanggapan, Slaine bertindak sendiri. Dilepasnya satu per satu peralatan medis yang ada di tubuh Asseylum. Lalu mendengar suara monotonis dengan grafik lurus lini hijau pada layar pengukur kehidupan.

.

.

Mawar biru pemberian itu masih tampak elok, tergeletak di atas kapuk beralas putih.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

[We realize this when we look down once in a while,

but then again we look back up.]

.

.

-Bird-

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Fin.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

a/n : sebelumnya saya mau mengucapkan terimakasih untuk oknum-oknum pengikut cerita ini, dan yang ngebantu publis #SROOOOOTTTTTTTT

, juga walaupun silent reader, ketahuilah saya amat menyayangi kalian semua yang telah membaca kisah ini dari awal hingga akhir.

Karena chapter terakhir, saya mau ngoceh agak panjang, mengungkap kebenaran di balik cerita ini hahahaha/rolls

Cerita ini awalnya bukan berjudul Lost, sama sekali bukan.

Di memo pad saya judul aslinya adalah Another Heaven. Waktu itu saya ga sempet nulis judul di dokumen jadi ngarang aja pas ngedit di doc manager judulnya *ditabok*. Kebiasaan buruk saya, judul di draft belum tentu dipakai pas publish /siyal/ tapi syukur juga banyak yang suka judul pasaran ini.

Kisah ini terinspirasi dari awal mula saya ngerandom lagu secara acak di playlist. Heavenly Blue milik Kalafina (English cover by AmaLee), Namae o Yobu yo dari Luck Life, dan Bird yang dinyanyikan Matsushita Yuya. Bagi penggemar serial Kuroshitsuji/Black Butler pasti tak asing dengan nama Matsushita Yuya lagi, kan. Nulis semua headcanon yang ada, dan itu bikin cuapeeeeeeek kalo seandainya a/z ceritanya jadi begini. Untung enggak, ya. Inaho bawa Slaine ke KUA BURUAAAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNN! #ELAH #JADIITUALASANMUNYAMPAHLAGUBIRDDIMANAMANA #GABUTUHCUIH

Dan ketahuilah, sebenarnya ini fanfik dare dari salah satu temen saya *nama tidak disebutkan*. Saya nulis sendiri, ngebeta sendiri padahal sebanyak ini wordsnya (kurasa aku makin minus), maso sendiri, ELAH ELAH#DIULANG

Pokoknya saya mau berterima kasih kepada kalian semua dengan kecupan basah ini #MURAH

Balasan review

Arischa : don't change your penname, dude! Hahhahahaha

Misa : ini bahagia sekali #DUSTA

Kanato-desu : apa ini sesuai harapan #GAK

SarahAmalia : rikues dikabulkan ╰( º∀º )╯. #SETAN

Last, i want to say"thankyou very much!" for KanadeKirishima :"))) I know we're talk on pm, but I want to say something in here for you (aww) sorry if you're getting confused, I mean, you can't believe online translator lmao. I was wrote in some parts with reverse arranged. And I'm sorry due to the tragedy :"))))) but same as you, I want Inaho and Slaine getting married as a fangirl (/_\) #COUGH

Thanks for support,

and really thanks for read! m(_ _)m

siluman panda