Inaho, Slaine, serta jawaban yang tak mereka tahu ―InaSure. Warn inside.

.

.

.

.

Selepas deklarasi damai, sejak Putri Asseylum menyatakan diri sebagai Ratu Vers yang baru; kegiatan Kaizuka Inaho adalah rutin bermain catur dengan Slaine di dalam bui. Bukan apa-apa, hanya penghilang penat semata. Namun itu pun selalu diakhiri dengan gerakan sepihak dari Inaho. Slaine tak pernah meresponnya, sama sekali. Bahkan setelah ia mengatakan mengapa ia membiarkan Slaine tetap hidup, karena itu keinginan Asseylum-sama.

Siang ini tugasnya sudah selesai. Inaho menjenguk Slaine seperti biasa, merepetisi pertanyaan serupa; apa tujuan Slaine sesungguhnya?

Slaine tak pernah menjawabnya.

Namun saat ia ke sana, ia diberitahu sipir bahwa Slaine tengah tertidur. Inaho melihat langsung ke selnya atas ijin kepala penjara.

Dilihatnya Slaine yang terperangkap dalam jajaran besi vertikal, terkurung. Tampak begitu menyedihkan hanya dengan melihat wajahnya. Semua beban seolah tergambar jelas di parasnya.

"Sebenarnya siapa kau, Slaine Troyard? Mengapa kau melakukan semua ini?"

Tidak pernah Inaho lupa, bahwa Slaine adalah pemimpin penyerangan antara pasukan utama dan markas bulan satu tahun lalu. Harusnya ia membencinya, karena Slaine adalah musuhnya. Tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang lain; bukan resultan dari pengamatan netra kiri, sama sekali bukan. Lagipula tak ada data pasti tentang Slaine Troyard. Ia merasakan ada sesuatu yang selalu disembunyikan Slaine dalam diamnya. Mustahil pula meminta Slaine berbicara tentang dirinya.

Inaho berjalan pergi, menjauh karena ada jadwal lain setelah ini. Tanpa ia ketahui, Slaine telah membuka matanya ketika ia mulai melangkah.

.

.

.

.


Aldnoah ZeroProject A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.

Lost © Panda Dayo

| shounen-ai , hvmv dsj | AR. OOC. Gajeness. Typo(s)

Don't Like Don't Read. I've warned you!


.

.

Aktivasi Aldnoah masih dirundingkan. Inaho yang malas mengikuti akhirnya pergi ke sebuah tempat, di taman kota untuk menenangkan diri.

Benar-benar contoh yang buruk. Padahal Asseylum akan datang, tapi ia justru mengkhawatirkan Slaine. Ah, sudahlah. Inaho ingin menenangkan diri sekarang.

"Inaho-san, sedang apa kau?! Bukannya kau harus menghadiri rapat tentang aktivasi Aldno―" seorang anak kecil beranjak remaja menyambanginya.

"Ada apa, Eddelrittuo? Bukannya kau juga harus menemani puteri?" Tanyanya masih dengan wajah sedatar teplon.

Gadis itu hanya menggembungkan pipi, "Jangan kau pikir aku mau berdiskusi dengan rakyat jelata. Asseylum-sama saja yang terlalu baik hati pada penduduk bumi!" Decihnya. Inaho melihat seorang lagi di belakang gadis itu. Ada perempuan lain berhelai violet pucat yang duduk di kursi roda.

"Maafkan Eddelrittuo, Kaizuka Inaho."

Mata kirinya bekerja. Menurut data, ialah puteri Lemrina dari Kaisar Vers kedua.

"Lemrina-sama! Jangan bicara pada makhluk bumi ini!"

"Senang bertemu dengan anda." Ujar Inaho berbasa-basi. Dibalas senyum tipis dari Lemrina.

"Ah, tidak apa-apa. Ayo, Eddelrittuo, kita pergi menjenguk Slaine."

"Ba-baik!" Dengan sigap Eddelrittuo bersiap mendorong kursi roda Lemrina.

"Tunggu. Aku bisa mengantar kalian."

"Sebaiknya jangan. Tampaknya ia tak mau berbicara padamu." Ejek Lemrina. Eddelrittuo menjulurkan lidahnya ke arah Inaho. Inaho kesal sebenarnya, tapi ia tak dapat membuat ekspresi apa-apa karena wajah emotionless miliknya.

"Ah, sepertinya anda benar. Tapi jika tidak keberatan biarkan saya mengawal anda, Lemrina-sama." Inaho membungkuk hormat.

"Baiklah." Kata Lemrina kemudian.

"Lemrina-sama!" Eddelrittuo tak terima.

Akhirnya mereka bertiga menuju ke tempat Slaine ditahan.

.

.

Tak banyak yang dilakukan Slaine di tempat ia berada. Ia tidak makan tapi tak kunjung mati. Sekalipun Asseylum-sama memintanya agar tetap hidup, tapi Slaine sudah merasa mati di dunia ini. Mungkin terbiasa karena di Vers serba kekurangan, ia jadi bisa menahan lapar dan haus dalam waktu lama. Lagipula, ia tidak punya mimpi, tidak akan ada pula yang menangisi kepergiannya.

Benar, kan?

Tapi, bagaimana Slaine bisa mati? Slaine memutar otak, mencari cara agar ia bisa mati. Apa jika ia kabur dari sini, aparat akan mengejarnya, dan melipatgandakan hukumannya. Mungkin ia dapat hukuman mati. Hm, boleh juga.

Tapi fantasi Slaine terputus ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, dengan audio gesekan roda.

Roda?

Segera bangkit dari berbaringnya, Slaine melihatnya ―mereka muncul dari sisi lain, menatapnya penuh iba.

"Slaine, aku datang berkunjung."

Seorang perempuan yang duduk di atas kursi roda muncul.

"Lemrina-sama.." Slaine tak menyangka seorang puteri mengunjungi tahanan hina sepertinya.

"Bagaimana kabarmu, Slaine-san?" Sambung Eddelrittuo.

"Untuk apa kalian ke sini?! Maaf Lemrina-sama, Eddelrittuo, pergilah! Aku tak mau melihat kalian!" Bentaknya. Lemrina semakin kasihan melihat kondisi Slaine. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya semakin kurus. Oh, pipinya pun menjadi tirus. Apa Slaine cukup makan? Jangankan makan tampaknya tidur pun hanya sedikit waktu. Ada kantung mata di bawah kelopaknya,

"Begitu, ya."

Eddelrittuo meletakkan sesuatu di depan sel Slaine. Sebuket mawar biru yang menjadi favorit Slaine di markas bulan dulu.

"Eddelrittuo! Buang itu! Buang!" Seru Slaine. Tangan Slaine terulur keluar dan melempar jauh buket bunga itu hingga berceceran. Eddelrittuo hanya diam dan membungkuk.

"Permisi, Slaine-san."

"Pergilah! Sebelum aku berpikir ingin membunuh kalian!"

Apa berada di ruang sempit ini membuat Slaine menjadi semakin tidak waras? Inaho tidak pernah tahu, karena Slaine selalu diam ketika ditanya olehnya. Ia justru mengusir orang-orang Vers ―seorang puteri pula― yang pernah menjadi pihak yang dibelanya.

"Aku mengerti, Slaine. Tapi, jaga kesehatanmu." Lirih Lemrina. Eddelrittuo lalu mendorong kursi rodanya, menjauh dari sel Slaine. Slaine kembali berbaring, memunggungi Inaho yang masih berdiri di depan selnya.

Inaho mematung beberapa saat, sebelum berjalan cepat mengantar Lemrina dan Eddelrittuo.

.

.

.

"Mengapa kalian menjenguknya?" Tanya Inaho kemudian di perjalanan menuju lift.

"Bukan hal yang aneh, Kaizuka Inaho. Slaine sebenarnya orang baik." Ujar Lemrina, diikuti anggukan Eddelrittuo.

"Mengapa ia tak pernah menceritakan siapa dirinya tiap ku interogasi?"

"Mungkin dia malas bicara."

"Lalu, mengapa dia menyerang bumi?"

Lemrina melirik tajam. Namun tak cukup untuk mengintimidasi orang tak peka macam Inaho.

"Kau yang tidak tahu apa-apa tentang Slaine, diam saja! Kau pikir kau tahu deritanya?! Kau pikir kau tahu segalanya, hah?!"

"Hime-sama..." Peringat Eddelrittuo.

"Kenapa dia harus menderita?"

"Kau!"

Ting!

Lift terbuka. Muncul Asseylum-sama dari sana.

"Kakak? Apa yang kakak lakukan di sini?! Bukannya―"

Asseylum hanya tersenyum seperti biasa, "Menjenguk Slaine."

"Ia sedang dalam kondisi buruk, Asseylum-sama, kusarankan anda tidak menjenguknya sementara ini."

"Apakah seburuk itu?" Tanya Ratu Vers. Lemrina mengangguk sebagai ganti jawaban. Lebih buruk dari asumsinya.

"Tidak apa. Aku akan mencoba menemuinya dulu." Asseylum melenggang, melewati mereka bertiga.

.

.

.

Slaine memukul kepala keras-keras hingga dahinya memerah dan mulai berdarah. Ia telah memulai langkah bagus untuk bunuh diri. Jika ia kehilangan banyak darah, maka ia akan mati. Tadinya ingin memotong nadi agar lebih cepat, tapi tidak ada benda tajam yang bisa ia temukan. Ia harus bertindak sendiri. Ia ingin segera mati.

"Slaine?"

Suara lembut yang dikenalnya, tapi Slaine mengabaikannya. Ia pasti sedang berhalusinasi. Ia menjedukkan kepalanya makin beras dan menambah intensitas darah yang mengalir.

"Slaine! Apa yang kau lakukan?! Slaine?!"

Biarkan aku mati.

Sudah tidak ada gunanya aku hidup.

"Ada apa, Seylum-san?"

"Slaine! Slaine! Inaho-san, Slaine!"

"Slaine Troyard! Hentikan!"

Slaine turut memukulkan tangannya pada dinding.

Sakit.

Benar-benar sakit.

"Slaine Troyard!"

Ia merasakan bagian belakangnya tertarik. Siapa lagi yang dapat melakukan ini selain Kaizuka Inaho.

"Bunuh aku, orenji! Cambuk aku! Setrum! Pukul aku! Apa saja yang penting aku bisa mati sekarang!"

"Tenanglah, Slaine Troyard!" Inaho berusaha menahan pergerakannya sekuat tenaga.

Asseylum yang melihatnya hanya menunduk pilu. Slaine tampak begitu menyedihkan. Kondisinya benar buruk, seperti kata Lemrina.

Tak sengaja netranya menangkap ceceran kelopak mawar biru di lantai akibat ulah Slaine beberapa saat tadi. Eddelrittuo pernah menceritakannya. Tentang Slaine yang selalu menunggunya tersadar, tentang Slaine yang bersedia menunjukkan bunga melalui hologram ketika ia tengah kritis. Bahkan membuatkan taman untuknya yang persis seperti di bumi. Semua itu..Slaine yang melakukannya. Slaine yang selalu melindunginya. Dan hanya Slaine yang percaya bahwa ia tetap hidup.

"Asseylum-sama. Slaine-san pernah mengatakan tentang bahasa bunga."

"Hm, benarkah?"

"Benar. Hime-sama tahu, arti mawar merah adalah mencintai. Tapi, apakah Hime-sama tahu, arti dari mawar biru?"

"Katakan padaku, Eddelrittuo."

"Keajaiban."

"Bagus sekali!"

"Tapi..ada arti lain darinya."

"Apa itu?"

"Ketidakmungkinan."

".."

"Slaine-san sangat menyukai bunga itu.."

.

.

.

"Slaine...maaf..ini..salahku" Asseylum menutup mulut, berusaha agar tak bersuara. Untuk pertama kalinya, Inaho melihat Ratu Vers itu menangis demi seseorang. Teman masa kecilnya.

"Sampai kapan kau mengekangnya dengan perasaan itu?"

Perkataan Lemrina benar.

"Hime-sama..Slaine-san adalah satu-satunya yang tak pernah berkhianat pada anda."

Eddelrittuo benar.

Slaine Troyard adalah satu-satunya yang takkan mengingkari sumpah setianya. Rela menempuh cara kotor dan mendaki dosa demi melindunginya. Ia baru mengetahui hal ini kemarin dari Eddelrittuo dan Lemrina ―meski pernah dijelaskan topik serupa sebelumnya. Namun kali ini adalah versi rincinya.

Ia yang terlalu sibuk tanpa pernah memperhatikan perasaan Slaine kepadanya.

"Pergi kau, Asseylum! Mau apa kau?! Pergi!"

"Jaga ucapanmu, Slaine Troyard!" Inaho masih berusaha menahannya.

Tak pernah Slaine bicara sekasar itu kepadanya. Tapi, Asseylum mencoba mengerti. Ia tak sempat berpikir, jadi ia bersimpuh di depan pintu sel yang terbuka.

"Maaf Slaine..maaf.."

Slaine berhenti memberontak dari Inaho. Ia memandang lurus pada Asseylum sebelum berkomentar,

"Walaupun aku melakukan segalanya untukmu..." Pertahanannya runtuh. Air matanya mengalir begitu saja ketika melihat Ratu Vers rela bersujud untuknya.

"Pergi.." Lirihnya.

Asseylum mengangkat wajahnya.

"Pergi kau, Asseylum!" Suara Slaine meninggi.

PLAKK

Inaho menamparnya keras. Hening, hingga Slaine terbahak keras,

"Benar, orenji! Tampar aku sebanyak yang kau mau! Aku memang hina!"

PLAKK

"Inaho-san, hentikan!" Pinta Asseylum.

Inaho berhenti. Slaine yang kini berwajah murung.

"Tidak kau lanjutkan, tuan Kaizuka?" Slaine tertawa bagai orang gila.

"Seylum-san, saya akan mengantar anda pergi."

Inaho melepaskan Slaine dan keluar sebelum mengunci kembali sel Slaine.

Asseylum dan Inaho lalu keluar bersama. Meninggalkan Slaine dengan derai air matanya.

.

.

.

"Kondisi kejiwaannya buruk. Kita harus melakukan sesuatu padanya."

Yagarai tidak pernah menangani kasus kejiwaan, kalau trauma sih masih bisa seperti Lt. Marito. Tapi, yang dialami Slaine tampaknya bukan itu. Mungkin cara hidupnya buruk hingga berakhir menyedihkan.

Tapi, tidak ada yang tahu riwayat Slaine dengan rinci. Baik ketika ia masih ada di bumi, atau ketika di Vers.

Inaho tidak lagi menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia beranjak pergi dari tempat Yagarai untuk bertanya pada Eddelrittuo. Sayang sekali, mata kirinya tak bisa melihat masa lalu.

.

.

.

.

Slaine mendekap diri. Tadi beberapa petugas medis datang ―pasti perintah dari Orenji itu― tak lama setelah Asseylum pergi. Buktinya adalah perban yang melingkari kepalanya kini.

Slaine akan menunggu waktu yang tepat untuk bunuh diri nanti.

"Bat.."

Hanya satu orang yang memanggilnya begitu. Tanpa harus melihat, Slaine tahu itu Inaho ―tidak bosan apa dia menyambanginya?

Slaine tak tahu ini jam berapa, tapi cukup lama sejak kedatangan Asseylum. Mungkin beberapa jam telah berlalu,

"Waktunya makan malam, bat."

Tidak ada sahutan. Inaho mencoba mencari cara lain untuk membujuk Slaine makan.

"Slaine, tubuhmu kurus jadi makanlah."

Masih diam.

Inaho tak pernah mengerti apa maunya Slaine. Si kelelawar itu adalah orang yang sulit diprediksi.

"Aku tinggalkan di depan selmu. Makanlah."

Hening.

"Slaine Troyard, jangan buat aku kesal."

".."

Inaho menghela nafas lelah. Diletakkannya piring berisi nasi dan lauk pauk di depan bui Slaine.

"Aku akan melihatnya kembali, pastikan kau makan. Aku ingin main catur denganmu."

"Sayangnya aku menolak." Ah, bicara juga dia.

"Kenapa kau menolak?"

"Aku tak punya alasan untuk tetap hidup, Orenji. Jadi biarkan aku mati dengan tenang menyusul tuan Saazbaum. Ah, bagaimana kalau di neraka aku bertemu tuan Cruhteo?.." Slaine mulai melantur.

"Oi, Slaine!"

"Kalau dipikir-pikir, lebih baik dicambuk seribu kali oleh pangeran Cruhteo.."

Inaho tak habis pikir, apa sebenarnya isi otak anak ini? Yagarai-sensei benar, dia sakit jiwa.

"Harklight..maafkan aku.."

Inaho tak mengenal nama-nama yang diucapkan oleh Slaine.

"Asseylum-sama..aku.."

Mungkin itu faktor terbesar akan goncangan jiwanya.

"Ukh..arggh! Aaarrgghh!" Slaine membayangkan dimana saat ia diinterogasi Cruhteo. Rasa sakit cambuknya masih terasa di kulitnya.

"Apakah kau..telah bersumpah setia pada Asseylum-sama? Apakah...kau temannya?"

"Bicaralah, Slaine!"

Cambuk itu lalu melukainya. Dilanjutkan dengan listrik bertegangan sedang, Slaine dihajar habis-habisan waktu itu.

"AAKKH! AAAKHHH!"

Slaine menjambak rambutnya sendiri. Menariknya keras hingga pangkal. Sakit, semua benar-benar sakit. Tapi..ia menikmati ini. Benar, ia tidak berharap banyak.

"Bat! Sadarlah!"

Inaho membuka kunci sel dan menghampiri Slaine yang makin tidak karuan pada dirinya.

Bahu Slaine digoncang, kepalanya maju mundur seperti hendak lepas.

"Orenji?" Ia berhenti dari aksinya sejenak. Diliriknya sedikit ke bawah tubuh Inaho, ia menemukan pistol tersemat di ikat pinggangnya.

Ia harus membuat Inaho menembaknya. Tapi, bagaimana?

"Lihatlah dirimu, bat. Cepat makan jatahmu, sebentar." Inaho meraih makanan yang diletakkannya di depan sel dari dalam menggunakan tangannya yang panjang.

"Makanlah."

Slaine memandangi makanan yang dibawakan Inaho. Nasi kare. Sudah lama Slaine tak memakannya, tapi―

"Oi, ayo makan."

Kembali Inaho diabaikan. Inaho sebal, tapi ia tidak tahu cara memasang tampang kesal.

Slaine takkan mau memakannya.

Bagus. Sudah seminggu ia tak makan, dan kini perutnya mulai bereaksi sakit. Slaine harus tetap seperti ini hingga minggu depan, dan akhirnya ia bisa mati. Bravo!

Slaine mengelak dari suapan yang diberikan Inaho. Inaho pikir dia anak kecil, apa?

"Makan." Perintahnya.

"Aku tak mau makan."

"Makan."

"Tidak."

"Makan."

"Tidak."

".."

"Kau dengar, aku tida―"

Sebelum Slaine menyelesaikan kalimatnya, Inaho melakukan sesuatu di luar perkiraannya.

Mentransfer dari mulut ke mulut.

Slaine menendang dada Inaho dan berusaha memuntahkan nasi yang tertelan tadi. Tapi tak ada apapun yang keluar dari mulutnya. Usahanya sia-sia.

"Setidaknya kau takkan mati besok." Kata Inaho. Slaine menatapnya tajam.

"Sialan kau, Orenji?! Mengapa kau tak biarkan aku mati saja?! Oh, benar. Asseylum-sama. Itu keinginannya, kan?"

"Kalau kau tak mau makan sendiri, aku akan melakukannya dengan caraku setiap hari padamu,"

"Hah?!"

Tanpa disangka Inaho malah memeluknya erat, mendekapnya penuh hangat. Slaine terbelalak, ia belum pernah dipeluk siapapun bertahun-tahun ini. Rasanya seperti..

"Lepaskan, oren―"

"Kau tak punya tenaga untuk melawan karena kau lapar."

"Jika kau hanya mau menghinaku, sebaiknya kau pergi!"

"Tidak!" Balas Inaho.

"Pergi!" Slaine berusaha melepaskan diri. Sialnya dekapan Inaho semakin merapatkan tubuh mereka.

"Inaho!" Habis kesabaran Slaine pada makhluk satu ini.

"Slaine, maaf."

. . .

Slaine masih berusaha mencerna perkataan Inaho.

"Aku minta maaf padamu, untuk semuanya."

"Untuk apa?" Tukas Slaine.

"Tamparan tadi. Apa aku harus mengatakannya seribu kali?"

"Tidak! Lepaskan aku dan pergi sana, orenji!"

"Aku baru mendengarnya dari Lemrina dan Eddelrittuo tadi. Bahkan puteri Asseylum."

"Mendengar apa?" Slaine bingung.

"Riwayat hidupmu."

Slaine mengunci bibir sejenak.

"Pergi kau! Pergi!" Didorongnya Inaho lebih keras dan berhasil menciptakan spasi di antara mereka. Inaho mulai bercerita, bahkan ia tahu bahwa Slaine pernah ―bahkan sering― disiksa di Vers.

"Itu bohong, orenji." Slaine memang pandai berdusta. Inaho mencari celah ketidakjujuran Slaine, tapi mesinnya tak menemukan apa-apa meski ia tahu Slaine tengah berbohong kepadanya.

"Bukannya kau harus bertugas lagi? Tidak takut dipecat?" Tawanya sarkas.

"Tidak."

"Pergi kau, Kaizuka Inaho! Pergi dari hadapanku!"

Inaho hanya menuruti permintaannya, sebelum temperamennya lebih buruk dari ini.

Slaine Troyard tidak normal; deduksi Inaho.


.

.

Yuki asyik menonton acara komedi bertema tahan tawa di televisi. Di sisi kirinya, sebungkus kripik kentang menemani. Ia sedang bebas tugas hari ini dan memutuskan untuk bersantai sepanjang waktu. Ia tidak jadi tertawa kala melihat adiknya pulang dengan wajah kusut. Well, tampangnya memang datar, tapi Yuki bisa membedakan mana wajah yang dipasang oleh adiknya tercinta.

"Aku pulang." Inaho bersuara.

"Telat. Oya Nao-kun, aku sudah menyiapkan air panas dan makan malam."

"Terima kasih, Yuki-nee." Lalu dilihatnya Inaho bergegas menuju ke kamarnya. Yuki hanya berharap adiknya baik-baik saja. Maksudku, kita sedang membahas Kaizuka Inaho disini.

Ah, sudahlah. Yuki pun memilih melanjutkan acara menontonnya yang sempat tertunda.

.

.

Slaine bergerak gelisah sekaligus resah. Perbuatan Inaho tadi tidak bisa membuatnya tidur dengan tenang. Setiap kali memejamkan mata, justru wajah Inaho sialan itu yang muncul. Tch, benar-benar! Slaine sangat dongkol mengapa ia malah terbayang paras uhuktampanuhuk si bungsu Kaizuka. Ayolah, Slaine! Tidur! Tidur!

Hahh. Percuma.

Slaine memilih duduk sembari memijit kepalanya, berusaha menenangkan pikiran. Untuk beberapa alasan, ia malu mengingat perlakuan Inaho yang mentransfer makanan dari mulut ke mulut. Harusnya Slaine tak terkejut. Mengingat ia juga pernah berciuman dengan Asseylum dan Lemrina ―oh, tunggu. Slaine kini tahu dimana letak perbedaannya. Mereka itu perempuan dan Inaho laki-laki seperti dirinya. Terlebih lagi tadi itu bukan ciuman, tapi Inaho yang memaksa Slaine agar makan. Ya, ya! Pasti itu! Slaine Troyard itu tidak bodoh, ya! Hmph!

Tapi..kenapa Inaho mau melakukannya?

Slaine ―terpaksa― berpikir lagi.

.

.

.

Inaho sedang berendam di bak air hangat. Hanya parsial wajahnya yang nampak. Ia sama sekali tak bisa mandi dengan tenang sedari tadi. Bayangan Slaine memenuhi kapasitas otaknya secara tiba-tiba semenjak ia pergi dari penjara khusus untuk mantan Ksatria Orbit tersebut. Apa sih yang dipikirkannya tadi sampai mencium Slaine?! Harus bersikap bagaimana ia besok atas perbuatannya tadi?

Tunggu. Itu bukan ciuman. Inaho melakukannya agar Slaine bisa makan, supaya Slaine tidak mati dalam rangka menepati janjinya pada Asseylum. Lagipula Slaine tidak menyukai tindakannya, terbukti dengan penolakan tadi. Ya, itu bukan ci-u-man! Inaho takkan terjerumus, ya! Hmph!

―tapi, rasa bibir Slaine enak juga.

Inaho menggeleng, merasa isi kepalanya makin tidak beres ketika memikirkannya. Semakin keras ia menyangkal, semakin menjadi Slaine mengisi otaknya. Slaine Troyard, jangan-jangan ia menggunakan jampi-jampi tertentu padanya?

Tolong ingatkan Inaho, A/Z masih bergenre sci-fi.

.

.

.

.

Esoknya, tidak ada yang berubah. Ketika main catur, Slaine masih enggan menjalankan bidaknya. Inaho pun sama, karena Slaine pemegang bidak putih, tidak mungkin pemilik bidak hitam maju terlebih dahulu.

Slaine tampak lesu hari ini. Oh iya,

"Slaine, sudah makan?" Inaho menyuarakan isi hatinya. Slaine yang sedari tadi tertunduk hanya mengangkat wajah melasnya agar bisa menatap Inaho.

Geez! Sejak kapan Inaho jadi perhatian begini?! Dia jadi menjijikkan, pikir Slaine.

"Belum." Jawab yang bersangkutan. Inaho langsung bangkit dari kursi, lalu melangkah menuju Slaine dan menggenggam pergelangan tangan kanannya.

"Kau. Ikut. Aku. Sekarang. Juga."

Slaine bergidik mendengar Inaho berbicara dengan nada yang menyeramkan. A-apa sih maunya si Inaho brengsek ini?! Bu-bukannya Slaine takut atau apa, ya! Hmph!

"Ke mana?" Slaine bertanya. Inaho menatapnya intens dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Kau mau makan atau dimakan?"

Slaine melotot horor. Kemudian ia menjerit heboh dalam hati ketika Inaho menyeretnya menuju luar. Hei, Inaho!

Eh, luar?! Di mana para penjaga yang mengawasi selnya?! Slaine baru sadar mereka semua tidak ada. Apa ini ulah Inaho lagi?

"Orenji! Ini penculikan! Aku mau kembali!"

"Jam segini makananmu belum siap. Makan di rumahku." Dan Inaho memasukkannya paksa ke dalam mobil yang ia bawa untuk menjenguk Slaine. Dilemparnya pemuda kurus itu ke jok belakang, sementara Inaho sendiri bergegas ke bangku kemudi dan memanaskan mesin. Slaine mencoba bergerak, tapi Inaho menatapnya dari cermin atas dasbor dengan penuh intimidasi. Akhirnya Slaine hanya terdiam di jok belakang dengan posisi duduk memeluk lututnya, takut Inaho melakukan tindakan lain. Ng..membunuhnya, misalnya? Bisa saja kan. Mungkin Inaho bosan mengurusnya yang bawel.

(Bukankah ia harusnya merasa senang?)

.

.

.

.

Untung Yuki tidak ada di rumah. Inaho sampai harus celingukan ke sana sini guna memastikan keadaan. Slaine yang berdiri di belakangnya hanya mampu pasrah ―atau memasrahkan diri? Hah. Yang jelas ia tidak mungkin kabur saat ini karena Inaho menahan tangan kirinya. Wajah Slaine terasa memanas. Inaho, mengapa kau hobi sekali membuat orang malu, sih?!

"Masuklah, Slaine."

Ketidaknyamanan Slaine berubah ketika melihat interior rumah keluarga Kaizuka yang simpel nan minimalis. Sebagian mungkin berbahan kayu ringan. Entah kapan terakhir kali ia melihat rumah manusia di bumi. Itu sudah lama sekali, ia bahkan sudah lupa rasanya tinggal di sebuah rumah kini.

"Duduklah, aku akan menyiapkan makanan. Telur dadar, mata sapi, atau rebus?" Tanya Inaho seraya menuju kompor. Meja makan tidak terlalu jauh dari dapur, jadi Slaine masih bisa melihat Inaho yang mencari-cari sesuatu dari lemari penyimpan.

Slaine, jangan biarkan Inaho memengaruhimu!

"Aku tidak―"

Lalu Inaho mengeluarkan aura gelap, membuat Slaine berkeringat dingin tiba-tiba. Ini sih namanya jebakan! Awas kau, Kaizuka Inaho!

"Aku tidak menolak kau memasak apapun." Slaine berusaha tersenyum, meyakinkan Inaho. Inaho menatapnya sekilas sebelum kembali memunggungi Slaine di meja makan dan mulai membuat telur mata sapi. Sementara Slaine bernafas lega. Ah, tunggu, darimana datangnya bunga-bunga bermekaran yang kini jatuh dari atas kepalanya?

Slaine menoleh pada Inaho. Ia langsung swt. Pahlawan bumi itu sedang dikelilingi aura bunga-bunga yang bermekaran dan menyebar.

Inaho, is that you?

Ini hanya ilusi, ya! Pasti itu! Atau mungkin matanya jadi sengklek karena terlalu banyak menghabiskan waktu di penjara. Apapun itu, ia tidak peduli. Toh Slaine hanya diberi makan dan akan dikembalikan ke penjara, bukan?

"Slaine.." Panggil Inaho. Slaine sedikit tersentak, tapi menjawab juga,

"Apa, Inaho?"

Inaho mengangkat telur dari frying pan dan meletakkannya di piring dekatnya.

"Apa kau benar-benar ingin mati?"

Slaine menggelap, tatapannya berganti sendu, "Kau tahu alasanku."

"Tapi, Slaine..." Jeda "..bagaimana jika ada orang yang masih mengharapkanmu hidup?"

"Tidak mungkin." Balas slaine cepat, "Hampir semua orang Vers ingin aku mati, terutama Ksatria Orbit lain." Slaine meremat kepalan di tangannya, menampakkan urat nadinya.

"Karena itu, bunuh a―"

"Makanan sudah siap."

Slaine mengerjap, memandangi Inaho yang telah membawa nasi dan telur ke meja makan. Slaine tidak mau dikasihani, tidak! Mengapa Inaho selalu bertindak di luar pemikirannya?!

"Orenji, aku―"

"Diam dan makan, bat."

"Kenapa kau menolongku?"

"Kukira kau sudah tahu jawabannya."

"Asseylum? Kau sama saja dengan boneka baginya."

"Bukan...begitu."

"Bukan? Lalu mengapa kau mengabulkan permintaannya? Kau mencintainya?" Tebak Slaine. Inaho tidak tahu harus menjawab apa karena yang terakhir itu bingo menusuk kokoronya. Inaho sedang mencoba untuk mengubur perasaannya jauh ke dalam, dan Slaine telah mengungkit luka lamanya kembali.

Melihat Inaho tak menjawab, Slaine cengengesan, "Hoo...ada yang patah hati di sini?"

"Kita sama, Slaine Troyard. Sebaiknya kau berkaca."

"Ah, kau mengingatkanku sekarang." Slaine jadi down ketika Inaho mengatakannya. Setiap kali membayangkan Asseylum, ia terjebak dalam kurungan perasaannya sendiri. Apa iya sekarang boleh ia mencintai istri orang? Tidak, tentu saja. Jadi, bagaimana cara menghilangkan perasaan yang sudah dipupuknya sejak kecil ini? Pasti akan butuh waktu lama; sebenarnya Slaine tidak mau melupakan perasaannya, tapi sekarang ia bisa apa? Dirinya saja dianggap tewas pada anonsemen publik, lalu Inaho mengawasinya. Tch!

"Ayo makan, Slaine."

"Tidak." Slaine memegang teguh keyakinannya.

"Kau.." Inaho sedikit geram, tapi tetap saja hanya paras emotionlessnya yang terpampang.

"Lalu kau mau apa, Ka-i-zu-ka I-na-ho?" Tantang Slaine sembari mengeja nama pemuda itu. Inaho mengernyit mendengarnya, tapi ia berusaha memikirkan sesuatu agar Slaine mau makan.

"Bagaimana jika kulakukan seperti kemarin? Dari mulut ke mulut."

Sebenarnya Inaho asal bicara saja.

Slaine langsung bangkit dan menggebrak meja,

"Jadi setelah kau patah hati, kau belok padaku?! Ini tidak lucu, orenji!"

"Mungkin begitu." Inaho sendiri bingung sebenarnya dengan apa yang barusan ia katakan.

"Inaho! Dengar ya, aku tidak akan ma― hwaaa!"

Tiba-tiba saja rumah yang mereka tempati bergerak. Refleks, mereka berdua menuju pintu rumah Inaho untuk melihat apa yang terjadi di luar. Keduanya sama-sama terbelalak kaget ketika mendapati sebuah Kastil Pendaratan berada tak jauh dari tempat mereka kini. Jadi itu sebabnya tanah menjadi bergerak, karena angin yang diciptakan oleh Kastil tersebut.

Dan di saat yang sama, ponsel Inaho berdering. Inaho cepat mengangkatnya begitu tahu ada panggilan dari kakak perempuannya.

"Nao-kun! Penjara tempat Slaine diserang! Apa kau masih di sel? Orang-orang Mars itu mencari Slaine!"

Inaho melirik pada Slaine di sebelahnya. Slaine yang dilihat Inaho seperti itu hanya mampu berkedip heran.

"Ada apa, orenji?"

"Orang Vers datang mencarimu, bat."

Slaine terbelalak.

"Nao-kun! Nao-kun!"

Inaho menjatuhkan ponselnya, bersamaan dengan angin ledakan yang mengarah pada mereka. Membuat pemandangan sekitar memutih sesaat.

.

.

.

.

.

.

Ber-sam-bung! Tehee! (Tehee ndasmu!)


A/N : ini dare dari temen sih, gue disuruh nulis InaSure gegara kalah taruhan UvU. Jangan tanya itu taruhan apa. Ini fik sho-ai perdana saya karena disuruh UvU (tapi saya mantan uhukfujouhuk koq)

Eniwei, salam kenal semua.

siluman panda