Normal POV

Sasuke Uchiha adalah seorang gay.

Ini bukan sebuah pendapat, melainkan suatu fakta yang tidak bisa dibantah. Meski semua orang yang selalu mendambakan dirinya takkan percaya walau orangnya sendiri yang berbicara, hal tersebut memang merupakan kepastian asli yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya.

Tapi kali ini, ada satu orang yang percaya—

"Umh…"

—dan memanfaatkan fakta itu dengan sebaik-baiknya.

Sasuke tidak mengerti apa yang terjadi dengan pria di hadapannya. Ia tidak mau paham akan situasi yang dia alami sekarang. Siang ini begitu terik, membuat kepalanya mendadak pusing dan membuatnya tidak bisa berpikiran jernih. Namun, dirinya tidak terlalu bodoh akan peristiwa macam apa yang ia libati saat ini.

Di depannya sekarang terdapat salah satu murid yang paling disegani di Konoha.

Mengingat nama belakang, kepintaran, serta kekuasaan yang orang itu punya—pasti tak ada seorang pun percaya dengan apa yang sedang dilakukan oleh Hyuuga Neji sekarang.

Kecupan singkat namun tak sampai berperang lidah. Tidak ada decapan atau pun permainan kecil yang sanggup membuat imajinasi Sasuke melayang—semua ia tahan dengan katupan rapat pada kedua belah bibirnya.

Bibir mereka hanya saling menempel. Itu diakibatkan karena Sasuke yang menolak bibir Neji untuk menelusuri kedalaman mulutnya lebih jauh. Jadi saat bel berdering, dengan berat hati Neji terpaksa melepaskan tautan tak pasti dari kedua bibir mereka—sejujurnya, Sasuke amat sangat mensyukurinya.

Mereka masih berhadapan, dengan kedua mata saling menatap tajam.

Sebenarnya, Sasuke tidak takut. Dia tidak pernah takut akan apapun. Meski Hyuuga Neji yang memiliki kekuasaan, kekayaan, serta segalanya, Sang Bungsu Uchiha tidak pernah takut.

"Kenapa kau jual mahal sekali?"

"Memang apa pedulimu?"

Neji menyeringai. Manik pucat miliknya menyipit sinis. "Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu," Mata sehitam malam menatapnya nyalang. "Kau tinggal menyerahkan tubuh kotormu ini. Dan semuanya akan selesai, Uchiha."

"Aku tidak semurah itu," Sasuke mendorong Neji menjauh. Tatapan mereka masihlah menyatu. "Kalau kau ingin bermain, kau salah memilih, Hyuuga."

"Ah," Neji menaikkan dagu. Aura dominan jelas menguar darinya. "Seperti kau memainkan adikku yang manis itu?"

Sasuke tidak mau kalah. "Aku tak ingin menyakitinya. Kau tahu kalau semuanya sudah jelas."

Neji diam saja. Ia mengalihkan pandangan pada gedung sekolah yang mulai terlihat hening, tampaknya pelajaran sudah dimulai. "Aku pergi bukan berarti semuanya telah berakhir," Pemuda berhelai panjang itu berbalik, beranjak meninggalkan Sasuke. "Siapkan dirimu, Uchiha."

Uchiha Sasuke menatap punggung muridnya dengan pandangan datar. Ekspresinya benar-benar tidak terbaca ketika melihat Neji yang tengah menghilang. Kemudian, ia merapikan kemejanya yang sempat kusut akibat ulah sang pemuda berambut panjang.

Sasuke menatap sekeliling. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun ia sangat bersyukur kalau lapangan depan saat ini sangatlah sepi.

Angin menerbangkan helai hitamnya. Daun-daun sakura berguguran. Tak lama, ia sadar bahwa saat ini bulan tengah jatuh pada April. Sasuke mendongak, berniat menatap langit cerah pada akhir musim semi.

Dan saat itu, ia menemukan satu sosok yang berdiri di tiang pembatas atap.

Manik hitamnya perlahan membulat.

Sedangkan, mata biru seindah samudera masih menatapnya tak percaya.

Angin lagi-lagi melintas lewat.

Saat itu … mereka takkan sadar bahwa takdir mulai muncul di tengah-tengah mereka—dan bermaksud untuk mempermainkan keduanya.

.

.

.

HOMOES

A Last Project by forbeingaselfish at 2015

Naruto by Masashi Kishimoto

[Naruto U. & Sasuke U.]

AU — Alternate Universe

.

.

third night and our kiss

.

.

Naruto Uzumaki tak mau percaya.

Beberapa saat sebelumnya, ia tengah membicarakan topik sensitif dengan Kiba. Dan tak perlu diungkapkan lagi kalau bahasan itu sangat tabu untuk dibincangkan. Sebelumnya, ia hanya penasaran—tidak ada perasaan lebih mengenai hal tersebut.

Gay ternyata benar-benar ada.

Pelajaran terakhir sudah dimulai, dan Naruto sama sekali belum pergi dari tempatnya berdiri. Sasuke sudah pergi dua jam lalu, berniat untuk pergi ke kelas satu untuk melanjutkan kewajibannya. Tapi, Si Bungsu Uzumaki masih terpaku di sini—dengan pikiran melayang namun melambung tinggi.

Ini tentang sang guru terhebat dan dipuji semua orang, Sasuke Uchiha.

Naruto menarik napas, tatapannya menerawang. Kemudian, ia jatuhkan tubuhnya ke lantai dingin milik atap sekolah. Manik biru memandang langit—ah, begitu cantik … indah sekali.

Ini semua tentang Sasuke Uchiha.

Naruto tidak tahu sejak kapan Sasuke mulai berputar-putar di sekitar kehidupannya. Ia benar-benar tak paham dengan segala situasi aneh yang telah diberikan Tuhan padanya. Apa dia terlalu bodoh hingga diberikan cobaan seperti ini?

Wajah Naruto tampak seperti tak tahu arah, benar-benar tersesat di jalan bernama kehidupan.

Ciuman sesama pria tadi tiba-tiba melintas begitu saja.

Naruto menutup kedua mata.

Biarkan dia beristirahat untuk sejenak.

.

.

- naruto uzumaki -

.

.

Sasuke berniat untuk kabur begitu saja.

Ia cepat-cepat berlari pelan, pergi menuju tempat yang tidak ada orang. Toilet guru merupakan area aman untuk sementara. Karena itulah, segera ia menutup pintu bilik dan bersembunyi di dalamnya. Wajahnya mengeras, dirinya tampak pucat seperti kekurangan darah.

Uzumaki Naruto … melihat semuanya.

Dengan segera, ia duduk di bangku toilet—termenung dengan raut depresi.

Kedua mata mendadak tertutup.

Ingin rasanya Sasuke menangis dan berteriak saat ini—namun ia tahu, itu takkan terjadi.

Bayangan Uzumaki Naruto yang berdiri, menatapnya tiada henti. Dengan bibir setengah terbuka, menatap tak percaya padanya. Ini sudah kali kedua muridnya itu memergokinya tengah berciuman dengan orang yang sama.

Mungkin saat ini, Naruto menganggapnya murahan—atau bisa jadi, tidak normal.

Ah, Sasuke memang tidak normal dari awal.

Dan detik itu, tangannya mulai merambat naik, menyentuh leher dan belakang kepalanya.

Sasuke menggigit bibir bawah.

"Uhm…" Otak Sasuke mulai membayangkan fantasi terliarnya. Ia biarkan imajinasinya memantulkan bayangan Naruto yang sedang mencumbunya. "Uh! N-Naru…"

Biarkan Sasuke melepas penat, dengan cara masturbasi di sekolah.

Jemarinya perlahan merambat turun, mengambil sesuatu yang bersembunyi dibalik celana hitam yang ia pakai saat itu. Dengan ragu, Sasuke mulai menyentuh ujung kejantanannya—memutarnya perlahan dan langsung mendongakkan kepala ke atas.

"Ah! Yeah … N-Naru…"

Tangan Sasuke terus bergerak, mengabaikan batang kejantanannya yang mulai mengeras. Ia perlahan memejamkan mata dan menikmati berkat duniawi untuk sementara. Kali ini, Sasuke membayangkan Naruto berjongkok untuknya, menjilat miliknya dengan mata tak lepas dari wajah Sasuke. Napas Sang Uchiha mulai memburu, keringat tiba-tiba membasahi tubuh.

Lalu, di bayangannya, Naruto menyeringai.

"Kenapa? Kau suka?"

"Y-Ya! N-Naru … oh God!"

"Ah, tentu saja … sentuhanku yang terbaik, 'kan?"

Sasuke menggerakkan tangannya semakin cepat.

"Fuck!" Sasuke menggeram. Ujung kejantanan miliknya tengah mengeluarkan pre-cum. Sasuke hampir sampai. "Angh! Yea, Naru—!"

Sampai akhir permainannya, Sasuke terus meneriaki nama Naruto.

.

.

- sasuke uchiha -

.

.

Namanya Neji Hyuuga.

Sebenarnya, dia adalah salah satu kakak kelas yang dihormati oleh para adik di sekolahnya. Nilai dan kemampuannya benar-benar luar biasa dan memukau bila sekali dipandang, serta wajah manis yang membuat para gadis tak mampu berpaling darinya. Rambut panjang akibat salah satu ciri khas keluarganya sama sekali tidak mengganggu, bahkan hal tersebut jika dipikirkan lagi memang cocok untuk seorang Hyuuga.

Neji tidak pernah sekali pun mengecewakan semua orang. Ia selalu sempurna di segala bidang dengan semua kelebihan yang diperuntukkan baginya.

Hyuuga adalah salah satu marga terkenal di Tokyo. Itu diakibatkan karena keluarga mereka yang sangat berpengaruh dalam pembentukan jaringan organisasi negara dengan Eropa. Mengingat rata-rata keturunan mereka memiliki tingkat kejeniusan yang benar-benar di luar nalar, maka jangan bertanya mengapa Keluarga Hyuuga sangat disegani kekuasaannya.

Neji Hyuuga adalah salah satu anak yang akan mencapai kesempurnaan.

Tahun ini merupakan tahun terakhirnya untuk menginjak bangku SMA. Ia akan kuliah di Jerman dan meninggalkan keluarga serta teman-temannya untuk sementara. Ini bukan keputusan dari kedua orang tuanya, melainkan dari dirinya sendiri yang ingin mencicipi bahaya dari dunia luar. Tidak—ini memang keinginannya.

Hiashi sangat bangga memiliki anak laki-laki seperti Neji.

Pemuda bermata perak itu benar-benar memiliki semua kenikmatan duniawi.

Mungkin, yang bisa menandingi kesempurnaannya hanyalah Sasuke Uchiha, guru muda yang ada di SMA Konoha—

Ah, tidak.

Jangan buat dia tertawa.

Sasuke Uchiha, guru tampan yang cukup populer di kalangan siswi. Memiliki paras rupawan namun tak terlalu tinggi. Kulitnya putih, mengalahkan para anak perempuan di usianya saat ini. Mata hitam yang mampu menghipnotis, memiliki senyuman manis namun mengandung sejuta arti.

Dialah Sasuke Uchiha, orang yang katanya memiliki semua kesempurnaan.

Tolong sekali lagi, jangan buat dia tertawa!

Tanpa mereka semua sadari, Neji mengetahui rahasia terbesar Si Bungsu Uchiha.

Sasuke, pemuda itu, adalah seorang gay—penyuka sesama jenis.

Kalian tidak perlu tahu bagaimana Neji bisa mengetahui rahasia tabu itu, ia tak perlu membagikan kelicikannya pada orang-orang tak berguna. Yang jelas, dia sudah mengetahui satu kelemahan sang guru tersayang. Menggunakan sedikit kemampuan otaknya untuk sedikit mempermainkan Sasuke Uchiha—hell, jangan katakan itu adalah dosa.

"Hinata."

Apa tadi aku tidak mengatakan kalau Neji memiliki saudara?

Merasa dipanggil, orang yang dimaksud menghentikan langkah.

"…Nii-sama."

Nama saudara perempuan yang paling disayang, Hinata Hyuuga.

Gadis bermata sama dengan Neji, memiliki tubuh yang seksi, dilengkapi dengan suara lembut serta bibir merah yang cukup tipis—ah, minta dikecup berkali-kali.

"Aku bertemu dengannya lagi hari ini."

Mendadak, badan Hinata menegang. Ia langsung menegakkan kepalanya.

"N-Nii-sama," Hinata memanggil pelan, wajahnya tampak teduh meski ada rasa sakit di dalamnya. "Aku tak apa, sungguh—" Diam-diam, ia meneguk ludah. "Itu sudah masa lalu, jadi kau tak perlu—"

"Aku masih heran, kenapa kau suka dengan orang seperti dia."

Hinata menutup kedua mata. "A-Aku … juga tidak tahu—"

"Perlu kukatakan, dia tidak normal," Neji membalikkan tubuh, ia berjalan mendekati Hinata yang perlahan melangkah mundur. "Apa perlu kau pastikan sendiri kalau dia memang—"

Bibir Neji mendadak terkatup.

Jari Hinata yang gemetar mengunci bibir pria itu.

"Nii-sama," Hinata menatap Neji yang kini berada di hadapannya. Ia berkata dengan suara halusnya. "Kau jangan mengatakan hal tidak benar seperti itu. Uchiha-sensei adalah orang baik, d-dia tidak mungkin memiliki—"

"Ah ya, katakan segala pembelaanmu itu berkali-kali, Hinata." Neji menggenggam pergelangan Hinata yang berada di depan bibirnya sekarang. "Tapi kalau kebohongan yang kuucapkan adalah benar … apa yang akan kau lakukan?"

Lalu, Neji menciumnya.

Di lorong dekat gedung olahraga, Neji kembali mencium Hinata.

Gadis yang dimaksud tidak terkejut, meski wajahnya agak sedikit terganggu.

Hanya kecupan ringan yang Neji layangkan pada bibir Hinata. Kemudian, ia melepaskannya.

"Akan kulakukan apapun, agar kau bisa melihatku—bukan Si Uchiha itu."

.

.

- naruto uzumaki -

.

.

Kiba adalah sahabat Naruto yang sangat peka.

Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh orang tolol seperti pemuda pirang di depan sana. Namun, ada satu hal yang dia ketahui kali ini.

Naruto bertingkah tidak seperti biasanya.

Hari ini, orang itu tidak mengejar Sakura seperti hari sebelumnya. Ketika gadis rambut norak itu dan kroni-kroninya berjalan melewati mereka, Naruto tidak bertingkah layaknya fans kesetanan. Ia hanya melewati Sakura begitu saja, seolah tidak ada surga dunia yang sedang berjalan di sebelahnya.

Bahkan, Ino Yamanaka—Kiba akui, Haruno itu sempat melirik padanya—menoleh pada mereka berdua.

Demi celana dalam kakaknya, apa yang terjadi pada sahabat bodohnya?

Langit sudah berubah. Dunia mulai berputar. Naruto dan Kiba sengaja pulang di jam yang tidak seharusnya. Mereka berdua ada janji sebentar dengan Kurenai-sensei, mengingat minggu lalu dua sejoli itu membolos jam pelajaran. Karena itulah, pada pukul enam sore, mereka baru keluar dari area gedung sekolah.

Lalu, Kiba menyadarinya.

Sepanjang perjalanan, mereka tidak mengobrol apapun. Hanya derit langkah saja yang terdengar di telinga si pecinta anjing, tidak ada celotehan milik Naruto seperti yang dulu-dulu. Tidak ada curhat tentang Sakura, nilainya yang selalu jatuh, Guy-sensei yang begitu bodoh, atau gadis bernama Hinata Hyuuga yang memiliki tubuh seksi—tidak ada sama sekali.

"Oi Naruto," Kiba memanggil. Ia mempercepat langkah. "Kenapa, sih?"

"Huh?" Untung Naruto peka, jadi dia tidak tertangkap sedang melamun tadi. "Apanya?"

"Ada masalah?"

Naruto menggeleng pelan. "Tidak…"

Oh, Kiba mencium keanehan di sini.

"Ah, benar. Pasti terjadi sesuatu, 'kan?"

Alis Naruto mengerut. "Apa sih? Jangan sok tahu, deh." Ia melipat kedua tangan di belakang kepala. "Aku hanya memikirkan kata-katamu tadi, Kiba."

"Huh?" Sekarang, Kiba yang bingung. "Yang mana?"

"Tentang gay—cinta sesama jenis."

Naruto menjawab dengan polos. Tidak menyadari Kiba yang terdiam kaku dengan wajah bodoh.

"Hah?" Meski tak disadari, Kiba tahu ke arah mana pembicaraan ini. "Apa-apaan kau? Kenapa tiba-tiba kau jadi orang pemikir begini sih!?"

"Memang tidak boleh ya kalau aku berpikir?" Naruto ngotot. Sebodoh itu kah dirinya?

"Geez, Naruto!" Kiba menepuk jidat. Ia mencubit pipi berkumis milik sahabatnya, membuat Naruto mengaduh. "Kau ini memikirkan hal yang tidak penting, tahu!"

"Jelas penting, Kiba! Itu ilmu!" Naruto menyingkirkan tangan Kiba kasar. Entah mengapa dirinya mendadak pintar. "Aku baru tahu kalau ada istilah begitu di dunia ini!"

"Memang selama ini kau tinggal di mana? Di gua?" Kiba menyolot kasar, mengabaikan raut Naruto yang cemberut. "Oh Tuhan, kembalikan Naruto-ku yang idiot…"

"Apa-apaan kau? Jadi selama ini kau berpikir begitu tentangku?" Ingin rasanya menjitak kepala Kiba, namun Naruto urungkan. Ia ganti menjadi helaan napas. "Rasanya, aku mulai tertarik…"

Kiba memutar bola matanya. "Please, jangan bilang kau mulai bergabung dengan kaum laknat itu," Ia mengibas-ngibaskan tangan. "Kalau kau belok, menjauhlah dariku."

Naruto sama sekali tidak peduli dengan tingkah Kiba. Ia meleletkan lidahnya sebentar. "Menjauh saja sana, memang aku sudi berdekatan denganmu?" Pemuda pirang terkekeh sebentar. "Entah kenapa kau makin lucu, Kiba."

Kiba menatap Naruto horror. "Naruto, jangan-jangan kau memang—"

"Tidaklah, Idiot!" Naruto merangkul bahu Kiba dan menjitak kepalanya berkali-kali. "Aku tidak homo, tau!"

Kemudian, mereka tertawa keras—benar-benar khas seperti seorang remaja tanpa beban. Orang-orang yang melirik mereka lantas tersenyum heran, sedikit terhibur dengan dua laki-laki serta tingkah idiot mereka. Tak lama, Naruto melepas rangkulannya pada Kiba.

Mereka berdua kembali berjalan beriringan, mengganti topik tadi dengan bahasan umum seperti pembicaraan sesama pria.

Tapi, Kiba tidak tahu.

Karena sindiran keras yang dilakukan olehnya, membuat pikiran Naruto entah mengapa lama-lama menjadi kalut.

.

.

- sasuke uchiha -

.

.

Sasuke melangkah dengan tenang di pertengahan malam.

Mantel hitam terbalut dengan indah di tubuh rampingnya. Orang-orang berlalu-lalang ia abaikan. Dirinya hanya menatap jalanan Tokyo dengan pandangan datar. Tas ransel yang berisikan nilai ujian anak-anak sudah ia bawa dan akan diperiksa saat dia sampai di rumah.

Tak lama, pemuda itu berhenti. Ia melirik ke samping kanan—mendapati sebuah kafe anak muda.

Lalu, ia memasuki tempat itu dan melangkah menuju satu meja yang dijadikan tujuan.

Langkahnya terjeda. Ia sudah berhenti di depan meja yang ia inginkan.

Mata hitam menatap datar pada sosok di hadapannya. Sasuke mengabaikan gerak-geriknya yang mendadak gelisah. Pemuda itu malah memicingkan matanya samar—meski tak terlihat dan amat tipis untuk disadari kepastiannya.

"S-Selamat malam, Uchiha-s-s-sensei…"

Sasuke dapat mendengar penuturan sopannya. Namun di telinga pemuda itu, sapaan tersebut seperti seorang gadis yang minta diperkosa.

Hinata Hyuuga dengan gaun santainya, tengah menikmati malam dengan secangkir cappuccino serta potongan kue keju di atas meja.

"Selamat malam, Hyuuga-san." Ujar Sasuke. "Boleh aku duduk di sini?"

Gadis macam apa yang malam-malam pergi ke kafe seorang diri, tanpa ditemani orang lain?

Hinata mengangguk pelan. Melihat itu, Sasuke langsung menduduki kursi kayu di depan Hinata.

Pelayan datang untuk kedua kalinya di meja Hinata. Sasuke hanya memesan kopi tanpa gula. Kemudian, setelah pelayan itu pergi, mereka masih menjaga keheningan dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Hinata dengan tingkah gugupnya, serta Sasuke yang sedang melipat mantel dan ia letakkan di dekat tas.

Gadis berambut panjang melirik sang pemuda dibalik poninya. Sedetik setelahnya, wajah manis itu memerah hebat. Jantung Hinata seperti ingin keluar dari rongganya, berdetak keras dan seperti ingin meletus dan membuatnya tewas di tempat.

Sasuke Uchiha memang pahatan yang sangat sempurna.

"S-Sensei…" Hinata berinisiatif untuk memulai duluan. "S-Sedang apa anda di sini—m-maksud saya, di kafe i—"

"Tentu karena aku melihatmu sendirian, Hyuuga-san." Sasuke menjawabnya santai, tidak gagap seperti Hinata. "Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?"

"Saya … s-saya hanya—" Hinata meremas permukaan tangannya dibalik meja. Mengapa malam ini terasa panas? "—menghindari seseorang."

Dunia mendadak hening.

Pesanan Sasuke sudah datang. Ia menyeruput kopi hitam dengan indera perasanya.

"Oh," Sangat irit. Khas seorang Uchiha. "Neji Hyuuga."

Tidak ada tanda tanya. Tidak ada kebingungan.

Yang ada hanyalah kepastian dari suara Sasuke Uchiha.

Hinata meneguk ludah. "M-Maaf atas tingkah nii-sama. Dia—"

"Bukan kau yang harus meminta maaf, Hyuuga-san." Sasuke menghela napas. "Aku menunggu hal itu dari bibirnya sendiri."

"Tapi—"

"Tidak. Kau adalah adiknya, bukan dia. Kau tidak ada hubungannya dengan masalah kami, Hyuuga-san."

Ucapan Sasuke membuat Hinata tertohok. Namun, ia menelan kesedihannya itu.

"Kalau begitu, maafkan saya…"

Sasuke tidak menjawab. Ia sibuk menghabiskan kopi hitamnya.

"Aku datang ke sini untuk mengatakan satu hal."

Sekarang, Hinata yang terdiam. Gadis itu menatap Sasuke dengan sedikit ketakutan.

Sasuke menghela napas.

"Aku menolakmu. Apa kau lupa?" Perlahan, manik permata membulat lebar. "Tidak ada apa-apa di antara kita. Hubungan kita hanyalah antara guru dan murid, tidak lebih." Sasuke bersiap memakai mantelnya kembali. "Dan juga, kita berbeda, Hyuuga-san."

Sebuah penuturan singkat, namun cukup menusuk ulu hati seorang Hyuuga.

"Jangan pulang terlalu larut," Tanpa menatap Hinata lagi, Sasuke tengah beranjak meninggalkan kafe. "Selamat malam."

Guru muda itu benar-benar pergi, meninggalkan Hinata sendiri—dalam keadaan tersakiti.

Perempuan manis itu terdiam. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku. Namun perlahan, matanya melunak—memberikan butiran air yang jatuh ke ujung roknya.

Kembali, Hinata menangis.

Ia tak tahu bahwa ditolak untuk kedua kali ternyata bisa sesakit ini.

.

.

- naruto uzumaki -

.

.

Naruto Uzumaki adalah orang yang bodoh.

Malam telah larut, langit gelap benar-benar menghiasi angkasa. Karena jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua, jadi tak heran bila bintang-bintang di atas sana perlahan akan menghilang. Hanya saja, ada satu manusia bodoh yang tidak tahu apa itu istirahat.

Naruto Uzumaki, 16 tahun. Sedang mengayunkan bat-nya sekencang angin di sebuah lapangan bisbol.

Keringat bercucuran, mata serius menghadap depan. Manik biru menyipit tajam, membayangkan seorang pitcher tengah siap melempar bola. Ia beranggapan semua orang yang berdiri di gundukan sana adalah musuh—seorang musuh yang harus dimusnahkan keberadaannya … dengan sebuah pukulan home run.

"HEAAA!"

Naruto berteriak, ia memukul dengan sekuat tenaga.

Pada kenyataannya, tidak ada bola yang terarah dan ia sendirian di sana.

Pemuda itu mengeluarkan cengiran. Ia tumpu tongkat kayu itu di bahunya yang lebar.

"Yosh, ini sudah yang ke-500!"

Kemudian, dia tertawa. Tawanya benar-benar garing dan menjijikkan.

Setelah puas pada latihannya malam itu, Naruto terduduk di sebuah bangku panjang. Botol ketiga ia ambil dan tinggal tersisa setengah. Rambut pirang itu turun dan jatuh ke dahinya saat ia menunduk. Entah mengapa, ia tersenyum dan akhirnya menarik napasnya lega.

Naruto mendongak.

Malam ini langit begitu bersih.

Angkasa begitu pekat saat ini. Tidak ada bulan, tidak ada bintang. Yang ada hanyalah awan gelap yang siap menurunkan hujan. Namun, Naruto tidak panik. Melainkan ia hanya diam dan terus menatap langit. Karena saat itu ia tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan seseorang yang sangat mirip dengan suasana seperti ini.

Kalau dipikir-pikir lagi, Sasuke Uchiha begitu dingin. Ia datar dan apatis—tidak peduli dengan keadaan orang lain.

Sama seperti dengan gelap yang Naruto gambarkan saat ini.

Ciuman itu masih terasa.

Naruto masih ingat bagaimana rasanya. Bagaimana bentuk dari bibir tipis itu saat bersentuhan dengan miliknya. Bagaimana tingkah Sasuke yang malu saat ia melepaskan ciuman mereka secara sepihak. Bagaimana mata itu tertutup tatkala jarak mereka hanya tinggal sejengkal. Bagaimana Sasuke mencium Naruto dengan penuh ketulusan dan rasa cinta.

Sesungguhnya, untuk pertanyaannya malam itu, pemuda pirang merasa dirinya salah.

Sebodoh-bodohnya dia, Naruto dapat menarik satu kesimpulan.

Sasuke Uchiha tidak normal. Ia berbeda dari yang lainnya.

Ini dibuktikan dengan segala tingkahnya. Sasuke begitu cerdas, ia pintar memutar suasana hingga Naruto yang bodoh tidak bisa menyangkal dan terima-terima saja. Keturunan Uchiha memang pantas mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari kita semua.

Kemudian, Naruto kembali teringat.

Bagaimana Sasuke berjalan saat di lorong sekolah. Bagaimana tatapan tajamnya saat menghadapi teman-temannya yang nakal. Bagaimana angkuhnya guru itu ketika mendengar teriakan para penggemarnya. Bagaimana tingkah Sasuke saat berdekatan dengannya—

Dan bagaimana bibir itu terbentuk karena tersenyum untuknya.

Ah, sungguh menakjubkan.

Naruto tertawa-tawa sendiri, wajahnya merona tipis—sepertinya itu di luar kehendaknya.

Tapi, tawa itu langsung berhenti. Ia langsung memasang wajah waspada dan segera mengambil tongkat bisbolnya—

TAAK!

Naruto melambungkan satu bola yang meluncur di luar jangkauan.

Segera, ia berdiri. Matanya menajam. Dirinya mendadak heran.

Bola yang barusan terpukul itu masih melayang. Bola berwarna putih dan tampak sangat tua. Benda itu tampak melayang sebentar di angkasa, kemudian terjatuh di atas rerumputan dan berguling menuju ujung lapangan.

Sesungguhnya, Naruto tidak memerhatikan itu semua. Ia hanya menatap lurus ke depan.

Manik biru bertemu dengan sepasang jelaga yang tajam.

Angin malam berhembus. Awan-awan mulai bergerak. Sasuke Uchiha lagi-lagi tengah datang tanpa diduga.

Wajah Naruto melunak.

"Ah … sensei."

"Uzumaki-san," Suara tenor itu tiba-tiba terdengar, menggelitiki sepasang telinga sang pemuda berambut pirang. "Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu, apa kau tak sadar aku sudah memanggilmu?"

"O-Oh," Naruto nyengir. Otaknya mendadak blank. "Maafkan saya, sensei," Ia letakkan bat-nya ke bangku panjang. Lalu mendekati Sasuke yang terdiam dengan muka datar. "Sensei sendiri … sedang apa di sini?"

"Aku pulang lewat sini," Jawab Sasuke, santai. "Kenapa banyak di antara kalian sering keluar malam dan bukannya belajar? Apa yang sebenarnya kalian pikirkan?"

Naruto tahu pertanyaan itu bukan ditujukan untuk dirinya, melainkan angkatannya yang memang sangat malas-malasan.

Naruto tersenyum lebar. Sasuke hanya menghela napas dibuatnya.

"Pulanglah. Besok kau harus sekolah, Uzumaki-san," Sasuke memperbaiki bentuk mantelnya. Malam ini entah mengapa sangat dingin. "Aku tidak memintamu untuk tersenyum seperti itu."

"Ah, iya. Saya tahu kok," Naruto tertawa kecil. "Saya hanya berpikir, ternyata anda tidak sekaku itu, sensei."

"Ini di luar jadwal, seharusnya kau tahu itu, Uzumaki-san." Sasuke menjawab dengan dengusan. "Baiklah, sekarang pulang."

"Bagaimana dengan anda?"

"Aku akan pergi setelah duluan."

"Oh, kalau begitu aku tidak akan pulang."

Alis Sasuke tiba-tiba menukik tajam. "Uzumaki-san—"

"Berhenti memanggilku begitu, sensei." Naruto memotong, Sasuke terkejut bodoh. "Kau bisa memanggilku Naruto."

"Oke, Naruto," Sasuke berujar, sinis. "Sekarang pulang dan istirahat. Anak sepertimu tidak pantas berkeliaran begini, seharusnya kau tahu itu."

Naruto terdiam sesaat. Ia menatap Sasuke dengan mata birunya yang bulat. Meski dalam hati Sasuke merasa salah tingkah, ia memang pantas disebut sebagai aktor yang hebat. "Naruto—"

Sasuke terdiam, bibirnya terkatup rapat.

Sentuhan Naruto entah mengapa begitu hangat di kedua pipinya. Tubuh Naruto agak sedikit membungkuk, mengingat tinggi badan mereka yang sedikit berbeda. Sasuke hanya bisa diam, tubuhnya kaku. Matanya membulat lebar dan semua bercampur aduk.

Tanpa sadar, wajahnya memerah.

"Ah, lihat. Sensei sangat manis kalau begini."

Sasuke menatap Naruto yang terkekeh dengan jengkel. "Lepaskan tanganmu. Ini tidak sopan, Naruto."

Perkataan Sasuke seolah meluap begitu saja. Semuanya redup dan kosong. Karena yang saat itu Naruto pikirkan hanyalah Sasuke Uchiha dan bibir manisnya.

Tengkuk ditarik ke depan, Sang Uchiha tidak bisa mengelak.

BIbir sang dominan sedikit terbuka, tidak terburu-buru namun siap dengan santapan yang terhidang di hadapannya.

Pemuda berambut gelap tersentak hebat. Bibirnya memang masih tertutup rapat, namun sentuhan hangat yang menjalar tak mampu membuat dirinya tetap membuka mata.

Naruto tidak pernah berciuman. Ciuman pertamanya telah diambil oleh Sasuke. Dan kembali, ia bermaksud untuk meminta tanggung jawab dari pemuda itu. Hanya saja, ia tidak tahu bahwa berciuman ternyata memang senikmat ini.

Naruto tidak peduli Sasuke adalah pria. Ia tidak peduli dengan perkataan Kiba. Ia menyadari bahwa perasaannya pada Sakura perlahan musnah.

Karena yang ia inginkan hanya merasakan kenikmatan itu—bibir Sasuke Uchiha.

Naruto menginginkan lebih. Ia ingin tahu. Dia ingin mencari tahu.

Bibir Sasuke memiliki rasa manis. Manisnya berbeda. Manis yang membuatnya candu. Manis yang sangat berbeda dengan rasa manis ramen. Naruto tidak tahu perawatan macam apa yang Sasuke lakukan pada bibir dan tubuhnya. Tapi harum dan rasa manis dari orang di depannya mampu membuat Naruto mabuk dan berpikiran yang tidak-tidak.

Jadi, jangan salahkan Naruto kalau dia ingin tahu lebih banyak. Biarkan dia mengevaluasi antara dirinya dan Sang Uchiha. Tak hanya bibir, tapi juga mulutnya, seluruh isinya. Karena itulah, Naruto menginginkan Sasuke. Seluruh dirinya. Segala tentangnya. Semuanya.

Setiap detik dan decapan, setiap kuluman yang menghasilkan erangan indah. Naruto tidak mengerti mengapa jantungnya sekarang tengah berdetak keras, atau Sasuke yang kini merasakan pipinya memanas dan perutnya yang sepertinya terlilit oleh suatu hal.

Hanya saja, baik Naruto dan Sasuke sama-sama tak menginginkan semua ini cepat berakhir.

Jika saja oksigen tak pernah diciptakan, mungkin mereka akan berada di posisi yang sama selamanya. Bibir mereka terlepas, memperlihatkan garis penyatuan di masing-masing bibir keduanya. Naruto menempelkan dahinya pada dahi Sasuke yang kecil. Tidak ada Naruto yang kita kenal sebagai orang idiot dengan kepolosan yang tinggi. Sekarang hanyalah Naruto Uzumaki yang menatap tajam Sasuke Uchiha dengan pandangan tajam yang mampu membuat lutut Sasuke melemas.

"Mau menginap?" Naruto melayangkan kecupan-kecupan kecil pada bibir Sasuke. Wajah itu tengah merah sempurna. Ia sangat menyukainya. "Tidurlah di tempatku malam ini."

Sasuke merasa penglihatannya memburam. Suara berat Naruto tengah menulikan segalanya. Semua gelap. Karena yang ada hanyalah kabut nafsu dan keinginan untuk saling memiliki.

"A-Aku—"

Naruto kembali menciumnya. Dan di detik selanjutnya, yang bisa Sasuke lakukan hanyalah pasrah.

.


to be continued


.

A/N: hai, teman-teman! apa kabar? ah, tentu saya baik-baik saja (bagi yang ingin bertanya, lol). mohon maaf kalau apdetannya telat ya. oh sungguh, saya sangatlah sibuk akhir-akhir ini. apalagi di ffn, saya punya dua akun sih, jadi ya ... gitu /ha

saya kembali ngakak keras lihat review kalian. oh teman-teman, kalian sangatlah mesum! apa kalian tahu itu?

tapi tenang saja, hal tersebut sanggup membuat saya terhibur.

jangan pada benci sama neji ya. dia tentu punya alasan kenapa pada nyium-nyium gitu /APANYA

special thanks to: Onyx Dark Angel, NamiMirushi, Hwang635, Sunsuke, Daisy Uchiha, Habibah794, Archilles, dekdes, stlvyesung, Anya Cassablanca, guest of guest, fafaja, Ollasuke, CorvusOnyx, BBmasruroh517. Kyuufi No Kitsune, R tanpa E, EkaHatsuki, Soul and Me, stillewolfie, Guest, NARUSASU, Namikaze-Uzumiki-Uciha, Reina Putri, Guest, michigawa, Guest, Shella204, No name.

stay tuned, guys! see you in next chapter!