The Falling Flower

|Rated M|Drama, romance, psychological|

©KanaLKentangky ©Masashi Kishimoto

.

.

[Didedikasikan untuk teman saya yang mengharapkan remake Benang Merah.]

©BenangMerah remake

.

.

.

.

.


[1]

—"The beat of this vessel"—


"Sasuke kun." Panggil suara kekanakan itu.

Sasuke tahu siapa yang memanggilnya. Bahkan hanya berbekal indra pendengaranya, tanpa perlu mengeluarkan tenaga untuk menggerakkan otot-otot matanya, ia sudah tau siapa yang memanggilnya itu.

Hanya satu orang di istana ini—yang ia kenali memiliki suara kekanakan dan disertai aksen nyaring khas gadis pada umumnya. Siapa lagi kalau bukan calon tunangannya, Sakura Haruno dari negeri yang beraroma musim semi, Negara Haru.

Sudah hampir tiga hari terakhir gadis itu tinggal seistana dengan Sasuke. Ia menginap di paviliun yang berbeda dengan paviliun milik Sasuke. Hanya berselang satu taman bunga yang dialiri anak sungai. Anak sungai itu tak begitu dalam, cenderung dangkal juga tak begitu luas. Bertelanjang kaki sudah cukup menyebrangi sungai itu, plus mendapati sensasi sejuknya air khas pegunungan.

Taman bunga yang selalu dikatai sempit itu, dipenuhi dengan bunga yang beragam. Hampir bunga yang menjadi ciri khas suatu negara mampu tumbuh di Negara Taiyou kemudian dikoleksi di taman ini. Bahkan, bunga sakura yang hanya mampu tumbuh di Haru dapat tumbuh subur di sini.

Tapi, tetap saja, keindahan taman ini tidak bisa menghapus cap area tersempit seistana. Bukan tanpa alasan, bagi yang benar-benar mengerti—jangankan mengerti, pernah berkeliling pun pasti mengatakan taman itu tidak luas. Justru, taman bunga itu termasuk deretan daftar area yang sempit di Istana Uchiwa. Luasnya tak sampai tiga perempat luas taman utama yang terletak setelah gerbang utama. Tak sebanding, karena apa? Luas taman utama nyaris seluas alun-alun kota yang dapat menampung serentetan Gajah Sumatra.

Penempatan paviliun Haruno Hime sebenarnya sempat menuai kontroversi. Beberapa dewan istana sedikit memprotes keputusan Sasuke Ouji yang menempatkan Hime di paviliun yang sedikit jauh dan memisah diri dengan paviliun milik Sasuke.

Penempatan Sakura Hime di paviliun itu dinilai tidak mendukung tujuan kedatangan Sakura hime, yaituuntuk mendekatkan Sakura dengan Sasuke sebelum hari upacara kedewasaan Sasuke yang tinggal dua hari lagi. Hari itu bertepatan dengan pertunangan dua orang yang digadang-gadang jadi penerus kerajaan masing-masing.

Memang taman yang memisahkan kedua paviliun itu dipercayai memiliki luas paling sempit seistana, tapi bukan berarti jarak yang ia buat itu dekat. Justru sebaliknya, malah semakin jauh. Taman ini tidak benar-benar sesempit orang bayangkan. Ini taman yang ada di Istana Uchiwa yang kita bicarakan.

Bisa saja Sakura menempati paviliun yang letaknya lebih dekat dengan paviliun Sasuke tentu tanpa harus menyebrangi anak sungai. Namun yang menjadi masalah adalah letaknya yang sedikit ke kaki gunung, dan bangunannya sedikit rusak. Perlu dilakukan renovasi besar-besan, tapi tak kunjung juga karena jarang ada tamu kerajaan yang menginap disana.

Tentu saja, bukan hal yang mustahil bagi pihak biro pemugaran bangunan istana mengerjakan perbaikan paviliun itu dengan waktu singkat. Kurang dari tiga hari bukan hal yang mustahil bagi mereka. Namun, mengingat kondisi fisik Sakura hime yang belum terbiasa dengan dinginnya suhu gunung Negeri Taiyou ditambah, Negeri Taiyou baru saja memasuki musim semi, membuat pihak dewan istana kembali memikirkan saran pangeran kedua mereka.

Tentu mereka tak mau calon tunangan pangeran mereka jatuh sakit pada hari jadi, bukan?

Sebenarnya, dibalik sikap Sasuke yang perhatian terhadap fisik Sakura, ia menyimpan perasaan pribadinya ke gadis pinkish itu. Bukan tanpa alasan—pribadi ia meminta paviliun gadis itu sedikit terpisah dengannya. Beruntung ia bukanlah tipikal orang bodoh yang menyanggah tanpa suatu alasan kuat.

Ia mungkin bisa berbangga sedikit karena kemampuan mengambil peluang dan kemampuan analisisnya setingkat lebih tinggi dibanding kakaknya. Karena kemampuannya itu, ia bisa membuat seribu satu alasan yang kuat dan tanpa meninggalkan rasa curiga.

Walaupun semua yang ia katakan hanyalah kata-kata kosong tak bermakna.

Sasuke sudah pernah bertemu dengan Sakura sekitar tiga atau empat tahun lalu. Ketika perjamuan kedua sahabat Kerajaan Taiyou.

Ia bertemu Sakura saat dirinya menginjak umur sepuluh tahunan sedangkan gadis itu dua tahun dibawahnya. Sejak awal bertemu Sasuke sudah mengagumi Sakura, begitu juga Sakura. Mana ada gadis yang tak mengagumi nilai tinggi fisik dan kualitas yang dimiliki Sasuke? Tak perlu ditanya lagi.

Bagi Sasuke sendiri, Sakura adalah gadis yang baik. Selain pintar, cantik, cerdas, berkemampuan tinggi. Banyak hal yang jarang sekali putri kerajaan yang tak bisa, tapi, bagi Sakura, itu bukan hal yang sulit. Sakura pandai dalam hal ilmu medis, kemampuan yang langka di kalangan putri kerajaan. Kekuatan fisiknya juga tak bisa dikatakan sekelas dengan ikan teri.

Selain itu, ia juga tak seperti putri lain yang pernah dikenalkan pada dirinya. Penjilat. Sakura tak seperti itu. Memang Sakura mengagumi—menyukai Sasuke, setidaknya adat gadis itu lebih terdidik dibanding penjilat. Hanya saja, satuhal yang membuat Sasuke sedikit jengah adalah—

"Sasuke kun."

—Perlakuan Sakura yang terkesan satu arah.

Sasuke memicingkan matanya sekejap. Ia menangkap gadis itu sedang duduk bersimpuh di samping kanan tubuhnya yang sedang berbaring di rerumputan. Badannya sedikit membungkuk, terlihat beberapa helai rambut panjangnya jatuh menutup jalan sinar matahari untuk menyinari wajahnya. Helaian merah muda itu nampak seperti tirai lembut. Sedikit bergoyang karena angin. Tatapan mata khawatir dan panik dilayangkan dari kedua bola mata hijau rumputnya. Mata Sasuke masih jeli menangkap titik-titik keringat yang ia tebak keringat dingin di leher mulus gadis itu. Sasuke juga yakin dengan indra pendengarannya bahwa ia menangkap hembusan nafas yang tak wajar dari sang gadis.

Pasti ia akan memintaku kembali ke paviliun.

Sasuke mendengus mengenai tebakannya yang ia yakin seratus persen benar itu. Tanpa menarik konklusi yang rumit saja Sasuke tau apa yang diingankan gadis itu. Jikapun ada kontes kepekaan pria terhadap wanita, mungkin Sasuke bisa mendapat juara lewat kekuatan analisanya.

Tapi, ia bukan tipikal orang yang langsung memberikan sesuatu jika itu bertentangan dengan keinginan hatinya. Tentu saja ia menolak mentah-mentah ajakan kembali dari Sakura walaupun ia sudah menyadari tanpa perlu bertanya. Ia tidak mau repot.

Persetan dengan ibu dayang istana yang mungkin akan memarahinya.

Ia lebih memilih tidur menghadap langit luas dan beralaskan rumput dibanding duduk mendengarkan gadis itu menunjukkan bakatnya atau minum teh yang bisa membuatnya diabetes saking seringnya. Kembalilah ia ke alam mimpi yang sangat diinginkannya. Mengabaikan suara sayup-sayup milik gadis itu yang mulai membuka kuliah siangnya.

Toh apa salahnya bersantai di taman belakang istana. Taman itu masih termasuk bagian dari istana. Hanya saja letak dan populasi orang yang beraktivitas saja yang membedakan tempat itu dan bagian istana yang lain. Mungkin populasi penjaga istana di tempat ini tidak sebanyak di tempat lain membuat perasaan Sakura sedikit dirundung mendung gelap dan juga—dayang istana selalu melarang untuk ketempat ini.

Justru, untuk Sasuke pribadi, tempat ini bagaikan surga yang diciptakan hanya untuknya. Bahkan tidak banyak—nyaris tidak ada yang tahu keberadaan tempat ini. Karena, sudah mengambil tempat khusus di hati pangeran kedua dari Uchiha.

Keberadaan Sakura disini justru memiliki arti penting. Harusnya, Sakura berbangga hati, bukannya membiarkan hatinya dirundung mendung gelap.

Sasuke bukanlah tipikal orang yang mengumbar rahasia ke orang asing. Bahkan, keluarganya saja tidak mengetahui ada-atau tak adanya tempat yang difavoritkan Uchiha bungsu.

Keberadaan Sakura disini tidak mungkin hanya kebetulan semata. Sejatinya, tidak ada hubungan khusus diantara mereka. Mereka bukanlah pasangan kekasih yang saling menjalin cinta monyet, apalagi sepasang sahabat karib sejak kecil. Sakura mengenal langsung Sasuke masih dapat dihitung dengan jari. Begitu juga Sasuke mengenal Sakura.

Hubungan mereka hanya sedekedar hubungan diplomasi saja. Tapi, mengingat gadis pinkish itu adalah calon tunangannya. Sasuke berfikir untuk memberikan sedikit hal tentangnya. Hitung-hitung untuk mempermudahnya jika kelak gadis itu menjadi permaisurinya. Pikir Sasuke

Tapi, hidup tak akan membuat semuanya mudah.

Malah sebaliknya. Sasuke seperti memakan senjatanya sendiri. Sakura tidak bisa menutup mulutnya barang sejenak.

Memang hambatan kecil sudah ia atasi tanpa mengeluarkan sedikitpun tenaga—hanya diabaikan. Sialnya, tak lama ia mengenyahkan masalah kecil, ia malah menemukan masalah lain yang mungkin lebih besar dibanding intervensi dari calon tunangannya. Masalah yang lebih besar. Telinganya menangkap sayup-sayup derap langkah yang banyak lewat getaran tanah yang menjadi alas tidurnya.

Sasuke yakin, gadis disampingnya itu belum sadar tentang derap langkah itu—gadis itu masih sibuk dengan kuliahnya. Mulutnya terbuka-tertutup mengeluarkan serentetan kata-kata ajakan atau—entah rayuan untuk mengajak—memaksa Sasuke untuk kembali ke paviliun dan menuruti perintah ibu dayang istana. Ia terus berkomat-kamit tanpa memedulikan ada atau tidaknya tanggapan dari Sasuke.

Sesekali Sasuke membuka matanya dan melirik gadis itu. Matanya menangkap bibir merah muda gadis itu sedikit basah, mungkin karena sesekali gadis itu menjilat bibirnya karena mulai kering. Mungkin bagi remaja seumur Sasuke, akan merasakan gejolak aneh ketika melihat bibir basah gadis itu yang bergerak sensual. Anehnya, Sasuke hanya biasa saja menanggapi rangsang visual seperti itu, cenderung tak tertarik.

Apakah ini yang dinamakan homoseks, seperti yang dituliskan dibuku?

Gadis itu masih melangsungkan kuliahnya. Tak peduli mahasiswa yang ia kuliahi sudah benar-benar muak dengan kuliahnya. Sungguh, Sasuke akui, gadis itu—Sakura, Sasuke akui ia memang cantik, wajahnya nyaris semupurna. Tapi, satu hal dari gadis itu yang membuat Sasuke merasa tak nyaman jika berada disampingnya. Sikap ketidakpekaan terhadap sekitar dan sikapnya yang memaksakan kehendak itu sangat Sasuke benci.

Sakura terhenyak mendengar helaan nafas berat calon tunangannya. Ia tersenyum penuh kemenangan. Otaknya mengira, Sasuke menyerah dan akan menuruti semua kemauannya yang ia katakan itu.

"Ne, Sasuke kun, sudah waktunya kembali bukan? Kau pasti bisa istirahat dengan lebih nyaman dari pada di sini, di luar paviliun," ia menjedah kalimatnya lalu memasang kembali senyuman di bibirnya.

Otaknya mulai membayangkan ia dan Sasuke kembali ke paviliun. Kemudia Sasuke beristirahat di roka dengan berbantalkan pahanya.

Pasti menyenangkan. Dari pada di sini, Sasuke menolak tawaran Sakura dengan dalih tanah dan rumput itu lebih empuk dibanding tubuh manusia.

Yang benar saja!

Sasuke memilih mengabaikan. Ia membungkam mulutnya ketimbang menanggapi pertanyaan retoris gadis itu. Kelopak matanya kembali menutup untuk melanjutkan tidur siangnya. Ia tak peduli lagi mau berapa kali gadis itu menguliahinya, Sasuke hanya ingin istirahat sejenak dari semua kebisingan dan hirup pikuk orang. Sasuke hanya ingin menjauh dari keramaian istana dan istirahat dengan hening. Naasnya, gadis itu sama sekali tak mengerti perasaan Sasuke.

Hingga di suatu saat derap langkah itu sudah benar-benar terdengar. Bukan lagi terdengar lewat getaran-getaran tanah yang di rasakan Sasuke tadi. Tapi, suara itu benar-benar terdengar karena udara yang merambatkannya. Bahkan, pengisi sayup-sayup itu bertambah personilnya yaitu teriakan-teriakan sayup "Sasuke ouji sama.. Sakura hime sama.. dimana anda?"

Sakura menyadari suara itu. Setidakpekanya dia, ia pasti sadar dengan suara-suara itu yang seharusnya orang normal bisa dengar—tentu ia masih normal.

Sasuke yang sudah menyadari suara-suara itu lebih awal bangkit dari tidur siangnya. Ia menegakkan tubuhnya menjadi terduduk dengan tumpuan di kedua telapak tangannya. Ia menatap sekilas gadis yang dari tadi menemaninya—dalam kebisingan itu. mata hitam abunya menangkap aura kepanikan disekitar gadis pinkish itu.

Tatapan gadis itu membelakangi Sasuke, ia menatap lurus ke arah rombongan dayang-dayang dan pelayan istana yang berlari menuju tempat mereka berdua. Kedua telapak tangannya mencengkram kain gaunnya yang menyelimuti pahanya. Dibalik kerah tinggi pakaian gadis itu, Sasuke bisa melihat leher putihnya basah karena keringat dingin lebih dari waktu lalu. Kedua bahunya terangkat sedikit menegang.

Sepertinya gadis kecil satu ini benar-benar ketakutan.

Sasuke menyeringai sekilas. Walaupun terlihat mengancam, suara itu memberikan beberapa dampak positif bagi Sasuke sendiri. Karena suara itu, Sakura sudah benar-benar menghentikan kuliah siangnya. Mulutnya benar-benar terkunci rapat. Ia benar-benar menjadi patung bisu karena kalah dengan rasa khawatir berlebihannya.

"Itu dia, Sasuke ouji sama dan Sakura hime sama!" teriak salah satu dayang ke teman-teman dayangnya.

Setelah mendengar teriakan itu, kepanikan gadis itu semaikin menjadi. Dengan cepat ia memutar kepalanya lalu menatap Sasuke dengan mata yang sedikit melotot.

"Sasuke kun, bagaimana ini?!" tanya Sakura gusar. Saking besarnya rasa panik yang ia dapatkan, sampai-sampai mengendalikan nyaris semua syaraf motoriknya. Ia menatap Sasuke lurus penuh perasaan menagih jawaban. Kepalanya ia condongkan karena rasa menagihnya itu. Entah sadar atau tidak, gadis itu menghapus jarak yang sekarang sudah menipis.

Sasuke tetap pada kondisi tenangnya. Ia sudah biasa merasakan pengejaran dayang-dayang dan pelayan istana. Hal itu sudah lumrah baginya.

"Santailah Sakura, kau hanya perlu diam dan jadilah penurut." Jawaban bervolume kecil namun tegas dan terasa mutlak keluar dari mulut Sasuke.

Namun, titah absolut itu belum cukup menenangkan hati Sakura. Bagi Sakura, semuanya terasa membingungkan dan pantas untuk dipertanyakan.

Sakura menggigit bibir bawahnya, ia memutar kembali kepalanya melihat sejauh mana posisi pasukan yang mengejar mereka berdua. Ternyata, bukan jauh lagi namanya. Tapi dekat. Matanya membelalak menyadari fakta itu. Pikiran-pikiran buruk tentang ketidakbecusannya mengatur hidup calon tunangannya, bagaimana ketika mereka akan menikah?

Pasti nama baik negerinya dan muka Dinasti Haruno akan benar-benar jatuh karena telah mendidik seorang putri tanpa pendidikan kewanitaan. Pihak Negeri Taiyou pasti akan membatalkan pertunangan mereka, dan selanjutnya, Negeri Haru akan—tidak, tidak, tidak. Ia benar-benar frustasi ketika otaknya memprediksi apa yang selanjutnya yang akan terjadi.

Gigitan dibibir bawahnya semakin erat. Mungkin jika diberikan sedikit tekanan saja, bibir itu sudah akan berdarah karena gigitan. Ia memutar kepalanya menatap Sasuke, berharap pujaannya bisa menyelamatkan dirinya dari kungkungan frustasi.

"Sasuke kun, bagaimana i—"

Dengan cepat Sasuke mendorong tubuh kecil Sakura hingga terjerembab ke rumput. Lengannya mengunci kedua pergelangan kurus milik Sakura di samping tubuh gadis itu. Ia melirik ke gaun mengembang ala eropa abad pertengahan milik gadis dibawahnya sedikit mengembang menutupi tubuh mereka yang saling tumpang tindih. Telinganya menangkap derap kaki itu semakin jelas, tanpa ragu sedikitpun ia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis yang sangat memujanya itu. Ia menggunakan lengan bajunya yang besar untuk menutupi wajah mereka. Bagi Sasuke, posisinya dengan Sakura bukanlah hal yang pantas untuk dikonsumsi dayang dan pelayan istana.

Memang benar, apa yang dipikirkan Sasuke. Menyadari apa yang dilakukan kedua manusia berbeda gender itu dalam posisi yang sedemikian rupa, membuat dayang dan pelayan istana yang semula mengejar penuh nafsu ke tempat kedua manusia itu berdekam menjadi hilang minat. Mereka merasa tak pantas dan hina jika mereka melihat apa yang dilakukan tuan mereka—yah karena mereka hanyalah dayang dan pelayan kelas rendah yang terlalu sungkan untuk menegur tuan mereka.

Satu persatu dari mereka undur diri kembali ke paviliun untuk bekerja, melakukan hal lain. Mereka juga mulai membuat janji pada diri mereka sendiri jika mereka akan menutup mulut tentang kejadian ini. Mengingat seperti apa perangai pangeran kedua negeri ini.

Sasuke tetap tahan pada posisinya. Sedangkan Sakura hanya bisa menyerah, membiarkan Sasuke semaunya. Otaknya sudah mengeluarkan asap sedari tadi karena menyadari posisi mereka berdua.

Sakura bukan gadis bodoh yang tak mengetahui tentang biologi. Ia bahkan sudah diajarkan secara gamblang sebelum berangkat ke negeri ini. Karena itu salah satu persiapan sebagai orang yang nanti akan menjadi permaisuri seorang raja. Mengingat pelajaran itu saja sudah membuat mukanya memerah hebat. Apalagi jika.. melakukannya..

Akhirnya semua dayang dan pelayan istana yang tadi mengepung mereka habis tak tersisa. Sasuke menurunkan lengan bajunya untuk mengecek apakah benar-benar sudah sepi. Menyadari bahwa yang ada di tempat ini hanyalah mereka berdua, seketika otot-otot Sasuke yang tadi sedikit menegang mulai rileks. Ia mengalihkan pandang menatap gadis yang ia kurung dibawahnya. Ia menyeringai jelas sekarang mengetahui gadis ini benar-benar memanas. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga kiri gadis itu.

"Jadilah berguna dengan menutup mulutmu tentang kejadian ini, Sakura." Bisik Sasuke pelan.

Belum sempat Sakura mengolah peritah Sasuke diotaknya, ia sudah melepaskan cengkramannya dari pergelangan gadis itu lalu melesat pergi melompati pagar tinggi istana. Meninggalkan Sakura yang masih menjadi patung bermuka merah.

.

.

.

Sasuke berjalan dengan santainya. Seakan tak ada suatu kejadian yang berarti terjadi sebelumnya. Kejadian tentang dirinya yang—hampir saja, menyentuh seorang putri kerajaan yang cukup tersohor. Baginya, bukanlah hal yang penting untuk didebatkan dengan batinnya.

Apalagi kelakuannya sekarang adalah kabur dari istana? Baginya kelakuan ini hal yang lumrah. Tak pernah ada orang yang mau tersiksa dalam kemewahan. Begitu juga dirinya.

Sasuke sedikit berlari menuruni bukit rendah yang masih dalam kawasan istana. Satu pagar lagi ia akan benar-benar bebas—sesaat dari kurungan yang bernama istana. Ia melangkahkan kakinya lebih cepat dari pada sebelumnya. Mata abunya menangkap barisan saf pagar istana yang menjulang tinggi tanpa penjagaan. Ia semakin mempercepat langkahnya tak ingin membuang sedikitpun waktu kebebasannya. Semakin cepat ia keluar dari istana, semakin banyak waktunya untuk bebas sebelum ketahuan.

Apalagi mendekati hari pengangkatan kakaknya menjadi raja dan juga hari upacara kedewasaannya yang dilaksanakan besok. Pastinya distrik di Kota Terlarang akan penuh dengan orang-orang wisatawan atau pejabat-pejabat yang diundang untuk menghadiri upacara sakral tersebut—dan kalau ingatannya tidak lupa, nanti malam akan ada festival tahunan kembang api karena penyambutan kedua upacara itu. Tidak mungkin kalau distrik sekarang sepi.

Tentu saja, kondisi itu akan dimanfaatkan Sasuke untuk bersembunyi menambah waktu bebasnya.

Sasuke menghentikan langkahnya sejenak ketika ia sudah sampai di dekat pagar. Ia melepas jubah hitam pekat kerajaannya. Pakaian mewah itu ia sembunyikan di semak belukar terdekat. Ia hanya meninggalkan atasan kimono abu-abu dan hakama merah kehitaman, pakaian yang cukup sederhana untuk rakyat biasa.

Setelah yakin jubahnya disembunyikan dengan sempurna, ia mundur mengambil ancang-ancang. Kaki atletisnya memasang posisi siap lari. Sekali sentakan, kaki panjang itu melangkah dengan jangkahan terjauhnya. Dengan kuatnya ia berlari memanjati dinding tinggi pagar kerajaan. Hanya butuh dua kali langkahan, tangan ramping terlatihnya dapat menggapai puncak pagar. Berbekal tangan itulah Sasuke mengangkat seluruh tubuhnya ke atas pagar. Tak butuh lima detik, tubuhnya sudah ada di atas pagar, ia pun melompati pagar setinggi dua meter lebih itu.

Bunyi debuman kecil terdengar tak lama setelah tubuhnya mendarat di tanah dengan sempurna.

"Tampaknya keahlianmu berkurang ya, teme?" Suara cempreng agak berat terdengar mencela pendaratan sempurna Sasuke.

Sasuke menegakkan tubuhnya, ia menepuk beberapa bagian di bajunya yang terkena debu akibat lompatan tadi. Ia menolehkan mukanya sekilas menatap sinis asal suara. "Hanya perasaanmu saja, dobe," tanggapnya datar.

Asal suara itu—dobe, menyunggingkan senyum lebar khasnya. Dengan tidak rasionalnya ia menepuk keras bahu Sasuke, "Mewahnya istana sudah melumpuhkah semua insting liarmu ya? Payah sekali kau teme!" Ejek dobe tak tanggung-tanggung.

Sasuke masih menatap taham sahabat sejolinya itu—Dobe. Ia heran dengan dirinya, kenapa dirinya ini—seorang pangeran bisa-bisanya berteman dengan orang tak tahu adat kelas rendah seperti bocah itu. Bahkan, semua kelakuan pinggiran miliknya berasal dari mahluk kuning yang ia panggil Dobe itu.

"Jika kau disini hanya membuang waktu bebasku, aku tak akan menjamin keselamatanmu lagi, Naruto."

Makhluk kuning itu terhenyak sekejap. Namun tak perlu waktu lama, ia menepuk keras—lagi bahu Teme-nya. Ia tertawa, "Ahahaha, apa-apaan kau? Sensitif sekali? Ku dengar kau punya tunangan? Hmm, siapa? Sa—Sakura hime? Pasti dia secantik namanya," cerocos bocah itu.

Sasuke hanya memutar malas bola matanya. "Jaga mulutmu Dobe, aku tidak mau repot jika kau diharuskanhukum pancung karena melecehkan putri dari negeri asing," kakinya melangkah meninggalkan bocah kuning itu di belakang.

"Lagi pula, dia tidak terlalu penting untuk dibahas," kilah Sasuke yang sudah tak nyaman dengan topik pembicaraan.

Naruto—bocah kuning itu, hanya mengedikkan bahunya. Ia menyerah untuk mengambil informasi lebih dalam lagi tentang rumor sang putri asing yang dimaksud—dan lagi, Sasuke terlihat tak suka jika ia mencoba mengungkitnya.

"Yah, terserah kaulah. Lagi pula, mana ada warga sipil yang dihukum pancung hanya karena memuji seorang putri asing?" Tanya Naruto malas sambil membuat sandaran di kepalanya lalu berjalan santai menyusul sahabat arogannya.

Sasuke tak menanggapi. Baginya, akan sangat membuang tenaga dan waktu jika ia membalas pertanyaan tidak penting Naruto. Mulut Naruto sangat besar, entah punya kunci atau tidak.

Toh ia bukanlah karakter orang yang menimpali setiap perkataan orang yang dicibirkan ke dirinya. Ia lebih suka membalas dengan perbuatan. Ia tipikal orang yang membalas dua kali lipat dari yang ia terima. Tak sebanding memang dan cenderung lebih kejam. Tapi, mau bagaimana lagi.

Entahlah apa yang membuat Naruto dapat bertahan dengan orang seperti Sasuke. Sampai sekarang, ia tidak berusaha menimpali ataupun mengomentari sikap dingin Sasuke. Ia malah berjalan di belakang Sasuke dengan santainya. Senandung-senandung kecil terdengar sayup-sayup dari mulut besarnya.

Sasuke sendiri tak ambil pusing untuk membuka obrolan dengan topik yang ia anggap lebih layak. Justru, Sasuke bersyukur dalam hati, merayakan—sejenak—tanpa—kebisingan—Naruto. Walaupun, sebenarnya senandung-senandung itu termasuk kebisingan Naruto, Sasuke menolerirnya.

Sasuke terus memimpin jalan. Ia hafal tempat-tempat ini walaupun tata letak distrik ini seperti labirin. Tapi bukan berarti Naruto buta arah sehingga yang memimpin jalan Sasuke. Bukan seperti itu.

Justru kemampuannya ia dapatkan dari bocah kuning berisik itu. Nostalgia.

Untuk ukuran orang yang selalu dipenjara di dalam kerajaan kemampuan itu dianggap langka. Jangankan hafal seluk beluk kota atau distrik, seluk beluk kerajaan saja belum tentu hafal benar. Otak Sasuke merekam dengan jelas tiap-tiap sudut distrik ini. Bahkan, matanya ditutup sekalipun ia masih bisa berkeliling tanpa kehilangan arah ataupun tertabrak. Instingnya seliar hewan, dan tak satupun orang kerajaan yang menyadari bakatnya itu.

Tampan, muda, cerdas, berbakat. Empat kata yang membuat Sasuke sempurna.

Tapi sayang sekali, ia dilahirkan di urutan kedua dari rahim seorang selir.

Terkadang Naruto ingin menertawai kekurangan Sasuke karena dilahirkan di waktu dan oleh orang yang salah. Hanya masalah siapa—yang—melahirkannya berdampak besar ke kehidupannya—Sasuke. Kehidupannya menjadi teramat miris dan menyedihkan. Bahkan lebih menyedihkan dibanding kehidupannya—Naruto yang terlahir sebagai gelandangan.

Mungkin mengetahui kehidupan miris pangeran itu membuat rasa iba Naruto tumbuh dan berkembang.

Otaknya memang pas-pasan, tidak sejenius Sasuke. Ia masih ingat kali pertama ia bertemu dengan bocah gelap itu. Yah, walaupun itu bukanlah kejadian yang enak diingat dan dikenang. Tapi, terlepas dari itu, ia bersyukur dipertemukan dengan Sasuke. Karena, Sasuke adalah orang pertama yang mengubah pola pikirnya tentang orang di kerajaan.

Naruto tak pernah secara gamblang mengatakan alasan mengapa ia mau menemani pangeran yang miskin teman itu. Ia bukanlah orang yang tak peka mengenai sifat benci dikasihani yang telah mendarah daging di tubuh Sasuke. Lagi pula ia juga tak sebodoh itu jika masih sayang dengan nyawanya. Nyawanya bisa melayang jika setan iblis berwujud pangeran itu tahu alasan ia mau berteman dengannya hanya karena belas kasih.

Naruto memasang muka mencemoohnya. Ia benar-benar tidak suka sifat arogan Sasuke. Jika kau tidak tahan dengan kerasnya hidup, berhentilah sejenak untuk istirahat. Bukannya berlindung dengan kearoganan yang setinggi langit. Pikir Naruto.

Terkadang, Naruto sangat ingin menghajar punggung sok tegar itu.

Tapi niatan itu selalu menguap karena sebelum ia menghajar Sasuke ia telah dihajar duluan oleh tatapan intimidasinya.

"Naruto—" suara Sasuke memecahkan lamunan sekilas Naruto. Ia menoleh menatap sahabat esnya dengan tatapan minta dihajar.

"—hei, bagaimana kalau kita bertanding sekarang?" ajak Sasuke yang lebih mirip seperti perintah absolut.

Naruto menganga mendengar ajakan yang menurutnya gila. Sebenarnya tidak, masalah pertandingan adu kekuatan sampai matipun bagi Naruto tidak gila. Tapi, yang membuat ajakan itu gila adalah Sasuke yang mengajak tanding lebih dulu!

Biasanya dirinyalah yang mengajak orang itu duluan-dan seperti biasanya orang itu menolak ajakannya dan disertai alasan yang menohok hati.

Tapi—

Yang kita bicarakan disini Sasuke! Orang yang gengsinya selangit untuk membuat ajakan yang baginya rendahan itu!

"A—apa maksudmu, Sa—sasuke kun?" tanya Naruto terbata-bata.

Sasuke menatap datar si baka dobe, "Hilangkan suffix menjijikan itu Naruto. Itu membuatku muntah." ucapnya sarkas.

"Kau lihat itu?" lanjutnya sambil menunjuk seorang pedagang lewat sorot mata.

Naruto menatap ke pedagang pria paruh baya yang sedang menjual barang dagangannya. Pria yang tampak ramah, tak terhitung berapa kali ia tersenyum melayani pelanggannya. Pelanggannya juga merasa puas akan barang dagangannya. Terlihat jelas dengan banyaknya orang yang berkumpul di lapaknya sambil memasang wajah kagum sambil memperhatikan betapa indahnya barang dagangan pria itu.

Apa yang aneh? Pria itu hanya menjual barang dagangannya.

Namun Naruto ragu kalau Sasuke sedang mempermainkannya. Ia bukanlah tipikal orang yang seperti itu. apalagi asumsinya ini diperkuat dengan sikap abnormal Sasuke yang mengajaknya bertanding tadi. Pasti, ada kaitannya dengan pedagang itu—dan pastinya, masalah ini bukan sekedar main-main belaka. Karena tidak mungkin orang seperti Sasuke mempermasalahkan suatu hal yang tidak penting dengan memasang nada aneh.

Naruto menyipitkan matanya, menelisik barang dagangan pria itu yang mayoritas adalah perhiasan dan cinderamata. Perhiasan yang didominasi terbuat dari batu giok—batu yang cukup mahal pada saat itu dan cukup diakui keindahannya untuk dijadikan perhiasan. Perhiasan itu cukup indah memukau—kilauannya.

Eh?

Seketika Naruto menyeringai sekilas ketika paham maksud Sasuke. Melihatnya Sasuke ikut menyeringai.

"Kau bisa bantu aku Dobe? Kerajaan mungkin akan memberikan emas sebagai balas budi."

Naruto tertawa terbahak. Sepentingkah itu masalah kecil yang diperbuat oleh pria itu sampai-sampai Sasuke mengiminginya dengan emas yang selalu ia dambakan.

Oh, Tuhan. Ini masalah sepele.

"Kau bercanda? Ini hanyalah masalah kecil Sasuke, kau berlebihan," elak Naruto berusaha mengorek informasi alasan Sasuke sampai sebegitu seriusnya.

"Banyak pedagang diluar kota ini yang berperilaku seperti pak tua itu, kau tahu?" katanya sambil menyilangkan tangan di atas dada.

"Kau bercanda Naruto?" Sasuke menatap tajam Naruto seolah ingin mengoyak bocah itu.

"Kau lupa besok hari apa? Hari pengangkatan raja, kota sedang ramai. Banyak kedutaan luar negeri yang berkunjung kesini," Sasuke menjeda kalimatnya. "Perbuatan pria itu bisa merusak citra Negara Taiyou di mata mancanegara," cela Sasuke.

Naruto memajukan bibir bawahnya. Informasi rumit yang ia dapatkan. Sayang, otaknya tidak sampai.

"Ya.. ya.. terserah kaulah, apa maumu sekarang?" Naruto mengacak rambut kuning jabriknya.

"Curi barang dagangannya lalu kirimkan ke biro pemeriksaan istana. Yang berhasil tanpa ketahuan, dialah yang menang."

"Ada lagi?" Naruto memicingkan matanya.

"Dilarang melanggar peraturan. Kecuali, kalau kau bisa membuat permainan ini semakin menarik," seringai Sasuke seakan menantang Naruto untuk memainkan permainan kecil ini.

Naruto tersenyum miring merasa tertantang begitu mendengar kalimat provokasi dari Sasuke. Tanpa menunggu waktu terlewat, ia langsung maju mendekati lapak milik pria itu. Kakinya berjalan mendekat tapi tak singgah ke lapak yang didominasi oleh meja-meja kayu panjang untuk memamerkan dagangannya. Tepat saat pria itu sedang mengarahkan atensinya ke pelanggan yang berada di depan Naruto, dengan cepat jari Naruto meraih sebuah sanggul giok dan beberapa perhiasan kecil yang posisinya di ujung meja—dekat dengan posisinya. Setelah berhasil mendapatkan benda itu, ia berjalan menjauhi lapak menyelamatkan diri.

Sasuke menyunggingkan senyum sarkas melihat keberhasilan Naruto dalam mencuri benda pendusta itu. Naruto balas menatapnya dengan tatapan menantang yang khas. Ia menunjukkan barang curiannya ke dalam kedua lengan kimono-nya yang lumayan ketat.

Berbeda dengan Naruto yang berjalan begitu saja. Mengambil diam-diam tanpa permisi bak cerita rakyat negeri seberang. Sasuke memilih menggunakan cara yang berbeda dan sedikit menantang untuk memenangkan permainan mereka kali ini. Dengan langkah tenang layaknya seorang pembeli biasa, ia masuk ke dalam kerumunan yang berkumpul di lapak. Bahkan sampai mengajak interaksi dengan pedagang itu.

Naruto yang memperhatikan dari kejauhan cara yang Sasuke gunakan. Ia tertawa terbahak meremehkan cara yang menurutnya mirip bunuh diri. Prinsip utama seorang pencuri adalah minimalisir kontak. Justru Sasuke malah memulai kontak dengan si pedagang. Tinggal di istana justru menumpulkan insting hewannya ya? Pikir Naruto.

"Hoi, Naruto."

Naruto terhenyak ketika Sasuke memanggilnya. Tangannya terarah menunjuk mukanya seakan mempertanyakan tindakan tiba-tiba Sasuke.

Sasuke hanya membalas tunjukan itu dengan anggukan polosnya sambil mengibaskan tangannya memanggil Naruto untuk mendekat. Setelah mendapat kepastian akan tindakannya Naruto melangkahkan kaki kembali mendekati lapak itu.

"Ini temanku, jii san. Yang tadi kuceritakan kalau dia ingin membeli perhiasan untuk pacarnya," Karang Sasuke dengan lancarnya.

Naruto terbelalak ketika mendengar penuturan Sasuke yang isinya hanyalah kebohongan. Asli bohong. "A—apa-apaan kau Sas—"

Pria itu menyela kalimat Naruto dengan tawa renyahnya, "Tidak usah malu anak muda, wajar anak sepertimu sedang kasmaran-kasmarannya," jedahnya sambil menyeka air mata yang keluar di ujung mata akibat tawa berlebihnya.

"Coba ceritakan seperti apa gadis itu?" tanya pedagang itu sambil tersenyum ramah.

Naruto terpaku menatap senyum ramah pedagang itu. Terbesit perasaan tidak tega untuk melaporkan pria itu ke biro pemeriksaan istana—karena ia tahu persis seperti apa pedagang-pedagang yang berakhir di biro pemeriksaan istana.

"A—ah itu.." Naruto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus berkata apa.

"Kulitnya putih, matan hijau cerah, rambutnya sewarna dengan bunga sakura, jii san," cerocos Sasuke.

Naruto melotot menatap Sasuke. Sejak kapan Sasuke menjadi sefrontal ini? dan apa-apaan perkataan dustanya tadi? Apa saking muaknya tinggal di istana sampai membuat kepribadiannya berubah.

Lagi-lagi perkataan Naruto tertelan karena tawa terbahak pedagang itu. "Dasar, anak muda. Bagaimana dengan sanggul giok ini? Warna biru kehitaman akan cocok dengan rambut pacarmu itu, nak." Saran pedagang itu ramah.

Naruto menatap sanggul giok itu dengan tatapan tak yakin. Ia tidak memiliki pacar untuk dikirimi barang seperti ini. Untuk apa ia menerimanya? Untuk dipakainya di rumah bordil? Yang benar saja.

Sasuke menyenggol lengan Naruto. Menatapnya seakan mengguruinya tidak baik menatap orang seperti itu tidak sopan.

Naruto heran. Sejak kapan Sasuke sok mengguruinya. Apa katanya? Sopan? Yang benar saja, ia sudah lupa apa itu sopan santun. Percuma saja mengajarinya kaidah-kaidah sopan santun kepadanya. Tidak mempan.

Lagi-lagi Sasuke menyenggol tangannya. Sepertinya orang satu ini adalah titisan cenayang yang bisa membaca pikirannya. Akhirnya, mau tak mau ia mengikuti alur yang Sasuke ciptakan untuknya. Dengan ragu-ragu ia meraih sanggul giok itu dengan tangan kanannya.

Seketika Sasuke menyenggol tangan kanan Naruto sampai membuat barang yang Naruto curi tadi keluar dari lengannya.

Pedagang itu membeku seketika menyadari bahwa barang dagangannya telah dicuri. Apa lagi barang yang dicuri termasuk barang yang cukup mahal harganya.

"Penjaga, anak ini mencuri!" Teriak Sasuke keras pada sekumpulan penjaga yang kebetulan sedang melewati lapak milik pedagang itu.

Aksinya itu mencuri banyak perhatian tak hanya kalangan penjaga yang sedang lewat ataupun mangkal di sekitar lapak. Tapi juga pembeli dan orang-orang yang sedang berlalu-lalang di sekitar daerah itu ikut teralihkan atensinya ke Naruto. Mereka semua terdiam menyaksikan aksi yang benar-benar jarang terjadi di daerah yang benar-benar ketat penjagaannya. Terlebih akhir-akhir ini penjagaannya semakin ketat karena perayaan besar akan terjadi besok.

"Benar, kau mencuri Nak?!" hardik salah satu penjaga istana yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengacungkan bilah mengilap itu ke leher Naruto.

"T—tunggu, i—ini—" Kata-katanya termakan ketika Sasuke menyenggol lengan kirinya sampai memuntahkan kembali barang curian yang disembunyikan di dalam sana.

Penjaga itu menatap benda yang jatuh ke tanah. Lalu tangan besinya itu meraih benda berkilau itu dari tanah. "Benar ini barang daganganmu Pak Tua?" tanya penjaga istana yang kini malah menghardik pedagang itu.

"I—iya." Jawabnya terbata.

"Tangkap bocah ini!" Teriak penjaga istana lalu menarik kasar kedua lengan Naruto untuk ditali.

Naruto bergerak melawan tidak terima. "Hoi, berengsek. Kau seharusnya juga menangkap bocah hitam pekat yang tadi berteriak! Dia juga mencuri barang dagangan Pak Tua itu!" teriak Naruto yang berusaha menyeret Sasuke ke dalam masalah ini.

Sialan, bisa-bisanya dia menjadikanku kambing hitam. Rutuk Naruto dalam hati.

"Kau lihat? Bocah itu kabur karena kau terlalu sibuk mengurusi seekor kambing hitam!" Teriak Naruto sambil menunjukkan Sasuke yang sudah berlari belasan meter kabur dari tempat kejadian perkara.

Sasuke menyeringai sekilas berbalik sambil menunjukkan barang yang berhasil ia curi tadi saat perhatian pedagang itu teralihkan karena mencarikan hadiah untuk 'pacar' gadungan Naruto. Tangannya mengangkat tinggi-tinggi sebuah jepitan bertahtakan giok merah muda, seakan mengejek para penjaga-penjaga itu.

"I—itu juga daganganku," ungkap pedagang itu ketika matanya menangkap jepitan di tangan Sasuke.

Penjaga itu terbelalak menyadari mangsanya kabur satu. "Tangkap dia!" teriak penjaga itu kepada teman-teman sekelompoknya.

Reflek kawanan penjaga itu berlari mengejar Sasuke yang sudah berlari jauh di depan mereka. Menyadari itu, Sasuke tersenyum miring menyadari rencananya berjalan seperti apa yang ia rencanakan—minus tentag Naruto yang ikut menyeretnya tidak bisa dibilang berhasil. Tapi bukan berarti Sasuke tidak menyiapkan rencana untuk memperbaiki masalah kecil yang temannya perbuat.

Kaki panjangnya bergerak lincah menghindari padatnya orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan utama distrik. Gerak lincahnya terlihat luwes tanpa cela sedikitpun. Tidak sedikitpun badannya menabrak badan orang-orang sedang yang berlalu–lalang di jalan utama distrik. Lain halnya dengan kawanan penjaga yang sedikit kesulitan menerobos padatnya orang dijalan.

Ia berlari menyusuri jalan utama distrik. Jika ingatannya tidak salah disalah gang yang selanjutnya akan membawanya ke distrik lain yang sudah di luar area Kota Terlarang—Kota utama yang paling dekat dengan istana. Dengan lincah kakinya melesat memasuki gang sempit yang dimaksud0.

Sayangnya ingatannya salah, gang ini sudah menjadi jalan buntu. Sebuah tembok besar dan tinggi dibangun menutupi jalanan gang.

Sial, sejak kapan tembok ini dibangun. Sasuke kesal menyalahkan tembok itu. Karena ia yakin ingatannya tidak salah. Sebenarnya yang salah adalah ketidaktahuannya tentang kapan tembok ini dibangun.

Telinganya mulai mendengar sayup-sayup langkah kaki penjaga yang mulai mendekat. Ia tidak punya pilihan lain. Terlalu banyak memikirkan sebuah pilihan hanya membuang waktunya yang sangat terbatas. Tangan dan kaki cekatannya mulai memanjat dinding itu. Toh tinggi dinding itu tidak seberapa tingginya dengan dinding Istana yang sering ia panjat, jadi tidak masalah baginya.

Ia memanjat dinding tanpa suatu hambatan yang berarti. Tak membutuhkan waktu lama ia bisa sampai ke puncak tembok dengan mudahnya. Lalu ia langsung meloncat dari puncak tembok tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Alhasil, tubuhnya malah meniban tubuh seseorang yang kebetulan sedang berdiam di tempat itu.

Orang yang tertiban tubuhnya memekik kesakitan. Dengan sigap Sasuke langsung yang mengurung seluruh tubuh orang itu. Salah satu tangannya membekap mulut yang mengeluarkan pekikan nyaring. Takut jika suaranya akan terdengar oleh penjaga istana sialan itu. Matanya tertuju menatap tembok yang menjadi penghalangnya dengan para cecunguk istana. Telinganya fokus mendengarkan derap dan sayup-sayup suara penjaga yang sudah sampai di balik tembok sedang mencari keberadaannya.

Setelah telinganya tidak mendengar suara-suara cecunguk itu. Ia yakin penjaga-penjaga itu pergi. Atensinya ia alihkan ke orang yang ia kurung badannya dari tadi.

Tatapan mereka bertemu di satu titik ketika Sasuke memberikan atensinya. Kedua iris yang berlawanan warna saling beradu pandang mempertanyakan kenapa orang ini bisa ada disini. Mereka terdiam, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Terlalu malu untuk saling buka suara mengeluarkan pertanyaan yang terngiang-ngiang di otak mereka.

Sasuke terpaku dengan iris kelabu itu. Darahnya tiba-tiba berdesir ketika merasakan hembusan nafas orang itu menerpa hangat tangannya tangannya. Terlebih posisinya saat ini berada di posisi yang menguntungkan setiap kaum adam. Ia bisa merasakan tiap gesekan yang orang itu perbuat karena minimnya jarak yang memisahkan mereka. Jantungnya berdegup kencang setiap kali gesekan-gesekan kecil itu tidak sengaja menggesek bagian tubuhnya yang benar-benar haus akan sentuhan.

Sedangkan orang itu bisa merasakan hembusan nafas Sasuke yang menerpa batang hidungnya. Sesekali meniup pelan poni ratanya yang berderet menutupi dahinya. Sensasi yang aneh tiba-tiba merayapi tubuhnya. Tubunya serasa memanas tanpa sebab yang jelas. Ia yakin sekali pipinya sudah memerah panas karena terlalu lama menikmati rangsangan yang disebabkan oleh hembusan hangat nafas Sasuke.

"T—tuan?" cicitnya pelan.

Seketika Sasuke sadar dari fantasi liarnya.

Liar?

.

.

.

.

.

To be continued

A/N :

Wkwkwkwk. Ada yang mau nebak si orang itu siapa? Kalo bener saya update cepet *gakjanji *dihajar. Sebenarnya aku lagi libur sih. Wkwkwkwk.

Ceritanya lagi buka review fict yang terlantar. Entah kenapa mendadak baper baca reviewnya yang kecewa karena ini discontinued. Maafkan saya yang terlalu malas dan moody-an dalam membuat fict. TT^TT

Makasih yang sudah ng e-fave-foll Benang Merah. Gak tau ada yang menungguin atau mengharapkan itu fik dipublish apa nggak. TT aku aja ada yang fave aja terharu *efek main di fandom minor.

FAQ bisa dilayangkan ke kotak review. Sebisa mungkin saya jawab.

Salam.

Kana