.

.

.


Chapter 1

Connected


.

.

.

Pepatah mengatakan, bangsa yang bercerai-berai akan bersatu bila memiliki musuh yang sama. Itu adalah pepatah yang dinilai paling pantas untuk menggambarkan keadaan Bumi pada permulaan abad ke-23, tepatnya tahun 2201 AD[1] berdasarkan penanggalan Gregorian[2].

Menjelang tahun-tahun terakhir abad 22, manusia penduduk Bumi telah menerima fakta bahwa mereka bukanlah satu-satunya penghuni jagat raya ini. Sebagian besar dari manusia mampu beradaptasi serta hidup berdampingan dengan baik bersama bangsa-bangsa dari planet lain. Akan tetapi, kedamaian serta keharmonisan itu terusik saat Bumi kedatangan tamu tak diundang dari planet Tars yang letaknya berada cukup jauh di luar sistem Tata Surya.

Bangsa Tarsian—begitu penduduk Bumi menyebutnya—tidak datang untuk berjabat tangan selayaknya bangsa planet lain saat pertama kali berkunjung ke Bumi, melainkan mengibarkan panji kolonialisme—untuk lebih spesifiknya, koloni eksploitasi atas kekayaan dan sumber daya alam Bumi yang menurut mereka sangat berlimpah.

Keadaan di Bumi yang dipenuhi konflik antarsuku bangsa serta ras, menjadi titik kelemahan yang memberikan keuntungan tersendiri bagi pihak Tarsian. Mereka menyerang masing-masing ibu kota di tiap negara yang merupakan jantung pusat pemerintahan, mengakibatkan aktivitas Bumi sempat lumpuh selama kurang lebih lima tahun. Persamaan nasib pada akhirnya mengharuskan para pemimpin negara di Bumi untuk sepakat menerapkan sistem geopolitik dalam skala yang lebih luas—secara global.

Suriah berhenti bertikai. Perang saudara di Irak mereda. Israel membuat pakta gencatan senjata permanen terhadap Palestina. Pertempuran di Afganistan hanya tinggal kenangan. Peredaman konflik internal diikuti hampir oleh semua negara yang masih bertikai seperti Ukraina, Nigeria, Somalia, Yaman, dan masih banyak lagi. Mereka tidak lagi melabeli dirinya dengan sebutan bangsa A atau bangsa B, maupun ras X atau ras Y, setelah bersumpah untuk bersatu melawan bangsa Tarsian demi sebuah nama. Planet tempat mereka tinggal, yaitu Bumi.

"Kita adalah bangsa Bumi."

Beberapa negara di Bumi bahkan membentuk serikat berdasarkan region, salah satunya Asia Timur yang kini berdiri di bawah bendera UEA (Union of East Asia). Demi memudahkan pergerakan, para penduduk dari negara-negara yang tergabung dalam serikat tidak lagi membutuhkan paspor serta visa untuk bisa berkunjung ke negara tetangga selama masih berada di region yang sama. Cukup dengan menunjukkan kartu identitas, batas negara pun dengan begitu mudahnya dilalui. Keuntungan lainnya, mereka diperbolehkan memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, tentunya dengan beberapa ketentuan serta persyaratan khusus yang telah disepakati oleh masing-masing negara.

Lu Han adalah salah satu dari mereka yang memiliki dwi-kewarganegaraan.

Ia terlahir di Beijing dan menjalani hidup sebagai warga negara Tiongkok hingga menginjak usia delapan tahun, sebelum akhirnya dibawa oleh sang ibu pindah ke Korea. Ya, hanya Korea, tanpa embel-embel 'Selatan' dan 'Utara' di belakangnya. Kedua negara telah mencapai kesepakatan untuk bergabung sejak Perang Tarsian dimulai.

Profesi ibu Luhan yang seorang perawat, mengharuskannya rela untuk dipindahtugaskan ke negara yang pada masa itu menjadi lokasi pusat World Council of Nurse sebagai salah satu health care assistant untuk armada Pallas—kapal angkasa yang berjaga di sekitar orbit bulan saat perang melawan bangsa Tarsian berlangsung di tahun keempat.

Lalu, bagaimana dengan ayahnya? Luhan sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Sejak awal, sang ibu hanya mengatakan jika ia tidak punya ayah. Sebagai anak yang tidak rewel, tak pernah ia memaksakan diri untuk bertanya. Sempat berpikir, jangan-jangan dirinya adalah hasil dari inseminasi buatan. Pada akhirnya, Luhan lebih memilih untuk tidak peduli.

Ada sebuah tempat penampungan khusus untuk anak-anak seperti Luhan yang orang tuanya turut mengambil peran sebagai pejuang dalam Perang Tarsian. Mereka menyebutnya Shelter. Yayasan berupa akademi. Penghuninya tinggal di asrama dan menerima pendidikan seperti di sekolah formal pada umumnya. Luhan adalah anak yang aktif di setiap kesempatan. Ia melakukannya semata-mata agar ada suatu hal membanggakan untuk bisa diceritakan pada sang ibu yang pulang ke Bumi setiap enam bulan sekali.

"Mama, aku menjadi yang tercepat pada saat tes lari maraton."

"Mama, aku adalah murid pertama yang berhasil memecahkan soal teka-teki dari Guru Ahn."

"Mama, aku mendapat nilai A untuk pelajaran Sejarah."

Luhan kecil selalu menceritakan hal-hal positif yang membuat ibunya tersenyum. Sengaja berkisah lantaran tahu betul seperti apa pekerjaan wanita itu di lapangan, di mana mendapati pemandangan darah dan jenazah, sudah menjadi hal lumrah. Seakan ingin membuktikan, bahwa ia bisa mandiri dan tumbuh dengan baik meski sang ibu tak bisa selalu berada di sisinya.

Perang Tarsian akhirnya selesai di tahun 2208 AD—dengan dimenangkan oleh Bumi—saat Luhan telah mencapai usia 12 tahun. Bersamaan dengan itu, selesailah pula ritual berbagi cerita dengan sang ibu karena wanita yang ditunggunya tak pernah pulang. Ketika sebuah papan pengumuman berisi daftar nama anggota keluarga yang gugur di medan perang membentang di aula Shelter, Luhan menemukan nama ibunya terpampang. Jantungnya berdegup kencang. Dunia seakan terbalik, tapi ia tidak menangis. Ia tidak boleh menangis, karena itu adalah pesan yang diterima dari sang ibu saat bercengkerama dengannya terakhir kali enam bulan lalu.

"Setiap manusia pada akhirnya akan pergi, Xiao Lu … dan jika suatu saat nanti Mama benar-benar pergi tak kembali, janganlah kau menangis … karena akan selalu ada manusia lain yang datang untuk menemanimu kelak, bahkan mungkin bisa menjagamu lebih lama dan lebih baik dibanding Mama."

Luhan mencoba tegar dengan mendongakkan kepala. Konon, itu adalah cara ampuh untuk mencegah air mata supaya tidak jatuh. Nyatanya, ia rasakan likuid memaksa keluar melalui sudut mata. Terpejam, apa yang hendak mengalir buru-buru diseka dengan punggung tangan sebelum tumpah lebih banyak. Sendirian, hanya itu yang kini ia tahu. Ketika bermaksud menarik diri dari kerumunan untuk menyepi, matanya bertemu dengan sosok itu.

Seorang anak laki-laki yang Luhan perkirakan berusia sekitar delapan tahun. Menjenjangkan leher susah payah untuk melihat papan pengumuman. Pandangan tampak terhalang oleh orang-orang yang berbadan lebih tinggi. Tubuh mungilnya bahkan sempat terdorong beberapa kali saat mencoba merangsek masuk ke dalam kerumunan. Sang bocah menunduk dengan ekspresi kecewa. Seketika, pemandangan itu mengingatkan Luhan akan sosok dirinya saat pertama kali ia dititipkan di Shelter sebelum sang ibu pergi terbang ke angkasa luar.

Cemas. Takut. Kesepian. Luhan dapat menangkap semua rasa itu dengan mudah.

Kata hati menyuruh agar kaki melangkah mendekati sisinya. Anak itu pun segera beralih pandang saat menyadari kehadiran Luhan. Kedua pasang bola mata yang bertemu, saling menatap untuk waktu yang cukup lama seakan menjalin sebuah koneksi dari reaksi kimia yang tak kasat mata.

"Apa kau juga sedang mencari nama?" tanya Luhan berniat menawarkan bantuan. Anak itu hanya menjawab dengan satu anggukan pelan.

"Siapa namanya? Akan kucarikan untukmu." Ia tak menjawab dengan kata namun sebagai ganti, menyerahkan selembar foto kepada penolongnya. Luhan menerima, lalu memandang dengan saksama. Foto sepasang ayah dan anak—ia memastikan itu dari faktor kemiripan pada wajah keduanya—yang tengah tertawa semringah bahagia di sebuah hanggar pesawat. Dari pakaian seragam yang dikenakan, Luhan langsung melempar asumsi jika ayah anak itu berprofesi sebagai seorang pilot. Foto dibalik, dan pada bagian belakang terdapat coretan tangan bertuliskan, 'Oh Jaehyun & Sehunnie, my little senshine'.

Luhan tidak berpikir dua kali untuk menelusuri papan pengumuman, mencari nama yang ditemukannya di balik foto. Ia lebih berharap banyak bahwa nama itu tidak akan muncul di sana. Meskipun sama sekali tidak kenal, ia tidak ingin hal yang baru saja terjadi padanya juga dialami oleh anak itu. Sayang, harapan tampak harus ia kubur.

Nama 'Oh Jaehyun' terbaca oleh matanya.

Sebuah embusan napas pelan lolos dari bibir mungil Luhan ketika ia kembali ke sisi anak itu dan menatap raut wajahnya yang diliputi perasaan cemas serta penuh harap. Merasa tak sanggup menjadi pembawa pesan duka, akan tetapi pilihan apa yang ia punya? Sudah terlanjur menawarkan jasa.

"Pria di dalam foto itu … apakah dia satu-satunya anggota keluargamu?" Semoga saja 'tidak', adalah jawaban yang ingin Luhan dengar. Namun anak itu kembali mengangguk. Membuatnya sadar bahwa kini mereka memiliki nasib yang sama.

"Sehunnie … itu namamu, 'kan?" Tangan Luhan mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut. Anak itu terkesiap sesaat, kemudian bergeming menikmati sentuhan dari orang asing yang baru saja membantunya. "Maaf, tampaknya ayahmu tidak akan pulang … begitu juga dengan ibuku," bisik Luhan pada kalimat terakhir.

Dikiranya anak itu akan menangis. Ternyata tidak. Kedua belah bibir terkatup rapat, membentuk garis lurus. Menyuguhkan ekspresi datar. Luhan tidak tahu, apakah ia memang tegar atau belum paham akan konsep kematian di usia yang begitu muda. Sikapnya sedari tadi yang sama sekali tidak buka suara, sempat membuat Luhan menyangka bahwa bocah di hadapannya adalah tunawicara. Perkiraan meleset. Sejurus kemudian, ia mulai bertutur pelan. Suara bergetar dan cara bicaranya masih pelat, khas anak-anak.

"Jika ayah tidak pulang, berarti aku sendirian …."

Ketika dua anak manusia menanggung rasa yang sama dalam hatinya, saat itulah tangan takdir muncul untuk menarik mereka masuk ke dalam permulaan suatu kisah. Dalam kasus ini, Luhanlah orang pertama yang membuka kunci pintu masuk menuju awal skenario.

"Hei, tenang saja, aku pun sama. Ibuku pernah bilang, jika ada dua orang yang merasakan kesendirian lalu mereka saling bertemu, maka akan membentuk suatu keadaan baru. Apa kau tahu sebutannya?"

Anak itu menggeleng. Pertanyaan filosofis barusan dianggapnya rumit berbelit. Tanpa ragu, Luhan lantas meraih tangan mungilnya. Menautkan cukup erat, mengisi sela-sela jemari milik anak itu.

"Ini—" kedua tangan yang kini telah bertautan, diangkat sejajar dengan arah pandangannya, "—disebut dengan bersama."

Mata Sehunnie kecil tak berkedip menatap tautan jemari. Baginya, itu terlihat lebih indah dari gambar tangan dalam lukisan 'The Creation of Adam' karya Michaelangelo yang menjadi favorit ayahnya. Ditambah lagi, ia merasakan kehangatan menjalar di telapak tangan.

Siapa kakak ini? Mengapa dalam waktu singkat mampu membuatnya merasa nyaman? Ibarat tengah berjalan di bawah guyuran hujan mencari tempat pulang, lalu tiba-tiba ada seseorang yang memayungi.

"Nama …." Tanpa sadar, rasa penasaran membuat bibir mungilnya menggumamkan kata.

"Nama?" tanya Luhan tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Anak itu mengangguk, mengiakan. "Oh, maksudmu namaku?"

Perlahan, Luhan melepaskan tautan. Tangan anak itu dibalik dan mulailah ia mengukir guratan nama secara abstrak dengan ujung telunjuk di atas telapaknya.

"Luhan Hyung?" Anak itu mencoba memastikan ia menebak dengan benar setelah goresan terakhir selesai.

"Ya, Sehunnie. Namaku, Luhan."

Detik itu juga, Oh Sehun, bocah sebatang kara di usia delapan tahun, berharap jika kata 'bersama' yang diucapkan oleh sang kakak berparas manis bukan layaknya kapal berlabuh di marina. Singgah sementara lalu pergi.

Melainkan ada untuk selamanya.

Harapan itu bisa saja terkabul. Namun, tentu saja dengan cara yang telah dipilih sang takdir.

.

.

.

.

.

.

Bumi, Juni 2214 AD

Bunyi entakan yang cukup mengganggu telinga terdengar di sepanjang koridor gedung asrama sayap kiri Shelter. Tak berlangsung lama, karena teriakan protes mulai bersahutan dari dalam kamar, menyuruh si pembuat gaduh menghentikan aksinya memantulkan bola basket pada lantai tanpa henti.

"Luhaaan! Jangan main basket di koridor!"

"Soriiii!" teriaknya, membalas suara entah siapa kemudian berlalu sembari cengengesan dengan mendekap bola ke dada.

Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar dengan inisial 'S' menggantung di pintu. Luhan masuk begitu saja tanpa mengetuk karena memang telah terbiasa tidak melakukannya. Ia tahu betul jika sang pemilik kamar tidak pernah keberatan. Alisnya bertaut saat mendapati Sehun bersandar di kepala ranjang dengan posisi selonjor, tengah membaca buku dengan serius. Konsentrasi yang terfokus menjadi alasan kuat untuk tidak menggubris keberadaan orang lain di dalam kamar.

Sehun terobsesi dengan buku. Ketika kebanyakan orang telah terbiasa membaca melalui layar gawai, anak itu lebih memilih membaca produk hasil masa lalu. Ia menyukai bau tinta. Sensasi ketika kulit jemari bersentuhan dengan kertas saat membuka halaman buku, bagaikan terapi relaksasi baginya. Bagian kertas yang menguning dianggap seperti lukisan abstrak bernilai seni tinggi. Maka, tidak aneh jika ia bisa tenggelam di dalam tumpukan judul buku seharian penuh.

"Sehunnie," panggil Luhan seraya membantingkan tubuh ke ranjang tepat di sebelahnya.

"Hmm," Dijawab Sehun dengan hemat. Volume suaranya bahkan tidak lebih besar dari bunyi gesekan kertas halaman buku yang ia baca.

"Karnaval telah datang ke kota." Tangan Luhan tak berhenti melempar tangkap bola basket ke udara.

"Lalu?"

"Aku ingin lihat. Ayo, kita ke sana."

"Tidakkah kau lihat aku sedang membaca? Lagi pula, ingat usiamu, Hyung. Sudah delapan belas."

Pergerakan bola berhenti setelah Luhan mendengar kalimat yang dirasa cukup membuat tersinggung. Jelas ditujukan padanya dan meluncur mulus dari mulut seorang bocah berusia 14 tahun yang bersikap sok dewasa. Kesal, buku sumber distraksi dirampas tanpa pertimbangan. Terang saja sang empunya protes, namun diabaikan.

Luhan melihat sampul depan. Sebuah buku fisika populer berjudul 'A Brief History of Time' karya ahli fisika sekaligus kosmolog kenamaan, Stephen Hawking. Ia tahu, Sehun yang gila belajar, sangat menyukai fisika. Penulis buku ini adalah salah satu tokoh yang menginspirasinya. Akan tetapi, tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak ajakan. Sehun bisa membaca kapan saja, sedangkan karnaval belum tentu datang lagi tahun depan.

"Kau sudah membaca buku ini lima kali."

"Tidak bolehkah aku membaca untuk yang keenam kali?"

Begitu melihat ekspresi wajah Luhan berubah kecewa, ingin rasanya ia menarik kembali yang telah terlontar. Sehun tahu yang tadi itu keterlaluan. Sadar akan kesalahan, tapi malu untuk mengucap maaf.

Tangan terulur, Luhan mengembalikan buku pada pemiliknya. Ketika hendak diterima, Sehun mendengar satu kalimat diucapkan Luhan sebelum genggaman pada buku dilepaskan, dan itu sukses membuatnya meneguk ludah.

"Aku akan menyumpahi kepalamu botak sebelum kau mencapai usia tiga puluh tahun."

Luhan jarang menyumpahi orang, terlebih lagi padanya. Bisa dibilang, ini seperti alarm penanda bahwa ia benar-benar marah. Sehun merasa dalam masalah besar, karena bagaimana pun juga, tidak ingin dibenci Luhan.

Berlalu menuju pintu kamar, Luhan sudah berniat meninggalkan Sehun yang lebih memilih untuk asyik dengan dunianya sendiri. Namun belum sempat tangannya menyentuh gagang, bagian tudung sweter terasa ditarik dari belakang. Luhan menoleh dan menemukan sosok Sehun berdiri terpaku. Menunduk, gugup.

"Tu-tunggu. Aku ikut."

Luhan berusaha sekuat tenaga mengulum senyum agar tidak terkembang. Ekspresi Sehun terlihat lucu. Tampak menyesal namun berusaha keras menolak menunjukkan. Tentu saja Luhan tidak marah—mana bisa ia marah pada bocah itu sebengal apa pun dirinya. Sedari awal, niatnya hanya ingin sedikit memberi pelajaran. Ia pun paham, Sehun punya cara sendiri untuk meminta maaf secara tak langsung. Tanpa banyak bicara, tangan Luhan digandeng erat. Dituntun keluar dari kamarnya. Jika sudah seperti ini, ia rela menemani Luhan ke mana pun pemuda itu mau.

Asalkan perhatian untuknya tidak berhenti tercurah.

.

.

.

Sehun melirik ke kanan dan kiri, gelisah. Tak habis pikir, dari sekian banyak tenda yang bisa mereka kunjungi di dalam karnaval, Luhan memilih tempat ini sebagai tujuan terakhir sebelum pulang. Ketika melihat papan nama stan yang tergantung di atas pintu masuk tenda bertuliskan 'House of Madam Aluna', Sehun langsung dapat memperkirakan jasa macam apa yang ditawarkan di sini. Spekulasinya makin diperkuat dengan banyaknya perhiasan dengan batu bertuah terpajang di etalase, poster-poster bergambar tokoh kartu Tarot menggantung di sisi tenda, lalu sebuah bola kristal bening terletak di meja utama. Sudah lebih dari cukup menjadi bukti bahwa mereka kini berada di dalam sebuah stan ramal.

"Hyung, untuk apa kita ke sini?" Ia menarik-narik bagian lengan sweter Luhan, berharap pemuda itu kembali meraih kewarasannya untuk segera beranjak pergi dari tempat ini.

Jujur saja, Sehun malu. Bagaimana jika ada kawannya yang memergoki ia dan Luhan kedapatan memasuki tempat ramal? Dia itu Oh Sehun yang mengedepankan sisi rasional dan mengukur semuanya dengan angka. Murid yang dikenal sebagai penggila fisika di seantero Shelter. Reputasinya bisa hancur berantakan.

"Tempat ini sepi, karena itu aku penasaran."

Tentu saja sepi. Siapa juga yang masih mau percaya dengan hal di luar nalar seperti ini pada abad ke-23? Begitu pikir Sehun.

Memang inilah tipikal Luhan, kerap menaruh perhatian pada hal-hal yang tidak dipedulikan oleh orang lain. Sehun tidak bisa mengeluh karena itu sedikit banyak menjadi faktor yang membuat pertemuannya dengan Luhan bisa terjadi. Jika sifat itu tidak ada pada Luhan, mungkin enam tahun yang lalu ia takkan pernah menghampiri Sehun kecil yang kesulitan mencari nama mendiang ayahnya di aula Shelter.

"Selamat datang di House of Madam Aluna." Suara lembut yang tiba-tiba mengalun, mengagetkan keduanya.

Mereka menoleh bersamaan dan mendapati sesosok wanita berjalan ke luar dari balik tirai yang tersingkap. Usia wanita itu tampak berada di sekitar pertengahan tiga puluhan. Memiliki wajah blasteran dengan mata hazel cantik. Rambut berwarna merah tembaga, panjang bergelombang. Pergelangan tangan dipenuhi gelang berbahan metal yang menimbulkan bunyi gemerencing ketika ia bergerak melangkah mendekati Luhan dan Sehun di balik sisi meja.

"Madam Aluna siap melayani Anda. Adakah yang bisa saya bantu?"

"Kami sedang mencari aksesori pasangan," jawab Luhan sambil melirik ke arah benda-benda di dalam konter etalase.

Peramal itu memandang wajah Sehun dan Luhan lekat-lekat secara bergantian. "Apa bentuk hubungan kalian? Kakak-adik?" tanyanya.

Itu bukanlah pertanyaan aneh. Hampir semua orang yang baru pertama kali bertemu mereka, akan menyangka demikian. Luhan dan Sehun sendiri tidak tahu di mana letak kemiripan mereka. Dari segi fitur wajah, keduanya merasa jauh berbeda. Mungkinkah dua orang yang sering terlihat bersama akan membuat semacam ilusi kemiripan secara tidak langsung? Mereka pun ingin tahu jawabannya sejak dahulu.

Luhan hendak merespons wanita itu, namun tanpa disangka Sehun menyahut lebih cepat. "Hubungan kami sangat dalam dan lebih dari sekadar itu."

Mata Luhan terbelalak. Buru-buru dibungkamnya mulut Sehun dengan telapak tangan. Pilihan jawaban Sehun terdengar ambigu. Ia tidak ingin Madam Aluna salah paham mengira mereka adalah pasangan saudara kandung yang terlibat hubungan inses.

"I-ini tidak seperti yang Madam pikirkan. Maksud dia adalah—"

"Saya tahu." Wanita itu terkekeh melihat reaksi dan interaksi dua remaja di hadapannya. "Saya hanya mencoba memastikan. Mata batin saya dapat melihatnya. Kalian adalah saudara, sahabat, partner, kemungkinan pasangan kekasih. Pendek kata … soulmate."

Sehun, sebagai orang yang menjunjung tinggi sains, seharusnya tidak punya alasan untuk memedulikan perkataan seorang peramal, apalagi sampai memasukkannya ke dalam hati. Namun ketika mendengar kata 'kekasih' dan 'soulmate' digunakan untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Luhan, senyawa kimia dalam tubuhnya bereaksi. Wajah merona merah, telapak tangan basah, bernapas tiba-tiba terasa susah. Segera ia melepaskan diri dari bekap tangan Luhan yang masih membungkam mulut.

"A-aku mau beli bubble tea," ucap Sehun gugup. Tidak ingin Luhan melihat reaksinya yang memalukan. Tanpa menunggu respons balik, ia berlari mengambil langkah seribu keluar dari tenda sebelum perasaannya terhadap pemuda itu terkuak di tempat. Luhan hanya mampu menautkan alis bingung, sementara Madam Aluna tersenyum penuh arti.

.

.

.

Sehun memutuskan untuk tidak kembali ke stan ramal setelah berhasil menenangkan hatinya yang tadi sempat bergejolak. Ia duduk di tepian kolam air mancur dengan dua buah cup bubble tea di sisinya, menanti Luhan keluar dari tenda. Sosok yang telah ditunggu-tunggu selama kurang lebih sepuluh menit, akhirnya menampakkan diri dengan senyum terkembang di wajah, seakan habis memenangkan undian lotre.

Tanpa banyak tanya, Luhan menyambar bubble tea rasa taro—yang ia yakin, memang untuknya—lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah Sehun, mengikis jarak di antara mereka hingga bahu saling bersentuhan. Setelah menyeruput sekali, Luhan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku sweter.

"Aku mendapatkan sesuatu yang bagus."

Ia memperlihatkan sepasang gelang identik dari bahan perak. Pada bagian tengahnya terdapat pecahan batu berwarna putih terang yang menunjukkan efek berkilauan saat terkena sinar matahari.

"Batu di gelang ini adalah serpihan dari bintang paling terang, Sirius. Madam Aluna bilang, tingkat kecerahan batu akan menunjukkan koneksi seseorang dengan pasangannya. Bila terlihat putih terang seperti sekarang ini, artinya terikat sangat dekat. Sedangkan bila berubah redup, artinya merenggang, dan ketika menjadi gelap, berarti koneksi terputus."

Sehun mendengarkan penjelasan Luhan dengan saksama namun menunjukkan ekspresi skeptis. "Hyung, kau masih percaya dengan hal klenik peninggalan masa lalu semacam ini?"

"Hei, ini bukan klenik. Hal seperti ini juga punya istilah sains."

"Oh, ya? Apa?"

"Metafisika."

Sehun terkekeh tiba-tiba ketika mendengar jawaban Luhan, namun ia meredam tawa kecil itu dengan punggung tangan. Astaga, jangan bilang kalau Luhan mengira metafisika adalah cabang ilmu fisika hanya karena mengandung kata 'fisika' di dalamnya. Keduanya jelas-jelas sangat jauh berbeda. Sesuatu yang rasional dan irasional.

"Metafisika itu bagian dari ilmu filsafat, bukan fisika. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan sains," jelas Sehun bangga. Merasa puas jika bisa mengutarakan wawasan yang lebih luas dari pengetahuan Luhan. Akan tetapi, Luhan sejatinya juga tidak bodoh.

"Siapa bilang itu tidak ada hubungannya dengan sains? Filsafat adalah ilmu yang mempertanyakan tentang keberadaan. Sesuatu yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada, dan ketika pertanyaan muncul di kepala manusia, maka ia akan mencari tahu. Bukankah itu awal dari segala ilmu pengetahuan, termasuk sains yang kaupuja?"

Sisa tawa Sehun mereda. Kini ia membisu mati kutu begitu menyadari apa yang baru saja dijabarkan Luhan memang masuk akal. Betapa malunya ia jika harus mengakui itu setelah sebelumnya melontarkan pernyataan yang berlawanan. Luhan yang sudah mengenal Sehun dengan baik selama enam tahun, tentu saja tahu betul ekspresi yang ditunjukkan anak itu jika menolak untuk mengaku kalah.

"Aku benar, 'kan?" tanya Luhan dengan nada menggoda sembari menyikut lengannya. Anak itu hanya merengut diam sambil sesekali membasahi bibir. Melihat Sehun masih bertahan dengan ego, Luhan langsung merangkul lehernya dengan lengan dan memiting di bawah ketiak.

"Akui kalau aku benar, Sehunnie."

Sehun terkejut meronta, mau tak mau berteriak setuju agar segera dilepaskan. "Oke, oke! Luhan Hyung, kau benar!"

Luhan mengacak rambut Sehun sebelum memutuskan untuk melepaskan kekangnya. Anak itu hanya bisa mengerang protes seraya tangannya bergerak menuju kepala, membenahi tatanan garis rambut yang baru saja dikacaukan. Sejurus kemudian, Luhan menyodorkan salah satu gelang ke hadapannya untuk diambil. Sehun menerima tanpa ragu, namun raut wajah berubah bingung saat melihat ukuran yang dirasa kurang pas.

"Hyung, ini terlalu besar untukku."

"Aku sengaja memilih ukuran itu."

"Kenapa?"

Tersenyum, Luhan pun menjelaskan alasannya. "Kau akan tumbuh dewasa, Sehunnie. Aku ingin gelang pasangan ini bisa kita pakai sampai tua nanti, dan tentunya juga berharap jika batu di gelang kita akan selalu berwarna putih terang."

Sehun tertegun tanpa kata. Ia tidak tahu maksud Luhan mengatakan kalimat itu, tetapi yang jelas, bagi Sehun maknanya begitu besar dan sangat dalam. Bukankah secara tak langsung, seperti semacam janji untuk sehidup semati? Wajah dipalingkan, demi menghindari Luhan memergokinya tengah tersenyum bahagia bagai orang gila.

Sementara itu, Luhan menatap birunya angkasa. Memikirkan sebuah kalimat yang diucapkan Madam Aluna padanya sebelum ia beranjak pergi meninggalkan tenda dengan sepasang gelang bertahtakan batu bintang Sirius di tangan.

"Saya punya visi … koneksi kuat di antara kalian akan mengarah kepada sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan kelangsungan nasib Bumi dan umat manusia."

Terdengar seperti bualan, jadi tidak ada alasan bagi Luhan untuk menceritakannya kepada Sehun. Anak itu sudah pasti tidak akan percaya. Ia sendiri pun menganggapnya aneh, tidak masuk akal. Terkikik geli, hanya itu reaksi yang muncul tatkala mengingatnya kembali.

Kedua insan yang dipertemukan oleh takdir tengah menikmati kebersamaannya tanpa tahu jika sebuah rencana besar milik pemerintah dunia akan membuat mereka berjarak. Perpisahan menjadi titik awal dari suatu kisah dan berujung pada peristiwa penting yang dimaksud.

Tidak ada yang dapat memprediksi bahwa masa depan penghuni Bumi akan bergantung pada satu rasa yang dimiliki dua anak manusia.

.

.

.


To be continued


.

.

.

Glosarium

[1] AD (Anno Domini): Tahun (setelah) Masehi

[2] Penanggalan/kalender Gregorian: Penanggalan berdasarkan tahun Masehi, kalender yang banyak dipakai di dunia saat ini.

.

Author's note

Chapter selanjutnya dapat dibaca di archiveofourown dot org / works / 15822378 atau copas tautan yang tertera di bio. Terima kasih.

.