Jimin pikir ini waktu yang tepat untuk bersikap sekretif. Taehyung mungkin akan berpikir ini terlalu kekanak – kanakan, tapi Jimin punya pembelaan tersendiri. Taehyung yang lebih dulu memulainya.
Mungkin Taehyung tak terlalu tahu jika saja secara tak langsung ia telah menyembunyikan sesuatu dari Jimin, maka dari itu Jimin sangatlah bersyukur ibu dari sahabatnya itu adalah pribadi yang observan. Dan berkat pendekatan mati – matian, yang mana tanpa kinerja maksimal pun mereka sudah cukup dekat, ibu sahabatnya itu memberitahukannya sebuah informasi. Daripada informasi, hal ini lebih kepada curahan hati seorang ibu mengenai kejenuhannya terhadap anaknya yang bodoh. Jimin seratus persen setuju, Taehyung memang bodoh. Tapi bukan itu yang dipikirkannya, kalimat wanita itulah yang selalu terngiang di kepalanya.
"Apa kau mengenal Jeon Jungkook? Taehyung mengenalnya, sudah pasti kau juga 'kan?"
Ia mengetahui hal ini dua hari setelah pertemuannya dan Taehyung dengan Jungkook dan si pegawai baru atau nyatanya yang adalah kakak sepupu Jungkook, ia ingat betul lelaki itu bernama Min Yoongi. Berkat hal ini, Jimin selalu percaya keberuntungan. Baru dua hari mereka bertemu serentak, dua hari setelahnya ia sudah tahu kedekatan sahabatnya dan pujaan hatinya. Ini membuatnya kesal, terlebih Taehyung juga ingin lebih dulu mengetahui nama si pegawai baru.
Ibu sahabatnya bercerita waktu itu ia memerintahkan Taehyung untuk mengantarkan ponselnya yang tertinggal ke sekolah lama mereka. Tapi Taehyung sama sekali tidak menemuinya, apalagi memberikan ponselnya. Ketika ditanya dari mana saja ia, Taehyung menjawab kalau saja ia sudah pulang ke rumah dan lupa di tengah jalan untuk mengantarkan ponsel ibunya. Sudah pasti ibunya geram, tapi ia membela diri. Katanya, ia berbincang dengan salah satu murid tahun terakhir di toilet dan langsung pulang setelahnya. Jika Taehyung ingin tahu, ini sama sekali tidak relevan jika harus disebut sebagai pembelaan diri. Taehyung sangat buruk dalam hal bertutur kata, maka dari itu ketika ibunya berteriak marah – marah, ia spontan menyebutkan nama Jeon Jungkook. Taehyung tak tahu jika nama itu mampu menarik atensi ibunya dan akhirnya membuat wanita itu bersikap lebih ramah, Jungkook adalah salah satu murid binaannya satu tahun yang lalu. Katanya, dulu ibu sahabatnya ini adalah wali kelas Jungkook di tahun keduanya.
Selesai wanita itu bercerita, ia akan memberikan Jimin kue kukus yang baru dimasaknya. Sembari mengunyah, Jimin berpikir, kenapa Taehyung tidak mengabarinya jika ia sudah bertemu Jungkook sebelumnya.
Mungkin Taehyung mengira kedatangannya yang berulang hanya karena si pegawai baru. Tapi tidak, Jimin punya alasan lain. Selain karena Min Yoongi, kunjungannya bermaksud untuk memantau sahabatnya itu dan mencicipi kue kukus ibunya. Tiap hari Jimin mewanti – wanti Taehyung akan bercerita tentang pertemuannya dan Jungkook, tapi nihil. Taehyung sama sekali tak mencoba untuk terbuka dengannya.
Hingga satu kali Jimin tak tahan, ia akhirnya bertanya secara langsung.
"Jadi, bagaimana dengan dirimu dan Jungkook?"
Taehyung tak lekas menjawab, ia terdiam dan matanya melirik ke arah partisi antara bilik kamarnya dan ruang tamu di sebelah kanan. Lalu berdeham, ia membalas.
"Apanya yang bagaimana?"
Jimin pun juga sama. Ia urung langsung menjawab, menimang harus berkata apa. Matanya melirik tepat ke dalam netra sahabatnya itu, selain tak pandai bertutur kata, Taehyung pun tak cukup lihai untuk berbohong. Jimin tahu, Taehyung tak ingin membahas ini lebih dalam.
"Ah, tidak," ia mengambil jeda singkat dan melanjutkan, "lebih baik kau temani aku."
"Kemana?"
"Kita cari salon terbaik."
.
.
Antitesis by feearch
.
Park Jimin x Min Yoongi
Kim Taehyung x Jeon Jungkook
.
Warn : harap cek A/N di bawah nanti.
.
.
Park Jimin tak percaya, benar – benar tak bisa percaya.
Alih – alih bertandang ke salon terbaik, dirinya dan Taehyung justru terjebak dalam rumah pinggiran yang diubah menjadi tempat pangkas dan hal semacamnya yang hanya terdiri dari satu kapsalon.
Niatnya, Jimin ingin mewarnai rambut. Kim Seokjin, salah satu tetangga di dekat rumahnya, menyarankan tempat ini. Harusnya Jimin tahu sejak awal ketika Seokjin sama sekali tak menyertakan nama tempat yang dimaksudnya dan hanya memberikan alamat detilnya, ini bukanlah tempat yang diharapkannya. Taehyung yang sejujurnya hanya ikut serta mengekorinya tak ambil pusing, berbeda jauh dengannya. Ia tak mau ambil resiko jika nantinya rambutnya akan terlihat seperti tren mode tahun delapan puluh.
Saat ini di hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi, Jimin terpana dibuatnya. Taehyung merengut, ia juga cukup tinggi namun Jimin tak pernah kagum karenanya. Lelaki itu tersenyum, tercipta dua titik cekung di tiap bagian pipinya. Surainya berwarna merah muda terang dan beberapa paduan warna lain yang tak terlalu ia perhatikan menyembul malu – malu, untuk yang kedua kali Jimin terpana. Melihat penampilan sosok di hadapannya, Jimin tak lagi ragu.
Lelaki itu mempersilahkannya duduk di bangku tepat depan cermin, dari sana mampu ia lihat Taehyung yang menguap di salah satu kursi tunggu. Baru beberapa menit ia berada di tempat itu, Jimin sudah merasa nyaman. Ia merasa, lelaki itu bukanlah orang asing yang patut ia curigai. Hingga lelaki itu memperkenalkan diri, Jimin tersedak liurnya sendiri.
"Namaku Kim Namjoon, kau bisa memanggilku Namjoon. Tak perlu ada formalitas, jadi santai saja." Melihat Jimin yang seketika melebarkan kedua matanya, lelaki itu menambahkan, "oh, maaf jika kau terganggu, itu kalimat spontan. Kebiasaan, kau tahu."
Jimin menggeleng kuat dan membalikkan badan, Taehyung yang memperhatikannya mencoba menahan malu. Tapi Jimin tak peduli, ia terlampau terkejut untuk itu.
Hampir tiap pukul dua dini hari dalam satu kali seminggu Jimin berdiam di hadapan radio miliknya, tak pernah absen pula ia mendengar nama Kim Namjoon disebut di awal siaran stasiun radio itu. Saat ini pun Jimin mulai sadar besarnya sinkronitas yang timbul antara suara lelaki itu dan suara di radionya.
Jimin tak percaya, lelaki yang ada di hadapannya ini adalah penyiar saluran radio favoritnya.
"Aku selalu mendengarkan siaran radiomu!" Jimin berteriak. Namjoon, lelaki itu, berjengit. Taehyung di kursi tunggu pun kehilangan rasa kantuknya.
"Eh? Oh!" Namjoon ikut melebarkan matanya dan kemudian tertawa senang. "Kau mendengarnya? Ah, syukurlah ada yang mau dengar kalau begitu."
"Bisa dibilang, aku ini penggemar setia," Jimin membalikkan badannya dan memposisikan diri senyaman mungkin, kemudian lanjut berkata. "Apa itu legal?"
"Apanya?"
"Itu, siaranmu."
"Legal, pasti. Aku punya surat lisensinya, akan kutunjukan jika kau tidak percaya," ia tertawa lagi, "ya, walaupun gudang rekamannya kecil."
Jimin ikut tertawa, "tidak perlu, tentu saja aku percaya."
"Nah, kalau begitu, apa yang kau inginkan?" Namjoon menepuk bahunya.
"Aku ingin mewarnai rambutku." Berpikir sejenak, Taehyung terlihat memperhatikannya. "Oranye menurutmu bagus?"
"Ya, kupikir begitu. Tapi, memangnya berapa usiamu?"
"Tujuh belas."
"Sekolahmu memperbolehkan untuk mewarnai rambut? Aku tidak mau tanggung jawab jika terjadi apa – apa."
Jimin terdiam, benar juga, pikirnya. Dari pantulan cermin dapat ia lihat Taehyung duduk tegak, lalu berteriak.
"Coklat saja."
.
.
Taehyung jengah, dari berjam – jam yang lalu Jimin tak henti memuji dirinya sendiri di depan cermin kamarnya. Ini tepat pukul satu malam, Jimin memutuskan untuk menginap di rumahnya.
"Aku yang menyarankan warnanya, kau juga harus memujiku."
Taehyung melewati Jimin dan membuka lebar – lebar pintu lemarinya dan meraih mantel di dalam sana.
"Kau mau kemana?" Jimin bertanya, berhenti mengagumi refleksi dirinya di depan cermin. Rambutnya sedikit berkibar ketika melirik Taehyung, mencoba pamer.
"Supermarket."
"Ini sudah lewat tengah malam. Tidak baik berkeliaran malam – malam, kau tahu."
"Ya, aku tahu. Dan aku lebih tahu lagi kalau saja aku ini lelaki tulen, aku bisa jaga diri."
"Apa kau sering keluar malam – malam seperti ini?"
"Tidak. Terakhir kali sudah lama sekali, aku tidak ingat." Taehyung berjalan ke arah pintu kamarnya dan memutar kenop. "Kau harus tahu juga, Jim, kau sekarang jadi cerewet."
Taehyung berjalan keluar, Jimin menahannya dan bergegas meraih jaket miliknya di atas ranjang, "aku ikut."
.
.
Jimin dan Taehyung sama – sama terdiam di depan meja kasir, terdiam dan menahan diri untuk terlonjak. Sejauh yang mereka ingat, terakhir kali wajah keduanya terlihat bodoh seperti ini adalah ketika kunjungan terakhir mereka ke toko itu.
Taehyung menggenggam sebungkus roti gandum, Jimin yang menenteng dua toples selai di tangannya. Taehyung enggan membangunkan sosok yang tertidur di hadapannya, Jimin pun masih sibuk berdiam diri. Keduanya masih sama – sama ingat, sosok yang tertidur di atas meja kasir itu bernama Min Yoongi.
Taehyung sedikit memiringkan tubuhnya ke arah Jimin, berbisik sepelan mungkin. "Sepertinya aku sudah ingat kapan aku bertemu dengan Min Yoongi, Jim. Apa kita perlu memanggilnya hyung?"
Jimin menolehkan wajahnya, matanya melebar. Dalam kurun waktu beberapa jam, dua kali Taehyung melihat bola mata Jimin membuka cuma – cuma. Jika ketika bersama Kim Namjoon, Jimin akan terlihat seperti ekstrimis yangmemanggul semangat patriotis bertubi di bahunya, saat ini ia terlihat tak terima.
Taehyung membela diri, sebelum Jimin memakinya lebih lagi. "Jungkook memanggilnya begitu, apa kita juga harus?"
Jimin tak menjawab, ia lekas memutar arah pandangnya ke sosok Min Yoongi yang masih tertidur. Taehyung terdiam, merasa tertangkap basah.
"Apa kita perlu membangunkannya?"
Taehyung mencoba bertanya, sampai satu menit setelahnya Jimin masih belum menjawab dan kemudian mengedikkan bahu. Ia meletakkan toples selai di genggamannya ke atas meja kasir dengan bunyi benturan keras yang disengaja dan membangunkan sosok lelaki yang sedari tadi tertidur.
Min Yoongi terkejut dan bangkit berdiri, Jimin dan Taehyung pun ikut terkejut. Keduanya mengambil satu langkah mundur dan mencoba bersikap defensif, berjaga – jaga kalau saja nantinya lelaki di hadapan mereka akan bertindak tidak terduga. Selang satu detik tak ada kalimat makian atau semacamnya, hanya sosok Min Yoongi yang membungkuk dan mengusap sudut matanya secara bersamaan.
"Maaf, maaf."
"Ah, ya," Taehyung berucap lirih, meletakkan bungkusan roti gandum di tangannya hati – hati.
Dari tempatnya berdiri, Taehyung memperhatikan keduanya. Jimin yang terus mengikuti pergerakkan Min Yoongi dengan ekor matanya serta Min Yoongi yang sesekali mengerjapkan matanya, masih mengantuk. Taehyung sangat yakin Jimin juga berpikiran sama dengannya, mungkin saja Min Yoongi belum sepenuhnya sadar siapa saja yang berdiri di hadapannya.
Sampai Min Yoongi menyebutkan nominal pembeliannya, ia masih bersikap biasa. Tidak gentar atau marah sama sekali. Karenanya, sembari menyerahkan beberapa lembar uang, Taehyung bertanya. Sedikit ia melirik Jimin yang masih mengatupkan bibirnya rapat.
"Apa kau mengingat kami?"
"Ingat."
Taehyung bergumam sebagai balasan, bibirnya membentuk patron lingkaran. Ketika ia ingin beranjak pergi, Jimin baru membuka suara dan tergesa.
"Apa kau mengingat kami?"
Min Yoongi tak membalas, selama apapun Jimin menunggunya. Ia membungkuk ke arah Taehyung dan berujar terima kasih sebagai kalimat santun terhadap pelanggan.
Jimin di sampingnya merengut, sebelum ia berbicara lagi, Taehyung sudah lebih dulu menariknya ke depan pintu. Sebelum mereka benar – benar keluar, Min Yoongi berteriak dari dalam.
"Rambutmu," ia mengambil jeda, "sangat buruk."
Taehyung tahu betul untuk siapa kalimat itu, hanya saja Min Yoongi tak memandang dirinya ataupun Jimin. Hingga mereka menjauh beberapa langkah dari pasar swalayan itu, Jimin menariknya mundur kembali.
Melalui kaca transparan sebagai sekat pemisah luar dan dalam, Jimin berbisik, "apa dia marah denganku?"
.
.
Ini pukul tujuh pagi, dari sudut pandangnya tak ada orang yang melintas sama sekali. Hanya dua burung gereja yang saling mematuk di atas kabel listrik sepanjang jalan. Melihatnya, Yoongi baru sadar sudah lama ia tak berdoa.
Yoongi berjalan dengan langkah lebar – lebar, ia tak pernah terlalu suka udara pagi hari. Ponsel lipat di saku celananya belum berhenti bergetar sedari tadi, urung mengangkatnya karena ia tahu itu bukan adiknya. Tiap delapan langkah setelah panggilan tak terjawab, ponsel itu akan bergetar lagi. Presisinya tempat sempurna, Yoongi tak percaya okultis jadilah ketepatan frekuensi dering ponselnya adalah hal yang mengagumkan. Tapi ia tak pernah suka itu, bukan karena mengganggu. Hanya saja jika ada kesempatan ia sangat ingin menghindari orang di seberang panggilan itu.
Dua blok lagi, itu rumahnya. Berjarak tiga rumah dari sana, bertempat tinggal Paman Shin, lelaki itu adalah pemilik toko kaset tempatnya bekerja.
Yoongi mengingat lagi, ini pukul tujuh pagi. Jungkook, adiknya, harus berangkat pada pukul delapan nanti. Jangan sampai telat, tak ada jaminan pasti jika nantinya sekolahnya akan memberikan toleransi satu kali. Ia tak tahu pasti apa Jungkook pernah kehilangan poin akademisnya atau tidak, lelaki itu jarang bercerita perihal sekolah kepadanya. Ia pun tak sempat bertanya banyak, waktu – waktu mereka bersama dalam satu hari hanya berkisar beberapa jam.
Ini tahun terakhir Jungkook, setidaknya dirinya dan adiknya itu harus memanfaatkan waktu sebaik – baiknya. Jungkook perlu belajar giat, sekeras apapun Yoongi yakin ia sudah cukup pintar. Yoongi pun perlu bekerja jauh lebih giat, sekeras apapun Jungkook yakin staminanya terkadang sudah tak tahan lagi.
Orangtua Jungkook menetap di Daegu dan mengirim Jungkook bersama Yoongi untuk bersekolah di tempat yang lebih menjamin. Di sana mereka bertani di ladang pribadi, mengemban kultur dari generasi sampai generasi. Tapi orangtua Jungkook jauh lebih modern, mereka tak ingin anaknya berdiam diri dan disengat terik matahari. Mengirimnya pergi untuk ilmu yang lebih tinggi adalah hal yang mulia, dan jadilah Yoongi sukarela menawarkan diri untuk menjadi tulang punggung ekonomi selama mereka di Seoul sebagai balas budi karena sejak kecil keluarga Jungkook telah menampungnya.
Saat itu, ketika Yoongi mendapati Jungkook bekerja di toko kaset Paman Shin, Yoongi marah besar. Ia tak suka jika Jungkook harus membagi fokusnya untuk bekerja. Maka dari itu, ia memaksa Paman Shin untuk menggantikan Jungkook dengan dirinya. Lelaki itu sama sekali tak setuju, ia teguh untuk tetap mempekerjakan Jungkook. Karenanya Yoongi akan jadi jauh lebih teguh lagi untuk memaksa lelaki itu memberhentikan Jungkook. Setelah dua minggu, Paman Shin setuju dan sejak itu pula lelaki itu mulai tak menyukai dirinya.
Ini langkah kedelapan, ponselnya kembali bergetar. Ia merogoh benda itu, tidak mengangkat panggilannya dan hanya melihat waktu yang tertera. Setengah delapan, ketika ia akan berlari untuk cepat sampai ke rumah, dilihatnya Jungkook dari arah berlawanan telah berseragam.
Ketika bersisian, ia menyerahkan Jungkook dua lembar uang, "bawa uang sakumu sesekali dan cobalah naik bus, jangan sampai lelah."
Jungkook mengangguk, Yoongi tersenyum walaupun ia tahu nantinya uang itu akan kembali ke kotak di dalam lemari bajunya. Jungkook ikut tersenyum, ia lekas berbalik dan mengucapkan sampai jumpa. Baru satu langkah, Yoongi menahannya.
"Semalam Kim Taehyung datang berbelanja."
Yoongi tertawa, Jungkook di hadapannya bersemu.
.
.
A/N
Saya mau minta maaf sebelumnya, saya ada pikiran untuk berhentiin fanfic ini. Masih rencana sih tapi semoga aja saya bakal berubah pikiran nantinya. Alasan utama saya karena saya ngerasa saya ga berbakat dalam bikin fanfic chapteran gini huhu dan ya mungkin saya juga ngerasa makin lama cerita ini makin gaada dasarnyadan bosen, iya ga si? Tapi kalo soal itu jujur saya gaterlalu ambil pusing karena emang dari awal fic ini cuma sekedar fic coba – coba, selama pembuatan tiga chapter setelahny smp chapter ini pun bener – bener spontan. Alurnya belum bener – bener saya bikin dari awal, cuma beberapa pikiran dasar yg jadi pegangan saya sampai ch5 ini.
Ohya sekalian saya mau tanya. Ada yang tau dimana saya bisa beli buku haruki murakami (selain Norwegian wood dan 1Q84) tapi yang terjemahan hehe. Di gramedia dekat rumah ada banyak, tapi mayoritas bahasa inggris semua, sedih. Saya gamau ngambil resiko gangerti cerita di tengah jalan kl nekat beli yang bahasa inggris. Oke ini saya mohon banget yang tau tolong kasih tau ya, makasih
–feearch.