Disclaimer: BTS di bawah naungan BigHit Entertainment, seluruh karakter yang muncul di ff ini adalah milik Tuhan Yang Maha Esa dan orangtua masing-masing, saya hanya pinjam nama.

Aku Menemukanmu © Kaizen Katsumoto

Warning: OOC, AU, Typo, Yaoi, R-18, toys, bad language.

.

Summary: Jimin hanya seorang siswa kelas dua SMA yang tak pandai bersosialisasi. Dia pemalu, penyendiri, dan kurang bersahabat. Apakah Kedatangannya ke Seoul dapat merubah sifat buruknya tersebut? YoonMin, slight!TaeMin

.

.

.

Mohon periksa penerangan dan jaga jarak mata anda dari layar saat membaca fanfic ini. Bagi yang merasa di bawah umur atau punya phobia homo bisa meninggalkan tempat ini.

Enjoy!

.

Bagian I

.

.

.

"Perkenalkan, namaku Park Jimin. Kalian bisa memanggilku Jimin. Aku berasal dari Busan. Mulai sekarang, mohon bimbingannya teman-teman!" Pemuda surai hitam pekat membungkuk dalam di depan kelas barunya—XI-A. Satoori Busan terdengar jelas keluar dari bibir mungil berisi.

Park Jimin, putra kedua dari keluarga Park. Dia baru saja tiba di Seoul beberapa hari yang lalu. Karena urusan pekerjaan orangtua dia harus rela meninggalkan sekolah lamanya, memulai semua lagi dari awal. Kalau boleh jujur, Jimin sangat buruk dalam lingkungan sosial. Dia canggung bergaul atau pun memulai pembicaraan, pemalu, penyendiri, sulit mengekspresikan diri, dan bodoh dalam memilih topik. Bahkan sekeras-kerasnya dia berusaha berteman, ia hanya punya seorang teman ngobrol di sekolah lamanya sekaligus di Junior High school.

Jimin duduk saat Seongsaengnim menyuruhnya. Satu-satunya tempat kosong di kelas itu adalah di baris terakhir deret dekat jendela, bersebelahan dengan seorang pemuda berambut orange menyala. Pemuda itu menatapnya datar sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela kelas. Jimin menempelkan pantat di atas kursi kayu, pandangan lurus ke depan pada guru yang mengajar. Tak menyadari bahwa sepasang mata tengah menelusuri tubuhnya dari atas hingga bawah. Teman sebangku Jimin bersiul sangat pelan hingga tak dapat didengar oleh siapapun.

Ketika bel istirahat Jimin hanya duduk sendiri di kelas. Terkadang melamun, kadang memainkan ponsel di tangan. Beberapa siswa lain sudah mengajaknya berkenalan tapi Jimin menanggapinya sangat singkat, jelas, dan padat. Membuat mereka yang mau mendekat merasa canggung—itu memang sifat dasar Jimin. Hal itu pula yang selalu membuatnya dikucilkan, dilupakan, diremehkan, dan tak berharga di mata orang lain. Di sisi lain Jimin acuh tak acuh pada pandangan orang lain, selama mereka tak mengusiknya maka dia juga tak akan mencampuri urusan mereka. Adil bukan?

"Yak! Kenapa kau hanya duduk di kelas? Apa enaknya?" Pemuda itu—teman sebangku Jimin menepukkan sebungkus roti kacang ke kepala Jimin.

Tidak sakit, tapi cukup membuat Jimin meringis kesal. Memandang helai orange mencuat berantakan, mata memicing dan sorot tak bersahabat. "Apa maumu?" Pertanyaan rendah mengudara. Setengah kesal, setengahnya lagi merasa terganggu.

Bukan menjawab, pemuda itu justru menyeringai tipis lantas duduk di samping Jimin seraya menyilangkan kaki angkuh.

Jimin mendengus, mengabaikan seluruh mata teman sekelas yang memperhatikan mereka. Tak kunjung mendapatkan jawaban, membuatnya meradang. "Hei, apa kau tuli? Kau belum menjawab pertanyaanku!"

"Namaku Kim Taehyung. Kau bisa memanggilku V." Sergah teman sebangku Jimin cepat.

Jimin mendengus, tanyanya apa jawabnya kemana. Beberapa teman sekelas wanita cekikikan memperhatikan proses komunikasi mereka. "Kau orang aneh." merasa bodoh, dia berusaha mengalah. Menyerahkan roti yang tadi sempat mengenai kepalanya.

Taehyung menolak, "Itu untukmu."

"Aku tidak butuh." Potong Jimin keras kepala, tapi bertolak belakang dengan suara perut yang tak tahu malu. Taehyung menyeringai lagi mendengarnya, tepat saat wajah Jimin berubah memerah. "Aku akan membayar untuk roti ini."

"Boleh saja," Taehyung memotong, "Dengan menjadi temanku." lanjutnya membuat calon teman barunya hampir tersendak.

Jimin menatap seolah berkata, 'Jadi begini caramu mencari teman?' Taehyung membalas datar. Mereka berdua saling diam. Si anak baru memakan roti tenang tanpa suara. Hanya kunyahan pocky cokelat Taehyung yang meramaikan suasana.

Kedua mata Si Orange terus memperhatikan ke sisi kanan. "Kenapa kau membosankan sekali." Gerutunya tiba-tiba.

Jimin berusaha fokus mengunyah dan menelan. "Terima kasih. Kau juga unik." Tanggapnya sopan.

"Kalau aku jadi kau, aku pasti mati kebosanan." Taehyung lagi.

"Kalau aku jadi kau, aku akan naik ke atap sekolah dan terjun dari sana agar tak mencampuri kehidupan orang lain." Jimin membalas santai.

Taehyung berhenti mengunyah, "Kau tahu di tengah kota ada karnaval siang ini. Mau pergi?"

"No, thanks."

"Kebetulan aku bawa dua helm. Aku ingin melihat beruang di atas mobil karnaval."

Jimin meremas kepalan tangannya, kesal tak dapat dibendung. Sulit sekali bicara satu arah pada orang aneh seperti Taehyung. Menolehkan kepala menatapnya tajam. "Apa telingamu sudah rusak, yak? Kubilang aku tidak mau!"

"Panggil aku V."

Jimin menghela napas, baiklah sabar. "V dengar, aku tak bisa ikut. Selain kita baru berkenalan, aku juga ada les tambahan sepulang sekolah." Menjelaskan pelan agar Taehyung bisa sedikit pengertian. Ekor mata melirik sejenak untuk mendapati tatapan mematikan dari teman sebangkunya.

"Kau sangat-sangat-sangat-membosankan."

"Hah?"

"Apa kau hidup?"

Jimin bingung pada pertanyaan aneh Taehyung. Bukan hanya orang, bahkan pertanyaan pemuda itu juga sangat aneh. bukankah bisa dilihat sendiri? Tentu saja Jimin hidup. "Aku hidup." Jawabnya mantap.

"Tapi kau tidak seperti orang hidup, kau terlalu… kaku—kau seperti robot. Boneka. Mau sampai kapan kau seperti itu?"

Jimin terhenyak. Seumur hidup baru kali ini dia mendengar pendapat orang lain mengenai dirinya dalam waktu beberapa menit setelah berkenalan. Ucapan tak biasa Taehyung ternyata sukses mengganggu pikirannya selama jam pelajaran berlangsung. Mengetuk hati kecilnya yang selama bertahun-tahun dia sembunyikan.

Mau sampai kapan Jimin seperti itu?

Apa itu yang selalu Jimin inginkan?

Perlahan Jimin menyandarkan kepala di atas meja, menoleh ke samping kiri, memandang kursi kosong milik Taehyung. Anak itu membolos sejak jam istirahat. Mungkinkah dia marah karena ajakannya ditolak? Sekarang rasa bersalah menggerogoti nurani kecil Jimin.

Bel pulang sekolah berbunyi. Taehyung yang semenjak tadi ngelayap di atap sekolah akhirnya masuk kelas untuk mengambil tasnya. Matanya membulat melihat Jimin masih duduk anteng di kursinya seorang diri. "Hei Tuan Membosankan, kenapa kau masih di kelas? Bukannya kau ada les?" Berlari kecil menghampiri mejanya, seulas senyuman terukir di bibir tipisnya.

Jimin tak mau mengakuinya bahwa wajah Taehyung yang tersenyum jauh lebih menarik minatnya daripada melihat seringaian pemuda orange itu. "Namaku Jimin. Dan aku izin les hari ini. Bukannya kau mengajakku nonton karnaval?"

Taehyung tertawa renyah, "Kukira kau menolaknya, Chimchim? Kalau begitu ayo!" Belum sempat Jimin mengeluarkan protesan, tangan lebih besar sudah menarik lengannya. Jimin berlarian kecil di belakang untuk mengimbangi langkah panjang Taehyung.

Sebenarnya Jimin tak yakin akan pilihannya, ini kali pertama dia tidak ikut les. Semua karena Taehyung. Pemuda itu telah membuatnya bimbang, bingung pada jalan hidupnya selama ini. Berharap dengan mengikutinya ke karnaval setidaknya dapat memberinya titik terang pada perasaan aneh yang bergemuruh di dadanya. Rasa nyaman yang sudah lama tidak dia rasakan. perasaan menyenangkan, menggelitik hingga membuatnya candu untuk terus menebar senyuman.

Selama perjalanan menaiki motor, Taehyung terus bercerita panjang lebar. Mengeluarkan lelucon aneh yang baru pertama Jimin dengar, senyum canggung tercipta karena Jimin bingung mau tertawa namun sayangnya tidak ada yang lucu.

"KARNAVAL!" Surai orange terbang gemulai ditiup udara panas kota Seoul. Suara nyaring Taehyung beradu dengan keramaian instrumental dan sorak pengunjung. Banyak tontonan menarik di sana. Dari kedua mata awasnya diam-diam dia mengamati perubahan raut wajah Jimin. Pemuda itu terlihat kaget di awal, berubah kagum, lalu menjadi bahagia. "Hebat kan?" nada percaya diri Si Orange.

Jimin mengangguk cepat. Tak dapat menyembunyikan rasa senang. Sudah lama dia tak melihat kerumunan dan keramaian di tempat umum. Terlalu banyak menghabiskan waktu di ruang tertutup bersama buku atau berkutat dengan jadwal les yang padat. Taehyung mengajaknya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menyaksikan berbagai pertunjukan menarik yang baru pertama kali dia saksikan, membuatnya dapat mengubur ketakutan diri.

Suara terompet keras menghentikan percakapan Taehyung dan Jimin yang sedang istirahat sambil menikmati es krim cokelat.

Tubuh menegak. "Itu beruangnya! Aku harus melihatnya!" Pemuda lebih tinggi segera berlari menjauhi bangku tempat mereka istirahat.

Jimin kelabakan dibuatnya, kaki otomatis ikut terpacu demi mengejar Taehyung. Pemuda itu berusaha keras menerobos lautan manusia yang juga bekeinginan melihat beruang. Bukan sembarang beruang karena binatang itu adalah icon dari karnaval tersebut.

Tubuh Jimin terombang-ambing ke sana kemari. Tak dapat lagi mengimbangi sosok Taehyung yang sudah hilang ditelan kerumunan massa. Membuatnya pusing terseok-seok hingga tenggelam dalam arus. Berpikir, sepertinya pilihan telah membolos les adalah kesalahan, harusnya dia berangkat, maka semua ini tak akan pernah terjadi. Menyesali semua itu kini dia pasrah. Wajahnya memucat, perutnya mual terkocok.

"Hei kau tak apa-apa, bocah?" Jimin menoleh menuju sumber suara.

Di belakangnya muncul sosok pemuda tak dikenal, surai cokelat kemerahan menyala menarik perhatiannya. Segera sebuah gelengan lemah menjadi jawaban. "Kau mau keluar dari sini?" Jimin mengangguk cepat. Orang asing itu mengulurkan tangannya yang putih pucat. "Pegang tanganku, akan kukeluarkan kau."

Tanpa perlu berpikir dua kali, tak peduli apakah yang dikatakan pemuda tak dikenal itu nyata atau imajinasi, Jimin langsung memegang tangan itu. "Keluarkan aku... kumohon..." entah kenapa ia merasa takut.

Baginya Seoul adalah tempat baru dan asing, sangat luas, dan tak ada seorang pun yang dia kenal. Ini mengingatkannya pada kenangan buruk di masa lalu ketika genggaman tangan ibunya terlepas saat berbelanja di mall. Waktu itu Jimin kecil terlalu girang memperhatikan jejeran mainan di balik kaca bening hingga tanpa sadar genggaman tangan mungilnya terlepas dari Sang Ibu dan terpisah. Yang bisa dilakukan Jimin kecil kala itu hanya menangis, menangis sendirian sampai ditemukan oleh seseorang tak dikenal yang mengantarkannya kembali pada orangtuanya. Semenjak itu Jimin selalu menghindari kerumunan namun kali ini dia melakukan kesalahan besar karena mulai percaya pada Tehyung—teman pertamanya di Seoul.

Sama seperti kala itu, saat ini Jimin ingin menangis. Titik demi titik turun dengan pasti membobol bendungan mata, melemahkan pertahanan rapuhnya. Pergelangan tangannya memerah oleh cengkeraman, ditarik mengarah menjauhi orang-orang sampai tiba di depan sebuah mobil sport putih—milik pemuda yang telah menolongnya.

Pemuda asing itu mengeluarkan kunci mobil lalu membukakan pintu untuk Jimin, menanyakan nama serta tempat tinggalnya hati-hati tapi tak ada jawaban. Jimin masih terisak, duduk di sebelah Sang Penolong yang mengetukkan jemarinya di atas stir mobil. Meremas helaian cokelat kemerahan sembari menarik napas sabar. Menunggu hingga Si Mungil berhenti menangis.

"Kau aman sekarang, jadi kau bisa berhenti menangis." Pemuda asing itu kembali membuka suara. Dia tahu bertanya pada orang yang kalut tak akan menghasilkan apapun, maka dia lebih memilih membuat lawannya tenang terlebih dahulu. Memberikan rasa aman jelas akan membantunya. "Namaku Min Yoongi. Aku mahasiswa semester dua. Aku tahu semua jalan Seoul dan aku bisa mengantarkanmu pulang segera." Ujarnya berusaha seramah mungkin.

Mendengar itu Jimin mulai mengusap kedua mata sembabnya, berhenti terisak—tepat seperti rencana Yoongi. Kedua manik legamnya menangkap sosok penolong yang tengah memandangnya intens.

"Kau ingin pulang sekarang?" Tanyanya. Sebuah gelengan kepala lambat menjadi balasan, membuat alis Yoongi berkerut bingung. "Lalu kau mau kemana?" Kembali sunyi.

Yoongi lama kelamaan bosan juga dibuatnya, menyandarkan kepala, pandangan tak lepas dari pemuda raven di sampingnya. Tubuh gemetar, tertangkap jelas di mata Yoongi, raut ketakutan terpancar dari kedua iris legamnya.

Yoongi mendesah kasar, merasa tak ahli menangani hal sensitif. Dia sendiri sekarang bisa dikatakan dalam mood buruk. Mengingat beberapa jam lalu kekasih wanitanya memutuskan hubungan dengan alasan Yoongi terlalu cuek dan tak mengerti perasaannya. Bohong bila Yoongi baik-baik saja karena hubungan yang mereka jalin sudah sejak duduk di bangku Senior High School. Karnaval kota Seoul menjadi saksi kehampaan seorang Min Yoongi. Miris ia kembali menyandang gelar jomblo di usia 19 tahunnya.

Lamunan Yoongi pecah saat merasakan berat gravitasi menimpa bahu kirinya. Menoleh untuk mendapati Si Mungil telah menyandarkan kepala di pundaknya, tangan pendeknya memeluk leher belakang dan dada Yoongi, kepala hitamnya menunduk, wajah tersembunyi oleh helaian poni pendek. Yoongi tersentak pelan tapi dia sadar pemuda itu mungkin hanya membutuhkan rasa aman. Maka secara naluri tangan Yoongi mengusap helai-helai kelam Si Pemuda Mungil, berusaha menenangkannya.

Secara perlahan gemetar di sekujur tubuh mungil itu mereda. Yoongi bisa merasakan bulir keringat membasahi telapak tangan ketika menyentuh dahi pemuda itu. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa Si Mungil mungkin mempunyai suatu trauma dan kini trauma itu telah dipicu oleh suatu hal.

Yoongi bukan psikolog, hanya seorang mahasiswa jurusan sastra. Namun sedikit banyak dia tahu mengenai beberapa penyakit mental karena sering membaca buku milik ayahnya yang merupakan seorang dokter. Tangannya mengusap perhatian helai hitam lembut seolah makhluk di sampingnya adalah sosok paling rapuh di dunia.

"Uhh… Hueek—"

Dan suara itu sukses menghempas Yoongi dari dunia imajinasi. Kepala yang sebelumnya bersandar di bahu kirinya bangkit, kedua manik legam menatapnya lucu dan polos. Kemudian barulah Yoongi menyadari ada sesuatu hangat basah merambati lengan bajunya, sesuatu yang tak enak serta menjijikkan.

"M-maafkan aku, Yoongi-ssi..." Si Mungil mengucapkan kalimat pertamanya, suaranya kecil, cukup merdu dan memanjakan telinga.

Namun bukan berarti itu membuat Yoongi langsung melupakan perbuatannya yang telah berani menodai lengan bajunya. Ingin Yoongi mengamuk saat itu juga tetapi otaknya masih cukup waras agar tak membuat pemuda di sampingnya bergidik ketakutan. "Pakai sabuk pengamanmu." Kalimat itu terucap cepat tanpa bantahan.

Dengan segera Si Mungil memakai seat beltnya. Wajah tegang, takut Yoongi akan memarahinya. Dia ingin kembali meminta maaf namun terhenti tiap melihat wajah datar Yoongi yang terus menatap lurus ke depan, seolah tak ada yang bisa mengacaukan konsentrasinya pada jalanan ramai kota Seoul. Urung membuatnya meminta maaf, takut-takut malah membuat Yoongi semakin emosi padanya. Rasa cemas hinggap di otak kecilnya, terlebih tak tahu jalan serta kemana Yoongi akan membawanya. Jemari kecilnya meremas gusar ujung baju seragam yang sudah basah, kumal, dan juga bau.

Tak terasa mobil sport putih itu berhenti. Si Mungil mengerjapkan matanya saat mendapati sebuah bangunan asing berdiri kokoh tepat di hadapannya. Kedua maniknya beralih memandang Yoongi yang entah sejak kapan sudah keluar dari mobil, beranjak membukakan pintu untuknya.

"Keluar!"

Pemuda lebih pendek menurut, bergerak cepat keluar dari mobil. Langkah kaki mungil mengikuti Yoongi memasuki bangunan sebuah apartemen. Tempat asing itu membuatnya bergidik ngeri, menciptakan spekulasi buruk yang terus menghantui pikirannya.

Saat Yoongi membuka salah satu pintu apartemen, aroma lavender menenangkan menyapa indra pencium. Yoongi masuk terlebih dahulu disusul Sang Tamunya. Pemuda mungil itu mengedarkan pandangan kedalam apartemen minimalis yang didominasi warna putih dan abu-abu, pintu tertutup diikuti suara kuncian membuatnya terlonjak kaget.

"Lepas bajumu." Suara Yoongi mengudara. Tatapan serta nada datar. Sontak membuat tamunya otomatis menyilangkan kedua tangan sambil memeluk dirinya sendiri—membuat gestur seolah sedang mendapatkan sebuah pelecehan seksual.

"A-aku tidak m-"

Belum sempat kalimat itu terlontar utuh, kedua matanya kini membulat menatap Yoongi yang melepas bajunya hingga topless tanpa tahu malu. Memperlihatkan dada bidang putih pucat serta otot perut setengah sempurna. Segera Sang Tamu mengalihkan pandangan, menunduk melihat kaki mungilnya yang mulai gemetaran, wajahnya merah padam.

Apa yang harus kulakukan? Tanyanya dalam hati. Dia bahkan tak bisa lari jika kakinya gemetaran, jatuh dan terjerembab adalah pilihan menyakitkan. Jadi dia tak akan bisa kabur, apalagi kalau pintunya sudah dikunci.

"Apa yang kau tunggu, bocah?" Tak sabar maka Yoongi mendekat, "Kau ingin aku yang melepas bajumu?" Pertanyaan itu sukses membuat Sang Tamu langsung mundur teratur.

"K-kumohon... jangan sakiti aku... j-jangan memperkosaku..." ucap Sang Tamu terduduk, meringkuk di atas lantai ketakutan.

Yoongi tercengang mendengarnya. "Memperkosa kau bilang?" Ujarnya sarkas, "Aku masih normal. Darimana kau mendapatkam pemikiran konyol begitu?"

Sang Tamu mengerjap, memandang Yoongi polos. "L-lalu itu tadi?"

"Hah? Apa? Aku hanya menyuruhmu buka baju untuk mandi dan ganti pakaian sebelum kau sakit." Yoongi jengah.

Sang Tamu memiringkan kepala diikuti bentuk mulut 'o' bulat, secara natural terlihat menggemaskan di mata Yoongi. Sayangnya pemuda judes itu masih punya rasa pada mantan kekasih wanita yang telah memutusnya beberapa jam yang lalu. Dengan cepat Yoongi membimbing tamunya ke kamar mandi, sementara dirinya hanya berganti baju—terlalu malas mandi. Ya, Yoongi akui dia pemalas akut.

Kedua tangannya kini sibuk membuka lemari pakaian demi mencari sepotong baju yang sialnya semua lemarinya kosong, dia ingat belum mengambil cucian di tempat laundry. Kemarin dia terlalu sibuk goleran dan mager. Oh, betapa malasnya seorang Min Yoongi.

Yang tersisa di dalam lemari pakaiannya hanya selembar seragam basket tanpa lengan dan sebuah baxer bergambar teddy bear di pantat—berani bersumpah itu adalah hadiah ulang tahun dari ibunya, jika tidak pasti sudah dia lempar ke tong sampah. Yoongi mendesah, tak lupa bersumpah serapah entah pada siapa.

Suara keran mati dari arah kamar mandi menghentikan kekalutan Yoongi. Segera langkahnya terpacu menghampiri kamar mandi, menyerahkan pakaian sisa pada tamunya lewat pintu yang sedikit terbuka. Terdengar suara pekikan dari dalam, Yoongi berusaha tak acuh. Tanpa kata ngoloyor ke dapur untuk membuat makanan.

Yoongi membuka kulkas dua pintu, tumpukan mie instant menyapa pengelihatannya. Dia terlalu malas memasak, jadi mie instant adalah pendamping hidupnya selama beberapa tahun terakhir. Menuang air mendidih dari ketel ke dalam gelas kardus lalu membuka bungkus-bungkus bumbu secara cekatan. Tak menyadari sepasang mata hitam tengah memandanginya dari belakang dalam diam—tak berani mendekat.

Yoongi sadar akan keberadaan tamunya saat berbalik hendak membuang bungkus bumbu mie. Dia terdiam cukup lama menatap pemuda mungil yang sudah bertransformasi. Kepala pemuda itu menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Entah kenapa Yoongi ikut mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu hal aneh memicu detak jantungnya sedetik lebih cepat.

Yoongi mendekati tamunya setelah selesai membuang sampah, tangannya meraih punggung lawan dan membimbingnya menuju meja makan. Mengabaikan penampilan Sang Tamu dengan balutan seragam basket kebesarannya -kaos tanpa lengan tipis- yang bernomor punggung 11 serta nama Yoongi yang tercetak jelas di atas nomor punggung, bagian bahunya melorot, menampilkan tulang selangka yang tercetak tegas serta lengan mungil berisi. Tak lupa sepasang paha porselen tanpa cacat yang membuat Yoongi harus meneguk ludah kasar.

Yoongi menggelengkan kepala kuat, Kali ini meyakinkan diri bahwa ia(masih) normal. Pandangannya berusaha fokus pada mie instant di tangan. Di sampingnya pemuda mungil ikut menikmati bagiannya, memakan mie lahap tanpa suara. Keduanya sama-sama diam, sibuk mengisi perut masing-masing hingga setengah jam lebih.

Yoongi membuang sampah tempat mie, di belakangnya Sang Tamu terus membuntuti seperti seekor anak ayam kehilangan induknya. Langkah pemilik rumah berhenti tiba-tiba, badan berbalik cepat membuat tamunya tanpa sengaja menabrak dada lawan.

Pemuda mungil memekik pelan, mengelus hidung, kepala agak mendongak untuk menemukan Yoongi yang telah menatapnya datar. "M-maaf..." ia menggigit bibir bawahnya ketakutan.

Yoongi menghela napas, membawa lengan kecil menuju ruang tengah, duduk berdua di atas sofa abu-abu tanpa motif. Sekarang Yoongi menatap pemuda kelas dua SMA itu intens. Yang ditatap langsung menundukkan kepalanya dalam. Tak diduga tangan Yoongi mengusap helai hitam pekat itu. Terkejut karena tak ada bentakan atau pun luapan emosi seperti bayangannya, Si Mungil akhirnya mendongak. Pandangan mereka beradu, hitam dan kecokelatan melebur dalam kediaman lumayan lama hingga pertanyaan itu menghentikan aksi tatapan dalam.

"Apa aku membuatmu takut?"

Pemuda mungil ragu antara menggeleng dan mengangguk. Orang asing seperti Yoongi tak ayal memang terlihat menyeramkan dan membuatnya ngeri tetapi entah mengapa dia justru merasa aman bersamanya.

Yoongi paham akan jawaban pemuda itu, bukan rahasia umum lagi jika dia memang terlihat galak, bahkan sering dikatai judes dan tanpa hati oleh teman-teman kampusnya. Tapi peduli setan! Yoongi hanya melakukan hal yang dia mau, tak peduli apa kata orang. Selama tak ada yang melanggar privasinya maka dia akan aman terkendali.

Dan pertemuannya dengan Si Mungil tanpa sadar telah merubah sesuatu yang penting dalam diri Yoongi. Ini baru pertama kali mereka bertemu tapi pemuda itu bisa meluluhkan sifat tak sabaran pada diri Yoongi. Buktinya Yoongi rela menahan diri sejak tadi. Jika dia adalah Yoongi yang biasa entah sudah berapa kali dia akan menendang barang terdekatnya.

"Umm... maaf aku sudah merepotkanmu, Yoongi-ssi."

Yoongi tersadar, tak menyahut. "Daripada itu, aku belum tahu siapa dirimu."

"Ah!" Pemuda di samping Yoongi memekik pelan, meruntuk dalam hati karena melupakan sesuatu hal penting yang harus dia lakukan jika bertemu dengan orang yang telah menolongnya—memperkenalkan diri. "N-namaku Jimin. Park Jimin. Aku berasal dari Busan." Ujarnya gelagapan tanpa sadar satoorinya terdengar sangat kental membuat Yoongi hampir tersendak kaget. Detik berikutnya dia tertawa renyah.

Jimin menautkan alisnya, menatap lawan tanpa berkedip. "Apa aku berbicara hal yang salah?"

Yoongi menggeleng setelah berhasil meredakan tawa. "Kau sangat lucu, Jimin-ah."

"Ani... aniya..." Jimin menggelengkan kepala cepat memberi penolakan, baju di bahunya semakin melorot, Yoongi berusaha tak acuh.

Tanpa sadar mereka berdua berbicara panjang lebar. Jimin berbicara paling banyak, itu adalah pertama kalinya dia bisa bicara lancar pada orang asing yang baru pertama kali dia temui. Sedang Yoongi terus memperhatikan cerita Jimin, pandangannya tak pernah lepas dari pemuda mungil di sampingnya. Dia merasa sosok Jimin bukanlah orang asing untuknya—seolah mereka sudah saling bertemu di kehidupan sebelumnya. Ia menyuruh Jimin memanggilnya hyung karenanya dia tak perlu sungkan pada Yoongi.

Cerita di antara keduanya berhenti saat Jimin tiba-tiba menguap. Yoongi menoleh pada jam dinding yang menyentuh angka 11 malam. "Kau sudah mengantuk?" Tanya yang lebih tua seraya mengusak rambut depan Jimin, mengangguk sebagai balasan, jemarinya mengucek mata setengah sadar.

Yoongi menggendong pemuda itu menuju kamarnya. Beruntung dia anak basket yang sering latihan, jadi mudah saja membawa Jimin ala bridal. Pemuda itu berbisik di dekat telinga Jimin, menyuruhnya untuk berpegangan agar tidak jatuh. Menggunakan setengah kesadaran, kedua tangan mungil itu segera memeluk leher Yoongi dengan cepat.

Selimut sudah terpasang apik membungkus Jimin dari kaki sampai dada. Yoongi segera bangkit menuju ruang tengah namun tangan Jimin menghentikan langkah pemuda itu sampai menoleh, mendapati Jimin tengah memandangnya disertai mata sayu. "Yoongi-hyung, maukah kau tidur bersamaku malam ini?" Jimin bertanya.

Nada suaranya terdengar seduktif dan menggoda. Yoongi merasa hal itu buruk tetapi malam itu perasaan dan tubuhnya tak mau singkron. Pada akhirnya dia naik juga ke atas kasur, menidurkan diri tenang di samping Jimin. Balutan selimut tebal menutup kedua tubuh mereka.

Yoongi hampir memejamkan kedua matanya sebelum tangan itu merayapi perutnya di dalam selimut. Seketika mata Yoongi terbuka lebar. Apalagi saat merasakan tangan itu terus turun menuju selakangan lalu meremas sesuatu yang membuatnya sadar sepenuhnya.

Dengan cepat Yoongi mencengkeram tangan mungil yang telah berani bermain di area terlarangnya. Matanya kini tajam menatap pemuda mungil yang tersenyum polos. Jimin melawan, melepaskan cengkraman Yoongi dari pergelangan tangannya. Tubuh mungilnya dengan cepat menindih Yoongi, duduk di atas perutnya, dan memerangkap kedua tangan pemilik rumah di sisi kiri dan kanan kepalanya.

"Apa maumu?" Suara Yoongi terdengar rendah, menekan amarah serta penuh ancaman.

Jimin malah menyeringai senang mendengarnya, mendekatkan wajah di depan Yoongi sembari menggesekkan selakangan di atas perut lawan. Suara desahan merdu terdengar.

"Brengsek." Yoongi mengumpat.

"Hyung... tidurlah bersamaku..." Jimin mendesis. Wajah Yoongi menegang, saat itu pula dia merasakan sesuatu yang keras menyembul di atas perutnya.

Sial sial sial.

Yoongi tak mampu menahan diri lebih lama, maka dibaliknya posisi mereka hingga Jimin sepenuhnya berada dalam tawanannya. Pemuda mungil itu tersenyum penuh kesenangan, seolah merayakan keberhasilannya mengundang Yoongi. "Hyung... jamah aku..." pintanya setengah menahan napas. "Aku akan memuaskanmu... ayolah..." tubuhnya menggeliat di bawah kungkungan lawan.

"DIAM!" Yoongi membentak kasar, membekap Jimin dengan ciuman. Giginya ikut ambil bagian melumat bibir tebal kemerahan kasar.

Jimin memejamkan matanya pasrah, sebuah lenguhan menciptakan rongga—kesempatan yang dimanfaatkan lidah liar Yoongi untuk menjajaki area mulutnya seenak hati. Desahan tertahan menguar, saliva menetes dari sudut bibirnya kala tak kuat mengimbangi permainan lidah yang kian lama semakin gesit menjelajahi mulutnya kasar. Jimin menghentak meminta belas kasih.

Tak dapat dipungkiri, senakal apapun Jimin dia tetap akan kalah dari Yoongi yang sudah sering bermain lidah bersama kekasih wanitanya setiap malam. Bahkan bisa dikatakan hubungan mereka sudah jauh lebih intim layaknya sepasang suami istri. Karenanya Yoongi merasa terpukul saat kekasihnya meminta putus. Namun sebaliknya, bagi Yoongi ini adalah pertama kalinya dia berciuman dengan sesama lelaki.

Jimin berhenti melawan, baik tenaga maupun oksigennya sudah terkuras habis. Membiarkan Yoongi terus mengeksplor dan memainkan isi mulutnya tanpa memberikan perlawanan berarti.

"Hanya seperti itu saja kemampuanmu? Min ho bahkan bisa lebih baik dari ini." Yoongi membakar, Jimin terengah saat tautan bibir mereka terlepas. Sebuah tangan mencengkeram dagu, membuat Jimin sedikit mendongak, menatap tepat di mata lawan. "Bagaimana bisa kau memuaskanku dengan tubuh lemah seperti ini?" Bisik Yoongi seduktif.

Kedua manik legam itu memandang sayu, sedikit berkaca. Jimin menggigit bibir bawahnya yang lecet akibat lumatan lawan.

"Apa yang bisa kau banggakan hah? Selakanganmu? Kau bahkan hanya punya satu lubang! Kau kira itu sudah cukup untuk memuaskanku?" Deret kalimat itu terucap pedas di atas bibir tipis pucat tanpa belas kasih.

Jimin terisak pelan, kedua matanya berair yang langsung ditutupi oleh punggung tangan. Suara tangisan menguar berikutnya. Yoongi masih berdiam diri di atas Jimin dengan tumpuan kedua lutut dan tangannya. Detik itu ia sadar meski bagaimanapun juga pemuda mungil itu masih seorang bocah. Awalnya Yoongi hanya berniat menguji nyali pemuda itu karena sudah berani menindihnya. Tapi nyatanya bocah tetaplah bocah. Memang dia terkejut saat Jimin menggodanya seduktif tapi menurutnya masih terlalu cepat bagi Jimin untuk menginjakkan kaki di dunia dewasa.

Perlahan Yoongi mengusap helai hitam Jimin. Mengecup pucuk kepalanya lembut, menarik kedua tangan yang menutupi mata sembab. Mengecup kedua mata itu, menjilat air matanya tanpa ragu. Kecupan semakin turun mengenai pipi lalu hidung hingga berakhir di bibir.

Jimin meremas pundak Yoongi, menatapnya lurus, kali ini penuh keyakinan. "Yoongi-hyung, kumohon... tidurlah bersamaku malam ini..."

Yoongi mendesah, salut juga atas sikap keras kepala Jimin. "Sebenarnya kau tak ingin tidur denganku kan?" Tanyanya, "kau berkata begitu hanya karena penismu tegang di bawah sini dan kau membutuhkan sesuatu untuk memuaskanmu?" Seringai kecil.

Jimin menggelengkan kepalanya. "Tidak, hyung! Aku sungguh menginginkanmu-"

"Diam." Potong Yoongi menginterupsi. "Kalau hanya membantumu, akan kulakukan. Jadi jangan buat aku emosi lagi."

Jimin menciut, memekik kaget ketika celana boxernya dijamah dari luar. Miliknya yang tegang dan tercetak jelas di bawah bungkusan kain tipis diremas pelan, desahan nikmat tak mampu dibendung saat merasakan sentuhan fabric mengenai bagian sensitif. "H-hyung... ah!"

Tempo permainan tangan Yoongi meningkat, membuat ereksi lawan semakin basah oleh cairan precum. Tanpa menunggu kesiapan Jimin yang masih memejamkan mata, ia menarik turun boxer sekali hentak. Mempertontonkan benda mungil keras mengacung tegak ditambah luluran cair bening.

Yoongi melahap milik Jimin tanpa keraguan. Wajah serius, ujung lidah bergerak cepat memanja pucuk ereksi, membuat pola memutar di sana lalu menghisap kuat. Tubuh Jimin bergetar seketika, pahanya mengapit reflek kepala Yoongi yang bermain di selakangannya. Tangan mungil tak bisa diam, meremas helaian cokelat kemerahan penuh gairah.

"Hwaah~ hyung... Yoongi-hyuung~!" Ucapnya di antara desahan, tak tahan dengan tempo oral Yoongi seolah menerbangkannya hingga ke awang-awang. Matanya terpejam erat diikuti desahan panjang seraya memanggil nama Yoongi kencang. Tubuhnya bergetar hebat sebagai pertanda dia telah melewati klimaks pertamanya.

'Oh cepat juga.' Yoongi memuntahkan cairannya, sebagian lagi tertelan karena terlambat menarik diri. Dia mendecak kasar seraya terbangun dari posisinya. Jimin menarik bajunya, menatap dengan pandangan sayu terbakar napsu disertai napas terengah-engah.

Melihat tatapan itu membuat Yoongi yakin bahwa Jimin masih belum menyerah walau dia tahu tubuh kecilnya berkata sebaliknya. Dari ekor mata dia memperhatikan Jimin yang sudah terkulai lemas dibubuhi keringat panas membasahi sekujur tubuhnya.

"Yoongi... hyung... ku... mohon..." lirihnya, "aku akan memuaskanmu..."

Yoongi bergeming. Tak mengerti mendapat dorongan dari mana namun kedua tangannya mulai bergerilya di balik seragam basket Jimin, menyentuh tonjolan cherry di kedua dadanya hingga menimbulkan pekikan merdu. Jimin berusaha menggigit bibirnya, menghentikan desahan yang sudah tak terbendung, kedua tangannya mengalung di leher lawan, menariknya untuk mempertemukan bibir.

Yoongi menolak. "Singkirkan tanganmu, Jimin!" Perintahnya mutlak. Jimin melepas pelukan di leher Yoongi. "Taruh kedua tanganmu di atas kepala dan jangan berani merubah posisimu tanpa perintah dariku atau kuhentikan sampai di sini kegiatan kita." Yoongi mendesis mengancam.

Jimin menelan ludahnya, kedua tangannya menurut ditaruh di atas kepala. Mengunci diri sendiri tanpa pengikat apapun. Dalam hati dia merasa kesenangan, tubuhnya semakin panas bergejolak setelah mendapat tegangan dari tiap ucapan Yoongi yang seperti mantra memabukkan. Seperti aphrodisiac yang tak dapat ditolak.

Jimin menggeliat saat kausnya dinaikkan. Yoongi melahap rakus kedua puting mungilnya bergantian. Memberi serangan berupa hisap, lumat, dan gigit bergantian secara berulang.

"Akh! Y-yoongi hyung... uwaah~!" Tubuh itu menggelinjang tak bisa diam, jemari Yoongi masuk ke dalam mulutnya, mengobrak-abrik isinya, bermain dengan lidah lawan, saliva bercecer berantakan sampai Jimin bungkam dalam desahan tertahan. "Ahm... ummph..." Jimin memejamkan matanya. Melenguh ketika lidah Yoongi menelusuri perutnya dan bermain di pusar. Menggigit bagian itu, menciptakan noda kemerahan di sana-sini.

Yoongi mengelurakan jarinya dari mulut Jimin, membuatnya dapat bernapas lega sejenak namun kembali harus dibungkam oleh bibir lawan. Lidah Yoongi menelusup memasuki mulutnya, mengabsen deret gigi rapi serta menyapu langit-langit gesit. Jimin tak bisa mengimbangi, hanya bisa melenguh menikmati.

Sebuah pekikan tertahan menjadi awal dimulainya aksi tangan Yoongi. Pemuda itu tanpa aba-aba menusukkan satu jari ke dalam lubang Jimin. Menggalinya perlahan sambil menunggu lawan menyamankan diri. Tubuh Jimin gemetar, kedua tangannya saling meremas di atas kepala, tak berani mengubah posisi sesuai perintah Yoongi. Kakinya semakin melebar untuk mengurangi rasa sakit yang menjalar.

Yoongi tersenyum, kembali memasukkan jari kedua lalu ketiga, kemudian ketiga jari menggeliat liar di dalam tubuh Jimin. Bergerak memutar-zigzag-menusuk seolah sedang mencari sesuatu. Yoongi tak mengerti apa yang sedang dia lakukan. Ini pertama kalinya dia menyetubuhi seorang lelaki dan ini akan menjadi kenangan tak terlupakan seumur hidupnya. Pakaiannya masih lengkap, semenjak tadi bahkan penisnya tak tegang sama sekali.

Itu menjadi bukti konkrit bahwa ia (masih) normal. Namun begitu melihat keadaan Jimin yang sudah kacau tak dapat dipungkiri bahwa itu membuatnya sempat merasa horny di awal. Yoongi turun, menjamah leher jenjang Jimin, mengecup dan melumat hingga menimbulkan tanda merah dari satu bagian ke sudut bagian lain. Kepala Jimin mendongak, membiarkan Yoongi puas menandainya. Pemuda itu memejamkan mata erat, terlalu malu melihat keadaannya sendiri serta tubuh Yoongi yang telah menguasainya.

Desahan seksi tercipta. Yoongi terkejut mendengarnya, begitu pula Jimin yang langsung mengatupkan rapat-rapat mulutnya. Yoongi menyeringai. Jarinya bergerak, kembali menyentuh di titik sama seperti sebelumnya di dalam Jimin.

Desahan itu sekali lagi mengudara, Yoongi tergelak berhasil menemukan sweetspot pemuda itu. Dengan seenak hati, jarinya menekan titik itu terus menerus, membuat Jimin yang ada di bawahnya menggelinjang liar seperti kesetanan.

"Hyung... tid... akh... jang...anh... di situ... teru...ssh... hen...ti...kanh... AH-! Hahh...~"

Yoongi tak berhenti, justru menyeringai. Terlebih saat melihat ereksi Jimin bangkit dengan cepat setelah melewati klimaks pertamanya. "Berhenti? Jangan munafik, lihat betapa basahnya kau di bawah sini." Sebelah tangan Yoongi mengelus kejantanan pemuda mungil yang sudah dilumuri cairan bening precum lagi.

Jimin menggelengkan kepala, mulutnya terbuka mengeluarkan desahan liar saat merasakan tempo jemari Yoongi semakin cepat keluar-masuk di dalam tubuhnya, menghujam tanpa ampun. "Aku akan klimaks kalau kau tak berhenti hyung..." rintihnya

"Oh? Kau bisa klimaks hanya dengan jari? Lihat betapa mesumnya dirimu, Jimin."

Jimin menggigit bibir bawahnya, "Ku...moho...nhh... Yoongi... uhh... hyungh... biark…anh… aku… merasakanh…mu… ah~!"

Yoongi diam beberapa saat, "Baiklah, dengan satu syarat." Ia mengeluarkan jari dari tubuh Jimin, membisikkan sesuatu kemudian bangkit dari kasur untuk menghampiri lemari pakaiannya.

Sementara wajah Jimin merah padam, tubuh menungging dengan jari memasuki manholenya. Dia mendesah, menatap Yoongi yang sedang melepas kaosnya. Mengambil sesuatu dari dalam lemari pakaian. Jimin tak dapat melihatnya dengan jelas saat matanya sudah berkabut. Tahu-tahu Yoongi sudah kembali mendekati ranjang. Tangannya membawa sebuah bola getar berwarna pink lucu.

Tangan Yoongi menjamah pantat padat Jimin, meremas bongkahan kenyal berisi seraya berdecak kagum. Tak pernah mengira akan menemukan pantat lelaki yang mirip pantat kenyal wanita, bahkan dia meremas penuh napsu sepasang pantat lelaki itu.

Yoongi menyingkirkan jari Jimin yang melakukan foreplay pada analnya. "Taruh tanganmu di atas kepala seperti sebelumnya, bocah nakal." Desisnya berpura-pura kesal. "Kau perlu didisiplinkan."

Yoongi memasukkan vibrator ball ke mulut bawah Jimin. Satu sukses masuk. Yoongi kembali memasukkan bola kedua dan tiga. Tubuh Jimin terus bergerak tak bisa diam. Mulutnya menggigit keras bantal di bawahnya, kedua tangan meremas sprei putih tanpa motif gemas, kedua lutut yang dijadikan sebagai tumpuannya mulai gemetar. Terlebih saat Yoongi menekan remote aktif di vibratornya. Seketika itu pula tubuh Jimin ambruk di atas kasur. Mainan itu mengirimkan aliran getar yang sayangnya tepat di titik paling sensitif. Membuat adik kecilnya yang sudah sangat tegang menyemburkan cairan putih kental di atas kasur, tepat setelah tubuhnya ambruk.

Penderitaannya tak berhenti sampai situ karena Yoongi justru menambah getaran di ketiga vibrator yang sudah tertanam seutuhnya di dalam tubuh Jimin. Pemuda itu membuka mulutnya, suara desahan mengalun lemah tanpa henti. Liurnya menetes membasahi bantal. Tubuhnya lemas, matanya semakin berkabut. Detik berikutnya kesadaran sudah menjauhi Jimin.

Si Mungil tertidur di tengah permainan. Yoongi menyadari hal itu hanya mampun tertawa dalam hati. Mungkin itu adalah pertama kali Jimin bermain dengan toys sex dan semua sesuai perkiraan Yoongi karena dia tak perlu repot-repot turun tangan. Ia meraih kabel yang menghubungkan vibrator ball, menarik untuk mengeluarkan mainan itu. Mengambil selimut untuk menyelimuti pemuda lebih muda. Kemudian dirinya keluar dari kamar menuju ruang tengah. Jemarinya menekan layar ponsel cekatan.

"Hobie, ini aku Suga. Bisa kau ambilkan cucianku di tempat laundry besok? Sekalian tolong kau bawakan seragam SMA-ku. Baiklah. Thanks." Sambungan telpon terputus, Yoongi selesai memakai kembali kaosnya. Merebahkan tubuhnya di atas sofa untuk menyapa mimpi indah.

.

.

.

Tangisan lirih terdengar samar, tertimpa oleh keramaian orang-orang yang berlalu lalang di seluruh penjuru mall. Bocah berusia lima tahun meringkuk ketakutan di depan sebuah toko mainan berkaca bening. Suaranya serak terlalu banyak meneriaki nama ibunya.

"Eomma… hiks… eomma dimana? Chimin takut, eomma…"

Namun siapa peduli? Semua orang disibukkan oleh kegiatan mereka masing-masing, bahkan mungkin tak menyadari ada seorang bocah meringkuk sendirian di sana. Bocah itu masih sesengukan, harusnya itu adalah hari bahagia baginya karena kedua orangtuanya mengajaknya berbelanja bersama di mall tetapi justru menjadi hari terburuk dalam hidupnya saat tanpa sengaja pegangan di tangan ibunya terlepas. Kini dia sendirian.

"Ya! Apa kau baik-baik saja?" sebuah suara membuat Si Bocah perlahan mengangkat kepalanya. Menemukan bocah lain berusia sekitar tujuh tahunan, memakai seragam sekolah dan topi mungil di atas kepala. "Apa kau tersesat? Aku tahu semua jalan di mall ini. pegang tanganku, aku akan membawamu ke tempat yang kau inginkan."

Si bocah pertama perlahan berhenti terisak. "Aku ingin… ke tempat eomma…"

"Ne. Aku akan membawamu ke tempat eommamu." Katanya cepat. "Siapa namamu?"

"Chimin. Park Chimin."

"Chimin? Jimin?" bocah lebih kecil menganggukkan kepalanya.

"Namamu?" Jimin bertanya ragu. Melangkahkan kaki mengikuti Sang Penolong membawa tangannya.

"Namaku Suga. Min Suga. Teman-temanku sering memanggilku begitu, dan kau bisa memanggilku hyung."

Jimin kecil memiringkan kepalanya lucu, "Suga-hyung?"

"Ne. Chimin."

.

.

.

Tbc

.

.

.

A/N: Yaa! Akhir-akhir di saat sakit malah pengen bikin anu—sasuga feel orang sakit. Terima kasih yang sudah membaca sampai sini. Annyeong!