PERFECT MAID

An EXO Fanfiction

Pairing: HunKai, Sehun and Kai, ukeKai

Cast: Oh Sehun, Kim Jongin/Kai, Luhan, Byun Baekhyun, Park Chanyeol, Zang Yixing, Kim Jonmyeon, Kim Minseok

Warning: BL/YAOI

Rating: T-M

Halo saya bawa cerita HunKai baru, lagi cinta membara dengan HunKai (abaikan), selamat membaca, semoga terhibur, ah ya maaf atas segala kesalahan.

BAB SATU

SIAL, SIAL, DAN SIAL

"Lakukan yang lebih baik Kim Jongin! Astaga membuat presentasi saja berantakan, bocah TK bahkan lebih baik darimu!" Bentakan dari mulut berbusa Suho membuat Jongin mual, ayolah di dunia ini ada hal lain yang harus dia kerjakan bukan hanya membuat slide presentasi. Jongin heran kenapa slide presentasi harus nampak meriah? Yang penting isinya kan? Percuma jika slide presentasi meriah namun klien tak terpukau.

"Jongin kau dengar tidak?!" Suho semakin naik pitam, Jongin memilih bungkam. "Ulangi dari awal atau aku akan menambah jam kerjamu!" Setelah puas melampiaskan amarahnya, Suho keluar dari ruangan sambil membanting pintu.

Jongin bahkan tak memiliki waktu untuk menghela napas, ia kembali menekuni layar komputer yang bagian bawahnya sudah penuh dengan tempelan-tempelan pesan. Ruang kerja dalam bilik sempit, meja kerja yang separuhnya tertutup map-map aneka warna, pot plastik hitam mungil dengan Kaktus sekarat di dalamnya, cangkir plastik kosong, dan beberapa tempelan gambar mungil berisi kata-kata mutiara penyemangat yang kini tak lebih dari sekedar omong kosong.

Kedua mata Jongin lekat menatap layar komputer, ia tak tahu bagian mana yang harus disempurnakan, terlalu banyak hiasan pada slide akan menutupi wajah para model yang sedang ditawarkan, mereka memang barang dagangan untuk perusahaan. Maaf, jika sebutan itu terlalu kasar.

"Aku yakin Suho tak akan suka jika wajah Minho tertutup, sudahlah, tidak ada yang perlu diperbaiki sebelumnya baik-baik saja." Jongin berucap pada dirinya sendiri, ia amati kembali hasil kerjanya. Sempurna, begitu menurutnya.

Pintu kembali terbuka dengan kasar, Suho masuk dengan langkah menghentak. "Kim Jongin! Apa kau sudah melakukan perubahan?! Apa setengah jam kurang untukmu?!" Suho bertanya tanpa jeda serta tanpa keinginan untuk memperamah nada bicaranya.

Jongin melirik jam dijital pada layar komputer, saat Suho keluar dan saat dia kembali bahkan belum genap lima belas menit, Suho terlalu dramatis dan terlalu suka menekan orang lain, ah menekan pekerjanya. "Saya rasa slide presentasinya baik-baik saja, jika menambahkan sesuatu wajah-wajah model akan tertutup bukankah inti presentasinya adalah mengenalkan para model?"

"Kau mau mencari alasan dengan wajah-wajah model yang tertutupi sebagai alibi atas ketidak sanggupanmu menyelesaikan satu tugas sederhana?!" Jongin berjingkat bukan karena Suho menyeramkan, tapi suara Suho terlalu tinggi, terlalu melengking, dan terlalu tidak merdu untuk didengar.

"Kalau begitu serahkan pekerjaan ini pada yang lain, sejujurnya ini bukan bagian saya. Saya hanya membuat konsep dan…,"

"Dan apa?! Apa kau lupa siapa Bos di sini?!"

Jongin menelan ludah kasar, kepalanya berdenyut, napasnya mulai memburu, ini sangat menyebalkan, butuh sekali sulutan lagi untuk membuatnya meledak. "Bos di sini bukan Anda tapi Choi Siwon."

Tatapan mata Suho sangat menakutkan, tapi Jongin berkata jujur Suho hanya garang pada divisinya saja padahal pemilik agensi bukan dia. Kepala divisi mengatur kerja anak buah mereka, melaporkan kinerja anak buah mereka pada atasan.

"Kau selalu tidak becus, selalu membantah, kau tidak pernah memasukkan laporanmu pada map yang sesuai dengan anjuran warna pilihanku, kau bertingkah, kau sok, kau…,"

"Apa yang Anda inginkan sebenarnya? Persingkat saja." Jongin bisa mendengar seluruh ruangan membisu dan mungkin mereka menahan napas.

"Kau tidak perlu kembali lagi ke ruanganmu besok pagi, mejamu akan dibersihkan. Kau dipecat." Jongin tak bereaksi. "Apa kurang jelas?! Kau dipecat." Dan seolah itu masih belum memuaskan hati seorang Suho ia mengulangi kalimatnya, lebih pelan, lebih keras, lebih detail, dan lebih menyakitkan. "D-I-P-E-C-A-T."

Jujur Jongin ingin menangis sekarang, mencari pekerjaan dengan gaji menggiurkan itu tak mudah, namun ia tak akan mengemis atau berlutut di hadapan Suho seperti yang beberapa karyawan lakukan. Tidak! Jongin masih memikirkan harga dirinya. "Baiklah." Balas Jongin tenang, ia bahkan terkejut dengan suaranya yang terdengar tenang, itu berbanding terbalik dengan gemuruh jantungnya. Ia raih tas selempang kerjanya kemudian melangkah pergi.

Mejanya akan dibersihkan oleh pengurus gedung dan tumpukan-tumpukan kardus cokelat akan berada di depan pintu rumah yang dia sewa besok atau lusa pagi. Seluruh perhatian tertuju padanya selama beberapa saat, berbagai tatapan entah itu simpati atau hal lain karena tentu Jongin sadar betul tak semua orang menyukainya termasuk rekan kerjanya. Teriakkan Suho membuat para pekerja kembali menekuni layar komputer, map, dan apapun untuk tampak sibuk.

.

.

.

Berjalan gontai menyusuri trotoar, Jongin merasa kepalanya begitu ramai oleh dengungan-dengungan suara tak kasat mata. Dan di antara dengungan-dengungan itu ia bisa mendengar dengan jelas satu kalimat PENGANGGURAN. Benar, dirinya sekarang pengangguran. Apakah ia akan bergabung dengan klub pencari kerja? Memakai tanda pengenal? Membawa sepuluh atau lebih surat lamaran? Dan mengadu peruntungan?

Jongin memijit pelipisnya. Seharusnya dia berlutut di hadapan Suho memohon maaf dan pertimbangan, melempar sedikit harga dirinya ke tong sampah, setidaknya ia tak akan mencemaskan biaya sewa rumah, listrik, gas, pemanas, makan, dan lain-lain. "Ah sudahlah, sudah telanjur." Putus Jongin pada akhirnya terlalu pening untuk berpikir. Ia memilih untuk memutar tubuhnya dan kini ia berdiri di depan konter pedagang kaki lima penjual minuman Bubble Tea. "Cokelat." Jongin menyebutkan pesanannya kemudian sambil menunggu ia mulai memandangi keadaan sekitar. Tidak ada yang berubah, memang apa yang bisa diubah dalam sehari.

"Ini." Perhatian Jongin teralih pada segelas Bubble Tea segar yang ia pesan tadi, setelah membayar ia kembali berjalan, untuk saat ini ia putuskan tidak memikirkan apapun. "Ah!" Pekik Jongin ketika dirinya hendak menyebarang tiba-tiba ada seseorang yang berlari berlawanan arah dengannya dan menabraknya.

Jongin menoleh orang itu sudah berlari jauh, mau berteriak juga percuma. Pada akhirnya ia hanya menatap pasrah kemeja putihnya yang kini berwarna cokelat di bagian depan dan beberapa bola Bubble dari tepung beras lengket menempel di sana, serta jangan lupakan isi Bubble Tea yang telah menghilang lebih dari separuh. "Terimakasih banyak, hari ini sungguh sempurna." gumam Jongin. Sesampainya di seberang jalan ia lemparkan gelas plastik di tangannya ke tempat sampah, sisa separuh Bubble Tea tak ia nikmati terlalu sakit hati untuk mengingat separuhnya lagi yang terbuang percuma.

Berikutnya ia memilih untuk mengambil jas hitamnya yang tadi ia sampirkan di atas tas kerja selempang, setidaknya noda cokelat pada kemejanya akan sedikit luput dari pandangan orang-orang dan membuatnya tak tampak terlalu menyedihkan. Selanjutnya Jongin putuskan untuk berjalan kaki sampai di tempat tinggal yang ia sewa, ia bisa menghemat beberapa ribu Won dengan berjalan kaki daripada naik bus.

Butuh setengah jam untuk berjalan kaki dari pusat kota menuju tempat tinggalnya di sekitar kampus SNU atau Seoul National University, sebab kawasan di sekitar kampus memiliki harga sewa yang cukup bersahabat dibanding kawasan di luar kampus.

Kantong karyawan seperti Jongin pasti tak akan cukup untuk membiayai hidup di kawasan Gangnam yang elit. Jongin menghembuskan napas kasar setelah berjalan jauh sekarang ia harus mengikuti jalanan menanjak. Apa hidup bisa lebih kejam dari ini pada dirinya? Jawabannya tentu saja bisa, dirinya bukan siapa-siapa untuk diramahi oleh hidup.

Kemejanya sudah terasa basah oleh keringat, udara dingin sore hari benar-benar tak membantu. Jongin merasakan sedikit angin segar kala melihat bayangan seseorang yang amat dikenalnya. Tanpa sadar kedua kakinya melangkah cepat dan kini telah berlari. "Kris!" Jongin memekik bahagia dengan senyum lebar terkembang di wajahnya.

"Ah, hai Jongin kau lama sekali."

"Aku jalan kaki."

"Kenapa?"

"Ingin saja." Balas Jongin ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang pemecatannya hari ini. "Ada apa?"

"Bisa kita naik? Ada yang ingi kubicarakan denganmu."

"Tentu." Jongin menekan berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya, tak biasanya Kris bersikap serius seperti sekarang. Jongin melangkah menaiki anak tangga menuju rooftop karena harga sewanya yang paling murah dan pemandangannya lumayan indah maka Jongin memilih rooftop sebagai tempat tinggalnya. "Masuklah."

"Tidak." Balas Kris padahal Jongin sudah mengeluarkan kunci rumahnya. "Kita bicara di luar saja hanya sebentar."

"Ah, baiklah ada apa?"

Kris terlihat ragu namun ia melangkahkan kedua kakinya menuju bangku kayu yang ada dan duduk di sana, Jongin mengikuti dengan berbagai suara berisik di dalam kepalanya yang semakin nyaring beradu.

"Aku—tidak ingin menyakitimu tapi aku harus melakukan hal ini."

Jongin tersentak, ia tahu dengan benar arah pembicaraan Kris tapi sungguh ia tak ingin hal itu menjadi nyata. "Apa maksudmu?"

"Kita harus berakhir Jongin." Kris menoleh menatap wajah Jongin yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan serta pertentangan. "Kita tidak bisa bersama lagi, aku harus menikah dengan orang lain."

"Kapan kau akan menikah?"

"Akhir tahun ini."

"Kapan kau tahu jika kau harus menikah dengan orang lain?"

"Mungkin enam bulan yang lalu."

Jongin tersenyum miring. "Apa kau tidak bisa memberitahuku lebih cepat?"

"Maaf, aku berusaha memertahankan hubungan kita tapi nyatanya…,"

"Semoga kau bahagia Kris." Ucap Jongin datar lalu ia berdiri dari duduknya dan berjalan cepat menuju pintu.

"Jongin." Gumam Kris yang kini telah memeluk tubuh Jongin dari belakang, kaki panjang Kris rupanya memberi keuntungan sehingga dia bisa menyusul Jongin dengan cepat.

Jongin memutar tubuhnya cepat dan mendorong tubuh Kris menjauh. "Jangan menyentuhku semua sudah berakhir, pergilah."

"Aku ingin kita masih memiliki hubungan baik Jongin."

"Apa untungnya untukku?" Tantang Jongin.

"Mungkin—kita bisa bertemu saat saling merindukan."

Cukup! Ini sudah kelewatan Kris pikir dia segalanya dan Jongin akan dengan mudah melempar tubuhnya pada Kris karena rasa cintanya yang terlalu besar. "Tidak, aku tidak tergiur dengan tawaranmu kau pikir aku apa?"

"Aku pikir kau sangat mencintaiku."

"Aku memang mencintaimu tapi aku tak serendah itu, pergilah Kris aku tak ingin melihatmu lagi." Jongin memasukkan anak kunci pada lubang kunci, memutar knob dan mendorong pintu hingga terbuka. Ia cabut kuncinya dari knob pintu luar. Kris melempar tatapan sendu, Jongin ingin sekali mengundang Kris untuk masuk tapi pikiran warasnya masih menang dalam hal ini. Maka ia tutup dan kunci kembali pintu rumahnya dari dalam.

Sinar matahari dari luar sedikit menerangi ruangan tempat tinggalnya , dengan gontai Jongin melepas kedua sepatunya tidak ada rak sepatu di sini maka ia biarkan sepatunya tergeletak di atas keset tipis berwarna hijau pudar. "Aku pulang," ucap Jongin lemah.

"Jongin!"

"Halo Hyung." Sapa Jongin pada Xiumin sahabatnya.

"Kenapa dengan kemejamu?"

"Seseorang menabrakku saat aku membawa Bubble Tea."

"Ahhh…," balas Xiumin, beruntung dia mengenakan earphone kalau tidak Jongin yakin pertengkarannya dengan Kris tadi didengar Xiumin. "Mandilah Jongin dan rendam kemejamu sebelum nodanya benar-benar kering, nanti susah dihilangkan, aku sudah menyiapkan makan malam."

"Terimakasih." Balas Jongin.

.

.

.

Sepuluh menit kemudian dengan rambut setengah basah, handuk kecil biru muda melingkar di leher, celena kain selutut dan kaos hitam dengan tulisan Love Me berwarna emas yang mulai mengelupas Jongin duduk di hadapan Xiumin yang masih berkutat dengan laptopnya. "Makanlah Jongin."

"Aku belum lapar." Seketika Xiumin langsung menghentikan kesibukannya, seorang Kim Jongin tidak lapar?! Dunia sudah jungkir balik.

"Apa kau baik-baik saja? Ada yang mengganggumu?" Jongin menggigit bibir bawahnya pelan, ia selalu bisa bercerita apapun kepada sahabat baiknya ini.

"Aku dipecat," lirih Jongin menjawab. Xiumin terlihat terkejut namun hanya beberapa saat saja sebelum ia menepuk-nepuk pundak kanan Jongin dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Ini bukan akhir dunia aku yakin kau akan mendapat pekerjaan lain dengan cepat. Selain itu Suho sedikit menyebalkan, kau bisa bernapas lega sekarang!" Hibur Xiumin yang entah berapa kali sudah mendengar keluhan Jongin tentang tingkah laku Suho.

"Ya, kurasa itu sisi baiknya. Satu lagi, Kris dan aku putus karena dia harus menikah dengan orang lain."

"Ah!" Kali ini Xiumin tersentak karena menurutnya Kris dan Jongin adalah pasangan serasi, Kris itu dewasa dan bisa diandalkan sedangkan Jongin terkadang dia kekanakan dan butuh bimbingan.

"Hidupku menyedihkan sekali Hyung," pada akhirnya keluhan itu keluar dari bibir Jongin.

"Sudahlah Jongin jangan dipikirkan lagi," Xiumin tak tahu apakah sarannya tepat atau tidak jika dirinya berada pada posisi Jongin ia yakin akan putus asa. "Pasti akan ada yang lebih baik untukmu." Sambung Xiumin, setidaknya ia akan membuat perasaan Jongin lebih baik. "Aku juga belum bekerja jadi kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama seperti dulu." Hibur Xiumin.

Jongin tersenyum tipis. "Hyung sibuk kuliah aku seringnya sendirian di sini sebelum bekerja dulu."

"Aku janji kita akan sering menghabiskan waktu bersama." Ucap Xiumin sambil menggenggam tangan kanan Jongin lembut.

"Ya, aku merasa lebih baik sekarang."

"Makanlah lalu tidur lupakan sejenak masalahmu."

"Terimakasih Hyung, kau memang sahabat terbaikku." Jongin berdiri dengan lutut dan mencondongkan tubuhnya ke arah depan, ke arah Xiumin mereka berpelukan selama beberapa detik sebelum Xiumin menyuruh Jongin untuk makan.

Jongin membawa mangkuk mienya ke atas lantai ia tak mau kuah mie yang ia makan mengenai laptop Xiumin. Sambil menikmati makan sore setengah malamnya, Jongin mendengarkan ketukan jari-jari Xiumin pada keyboard laptop serta ekspresi wajah serius Xiumin. Meski terkadang Jongin harus mengalihkan pandangannya ke arah lain karena kabel USB milik Xiumin yang tersambung pada ponsel pintarnya berkedi-kedip dengan tampilan lampu warna-warni, membuat kedua mata Jongin silau.

"Selesai!" Teriakkan Xiumin hampir membuat Jongin tersedak kuah pedas mie yang sedang ia nikmati. "Selesai! Selesai!" Xiumin mengulangi teriakkannya bahkan kali ini ia menggerak-gerakkan tubuhnya.

Jongin hanya tertawa pelan melihat tingkah kekanakan Xiumin. "Senang sekali," goda Jongin setelah Xiumin menarik lepas earphone yang sejak tadi menyumpal kedua telinganya.

"Tentu saja senang, tugas laknat ini aku sudah mengerjakannya mulai pukul sembilan pagi dan sekarang kau lihat sudah jam berapa?!" Xiumin menunjuk jam dinding bulat putih polos yang menjadi satu-satunya penghias dinding ruangan dengan dramatis. "Enam!" Xiumin memekik heboh.

"Ya, ya, selamat atas keberhasilannya, makan sana Hyung pasti lapar."

Xiumin tersenyum lebar. "Kau tahu saja apa yang ada di dalam pikiranku." Jongin membalas senyuman Xiumin tak kalah lebar. "Aku akan menggoreng telur, mau aku buatkan sekalian?"

"Tidak, ini saja belum habis." Balas Jongin sambil menunjukkan mangkuk berisi mie rebusnya. Xiumin mengangguk paham sambil membereskan laptop, kabel USB, tumpukan buku dan kertas yang memenuhi meja pendek serbaguna mereka.

Jongin menghabiskan seluruh mie rebusnya bahkan kuahnya sudah tak bersisa lagi, ia berdiri dari duduknya untuk mencuci mangkuk dan sumpit kotor sementara Xiumin yang telah selesai mengembalikan semua barang-barangnya ke kamar kini telah berdiri di sampingnya siap dengan peralatan tempur menggoreng telur. "Kau yakin tidak mau?" Xiumin menawari Jongin untuk kedua kalinya. Jongin menggeleng pelan ia memilih duduk di atas lantai menghadap meja pendek serbaguna dengan ponsel di tangannya.

Jongin membuka kalkulator di dalam ponsel, sambil mengingat sisa tabungan di dalam rekening banknya dia mulai berpikir tentang tenggat waktu untuk mendapatkan pekerjaan kembali dan biaya yang harus dikeluarkan selama tak ada pemasukan.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Ah!" Jongin tersentak sedikit terkejut karena Xiumin tiba-tiba duduk di hadapannya. "Kapan Hyung selesai?" Jongin menatap tak percaya pada Xiumin dengan mangkuk berisi nasi dan telur dadar di hadapannya.

"Sudah sejak tadi, kau saja yang melamun."

"Aku tidak melamun."

"Lantas kalau tidak melamun kenapa kau terkejut aku ada di hadapanmu?"

"Hanya terasa cepat saja."

"Artinya kau melamun." Xiumin bersikeras, Jongin memilih tak membalas ia tak ingin memperpanjang pembicaraan sepele ini. "Apa yang kau pikirkan?"

"Pekerjaan baru dan pengeluaran."

"Hmmm, setelah ini aku akan membantumu mencari lowongan pekerjaan di internet, lalu kau langsung menulis lamaran dan mengirimkannya pada mereka, jika kau butuh uang katakan saja padaku aku bisa meminjamkanmu."

"Tidak Hyung aku akan berhemat dan berusaha mendapatkan pekerjaan lain secepat mungkin." Tidak mungkin meminjam uang pada Xiumin sementara Xiumin belum bekerja dan hanya mengandalkan kiriman dari orangtuanya.

"Tidak masalah Jongin, kita ini sahabat jadi sudah sewajarnya kita saling menolong." Xiumin tersenyum lebar di akhir kalimatnya membuat hati Jongin terasa nyeri, menyesal telah lupa bahwa masih ada hal baik yang terjadi di hidupnya. Dia masih memiliki sahabat seperti Xiumin meski telah kehilangan Kris dan pekerjaannya.

"Terimakasih banyak Hyung," bisik Jongin pelan.

.

.

.

Sisa malam dilewatkan oleh keduanya dengan melihat lowongan pekerjaan di internet, keduanya menemukan tiga lowongan pekerjaan yang sesuai untuk Jongin dan Xiumin memaksa Jongin untuk menulis lamaran pekerjaan saat itu juga sehingga besok pagi lamaran itu bisa Xiumin bawa ke kantor pos saat berangkat kuliah.

"Haah…," desah Jongin sembari merenggangkan otot-otonya yang terasa kaku ia menjulurkan lehernya dan melihat Xiumin telah terlelap di dalam balutan selimut tebalnya. Jongin menumpuk amlop-amplop cokelat ke sudut ruangan kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar, meski waktu telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam kedua matanya sama sekali tak terasa berat.

Perlahan Jongin menutup pintu depan, ia memutar tubuhnya dan berjalan mendekati dinding pembatas. Berdiri di dekat dinding pembatas menupuk kedua tangannya di atas dinding, menatap gemerlapnya gedung-gedung pencakar langit di kejauhan sambil bertanya dalam hati mengapa dirinya tak menjadi salah satu manusia yang dimanja perdaban.

Bukan, bukan seperti ini yang ia impikan saat pertama kali menjejakkan kedua kakinya di sebuah universitas negeri terkenal. Hidup mapan, impian yang tercapai, mapan secara finansial jadi saat ada reuni tahunan ia bisa melenggang menaiki undakan gerbang universitas dengan dagu terangkat dan tatapan terkesima dari banyak orang. "Haah…," Jongin menghembuskan napas berat, semua harapan masa-masa penuh semangat itu kini terhempas tak bersisa. "Sudahlah," putus Jongin seolah meminta pada isi kepalanya untuk diam dan memberinya ketenangan sejenak. Ia putuskan untuk memeriksa bangunan kecil di samping tempat tinggal sewanya, di sana ia menyimpan sepedanya dan Jongin ingin memastikan sepeda miliknya dalam keadaan baik.

Didorongnya pintu kayu tunggal hingga menimbulkan deritan mengganggu, udara pengap dan berdebu menyambutnya Jongin tak peduli tangan kanannya terangkat untuk mencari tali saklar lampu yang letaknya samar-samar ia ingat. "Dapat!" Pekik Jongin saat tangan kanannya berhasil meraih saklar lampu seolah kemenangan kecil sangat berharga untuknya, ia talik tali saklar itu, bohlam lampu menyala sinar kuningnya berkedip beberapa kali sebelum menyala dengan konsisten.

Senyum Jongin merekah kala mendapati sepeda gunung putihnya dalam keadaan baik tentu saja itu hanya sepeda gunung murahan dengan beberapa bagian cat yang mengelupas. "Hai, mulai besok kita akan bersahabat lagi," ucap Jongin seolah si sepeda gunung mengerti ucapannya. Berikutnya ia tarik kain bekas kaos tak terpakai kemudian berjongkok di samping sepeda gunungnya dan mulai membersihkan beberapa bagian yang nampak sangat berdebu.

Selajutnya Jongin mengeluarkan sepedanya, memeriksa tekanan udara ban serta mengecek rem sepedanya apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak. "Bagus." Jongin berucap penuh kepuasan.

"Jongin."

"Xiumin hyung!" Jongin memutar tubuhnya dengan cepat menghadap Xiumin. Dia cukup terkejut dengan kemunculan Xiumin yang tiba-tiba, Xiumin memang pantas diberi julukan Manusia tak Bersuara bahkan saat memasuki rumah hantu di taman bermain ia luput dari kejaran para hantu jejadian di dalamnya, karena suara langkah kakinya tak terdengar.

"Aku tidak bisa tidur."

"Kau mengecek sepedamu?"

"Ya, aku akan memakainya lagi mulai besok, aku harus bisa menyimpan uang sebaik mungkin sebab belum pasti kapan aku akan mendapat pekerjaan lagi."

"Sudah aku katakan aku bisa membantumu."

Jongin tersenyum tulus mendengar kalimat Xiumin. "Aku tahu Hyung tapi aku ingin berusaha sekuat tenaga dulu untuk mempertahankan hidupku dengan usahaku sendiri."

Xiumin tertawa pelan mendengar kalimat Jongin. "Mempertahankan hidup? Ini bukan hutan belantara."

Jongin menoleh ke kanan ke arah jajaran gedung pencakar langit yang menghiasi kota Seoul. "Ini lebih mengerikan dari gedung pencakar langit."

"Semua akan baik-baik saja dan jika kau ingin bertanya bagaimana aku bisa berkata seperti ini, jawabannya mudah saja kita terpilih untuk lahir ke dunia aku yakin kita mampu bertahan dalam situasi seburuk apapun. Jangan putus asa Jongin, sebaiknya kau masukkan kembali sepedamu dan tidur." Xiumin menatap wajah Jongin lekat-lekat Jongin mengangguk pelan setelah mendengar kalimat yang membuat dirinya merasa lebih baik dari Xiumin.

"Ah ya jangan lupa mengunci pintu gudang sempit reot itu, hanya berjaga-jaga, kau tahu sendiri ini bukan distrik mewah Gangnam." Sambung Xiumin sebelum memutar tubuhnya dan masuk.

"Kurasa itu ide bagus." Gumam Jongin sebelum menuntun sepeda gunungnya ke dalam gudang sempit dan reot, kurang lebih begitulah sebutan Xiumin akan bangunan kecil yang menempel pada sisi kanan tempat tinggal sewa mereka. Bangunan kecil yang dulunya mungkin digunakan sebagai kandang.

Jongin menggembok pintu gudang ia memeriksa sebanyak dua kali memastikan bahwa pintunya benar-benar terkunci dengan baik sebelum masuk.

.

.

.

Dengung alarm ponsel mengganggu tidur Jongin, ia menggeliat pelan dan membuka kedua matanya yang masih terasa berat. Ia hampir melompat dari posisi berbaringnya kala melihat layar ponsel. Pukul sembilan pagi Suho bisa memenggal kepalanya, namun sebuah kenyataan menimpa kepalanya dengan keras sekarang tak ada lagi omelan Suho dan dengan cara yang aneh Jongin merasa rindu akan semua itu. Rindu rutinitas bekerjanya bukan rindu dengan omelan Suho atau mungkin itu terdengar sama? Entahlah, Jongin tak mengerti yang diketahuinya hanya satu, ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, pekerjaan dan rutinitas kerja.

"Haah," hembusan napas kasar kembali terdengar darinya perlahan ia berdiri dan mulai membereskan selimut dan kasur lipat ia menoleh ke kiri kasur lipat Xiumin sudah dibereskan dan ditumpuk rapi di sudut kamar, Jongin juga melihat amplop-amplop berisi lamaran miliknya sudah menghilang. "Jadi ini rasanya menganggur," gumam Jongin sebelum menyeret kedua kakinya memasuki kamar mandi yang berdempetan dengan kamar tidur yang ia gunakan bersama dengan Xiumin.

Hari libur dan menganggur itu sangat berbeda, libur sangat menyenangkan dan menganggur itu membosankan selain memberi dampak negatif seperti pikiran-pikiran buruk seperti betapa tak berharaganya dirimu serta hidupmu. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Jongin duduk di belakang meja pendek serbaguna menikmati sarapan berupa semangkuk sup tahu dan taoge dengan kuah pedas hasil karya Xiumin tentu saja.

"Sudah cukup Jongin kau harus bangkit!" Jongin berteriak menyemangati dirinya sendiri, dengan suntikan energi baru yang entah muncul darimana Jongin mempercepat acara sarapannya kemudian berdiri dan mencuci mangkuk dan sumpit kotor, berkumur, dan berlari keluar setelah mengambil ranselnya dari kamar.

Jongin mengunci pintu rumah dan mengambil sepedanya dari gudang. Keuntungan tinggal di Rooftop adalah biaya sewa yang lebih miring dan pemandangan indah, sedangkan kekurangannya adalah air yang sering tak mengalir dan jika kau memiliki sepeda kau harus mengangkat sepedamu naik-turun tangga. "Setelah ini otot-otot tanganku akan kekar," ucap Jongin pada dirinya sendiri sesampainya dia pada anak tangga terakhir.

"Mari menyambut hari baru Kim Jongin," bisik Jongin mencoba menyemangati dirinya sendiri meski di dalam kepalanya ada sebuah suara yang menolak kalimat penyemangat itu.

Jalanan di sekitar tempat tinggalnyayang menurun mengharuskan setiap sepeda milik penduduk di sini harus memiliki sistem pengereman yang baik, salah-salah si pengendara bisa menubruk atau jatuh terguling hingga ke bawah. Sesampainya di pertigaan Jongin melirik kaca cembung untuk memastikan tak ada kendaraan atau sepeda lain sebelum dirinya keluar dari gang.

Jongin berpapasan dengan para mahasiswa yang berjalan kaki, atau bersepeda menuju kampus, wajah-wajah optimis yang beberapa tahun lagi mungkin akan berubah menjadi pesimis atau mungkin beberapa yang beruntung dan terlahir beruntung sudah memimpin satu cabang perusahaan. Jongin mengayuh sepedanya perlahan, melintasi kawasan kafe dan restoran di dekat kampus ia melewati jalur untuk para pengguna sepeda. Tak ada papan lowongan di pintu kaca kafe, restoran, atau toko-toko. Sial sekali, padahal saat bekerja dulu ia sering melihat papan pemberitahuan tentang dibutuhkannya pelayan.

Setelah lebih dari dua jam berkeliling mencari toko, kafe, atau restoran yang membutuhkan pelayan, Jongin menyerah sebab kemewahan Gangnam hanya membuat hatinya iri sementara dirinya terpuruk. Jongin memutuskan untuk mengunjungi sungai Yangjae setidaknya di sana ia bisa duduk dan menikmati pemandangan tanpa ada tatapan menghakimi.Gangnam ibarat panggung pertunjukkan berjalan, salah kostum maka siapkan dirimu untuk mendapat tatapan merendahkan.

.

.

.

Jongin duduk pada bangku panjang memandangi aliran sungai jernih Yangjae, jalur sepeda dan jalan kaki nampak sepi karena kebanyakan orang masih duduk di belakang meja kerja atau bangku sekolah mereka. Kecuali beberapa Lansia yang sedang berjalan-jalan santai atau senam ringan dan Jongin merasa lebih buruk dari Lansia. "Haaah…," kembali hembusan napas kasar itu keluar, Jongin menunduk mengamati kedua sepatunya yang ujung-ujungnya bermain dengan tanah lunak berlapis rumput liar di bawahnya.

Tangan kanannya seolah bergerak tanpa perintah dari otaknya saat tangan itu merogoh saku depan celananya, menarik ponsel keluar. Jongin pandangi layar ponselnya lekat-lekat. Ada pilihan untuk keluar dari situasi sulit ini, menelpon orangtuanya dan berkata dirinya tak bisa bertahan di Gangnam, pulang dan menerima tawaran pamannya untuk mengajar SD di sana. "Ah tidak," bisik Jongin sambil melesakkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Mengajar bukan keahliannya, berhadapan dengan anak-anak dengan bermacam perilaku sama sekali tak pernah menjadi cita-citanya. Bahkan dirinya mendapat kesulitan menempuh tahun terakhir SMA bagaimana mungkin ia bisa mengajar dan membuat anak-anak polos dengan masa depan yang penuh gairah itu mendapat ilmu bermanfaat?

"Astaga!" Jongin terlonjak kala ponselnya bergetar, Xiumin tentu saja hanya Xiumin yang akan peduli terhadapnya bahkan kedua orangtuanya sama sekali tak peduli setelah dirinya memutuskan untuk tak menjadi anak baik nan penurut. "Halo."

"Jongin kau dimana?"

"Aku jalan-jalan mencari udara segar, sekarang aku ada di sungai Yangjae."

"Ah jalan-jalan! Itu terdengar bagus, apa kau merasa bersemangat sekarang?!"

"Yah, begitulah."

"Kau ada rencana pulang cepat? Kebetulan kelasku akan selesai cepat hari ini. Tiga sore aku sudah pulang."

"Tiga sore," ulang Jongin. "Mungkin aku akan pulang cepat, ah ya minggu ini giliranku belanja kan?"

"Tidak, kau simpan saja uangmu kau bisa membayar hutangmu padaku setelah mendapat pekerjaan nanti. Jangan putus asa Jongin, sampai nanti."

"Sampai nanti." Jongin menjejalkan ponselnya ke dalam saku, sungguh ia ingin meminta resep optimis dari Xiumin. Berikutnya Jongin mengedarkan pandangannya ke sekitar sungai semakin banyak Lansia, maka Jongin dengan mantap memutuskan untuk pergi sebelum ada Kakek atau Nenek yang mencoba mendekatinya. Ayolah, ini Gangnam, para Lansia yang cukup berduit, mereka masih doyan daun muda.

Dan Jongin tidak seputusasa itu untuk melemparkan tubuhnya pada Lansia, setidaknya untuk saat ini pikiran warasnya masih menang jadi untuk memperkecil kemungkinana kekalahan pikiran warasnya, Jongin memilih pergi.

.

.

.

Setelah mandi dan berpakaian layak nyatanya masih tersisa lebih dari dua jam sampai Xiumin pulang maka Jongin memilih menghabiskan waktunya untuk menghitung anggaran pengeluaran bulanan. Di depan meja pendek serbaguna, Jongin terpekur menekuni buka nota kecil, mulutnya berkomat-kamit, sementara ponselnya sedang membuka aplikasi kalkulator. "Anggaran makan 300.000 Won, tidak boleh lebih." Jongin manggut-manggut kemudian menuliskan angka tiga ratus ribu Won itu ke dalam buku catatan.

"Biasanya Xiumin hyung suka memasak sendiri," Jongin menggumam sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada permukaan bibir penuhnya. "Ah kalau begitu dihitung saja yang biasa dibeli, satu kantong roti kurang lebih 1.800 Won, satu kantong beras sepuluh kiloan sekitar 30.000 Won, minuman soda, jus, dan air mineral 3.000 Won. Botol besar susu dan sekantung dada ayam 15.500 Won."

Jongin sibuk menulis kemudian menghitung dengan aplikasi kalkulator di dalam ponselnya. "Semua itu cukup untuk satu minggu kecuali beras, beras bisa bertahan sampai sekitar satu bulan." Jongin memijit batang hidungnya karena pening. "Semoga cukup dengan 300.000 Won selama sebulan untuk makan." Harap Jongin.

"Untuk sewa karena Xiumin hyung sudah menanggung biaya deposit yang besar maka aku harus membayar harga bulanannya, tidak boleh merepotkan Xiumin hyung lagi. Sewa bulanan 150.000 Won. Biaya transportasi sebulan 59.500 Won, aku bisa berhemat dengan memakai sepeda untuk tujuan dekat jadi bisa dipakai lebih dari sebulan. Lalu biaya listrik dan air 15.000 Won."

Jongin mulai memasukkan semua angka ke dalam kalkulator. "524.500 Won, sementara tabunganku sekarang tinggal 3.000.000 Won." Jongin semakin pening. "Kapan aku dapat kerja?!" Jongin akhirnya berteriak karena putus asa, kesal, jengah, dan semua perasaan negatif lainnya yang bercampur menjadi satu.

"Aku pulang."

"Ya Hyung!" Pekik Jongin setengah panik ia langsung membereskan buku catatannya dan meletakkan buku itu di bawah meja.

"Wah, kau sudah terlihat segar, sudah mandi?" Jongin mengangguk canggung disertai senyum yang dipaksakan.

"Tolong keluarkan belanjaannya, aku mau mandi."

"Bulan ini kan giliranku Hyung?"

"Simpan saja uangmu, kau bisa melakukannya setelah mendapatkan pekerjaan jadi bulan depan kau yang belanja."

"Kenapa kau baik sekali Hyung," bisik Jongin tak tahu harus menanggapi kebaikan Xiumin seperti apa lagi.

"Kau kan adikku!" Xiumin memekik kemudian tertawa pelan dan tak lupa ia meninju pelan bahu kanan Jongin. "Sudah, jangan pasang tampang memelasmu itu! Keluarkan semua barang belanjaan, atur dengan rapi aku akan mandi setelah itu aku akan masak."

"Bagaimana jika aku yang masak?"

"Tidak." Tegas Xiumin.

"Ayolah Hyung aku tak semengerikan itu."

"Tidak, terakhir kali kau bahkan tak bisa membedakan mana gula dan mana garam."

"Ah Hyung bisa saja, terimakasih atas pujiannya." Balas Jongin dengan nada sarkas tentu saja.

"Tapi ada satu masakan yang berhasil kau buat waktu itu, kalau tidak salah saat aku menghadapi ujian tengah semester." Jongin mengerutkan keningnya, ia benar-benar tidak ingat apa yang sedang Xiumin bicarakan. "Kau tidak ingat?!" Xiumin memekik jengkel bercampur gemas. "Tidak," balas Jongin sambil menggeleng pelan.

"Omurice, nasi goreng di bungkus telur dadar."

"Aaah itu—aku hanya ingat sedikit."

"Apa kau mau memasak itu untukku?"

"Tentu Hyung!" Jongin memekik bersemangat.

"Tolong masak itu, aku mandi dulu ya." Jongin mengangguk pelan.

Jongin memandangi pintu kamar yang tertutup selama beberapa detik lebih lama sebelum perhatiannya kembali pada tugasnya, membersihkan barang belanjaan dan memasak.

.

.

.

Aroma harum menguar ke seluruh rumah yang memang sempit itu kala Jongin menumis bawang merah dan bawang putih cincang. Jongin merasa sedikit lebih baik, setidaknya dia bisa berguna untuk Xiumin meski tak seberapa. Setelah bawang merah dan bawang putih di dalam wajan itu berubah warna Jongin memasukkan potongan tomat, jamur, dan kacang polong. Disusul nasi, kecap, garam, dan merica.

"Aromanya harum."

"Hyung sudah selesai mandi? Maaf belum siap, sebentar lagi."

"Tak masalah aku juga suka memasak ada yang bisa kubantu?"

"Tidak, tidak usah biar aku sendiri yang menanganinya."

"Baiklah aku akan duduk manis dan menunggumu." Jongin tertawa pelan menanggapi candaan Xiumin.

Berikutnya Jongin memecahkan dua butir telur dan memasukkannya ke dalam mangkuk, mengocoknya kemudian memasak kocokan telur itu dengan wajan anti lengket. Ia letakkan nasi goreng ke atas telur yang mulai matang dan terakhir adalah menggulung telur hingga nasi goreng tertutupi. Setelah siap Jongin meletakkan omelet berisi nasi goreng itu ke atas piring dan mengulangi pekerjaannya sekali lagi.

"Sudah siap!" Jongin memekik bahagia, ia letakkan dua piring Omorice ke atas meja pendek.

"Wah aromanya lezat aku yakin rasanya pasti tak mengecewakan." Ucap Xiumin dengan kedua mata berbinar.

"Hyung mau saos tomat atau pedas?"

"Tomat." Berikutnya Jongin mendorong botol saos tomat yang ada di hadapannya kepada Xiumin.

"Terimakasih," ucap Xiumin tulus.

"Selamat makan!" Keduanya berucap secara bersamaan, sebelum acara makan bersama dilakukan sempat terdengar suara tawa dari keduanya.

TBC