Menurut penelitian, tipe orang yang paling kekurangan tidur adalah "single moms", dengan kata lain, janda yang memiliki anak. Mereka harus bangun pagi-pagi sekali setiap harinya. Ibu single ini harus mencuci, memasak, membersihkan rumah, merawat anak, dan bekerja mencari nafkah. Terkadang, menanggung beban batin atau stress karena berbagai alasan. Tanpa seorang suami, tak jarang ibu single memiliki sanak saudara atau anggota keluarga lain sebagai teman serumah. Orangtua mereka, misalnya. Kakak atau adik.

Agar mereka bisa mengandalkan seseorang dalam tugas yang sulit diselesaikan sendiri.

Agar mereka bisa merasa tenang meninggalkan anak-anak di rumah saat pergi bekerja, dan berbagai alasan lainnya.

"Single moms", dengan segala beban dan tanggug jawabnya, adalah tipe orang yang paling kekurangan tidur, demikian menurut penelitian.

... Bagaimana denganku?

Anak sekolah, seorang remaja berusia tak lebih dari enam belas tahun. Aku memiliki tiga orang adik. Kami tidak punya orang tua. Aku meragukan fakta bahwa sanak saudara kami menyadari keberadaan kami. Mungkin bagi mereka, kami bahkan tidak pernah ada. Mereka tidak peduli tentang seorang anak empat belas tahun dan adik-adiknya yang kehilangan orangtua dua tahun lalu. Bocah-bocah yang belum tahu apa-apa, menangis sesenggukan di depan sepasang kubur, berduka di hari mendung yang dinginnya menusuk tulang.

Mengingat keluarga besarku, aku ingin tertawa pahit. Setelah upacara penguburan orangtuaku, aku tidak pernah melihat mereka lagi. Aku yakin, mereka pulang dan melepaskan pakaian gelap mereka, 'bela sungkawa' diganti dengan tawa dan senyum saat berkumpul dengan keluarga, bagai topeng. Bagai sepasang suami istri, sepasang orangtua dari empat anak, yang meninggal dalam kecelakaan, tidak pernah ada. Tahun demi tahun berlalu, meninggalkan aku sebagai satu-satunya penumpu keluarga kecil ini.

Kerabat yang kumiliki -yang benar-benar peduli- adalah kakekku, Tok Aba, yang tinggal di ujung lain negara ini. Dalam setahun, jumlah pertemuan kami dengannya dapat dihitung dengan jari dalam satu tangan. Bisa kumaklumi, mengingat perjalanan menempuh jarak yang memisahkan kami memakan waktu sampai delapan belas jam dengan bus.

Kuperkenalkan diriku, Boboiboy Gempa, usia enam belas tahun.

Dengan segala pekerjaan rumah yang tidak seharusnya ditanggung remaja seusiaku, sekolah, dan dua pekerjaan sampingan sebagai penumpu hidupku dengan tiga adikku.

Aku mendapat tidur tak lebih dari empat jam sehari.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Presented to you,

By IceFlowerGirl

.

.

.

Demons

.

.

.

Disclaimer: Boboiboy milik Animonsta

.

.

.

Warning(s): slight imply/ mentions of bullying, OOC (maybe), etc

DLDR.

.

.

.

.

.

.

.

.

Aku selalu dianggap lemah.

Bukan, mungkin aku memang lemah.

Sejak akhir bangku SMP, sejak aku menyandang status yatim piatu, aku selalu dianiaya oleh teman sekelas. Disuruh-suruh, dihina, dipermalukan di depan banyak orang.

Dibully.

Kadang aku bertanya, kenapa aku? Apa aku berbuat salah terhadap mereka? Tidakkah hidupku cukup menyedihkan, mengingat aku tidak punya siapapun sebagai tempat bersandar? Aku hanya ingin ditinggalkan sendiri. Dianggap tidak ada, pastinya itu jauh lebih baik daripada direndahkan seperti ini. Aku ingin meminta mereka berhenti. Ingin, tapi tidak bisa. Sulit. Takut, karena mereka tak kenal ampun.

Mengingat bagaimana mereka mematahkan jari tangan kiriku satu demi satu membuatku merinding ngeri, jemari kiri berdenyut dengan trauma. Kala itu aku secara tidak sengaja menjatuhkan kaleng minuman mereka. Tak perlu kujelaskan apa yang terjadi selanjutnya.

Dalam dua minggu masa penyembuhan jemariku itu, bagai neraka di atas bumi.

Kenapa mereka tidak terlibat masalah karena kekerasan, tanyamu?

Heh, singkat kata, keuangan tidak mendukungku untuk masuk ke dalam sekolah yang lebih... pantas.

Setelah insiden kaleng minuman itu, katakanlah, aku menjadi 'sasaran empuk'.

Intinya, di sekolah ini, yang kuat menindas yang lemah. Seperti ekosistem, yah.

Kami, murid biasa, adalah herbivora bagi predator untuk dimangsa.

... well, terlebih aku, yang pernah 'membuat masalah' dengan anak buah dari pemimpin geng sekolah. Aku masih bisa bersyukur, karena kekerasan fisik sangat jarang mereka lakukan padaku. Tak bisa kubayangkan tekanan yang akan kuterima bila hinaan dan kata-kata kasar ditambah dengan kekerasan.

Mengerti maksudku? Lebih baik berdiam dan menerima perlakuan ini daripada melawan dan berakhir di rumah sakit. Yah, tidak adil, aku tahu. Tapi dunia ini adil karena ia tidak adil.

Semuanya bertambah berat seiring aku masuk SMA. Hinaan berubah menjadi tinjuan pelan, namun cukup kuat untuk menimbulkan memar. Kata-kata kasar berubah menjadi candaan kotor, seringkali melibatkan aku dan orang tuaku. Bahkan ada satu kali dimana mereka menghina adik-adikku, membuat genggam tanganku mengerat sampai mencapai titik rasa sakit, menahan amarah. Amarah membara yang tidak bisa kulampiaskan, hingga aku yakin bisa melihat warna merah di balik kelopak mataku, membutakan.

Tak ada hari dimana aku pulang tanpa memar atau luka kecil bekas sorongan yang mengakhiri tubuhku di lantai. Walau tidak setiap hari para berandal itu menggangguku, aku tetap merasa sangat tertekan. Maka tak heran aku pernah mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup. Melepaskan segala ikatan duniawi yang erat ini, terlalu erat, sampai meninggalkan luka yang darahnya tak kian berhenti, membekas. Tapi pikiran-pikiran ini akan menghilang, musnah, kala aku pulang ke rumah kecilku yang sederhana.

Kala aku pulang dan menjumpai adik-adikku.

Mereka adalah anak-anak yang manis, walau terkadang nakal dan suka berbuat usil. Aku menyayangi mereka, karena mereka adalah alasanku untuk bertahan hidup setelah ayah dan ibu meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu. Aku merawat mereka dengan sebaik-baiknya, berharap bahwa aku yang masih duduk di bangku SMA ini cukup untuk menggantikan sepasang figur orang tua.

Apa daya, aku tidak bisa berada di sisi mereka setiap saat. Kami butuh penghasilan untuk bertahan hidup. Uang, semua kebutuhan selalu berujung uang. Warisan orangtuaku hanya bisa bertahan sekian lama sebelum aku harus membantu menopang rumah tangga ini. Petir, Angin, dan Tanah akan segera memasuki Sekolah Dasar. Aku perlu penghasilan tambahan. Maka dengan berat hati, aku mencari pekerjaan sambilan kedua. Setelah shift kerjaku selesai di sebuah minimarket setempat, aku mengambil posisi seorang pelayan di restoran bintang tiga, tak jarang bekerja sampai pukul dua pagi. Beruntung rasanya, aku bisa memalsukan usiaku menjadi dua puluh satu tahun. Kalau tidak, bagaimana mungkin seorang pelajar bisa diterima bekerja sampai semalam itu? Memang sangat melelahkan. Namun aku bertahan. Aku membutuhkan pekerjaan ini.

Inilah kehidupan sehari-hariku.

Bangun pukul setengah enam dan menyiapkan tasku dan adik-adik. Memasakkan mereka sarapan dan bekal, sekaligus makan siang dan makan malam yang kusimpan dalam kulkas. Aku sendiri tidak sempat makan, terkadang aku mengkonsumsi susu dan roti kemasan selama perjalanan menuju sekolahku. Selesai memasak aku membangunkan trio kembar, lalu mandi dan berganti seragam. Mereka makan ketika aku melakukan ritual pagiku ini. Sembari menunggu mereka selesai mandi, aku menyiapkan seragam mereka.

Selang lima menit, aku menggandeng mereka ke TK. Tertawa, seperti anak-anak pada umumnya. Bisa kurasakan rasa cintaku pada mereka semakin bertambah, saat aku berjongkok dan mengusap kepala mereka satu demi satu, "Kakak sudah siapkan makan siang dan makan malam di dalam kulkas. Hangatkan selama dua menit, oke? Ingat, bersikaplah yang baik ya? Jangan membuat rumah berantakan, dan ingat mengerjakan PR. Jangan tunggu kakak pulang, tidurlah begitu jam sembilan malam. Mengerti?"

Mereka berucap "siap kakak" secara serentak, lalu tertawa dengan manik berkilau jahil dan menubrukkanku ke tanah, memelukku. "Kami sayang kak Gempa!", tawa mereka, begitu polos dan manis.

Ya. Ini cukup.

Mereka tidak perlu tahu penderitaanku sebagai seorang anak yang dibully di sekolah. Mereka menyayangiku, dan itu sudah lebih dari cukup. "Petir, jaga adik-adik, ya? Kakak mau ke sekolah dulu," ucapku, mengecup kening mereka.

Anak yang bertopi menghadap depan membusungkan dadanya sedikit, terlihat bangga sudah dipercayakan dengan sebuah tanggung jawab. "Jangan takut kak! Petir bakal jaga Angin dan Tanah!"

"Da-dah kakak! Hati-hati!", lambai mereka saat aku berjalan menjauh.

Aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, membiarkan tiga anak kecil berusia belum enam tahun berjalan pulang sendiri. Memang tidak jauh, tapi mereka harus menyeberang dua jalan besar untuk sampai ke rumah. Aku ingin menemani mereka, menjemput mereka, tapi tetap saja aku tidak bisa. Sepulang sekolah aku harus langsung pergi ke minimarket, bekerja sebagai kasir sampai pukul lima. Biasanya aku akan langsung pulang ke rumah, namun untuk beberapa bulan ini aku tidak akan bisa. Adik-adikku perlu biaya untuk pendaftaran SD sekitar tiga bulan lagi.

Aku harus bekerja lebih keras.

Sebagai kasir, aku bisa belajar dan mengerjakan tugas kala tidak ada pelanggan di minimarket. Aku merasa bersyukur untuk hal itu. Melirik jam yang menandakan berakhirnya shift kerjaku, aku mengepak barang-barangku dan menyimpannya dalam tas. Aku mengganti seragam kasir dengan seragam pelayan di ruangan staff, mengucap salam pada bos dan bergegas ke restoran.

Dinding restoran dan bayang orang-orang bergerak cepat seolah menjadi blur seiring waktu berlalu, jarum panjang jam menunjuk angka 12. Malam yang melelahkan pun berlalu.

Menyeret kaki dengan rasa penat yang menyiksa, aku akhirnya sampai di rumah. Jam nenunjukkan pukul 2:30 pagi, dan untunglah adik-adik kecilku yang pengertian sudah membersihkan rumah. Setelah berganti pakaian tidur, aku bergegas mencuci pakaian, menyetrika seragam untuk besok, lalu jatuh ambruk ke kasur, tenggelam dalam tidur singkat yang tidak lebih dari tiga setengah jam, diselubungi rasa lelah yang luar biasa.

Rutinitas yang sangat tidak menyehatkan, katamu? Jangan ingatkan aku. Denyut dibalik tengkorak kepalaku masih menolak untuk pergi sejak minggu lalu.

Dalam selubung tidur, aku mengambang. Samar kumimpikan dinding rumah sakit. Seorang pemuda bersurai sewarna anggur. Limosin mewah yang remuk bagian depannya. Dan sosok-sosok kecil yang menangis, shock, di jalan besar dekat rumah kami.

Yah, seandainya aku tidak mengganggap lalu mimpi aneh yang kualami malam itu, aku tidak akan membiarkan adik-adikku pulang sendiri.

.

.

.

A/N:

Aloha (-u- )/

I'm so sorry to write this ;v; maafkan Ice ya Gempa #hugGempa

Fang in next chap! :9

Give me review, please? Or fav or follow? :3

They makes me happier, and happy me means faster update! xD