This Chapter Dedicated To:

My awesome Ex-LDR Fighter. We may have lost our dramatic battle against the distance, but thank you for the superb memories. And I'm sorry for taking so long, but as this story comes to an end, I finally let you go. Please be happy. Always.

.

.

Playlist for this chapter:

BTS – Hold Me Tight

VHope – Hug Me

Jungkook – Nothing Like Us

Nickelback – Far Away

.

.

.

Jungkook lulus dengan gemilang di jenjang Strata-2 dengan beasiswa penuh. Sejak mereka berpisah, ia memusatkan fokusnya pada studi, dan hampir tidak pernah pulang ke kampung halamannya.

Menurut kabar, Ibu Taehyung memutuskan untuk pindah ke Daegu dan menghabiskan masa tuanya di sana. Adik-adik Taehyung yang sudah remaja tetap di Seoul untuk melanjutkan pendidikan. Namun kakak mereka entah dimana.

Jungkook sempat pulang untuk mendatangi acara wisuda Taehyung 5 tahun yang lalu. Tapi, hingga buket bunga yang dibawanya layu, Taehyung tidak datang. Tidak ada yang naik ke atas panggung untuk menerima plakat kelulusan ketika nama Kim Taehyung disebut sebagai salah satu lulusan terbaik.

.

The scars are more painful than I thought

The pain digs in deeper than I thought

In the countless night I spent resenting you,

Feels like a hell.

.

Beberapa minggu setelah wisuda Strata-2 Jungkook, ia dihubungi oleh pihak sekolahnya dulu, diminta untuk mengisi pidato singkat disana sebagai salah satu alumni sukses. Ia memang tidak keberatan, tapi setelah menginjakkan kaki di gerbang megah itu, rasanya ia jadi menyesal. Begitu banyak kenangan berkelebatan akan masa mudanya yang begitu indah, mengirim sengatan rasa sakit di dadanya.

Namun ia memaksakan seulas senyum, sepenuhnya menghormati kilasan-kilasan memori yang pernah membuatnya begitu bahagia.

Jungkook melangkah melewati gerbang dengan langkah berat, melarikan jemarinya di sepanjang dinding demi secuil perasaan hangat familiar yang mengalir melalui ujung jemarinya. Tempat itu tidak banyak berubah, masih sama seperti 10 tahun yang lalu, ketika ia menginjakkan kaki untuk pertama kali di lapangannya yang luas.

Ia meneruskan langkahnya ke lantai pertama, melongok pada jendela masing-masing kelas, dan berhenti sejenak pada kelas paling ujung, kelas 10-1.

Jungkook bersandar di samping pintu yang tertutup, membayangkan menjadi Taehyung, yang tak pernah sekalipun absen menunggunya disana untuk makan siang bersama.

.

"Hei cutie, kok sendiri saja? Jomblo ya?"

Jungkook yang bermaksud pergi ke kantin segera menghentikan langkah dengan mata terbelalak, terkejut mendengar Taehyung yang muncul dari balik pintu kelas dengan wajah usilnya. Ia memasang wajah datar, meneruskan langkah dengan kesal, "Iya, jomblo."

"Ey~" Taehyung merajuk, merangkul kekasihnya yang super imut saat kesal seperti ini. "Bukannya kau pacar Kim Taehyung sunbae yang tampan itu?"

Jungkook menghela nafas dramatis, pura-pura memutar langkah kembali ke kelas. "Hyung membuatku tidak nafsu makan."

.

You're still shine,

You're like a scented flowers.

I think of you without stopping.

.

Ingatan itu membuat seulas senyum malu otomatis terlukis. Jungkook mengusap wajah salah tingkah berusaha mengenyahkannya dari pikiran, hingga tidak sadar kalau ia sudah berdiri dengan canggung di ujung koridor.

Menghela nafas, Jungkook membuka pintu besi dihadapannya dengan ragu, dan segera disambut oleh hamparan rumput dan beberapa pepohonan yang sudah ada sejak ia masih bersekolah disana. Jungkook mengedarkan pandangannya ke segala penjuru hanya untuk mendapati bahwa sama sekali tidak ada yang berubah yang berubah dari tempat itu.

Dulu, mereka memang selalu berkencan di sana karena tidak ada yang tertarik dengan ruang terbuka tanpa AC seperti itu, jadi mereka bisa menghabiskan waktu berkualitas berdua saja.

Jungkook melangkah menuju pohon mahoni yang berada di ujung lapangan, menghitung langkahnya dengan hati-hati. Tepat pada hitungan ke-39, ujung sepatunya bertabrakan dengan akar pohon yang menyembul, benar-benar persis 39 langkah seperti dulu. Sama sekali tak berubah.

Batang pohon kokoh dengan daun rimbun yang sesekali jatuh tertiup angin itu seketika menghadirkan bayangan Taehyung yang sedang bersandar maskulin dengan buku fisika di tangan, menunggu Jungkook datang.

.

"Lama sekali sih." Taehyung menggerutu, menepuk pelan kepala Jungkook dengan buku yang dibawanya.

"Maaf, tadi kantin ramai sekali. Aku beli roti cokelat dan keju, hyung mau yang mana?" Jungkook mengangkat kedua roti hingga mengapit pipinya yang tembam.

Taehyung nampak berpikir sejenak sebelum memegang dagu Jungkook, menggoyang-goyangkannya gemas. "Yang ini."

Jungkook hanya diam, pura-pura sibuk dengan rotinya.

"Dicuekin." Taehyung menggerutu. Ia berbaring di rumput dengan kedua lengan tersilang di belakang kepala sebagai bantal, menutup mata otomatis ketika cahaya matahari siang itu menyoroti wajahnya.

Jungkook meraih buku fisika yang tergeletak, lalu duduk bersila dengan tenang di depan Taehyung untuk menutupi cahaya matahari dengan punggungnya, menatapnya penuh arti tanpa mengatakan apapun.

Masih memejamkan mata, Taehyung menggerutu, "Jangan seperti itu, Jeon Jungkook."

Kekasihnya memiringkan kepala bingung, berusaha memahami kalimat Taehyung.

"Jangan melihat melihatku seolah akulah yang menggantung bintang di langit, atau apa." Taehyung membuka sebelah matanya, tak lagi merasa silau berkat Jungkook. "Padahal kau lebih memilih roti daripada aku."

Jungkook tersenyum, sama sekali tak merasa terganggu dengan ocehan Taehyung. Jemarinya bergerak untuk menyisir helai-helai rambut Taehyung yang terurai berantakan di dahi. Berkas sinar matahari menyorot dari belakang wajah Jungkook memberinya efek pembiasan dramatis dan terlihat jutaan kali lebih tampan. "Hyung."

"Hm?"

Jungkook tersenyum geli melihat wajah kesal kekasihnya, ia menggeser posisinya dan memajukan wajah hingga hanya berjarak beberapa senti dari telinga Taehyung. "Aku mencintaimu."

"Eh?" Taehyung berkedip cepat, jelas terkejut mendengar kalimat manis yang tiba-tiba diucapkan dengan mata berbinar oleh manusia favoritnya.

Belum hilang rasa kaget Taehyung, Jungkook mendadak merunduk begitu dekat hingga ujung hidung mereka bergesekan, dan sesuatu menyapa bibir Taehyung.

Asing, namun begitu lembut dan hangat.

Ciuman pertama mereka.

.

Your arms,

Your warmth,

Your heart,

I want to see it all.

I beg you.

.

Karena berdiri di sana hanya menambah rasa sakit, Jungkook meneruskan langkahnya ke lantai dua, sepenuhnya lupa kalau luka yang lain sudah menunggu di sana.

Sekarang masih pagi, jadi jeritan-jeritan gembira siswa yang lalu lalang memasuki gerbang sekolah jelas terdengar hingga lantai dua. Jungkook berhenti di balkon yang menghadap langsung ke lapangan dan gerbang sekolahnya, memandang wajah-wajah ceria penuh tawa itu selama beberapa saat, sebelum kembali teringat pada Taehyung.

.

Setelah mereka beranjak ke kelas 2, Taehyung tak lagi bersekolah disana, jadi mereka tak bertemu sesering sebelumnya. Namun setiap hari Kamis, saat Taehyung tidak memiliki jadwal kuliah sore seperti hari ini, Jungkook akan langsung berdiri di balkon lantai 2 begitu bel pulang berbunyi.

10 menit setelahnya, tepat sepuluh menit, Taehyung datang dengan berlari heboh dari arah gerbang, lalu berteriak, "JEON JUNGKOOK! PULANG YUK!"

Tersenyum sama bersemangatnya, Jungkook berlari menuruni 40 anak tangga dengan melompati tiap 2 anak tangga sekaligus. Sama sekali tak ragu, karena di ujung sana, pada anak tangga terakhir, Taehyung selalu berdiri dengan senyuman manis dan tangan terentang, menunggunya melompat ke pelukan.

"Aigoo." Taehyung merintih sambil memegangi pinggangnya dengan komikal begitu pelukan mereka terurai. "Kau harus mengurangi makan pudding, yang."

"Shireo!" Jungkook berjalan menjauh mendahului Taehyung, merengut tak terima dengan kritikan kejam tadi. "Hyung yang harusnya mulai berolahraga, tau! Yugyeom yang sering mengangkatku saja selalu mengatakan aku terlalu ringan."

Taehyung menjejeri langkah Jungkook dengan alis berkerut, mengambil alih backpack sang kekasih untuk disampirkan di pundaknya sendiri. "Dan kenapa dia mengangkatmu?"

"Kami kan satu klub judo." Jungkook melengos menatap Taehyung seolah itu sudah menjelaskan semuanya.

"Dan?"

"Dan dia sering membantingku! Tidak sih, kami saling membanting sebenarnya. Saat stretching kan dia juga harus mengangkatku."

Bayangan Jungkook yang saling beradu punggung lalu diangkat oleh teman sekelasnya membuat Taehyung bertambah jengkel. "Kenapa stretching dengan cara seperti itu? Kalian pikir kalian pasangan?!"

Tertawa puas, Jungkook menyelipkan jarinya di celah jemari Taehyung, mengayunkannya dengan bersemangat. "Hehe, saranghae, hyung."

Siapa yang bisa marah ditatap begitu dekat oleh mata bening berbinar dan senyuman gigi kelinci yang lucu seperti itu? Kerutan kesal menghilang digantikan dengan tawa Taehyung –karena tawa Jungkook menular–, dan jemari mereka bertautan semakin erat. Taehyung mengusak rambut legam itu dengan penuh kasih sayang, "I love you most."

.

Lost in confusion,

Like an illusion,

You know I'm used to making your day.

.

Di lantai 3, ia tidak terlalu memiliki banyak kenangan bersama Taehyung, karena disanalah seluruh ruang kelas 12 berada, dan di tahun itu Jungkook lebih sering menghabiskan waktu di kamar Taehyung untuk belajar bersama dibanding pergi kencan. Namun ada satu ruang yang tak bisa ia lewatkan, aula sekolah.

Aula masih lengang ketika ia masuk. Beberapa orang tampak sibuk menyiapkan podium tempat Jungkook berbicara nanti, tidak mengacuhkan kehadiran Jungkook di antara mereka.

Kelebatan bayangan masa lalu kembali terlintas di kepala Jungkook. Saat ia berlarian bermain dodge ball dengan teman sekelasnya, saat ia bertanding basket pada acara class meeting, dan yang pasti–

saat ia bertemu dengan Taehyung untuk pertama kalinya…

.

Jungkook menggigit bibirnya gugup, sibuk celingukan mencari wajah yang mungkin dikenalnya. Tapi nihil, tentu saja karena ia tidak berasal dari sini. Jungkook memang baru pindah dari Busan ke Seoul beberapa minggu lalu, sang ayah ingin ia mendapat pendidikan yang lebih baik.

Pada awalnya, Jungkook memang tidak keberatan, tapi sendirian diantara ratusan murid baru seperti ini membuatnya membayangkan mengulang masa lalu, kembali di malam ketika ia menyetujui ajakan ayahnya untuk kemari.

Seharusnya ia tinggal saja di Busan, tertawa-tawa dengan Sunwoo dan Suwoong.

Aish, jadi rindu kan.

Suara deheman yang cukup kencang membuat aula yang semula ramai menjadi senyap. Semua mata tertuju pada pria setengah baya yang berdiri di podium, memberikan mereka tatapan yang mengisyaratkan 'diam atau mati'.

Rasanya seperti jutaan tahun ketika pak tua itu mulai bicara. Ia membicarakan omong kosong masalah prestasi dan segala tetek bengek keistimewaan sekolah itu, membuat Jungkook ingin merangkak ke balik selimut dan tidur sampai ujian akhir tiba.

Tubuhnya seolah tersengat listrik ketika pak tua itu mengatakan hal terakhir yang ingin ia dengar hari ini, "Tahun ini kita kedatangan murid spesial, seorang anak istimewa pindahan dari Busan yang meraih peringkat pertama dengan nilai fantastis di ujian masuk kemarin. Ia sengaja pindah ke Seoul untuk meneruskan pendidikannya di sekolah favorit ini, dan kita tentu saja harus menyambutnya dengan benar kan?"

Oh, tidak. Tolong, jangan biarkan ia memanggil Jungkook ke podium. Ia membenci atensi, demi apapun.

"Bagi Jeon –"

Aula yang semula hening berubah menjadi ricuh secara tiba-tiba. Pak tua itu juga berhenti bicara, matanya terbelalak seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Jungkook masih tidak mengerti apa yang terjadi hingga ia menoleh, dan mendapati sosok menjulang berdiri begitu dekat dengannya.

And, damn.

He's hella breathtaking.

5 sentimeter lebih tinggi dari Jungkook, dengan badan tegap terbalut kemeja yang terpasang asal yang kusut disana sini layaknya pembuat onar. Wajahnya luar biasa tampan dengan hidung mancung dan bulu mata lentik yang indah.

Pria itu mengulurkan tangan ke arah Jungkook dengan senyuman lebar, terlihat tidak terganggu sama sekali dengan seluruh atensi yang mereka dapatkan akibat kelakuannya. "Hello cutie, aku Kim Taehyung, kelas 12-5. Senior paling tampan seantero sekolah."

.

Tell me,

Was it worth it?

We were so perfect

.

Memori itu berkelebatan di pikirannya, seolah masih baru. Menimbulkan percikan euphoria asing, sekaligus nyeri yang menggigit sembilu. Seluruhnya berkelebatan di kepala Jungkook,

tentang masa lalu mereka yang indah, dan

Taehyung-nya yang sangat indah.

Sekarang, entah bagaimana ia jadi mengerti, dan sepenuhnya mensyukuri keputusan Taehyung untuk menghilang tanpa sedetikpun muncul walau hanya sekadar menanyakan kabar. Karena jika laki-laki itu disini, Jungkook tidak yakin ia bisa menahan diri.

Jungkook sudah kembali, tak ada lagi jarak, air mata, dan ratusan luka terpendam yang mengundang kesalahpahaman.

Mereka sudah tak lagi memiliki alasan untuk berpisah.

.

Nothing can make me

feel like you do

.

Jungkook sudah berada di titik paling ujung kehancuran ketika tiba-tiba bahunya ditepuk pelan oleh seseorang.

"Jeon Jungkook-ssi?" Ia mengulurkan tangan, menjabat Jungkook dengan gestur tegas. "Park Jungsoo, wakil kepala sekolah."

Seingatnya, dulu wakil kepala sekolah ini adalah pria botak tua yang mengajar kesenian, bukan pria pertengahan 30'an tampan dengan senyuman menarik seperti ini. "Saya yang menghubungi anda kemarin."

Ah, dia yang bertanggung jawab atas acara ini. Jungkook mengangguk sopan, "Jadi jam berapa saya harus berbicara?"

"Sekarang?" Ia tersenyum, bersamaan dengan suara pengumuman keras dari speaker tiap-tiap ruang yang menyuruh para siswa segera berkumpul di aula. Dalam waktu singkat tempat itu segera dipenuhi oleh siswa-siswa yang penasaran dengan rupa sunbae-jenius-alumni-fakultas-paling-bergengsi-di-dunia.

Masih dengan raut bingung, Jungkook membiarkan sang wakil kepala sekolah membimbingnya ke panggung, lalu memulai acara dengan sambutan dan perkenalan membosankan, sebelum akhirnya membiarkan Jungkook memulai presentasi formal yang ia siapkan dengan mengorbankan waktu tidurnya.

.

But that is the past,

We didn't last now,

I guess that this is meant to be.

.

"Oke, jadi itu tadi hanya uraian membosankan tentang nilai dan fakultas apa saja yang bisa kalian masuki dengan hasil akademis tertentu." Jungkook menahan geli ketika menatap ekspresi penontonnya yang bosan dan mengantuk. "Sekarang bagaimana kalau kita mulai diskusi yang menyenangkan? Kalian boleh menanyakan apapun."

Beberapa tangan segera teracung ke udara, wajah-wajah itu berubah cerah, menatap Jungkook penuh minat.

"Aku Boo Seungkwan, kelas 10-3. Jungkook sunbae, apakah disana mereka benar-benar hanya makan hamburger dan pizza?"

"Aku Kwon Soonyoung, kelas 12-1. Bagaimana cara sunbae berbicara dengan orang-orang disana? Apakah rasanya seperti mendengar mantra?"

"Aku Lee Seokmin, kelas 11-2. Apakah orang luar negeri benar-benar berkeliaran dengan bikini seperti di film-film itu, sunbae?"

Dan masih banyak pertanyaan ngawur lainnya, tapi ia menjawabnya dengan senang hati. Berbicara dengan mereka rasanya seperti healing time tersendiri bagi Jungkook, membuatnya seolah kembali ke masa dimana ia dan teman-temannya sering bertukar pikiran di tempat yang sama.

Seorang murid laki-laki dengan mata berbinar dan senyuman sopan mengangkat tangannya, "Saya Lee Chan, kelas 10-1. Apakah untuk bisa menjadi seperti sunbae dibutuhkan banyak kerja keras?"

Pertanyaan kali ini cukup serius sehingga Jungkook mengganti senyuman gelinya menjadi tatapan tegas, meminta agar benar-benar didengar. "Untuk sampai di tahap ini, aku mengorbankan banyak hal. Banyak sekali hal penting hingga rasanya begitu menyakitkan setiap diingat."

"Meraih mimpi jauh dari rumah seperti itu akan membuat kalian melewatkan banyak hal. Keluarga, orang-orang penting, dan teman lama kalian juga perlahan tidak lagi terasa sama. Semuanya akan berubah, dan rasanya sangat menyakitkan." Jungkook menatap wajah-wajah ragu penuh rasa takut itu dengan sorot lembut. "Tapi kalian akan melewatinya."

"Mereka memiliki dunia mereka sendiri yang seiring waktu akan semakin terasa asing untuk kalian masuki, karena kalian memang sudah tak seharusnya ada disana. Dan saat itu terjadi, alih-alih merasa sedih, segera bangun dunia kalian sendiri. Ciptakan zona nyaman kalian sendiri, buatlah sebanyak mungkin kenangan indah yang baru, agar bertumpuk dan menutupi kenangan-kenangan lama itu."

Jeda sejenak. "Kalau terlalu berpacu pada masa lalu, kalian tidak akan melangkah ke depan. Padahal hidup harus terus berlanjut bukan?"

Rasanya begitu lucu, karena Jungkook mengatakannya seolah ia sudah berhenti menoleh ke belakang. Padahal ia masih disini, berpegangan erat pada serpihan kenangan Taehyung yang tersisa.

.

Thinking about what we had,

I know it was hard.

But it was all that we knew.

.

Seorang siswa tampan berwajah masam yang mendengarkan sejak tadi tiba-tiba mengangkat tangannya. "Jika memang sesulit itu, apakah pengorbanan sunbae sepadan dengan hasil yang didapatkan?"

Hening sejenak, baik Jungkook maupun para pendengarnya tidak menyangka kalau pertanyaan seperti itu akan terlontar. Menguasai diri, ia mengulas senyum simpul, "Sebagai seorang manusia biasa yang mempunyai cita-cita setinggi langit, ya, ini sepadan."

"Tapi sebagai seorang ciptaan Tuhan yang hanya hidup sekali dan menginginkan kebahagiaan," ia mengedarkan pandangan ke seluruh aula, "tidak, seluruhnya sama sekali tak sepadan."

Seketika ruangan itu dipenuhi suara rendah bisikan siswa-siswa yang bingung dengan jawaban Jungkook.

"Aku berdiri disini, bukan untuk membual tentang meraih impian dan menyuruh kalian semua bersekolah sejauh dan setinggi mungkin, seperti yang diminta oleh kepala sekolah kemarin. Tapi sebagai seorang kakak yang peduli, aku lebih senang menyuruh kalian untuk meraih apa yang kalian sebut sebagai kebahagiaan terlebih dahulu, sebelum yang lain. Jangan sampai kalian hidup dalam penyesalan."

"Begitu banyak kebahagiaan yang harus kukorbankan untuk dua titel di belakang namaku, hingga terkadang, rasanya aku mau menyerah saja dan kembali berlari kebelakang untuk mengumpulkan keping kebahagiaan yang tersisa, merekatkannya hingga utuh seperti semula."

"Tapi seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa waktu akan terus berjalan, dan semua akan berubah. Kecuali, kenangan. Dan setelah semua yang terjadi, aku memutuskan untuk berhenti berusaha menentang takdir, untuk menghormati kenangan yang tersisa."

.

Cause nothing can ever,

Ever replace you

.

Sorot sendu dan senyuman pahit yang terlukis di wajah Jungkook mengundang simpati dari seorang siswa berwajah kalem yang segera meneriakkan kalimat penghiburan. "Seseorang juga pernah mengatakan padaku untuk bersabar, sunbae. Air laut yang telah berubah menjadi hujan, akan kembali lagi ke laut, tak peduli dimanapun ia jatuh. Dan takdir sunbae pun sama. Jika memang diciptakan untuk sunbae, pasti kebahagiaan macam apapun itu, akan kembali. Bermuara pada sunbae."

Ketulusan dalam suaranya mampu melukiskan seulas senyum tulus di wajah Jungkook, walaupun kini matanya mulai panas dan berkabut memikirkan Taehyung. Rasanya luar biasa menyakitkan membayangkan ia memiliki orang lain sebagai tempatnya bermuara. Jungkook menatap siswa itu lembut, "Kenapa kau tidak memperkenalkan siapa dirimu?"

"Aku Hong Jisoo, kelas 12-4."

"Nah, Jisoo-ya," seluruh perhatian beralih pada mereka berdua, "kau melihat hidup ini dengan sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan. Aku perlu belajar banyak padamu."

Suara tepuk tangan membahana dari seluruh aula. Beberapa orang bersuit dan meneriakkan nama Jisoo, sedangkan yang bersangkutan hanya tersenyum tanpa dosa seperti biasanya. Jungkook menoleh ke arah pembawa acara, menunjuk jam tangannya untuk memberi kode.

Wanita paruh baya itu mengangguk paham. "Oke, sekarang kesempatan terakhir, siapa yang ingin bertanya?"

Beberapa jari kembali teracung di udara, dengan seruan ribut yang berbunyi "Aku! Aku! Aku!"

Jungkook mengedarkan pandangannya ke seluruh kerumunan, berusaha mencari siswa yang cukup menarik perhatiannya, ketika tiba-tiba aula menjadi hening. Seseorang merangsek maju ke kerumunan, berjalan lurus hingga ke depan podium Jungkook dengan tangan teracung.

Déjà vu.

"Hello cutie. Aku Kim Taehyung, wali kelas 12-5. Guru paling tampan seantero sekolah."

.

There's nothing like us,

Nothing like you and me,

Together through the storm

.

Jungkook masih ingat betul betapa canggungnya pertemuan mereka. Ia ingat berapa detik yang dibutuhkan untuknya sadar dan menyambut uluran tangan Taehyung waktu itu. Ia juga ingat ratusan murid baru yang menyoraki mereka dan Taehyung harus membersihkan toilet selama satu minggu penuh setelahnya karena membuat keributan di tengah sambutan kepala sekolah.

Ia masih ingat setiap detilnya, dan mengulang adegan yang hampir sama membuatnya tak tahu harus mengatakan apa.

Aula masih hening ketika pembawa acara mengambil alih untuk menyelamatkan suasana yang tiba-tiba tegang diantara mereka. "Oh, oke, mari kita dengar pertanyaan dari Kim Taehyung sonsaengnim."

Senyuman tulus terlukis di wajah Taehyung yang kini terlihat semakin sempurna dengan rahang kokoh dan raut dewasa. "Apakah bintang masih tidak bisa meninggalkan langit, Jeon Jungkookie?"

.

Nothing like us

Nothing like you and me

Together

.

Rasanya seolah dunia berhenti berputar selama beberapa saat, dan yang tersisa hanya Jungkook dan Taehyung yang saling berpandangan tanpa kata.

Taehyung disini, dan dunianya utuh lagi.

Butuh beberapa detik sebelum Jungkook mengangkat microfon di depan mulutnya, tersenyum begitu tulus. "Di siang hari, bintang tak terlihat kan? Apa itu berarti bintang telah meninggalkan langit, Taehyung-ssi?"

Dua pasang netra itu tak berkedip, seolah tak ingin melepaskan sedetikpun kesempatan untuk menatap sosok yang begitu dirindukan, yang akhirnya berdiri dengan nyata, dan bisa ditemui tanpa harus tidur dan bermimpi.

Air mata merebak ketika rasa bahagia sekaligus lega memenuhi relung dadanya. Tanpa ragu, Jungkook meneriakkan isi hati yang nyaris membusuk karena terlalu lama terpendam tak dipertanyakan. "Tidak. Bintang akan menunggu, hingga malam tiba, kegelapan menyelimuti, dan langit dapat melihatnya lagi."

Selalu begitu, Kim Taehyung.

Selalu.

.

So I might

count every star

to where you are.

.

And write you

methapors in millions

with all the skies.

.

But really,

you just need to know:

I miss you.

.

I've still never seen stars

like the one in your eyes.

(Niocra Kladsflem)


.

.

"Kau disini. Kita tak lagi memiliki alasan untuk tidak berjuang."

.

"Ayo berlayar lagi, aku akan menjaganya agar tak karam kali ini."

.

.

"Kau mencintaiku, lagi?"

.

.

"Kata siapa aku pernah berhenti?"

.

"Aku mencintaimu, Jeon Jungkook."

.

"Selalu."

.


END


.

FINALLY SELESAI JUGA! Oh iya, mau cerita dikit aja nih. Epilog ini didedikasikan buat seseorang yang jadi inspirator utama buat aku bikin ff ini. I love him as much as Jungkook loves Tae in this fic. Tapi bedanya, cerita kami nggak berakhir seindah cerita Jungkook sama Tae.

Distance is the cruel-est thing in this world. Really.

Mungkin ada yang mikir kenapa aku bikin konfliknya gini banget, karena ya, cerita kami begini. Hubungan yang hancur karena jarak, nggak melulu karena pihak ketiga. Kayak yang mas Namjoon bilang, cinta aja nggak cukup.

Duh, jadi curhat. Eak, intinya mah ini semacem diary(padahal ceritanya beda), dan bersamaan dengan cerita ini tamat, doain perasaanku ke dia juga tamat. Doain beneran ya ya ya? Beneran lho ini, anggep aja sebagai upah nulis 20 chapter/?

Chap ini juga didedikasikan untuk para calon mahasiswa baru yang mau keluar kota atau keluar negeri mungkin? Semangat yaaaaa, awalnya bakalan susah, tapi habis itu ntar enak kok. Cius. Eak, semangat pokoknya, kalo ada apa-apa curhat sini sama adek/? ;))

Ini udah beneran end ya, udah epilog nih, duh jadi syedii. Tapi gapapa, aku bakalan balik lagi bawa cerita baru. Kalian masih mau baca gak? Kalo masih, pilih dulu nih, salah satu 'pemanis' hubungan vkook di next ff mending mas hozeok apa mas jiminz?

Kalo ga dijawab aku ngambek nih, gamau balik bawa ff baru lagi. /tebas/

Dan terimakasih buat semua pihak yang sudah meninggalkan jejak dari chapter satu sampai sekarang, terimakasih udah bilang lawakan receh sang author nggak garing, terimakasih buat yang udah baca aja, juga special thanks buat para kesayangan rumpi yang masuk di part 'dedicated to'. Yang belum pernah review dari awal boleh banget lho tinggalin jejaknya disini hehe.

I love you all sooooo much!

.

Thanks to:

.

Kookiestaetae | nuruladi07 | Pra | VTeo | Jeon Hanna | Hantu Just In | Nikken969 | dumbshn | rizqiqaharini | peachpetals | outout | akmy | prxmroses | maknaehehso | Ichimaru Kyoshiro | xxdraak | KiranARMY | PurpleLittleCho | YulJeon | Mokuji | | Shun Akira | gjdhdjd (guest) | KPOPfics | Kira | yxnghua | sanaa11 | Strawbaekberry | JeonTaeTae0613 | emma (guest) | taetae (guest) | babykookiies | kimiyukifernand | taehyungkece | fianisyawcreisa | Suni380 | aliavns | Christal Alice | chyper69 | Vkookdaily | ByunXiKim | milapriscella25 | octakyuu | definn | Vookie | fyhibjjlsgbd | Jung Jn | vijeonjims | kookievita99 | kyunminrawr | she3nn0 | Yeka | kookie97 (guest) | Xxzmn | Anunya Bangtan |YM424| Beanie-ya | TyaWuryWK | diannurmayasari15 | michaelchildhood | vkimtae | nilazm31 | anaegha | GingerZoo | Menantu Chanbaek | happiness (guest) | VKOOKNOKOOKV (guest) | mineeeyyyy98 | | hosokpie98 | kakaokuki | Fanteusey | vkookaddicted (guest)
| anyavsyh |rockers (guest) | ulyalenivk3001 | | cookiesnyamphi | Lele ngambang | Hansollee | nadoorim | mongtaevee | Suni Mozaa | JungKen | Sandra (guest) | nundiya (guest) | VkookKookV (guest) | syupit | JonginDO | pervelt | VKOOKFORLYF (guest) | rizqiqaharini | kookv9795 | Kajsyv | Nila Zahrotul639 | ByunBaekh614 | sandrapraba (guest) | chiyo-chan (guest) | jun (guest) | chyperz0130 | Tiffjy | becuy | Juniya368 | ainiajkook | shashasha (guest) | vlogriachan | taekookisreal | icha01 (guest) | wijayanti628 | Nugu (guest) | ChocoKim (guest) |jii-chan O3O | KimHR | nisachoco01 | dila kim (guest) | han sera (guest) | Tikha Semuel RyeolLhyun | Puspita824 | fangurlxx | ym (guest) | Xxzmn (guest) | kuki0123 | scsehun21 | siskap906 | HolyEXOL1 | tyra vcook (guest) | BBmasruroh517 | TAEKOOKED | Tae-kook | watermelon (guest) | ceritanyaininama (guest) | Haru-chan | Dd (guest) | Kookiev (guest) | Chann (guest) | meernazzyeol (guest) | kukisnuna | Chandelight | nanda (guest) | Baby-Army | Vkook'3001

.

.

XOXO, Kim Ara