Miracle

.

.

.

Chapter 11

.

.

.

_Oh iya yang kemarin minta peringatan, kuperingatkan ya ini ada NCnya :3 lewatin bagian itu bagi yang dibawah umur, thanks (:

.

.

.

Hubungan Minseok dengan Luhan kembali normal setelah ulangtahun Sehun. Luhan masih membawakan kopi ke toko, terlihat begitu santai dan menawan, sehingga membuat Minseok nyaris percaya bahwa adegan diteras depan rumah itu tidak pernah terjadi.

Pada hari mendekati hari natal, Luhan meminta Minseok untuk membantunya berbelanja dekorasi natal, karena Luhan dan Jongin tidak punya satu pun ornamen untuk memulainya, sudah terlalu lama mereka tidak merayakan natal lagi. Minseok menemani Luhan memasuki bermacam toko untuk membeli aneka barang seperti karangan bunga segar untuk digantung diambang pintu dan lemari, lingkaran bunga untuk ditempel dipintu depan, satu set lilin hias dengan penyangga kaca, dan poster Santa yang dibingkai. Satu-satunya barang yang dikeluhkan Luhan adalah pajangan buah imitasi untuk ditempatkan di tengah meja.

"Aku benci buah imitasi," cetus Luhan.

"Kenapa? Pajangan itu indah."

"Aku tidak menyukai semua hal yang kelihatannya bisa kumakan tapi ternyata tidak. Aku lebih suka membuat pajangan dari buah asli."

Minseok menatap Luhan dengan sorot jengkel sekaligus geli. "Pajangan seperti itu tidak akan bertahan lama. Jika kau membuatnya dari buah asli dan kau memakannya, lalu apa yang terjadi dengan pajangannya?"

"Aku akan membeli buah lagi untuk menggantikannya.

Setelah selesai membeli pernak pernik Natal Luhan membujuk Minseok untuk makan malam bersamanya. Minseok sudah mencoba untuk menolak, mengatakan bahwa mereka seperti sedang berkencan, tapi Luhan beralasan, "Anggap saja ini makan siang. Hanya saja dilakukan sangat terlambat." Dan Minseok pun menyerah. Mereka pergi ke sebuah restoran kecil yang berlokasi dekat pantai.

"Jika ini kencan," ujar Luhan pada Minseok setelahnya, "maka ini adalah kencan terbaik seumur hidupku."

"Anggap saja ini latihan," balas Minseok sambil tertawa. "Untuk kencan yang sesungguhnya dengan seseorang."

Tapi bahkan di telinga Minseok sendiri, komentar itu terdengar salah dan meragukan.

.

Pada jum'at sore Sehun datang bersama Luhan ke toko mainan dan mengajak Minseok melihat pasar malam bersamanya.

"Aku ingin pergi bersama imo," kata Sehun pada Minseok.

Minseok tak akan bisa menolak pada permintaan Sehun jadi Minseok berjanji menyusul mereka setelah menutup toko.

Malam saat Minseok menyusul Sehun Pasar malam sudah penuh sesak, belum lagi keriuhan dari penonton dan juga wahana yang ada disana. Minseok berkeliling melewati banyak sekali orang, keluarga yang membawa anak-anak mereka, pasangan kekasih, rombongan teman yang berkelompok. Tiba-tiba Minseok merasa sedih menyadari ia tidak akan bisa menemukan Sehun dan Luhan ditempat seramai ini.

Tidak masalah, tegas Minseok pada dirinya sendiri. Mereka bisa bersenang-senang tanpa dirinya. Ia bukan bagian dari keluarga mereka. Jika Sehun kecewa karena tidak bisa bertemu dengannya disini, kekecewaan itu pasti tidak akan berlangsung lama.

Tapi semua itu tetap tidak bisa meredakan rasa tercekik di tenggorokannya, atau sesak di dadanya. Ia terus mencari ditengah kerumunan, melewati satu demi satu keluarga yang ada disana.

Minseok pikir ia mendengar namanya dipanggil dari kejauhan. Ia berhenti, berbalik, dan mengamati sekitarnya. Ia melihat seorang gadis kecil bertopi merah. Itu Sehun, berdiri bersama Luhan, melambaikan tangan padanya. Dengan kelegaan besar, Minseok berjalan menghampiri mereka.

"Kami menunggu Imo lama sekali," Sehun sedikit cemberut, sambil meraih tangan Minseok.

"Maaf," ujar Minseok kehabisan napas. "Sulit sekali untuk menemukan kalian ditengah keramaian."

Luhan tersenyum dan melingkarkan lengan disekitar bahu Minseok, menarik Minseok ke sisinya. Luhan menunduk untuk menatap wajah Minseok, saat ia merasakan Minseok menarik napas panjang. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Luhan.

Minseok tersenyum dan mengangguk, nyaris meneteskan air mata.

Tidak, pikir Minseok. Aku tidak baik-baik saja. Minseok seperti baru saja mengalami mimpi, dimana ia berusaha untuk menemukan seseorang atau sesuatu yang berada diluar jangkauannya, jenis mimpi buruk yang akan membuatmu terbangun dalam keadaan sesak dan terisak. Dan sekarang ia berada ditempat yang paling diinginkannya, bersama dengan dua orang yang paling dicintainya didunia.

Rasanya sangat sempurna, hingga membuatnya takut.

.

.

"Kau yakin kau tidak mau membeli pohon Natal?" tanya Luhan pada Minseok yang menemaninya membeli aksesori Natal. Ini adalah Natal pertama bagi Luhan setelah sekian lama dan terasa istimewa yang Luhan buat untuk Sehun.

"Aku tidak butuh pohon Natal," sahut Minseok dengan ceria, sambil mengendus aroma segar pohon Natal yang tertempel di sarung tangannya. "Aku akan pulang untuk merayakan Natal di rumah orang tuaku."

"Kapan kau akan kesana?"

"Pada malam Natal, aku akan naik pesawat saja untuk pulang." saat melihat kening Luhan berkerut, Minseok melanjutkan, "Sebelum aku pergi, aku akan meninggalkan kado untuk Sehun dibawah pohon Natal, jadi dia bisa membukanya pada esok paginya."

"Dia pasti lebih suka membuka kadonya dengan ditemani olehmu."

Minseok mengerjapkan mata, tidak yakin harus menjawab apa. Apakah itu berarti Luhan ingin ia merayakan Natal bersama dengan pria itu? Apakah Luhan berniat mengundangnya? "Aku selalu bersama keluargaku pada saat Natal," ujar Minseok dengan murung.

Luhan mengangguk, membiarkan masalah itu terlupakan.

Minseok membantu Luhan memasukkan pohon Natal ke rumah. Rumah sangat sepi, Sehun masih disekolah dan Jongin pergi ke Seoul untuk mengunjungi temannya.

Minseok tersenyum saat melihat ada banyak origami burung bangau dari kertas berwarna warni disebuah keranjang dekat televisi. "Ada yang sangat sibuk rupanya."

"Sehun belajar membuatnya disekolah," jelas Luhan. "Sekarang dia berubah menjadi seperti buruh pabrik, setiap hari dia melipat kertas-kertas itu."

"Aku dengar jika seseorang bisa melipat seribu origami burung bangau keinginan orang tersebut akan terkabul. Kurasa Sehun punya keinginan yang sangat besar jadi dia bersemangat membuat origaminya."

Luhan hanya tersenyum mendengar penjelasan Minseok.

Minseol mulai membuka hiasan Natal yang berisi lampu hias kelap-kelip.

Dalam waktu satu jam, mereka berhasil membuat pohon Natal berdiri mantap dan menghiasnya dengan lampu kelap-kelip. "Sekarang bagian ajaibnya," seru Minseok, sambil menyelipkan tubuhnya ke belakang pohon yang sempit. Minseok mencolokkan. Kebel lampu ke listrik, dan pohon Natal itu mulai terlihat berkilauan.

"Itu bukan keajaiban," komentar Luhan, tapi ia tersenyum saat melangkah mundur untuk mengamati pohon tersebut.

"Lalu apa?"

"Bohlam kecil berwarna-warni yang dirangkai dan dinyalakan dengan tenaga listrik."

"Iya kau benar." Minseok mengangkat jadi telunjuknya saat menghampiri Luhan, "tapi apa yang membuatnya berkelap-kelip?"

"Keajaiban," jawab Luhan pasrah, bibirnya menyunggingkan senyum.

"Tepat sekali." Minseok tersenyum puas pada Luhan.

Luhan menyelipkan tangan ke rambut Minseok, meremas kepalanya, dan menatapnya. "Aku membutuhkanmu dalam hidupku."

Untuk sejenak Minseok tidak bergerak atau bernapas. Pernyataan itu mengejutkannya -begitu terus terang dan tegas. Minseok tidak bisa memalingkan wajahnya, hanya bisa menatap Luhan, dan terpesona oleh ekspresi yang tampak dimata pria itu.

"Belum lama ini aku mengatakan pada Sehun bahwa cinta itu pilihan," kata Tuhan. "Aku salah. Cinta bukanlah pilihan. Satu-satunya pilihan adalah apa yang akan kau lakukan dengan cinta itu."

"Kumohon," bisik Minseok.

"Aku mengerti apa yang kau takutkan. Aku mengerti kenapa semua ini begitu sulit untukmu. Dan kau boleh memilih untuk tidak mengambil kesempatan ini. Tapi aku akan tetap mencintaimu."

Minseok memejamkan matanya.

"Kau memiliki waktu yang kau butuhkan," Minseok mendengar Luhan mengatakannya. "Aku bisa menunggu sampai kau siap. Aku hanya ingin mengatakan padamu apa yang kurasakan."

Minseok masih tidak sanggup menatap Luhan. "Aku mungkin tidak akan pernah siap untuk komitmen yang kau inginkan. Jika kau hanya meminta seks yang tak berarti, itu tidak akan menjadi masalah. Aku bisa memberikannya. Tapi kau..."

"Baiklah."

Mata Minseok seketika itu juga terbuka. "Baiklah apa?"

"Aku akan menerima seks tidak berarti yang kau tawarkan."

Minseok menatap Luhan dengan bingung. "Tadi kau bilang kau bersedia menunggu!"

"Aku bersedia menunggu komitmenmu. Tapi sementara menunggu aku tidak keberatan dengan seks."

"Jadi...kau tidak masalah dengan hubungan fisik yang tidak bermasa depan?"

"Jika hanya itu tawaran terbaikmu untuk saat ini."

Saat menatap Luhan, Minseok melihat kilat jahil didalam mata pria itu. "Kau menggodaku," cetus Minseok.

"kau juga."

"Kau pikir aku tidak akan melakukannya ya?"

"Yah," ujar Luhan dengan lembut, "aku tidak yakin."

Minseok terlihat bingung untuk memahami lilitan emosi yang berbaur didalam dirinya. Ada kemarahan, ketakutan, kewaspadaan, bahkan sedikit kegembiraan...tapi tak ada satupun yang menjadi penyebab rasa panas yang bergetar dan menyebar ke sekujur tubuhnya saat ini. Sensasi itu berkumpul ditempat yang membuat wajahnya merona dan membuatnya begitu menginginkan Luhan. Ia menginginkan Luhan, saat ini juga, dengan kebutuhan yang membuat perutnya bergelenyar, jantungnya berdetak cepat, dan kepalanya berputar.

Minseok merasa takjub pada dirinya sendiri saat mendengar betapa tenang suaranya, saat ia berkata, "dimana kamar tidurmu?"

Minseok merasakan kepuasan saat melihat mata Luhan terbelalak, kilat jahil lenyap dari sana.

Luhan membawa Minseok ke lantai atas, setiap beberapa langkah menoleh kearahnya, seolah ingin memastikan ia masih berada disana. Mereka masuk kekamar Luhan.

Sebelum kehilangan keberaniannya, Minseok melepaskan sepatu dan menanggalkan sweter serta celana jinsnya. Udara dingin dikamar membuatnya gemetar, saat ia berdiri hanya dengan mengenakan pakaian dalam. Luhan menghampiri Minseok, dan Minseok mengangkat kepala untuk melihat bahwa Luhann juga sudah melepaskan sweter serta kaosnya, dada Luhan yang telanjang menampakkan ototnya yang samar terbentuk. Gerakan Luhan sangat berhati-hati dan lembut, seolah ia berusaha untuk tidak mengejutkan Minseok. Minseok hampir bisa merasakan tatapan Luhan saat menyusuri sekujur tubuhnya, sebelum berhenti di wajahnya.

"Kau sangat cantik," bisik Luhan, membiarkan satu tangannya membelai bahu Minseok. Bagi Minseok, rasanya lama sekali Luhan menelanjanginya, mencium setiap senti kulitnya yang tersingkap.

Akhirnya, Minseok berbaring telanjang ditempat tidur, mengulurkan tangannya untuk meraih Luhan. Luhan melepaskan celana jinsnya, dan meraih Minseok kedalam pelukan, kulitnya terasa panas dibawah tangan Minseok yang menjelajah. Luhan mencium Minseok, mulut mencari-cari dengan lihai, kemudian menuntut, dan Minseok membuka diri untuknya, menyerahkan segalanya.

Sensasi yang baru terkuak, kenikmatan menyapu Minseok akibat eksplorasi mulut Luhan yang menggairahkan, tangan Minseok yang lembut, dan panas yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.

Sambil menggantungkan tubuh diatas tubuh Minseok, Luhan membelai rambut dari wajah Minseok yang berkeringat. "Apa kau benar-benar berpikir hubungan kita bisa kurang dari ini?" tanya Luhan dengan lembut.

Minseok menatap Luhan, bergetar hingga ke inti jiwanya. Bagi mereka tidak boleh kurang dari cinta, tidak boleh kurang dari selamanya. Kebenaran ada disana, ditengah denyut dahsyat yang bergetar diantara mereka. Minseok tidak bisa lagi menyangkalnya.

"Cintai aku," bisik Minseok, membutuhkan Luhan, akhirnya mendamba untuk bisa memiliki Luhan.

"Selalu, Minseok, aku mencintaimu..." Luhan memasuki Minseok, memberi tekanan panas yang mengisinya dengan hujaman memabukkan. Luhan terasa begitu kuat, didalamnya, diatas tubuhnya. Minseok merasakan gelombang kenikmatan yang semakin besar, terlepas sebentar, kemudian menghujamnya lagi, membawanya terbang lebih tinggi, sampai ia berteriak nikmat penuh ketakjuban. Tangan Minseok membelai punggung Luhan, dengan otot keras berkeringat dibawah telapak tangannya. Luhan mengikuti Minseok menuju puncak kenikmatan tertinggi, menemukan pelepasannya sendiri dalam pelukan Minseok yang manis dan kuat.

Setelahnya, mereka berbaring dalam kebisuan yang terasa begitu damai, tubuh mereka masih menempel dengan intim dan lekat.

Ada lebih banyak pertanyaan yang harus diajukan, jawaban yang harus ditemukan. Tapi untuk sekarang, semua itu bisa menunggu, sementara Minseok berbaring dengan perasaan dan kemungkinan yang baru. Serta harapan yang baru pula.

.

.

.

.

Malam Natal_

Sebagian kado yang sudah dibungkus harus dipindahkan, saat Luhan dan Jongin memasang jalur kereta api listrik disekeliling pohon Natal. Sehun terlihat sangat gembira, berlari berkeliling dengan mengenakan piyama flanel merah untuk mengikuti kereta api yang melaju. Gaho berbaring didekat mereka, mengamati dengan curiga.

Semua orang sepakat bahwa Sehun boleh membuka satu kado pada malam Natal, sisanya harus menunggu sampai esok pagi.

Bisa ditebak, Sehun memilih kotak kado yang paling besar, yang ternyata berisi satu set kereta api mainan, itu merupakan hadiah dari Junmyeon. Kotak yang lain, yang masih terbungkus dengan rapi, berisi rumah peri yang dibuat oleh Minseok, dilengkapi dengan cat, sekantong lumut kering dan bunga, sekaleng lem glitter, dan bahan lain yang bisa digunakan Sehun untuk mendekorasi rumah peri itu.

Luhan duduk disofa disamping Minseok, yang baru saja menutup buku dongeng Natal yang mereka baca bersama.

"Sekarang sudah larut malam," gumam Minseok. "Sebaiknya aku segera pulang." jantung Minseok berdetak cepat saat Luhan mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinganya.

"Menginaplah disini bersamaku."

Minseok tersenyum. "Aku pikir ada peraturan tidak boleh ada tamu yang menginap," bisiknya.

"Iya, tapi ada satu pengecualian: seorang tamu boleh menginap jika salah satu dari kami akan menikahinya."

Minseok memberikan tatapan memperingatkan lagi pada Luhan. "Kau memaksa lagi, Luhan."

"Oh ya? Kalau begitu, kau mungkin tidak akan menyukai salah satu kado yang akan kuberikan padamu besok pagi."

Jantung Minseok berhenti berdetak. "Oh, Tuhan." Minseok menutupi wajahnya dengan tangan. "Semoga itu bukan benda yang kupikirkan saat ini." Minseok menatap Luhan melalui sela-sela jarinya.

Luhan tersenyum pada Minseok. "Aku punya alasan untuk berharap. Belakangan ini kau sulit untuk berkata tidak padaku."

Dan itu memang benar. Minseok menurunkan tangannya dan menatap Luhan, pria tampan dan luar biasa seksi yang telah mengubah seluruh hidupnya hanya dalam waktu singkat. Minseok merasakan gelombang kebahagian yang begitu kuat hingga nyaris membuatnya sulit bernapas. "Itu karena aku mencintaimu," ujarnya.

Luhan meraih Minseok, kepalanya menunduk diatas kepala Minseok, mulutnya melumat mulut Minseok dengan ciuman yang manis dan mantap.

"Iiih," minseok mendengar Sehun berseru sambil terkikik. "Mereka berciuman lagi!'

"Kita harus pergi keatas agar tidak melihat mereka." kata Jongin pada Sehun.

"Apa sekarang sudah waktu tidurku, samchon?"

"Sekarang sudah lewat setengah jam dari waktu tidurmu."

Mata Sehun membelalak. "Sebentar lagi Santa akan datang. Kita harus menyiapkan biskuit dan susu."

"Dan jangan lupa wortel untuk rusa-rusa Santa," ujar Minseok, melepaskan dirinya dari pelukan Luhan dan pergi ke dapur bersama dengan Sehun.

"Apa menurut imo Gaho akan membuat Santa takut?" tanya Sehun, suara anak itu terdengar hingga keruang tamu.

"Dengan pengalaman Santa melihat banyak anjing lain? Kurasa tidak."

Junmyeon yang dari tadi melihat interaksi mereka berdiri dan merentangkan tubuhnya, kemudian berkata. "Aku juga akan pergi tidur, Sekarang juga waktu tidurku." junmyeon naik ke atas menuju kamar tamu berada, dia berhenti untuk menoleh lagi pada Luhan. "Aku suka ini," kata Junmyeon mengejutkan sambil tersenyum tulus. "Rasanya...sangat kekeluargaan."

Sehun kembali ke ruang tamu dan meletakkan sepiring biskuit dan segelas susu dimeja kecil. "Gaho," satunya. "Jangan memakan semua ini."

Anjing itu menggoyangkan bokongnya tanda setuju.

"Ayo, Sehunnie," kata Jongin pada Sehun. "Aku yang akan mengantarkanmu ke kamar."

Sehun menatap Luhan dan Minseok. "Apa kalian akan memberiku ciuman selamat malam?"

"Sebentar lagi," janji Minseok. "Kami akan membereskan sesuatu dan menyiapkan ruangan ini untuk Natal besok." Minseok mengamati dengan sorot penuh kasih, saat Sehun melompati anak tangga menuju ke kamar.

Saat Luhan mematikan kereta api mainan. Minseok berjalan ke piring yang disiapkan oleh Sehun dan mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.

"Apa itu?" tanya Luhan, menghampiri Minseok.

"Pesan yang dibuat Sehun dan ingin di letakkan nya disamping piring dan burung bangaunya dikeranjang agar bisa dibaca Santa." minseok menunjukkannya pada luhan. "Apa kau tahu apa maksud tulisan Sehun ini?"

Dear Santa

Terima kasih karena telah membuat keinginanku menjadi nyata.

Love

Sehun

Luhan meletakkan pesan itu diatas meja, dan melingkarkan lengan diseputar tubuh Minseok. "Iya," sahutnya, sambil menatap ke dalam mata lembut Minseok. "Aku tahu apa maksudnya."

"Minseok apa aku boleh ikut bersamamu pulang kerumahmu, besok?" Keberangkatan Minseok memang ditunda dan akan pulang besok pagi.

"Apa k-kau?" tanya Minseok gugup.

Luhan tersenyum, dan Minseok hanya mengangguk menyanggupi.

Luhan menundukkan kepalanya untuk mencium Minseok, Luhan akhirnya percaya pada keajaiban.

"Terima kasih Kim Minseok, aku mencintaimu."

.

.

.

END

.

.

.

Udah end ya makasih untuk yg fav dan follow, yang udah review maaf y gk bisa bales lagi karena biasa kalo nulis di komputer mangkanya bisa bales, Komputer erorr jadi ngetik pake hape lagi. Thanks ya semuanya kiss for all :*

Tau yipan yg ketemu ma icing? Duh kenapa mereka gk tegur sapa, padahal yipan sama luhan terlihat akrab pas ketemu lagi. Uh, tau ah gelap. Suka ngarep ma mantan -_-