Miracle

.

.

.

Lumin slight Hanxing, gs for Minseok, chibi Sehun. Please! gk suka? Out don't be hater. Thank u ^^

.

.

Remake dari Lisa kleypas 'Christmas Eve at Friday Harbour'

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Dear Santa

Aku hanya ingin satu hal tahun ini

Seorang ibu

Jangan lupa sekarang aku tinggal diJeju.

Terima kasih

Love

Sehun

.

.

.

.

Sebelum adik perempuannya meninggal, Luhan memperlakukan keponakannya, Sehun dengan perhatian seadanya, layaknya seorang paman yang masih lajang. Luhan hanya bertemu dengan Sehun dalam acara-acara tertentu yang diadakan saat liburan, dan ia selalu membelikan keponakannya itu kado ulang tahun dan kado natal. Biasanya berupa voucher belanja. Hanya sebatas itu interaksinya dengan Sehun, dan selama ini semua ini sudah cukup.

Tapi segalanya berubah pada suatu malam bulan april diSeoul, ketika Zitao tewas dalam kecelakaan mobil. Karena Zitao tidak pernah menyebutkan tentang adanya surat wasiat atau rencana yang dibuatnya untuk masa depan Sehun, Luhan sama sekali tidak tahu bagaimana nasib keponakannya yang berusia enam tahun itu. Terlebih lagi Sehun tidak memiliki ayah. Zitao tidak pernah mengatakan siapa ayah Sehun, bahkan pada teman terdekatnya. Luhan sangat yakin Zitao juga tidak pernah mengatakan pada sang ayah tentang keberadaan Sehun.

Saat Zitao kuliah di Seoul, dia pernah menjadi seorang model untuk mengisi waktu senggangnya. Hidup sebagai model membuatnya terjerumus dalam pergaulan yang bebas. Sehun adalah hasil dari hubungan singkat petualangannya menjadi seorang model yang dipuja banyak pria, bukan, Zitao bukan wanita murahan yang banyak tidur dengan siapapun yang datang. Dia hanya tidur dengan satu pria saja tapi dia tidak mau menyebutkan namanya. Tapi pada akhirnya Zitao terpaksa harus mengakui bahwa petualangan untuk pemuasan kebutuhan pribadi harus diimbangi dengan pendapatan rutin. Zitao melamar pekerjaan disebuah perusahaan komputer dan mendapatkan posisi dibagian personalia, dengan gaji yang cukup besar dan tunjungan yang memadai. Dan pada saat itu Zitao mengakui bahwa ia sedang hamil.

"Akan lebih baik bagi semua orang jika pria itu tidak terlibat dalam hidup bayi ini," begitu jawab Zitao, ketika Luhan bertanya siapa lelaki yang telah menghamilinya.

"Kau akan membutuhkan bantuan untuk membesarkan anak itu," Luhan protes. "Setidaknya, pria itu harus bertanggung jawab secara finansial. Membesarkan anak tidaklah murah."

"Aku bisa mengatasinya sendirian."

"Zi...aku tidak ingin kau hidup sebagai orang tua tunggal."

"Menjadi orangtua, dalam bentuk apapun, selalu membuatmu ketakutan," ujar Zitao. "Yang cukup bisa dimengerti mengingat latar belakang keluarga kita. Tapi aku menginginkan bagi ini. Dan aku pasti bisa menjadi ibu yang baik."

Dan Zitao membuktikan kata-katanya.

Ia berubah menjadi orang tua yang bertanggung jawab, sabar dan penuh perhatian pada anak tunggalnya, melindungi tapi tidak terlalu mengendalikan. Hanya Tuhan yang tahu dari mana ia bisa mendapatkan keterampilan yang luar biasa untuk menjadi seorang ibu. Mungkin berasal dari insting, karena yang jelas Zitao tidak mempelajarinya dari orang tua mereka.

Luhan tau tanpa keraguan sedikitpun bahwa dirinya tidak memiliki insting serupa. Itu sebabnya ia sangat syok saat mengetahui bahwa ia tidak hanya kehilangan seorang adik perempuan, tapi juga mendapatkan seorang anak.

Luhan tidak pernah menduga kalau ia akan dijadikan sebagai wali Sehun. Dalam hampir semua hal, Luhan selalu menyadari sampai dimana kemampuan yang dimilikinya, dan ia tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi yang belum pernah dihadapinya. Tapi ini...merawat seorang anak...ini diluar kemampuannya.

Jika Sehun seorang anak lelaki tidak terlalu sulit ditebak apa kemauannya. Tapi disisi lain, kaum wanita adalah sebuah misteri. Sudah lama Luhan menerima kenyataan bahwa wanita adalah makhluk yang rumit. Mereka sering mengatakan hal-hal seperti, 'Jika kau belum tahu, maka aku tidak akan mengatakannya.' Mereka tidak pernah memesan sendiri hidangan pencuci mulut mereka, dan saat mereka menanyakan pendapatmu pakaian mana yang lebih bagus untuk mereka pakai, mereka tidak pernah mengenakan pakaian yang kau pilih. Meskipun Luhan mengakui tidak pernah bisa memahami wanita, ia memuja mereka: kerumitan mereka, kejutan yang mereka miliki, intrik yang mereka gunakan, dan perubahan emosi mereka yang sangat cepat.

Tapi untuk membesarkan salah satunya...

Oh Tuhan, tidak. Itu terlalu muluk. Dan membimbing seorang putri ditengah kondisi masyakat yang berbahaya dan penuh tipu muslihat seperti sekarang ini...Tuhan tahu ia tidak memiliki kualifikasi yang memadai untuk melakukannya.

Luhan dan saudara-saudaranya dibesarkan oleh orangtua yang menjadikan pernikahan sebagai ajang perang dan anak-anak adalah pion mereka. Sebagai hasilnya, keempat Kim bersaudara-Luhan, Junmyeon, Jongin dan Zitao-lebih senang saat orang tua mereka bercerai begitu mereka menginjak usia dewasa. Kecuali, Zitao, ia selalu mendambakan hubungan keluarga yang tidak pernah bisa mereka wujudkan. Akhirnya Zitao menemukannya dalam sosok Sehun, dan itulah yang membuat Zitao merasa sangat beruntung bisa memiliki putrinya.

Tapi sekali salah membelokkan setir mobil, satu jalanan basah sehabis hujan, dan satu momen yang tidak terkendali, kehidupan yang diperjuangkan oleh Zitao pun berakhir dengan singkat.

Zitao meninggalkan surat bersegel yang ditujukan untuk Luhan, dan bisa dianggap sebagai surat wasiat.

Tidak ada pilihan selain dirimu. Sehun tidak begitu dekat dengan Junmyeon dan Jongin oppa. Aku menulis surat ini sambil berharap kau tidak akan pernah harus membacanya, tapi jika kau membacanya...jaga putriku, Luhan oppa. Bantu dia. Dia membutuhkanmu. Aku tahu tanggung jawab ini mungkin terlihat terlalu berat untuk kau tanggung. Aku minta maaf. Aku tahu kau tidak pernah mengharapkan ini. Tapi kau pasti melakukannya. Kau pasti akan menemukan caranya.

Mulailah dengan mencintai Sehun. sisanya akan mengikuti.

"Kau benar-benar akan merawat Sehun, hyung?" Tanya Jongin pada Luhan dihari pemakaman Zitao, setelah mereka menghadiri jamuan dirumah Zitao. Rasanya mengerikan melihat barang-barang Zitao masih tergeletak seperti saat Zitao meninggalkannya: deretan buku cerita dilemari, sepasang sepatu yang dilemparkan asal ke lantai ruang ganti, lipgloss yang tertinggal di konter kamar mandi.

"Tentu saja aku akan merawat Sehun," jawab Luhan. "Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?"

"Ada Junmyeon. Dia sudah menikah. Kenapa Zitao tidak menyerahkan Sehun kepada Junmyeon dan Kyungsoo?"

Luhan memberikan tatapan jengkel pada adiknya. Pernikahan Junmyeon seperti virus yang menyerang komputer-kau tidak bisa membukanya dalam safe mode, dan menjangkiti program tanpa terlihat berbahaya, tapi bisa mengakibatkan kegagalan fungsi yang fatal.

"Apa kau mau menyerahkan anakmu pada mereka?" Tanya Luhan.

Dengan perlahan Jongin menggelengkan kepalanya. "Aku rasa tidak."

"Jadi, hanya aku dan kau yang Sehun miliki."

Jongin menatap Luhan dengan hati-hati. "Kau yang diberi tanggung jawab itu, bukan aku. Ada alasan kenapa Zitao tidak menunjukku sebagai wali Sehun. Aku tidak bisa mengurus anak."

"Kau ini pamannya Sehun."

"Iya, paman. Tanggung jawabku terbatas pada membuat lelucon tentang fungsi tubuh dan minum terlalu banyak pada acara kumpul keluarga. Aku bukan tipe seorang ayah."

"Begitu pula denganku," ujar Luhan dengan murung. "Tapi kita tetap harus mencobanya. Kecuali kau ingin menyerahkan Sehun ke panti asuhan atau diadopsi oleh orang lain."

Sambil melototkan mata, Jongin menggosok wajahnya dengan kedua tangan. "Bagaimana tanggapan Yixing tentang hal ini?"

Luhan menggelengkan kepalanya saat mendengar nama kekasihnya disinggung, "Aku baru berpacaran dengannya selama beberapa bulan. Dia harus menerimanya atau kami putus...semua terserah padanya. Tapi aku tidak akan meminta bantuannya. Ini tanggung jawabku. Dan tanggung jawabmu."

"Mungkin aku bisa mengasuhnya sesekali. Tapi jangan terlalu mengandalkan bantuanku...aku telah mencurahkan segala hal yang kumiliki untuk kebun anggurku. Apa Zitao punya asuransi jiwa?"

Luhan menggelengkan kepalanya. "Dia membiarkan asuransi jiwanya kadaluwarsa."

Jongin menatap kakaknya khawatir. "Apa kau akan menjual rumah Zitao ini?"

"Iya. Tapi aku ragu rumah ini bisa dijual dengan harga bagus sekarang ini." Luhan memandang Jongin. "Jangan pelit," katanya.

"Jangan khawatir."

Mereka duduk saling berhadapan didapur rumah Zitao. Mereka terdiam memikirkan bagaimana masa depan mereka hidup bersama sang keponakan sambil menikmati Kopi hangat yang ada dihadapan masing-masing.

Luhan menemukan kenyamanan yang mengejutkan dengan kehadiran adiknya. Sepertinya sejarah pertengkaran masa kecil mereka-perkelahian, pengkhianatan kecil-semua sudah lenyap dari hidup mereka. Sekarang mereka sudah dewasa, dengan jalinan persahabatan yang tidak pernah mereka miliki dengan satu sama lain saat orang tua mereka masih hidup.

Tapi, dengan Junmyeon kau tidak akan pernah sampai pada perasaan menyukai atau tidak menyukai. Junmyeon dan istrinya, Kyungsoo, datang ke acara pemakaman, tinggal untuk menghadiri perjamuan selama lima belas menit, kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada mereka.

Kim bersaudara tinggal didaerah yang berbeda. Junmyeon tinggal di Gangnam bersama istrinya. Sibuk dengan pengembangan kondominiumnya. Luhan sendiri sibuk dengan bisnis kopi yang dibangunnya diBusan. Dan Jongin, yang selalu berada dikebun anggurnya, merasakan hubungan yang lebih erat dengan alam daripada dengan manusia, Jongin tinggal di Jeju

Sedangkan Zitao memilih dipusat kota, Seoul, yang banyak bangunan pencakar langit yang terbuat dari kaca dan lembah semen, kopi instan, dan budaya perkotaan, restoran cepat saji yang bergaya, yang merusak citarasamu terhadap makanan yang alami dan sehat.

Sebagai respon atas komentar Jongin tentang orang-orang kota yang terlalu banyak bicara dan berpikir, Zitao hanya menjawab bahwa Seoul membuatnya lebih cerdas.

"Aku tidak perlu menjadi cerdas," kata Jongin. "Semakin cerdas dirimu, maka akan semakin banyak alasan bagimu untuk merasa sengsara."

Setelah pikirannya kembali ke masa sekarang. Luhan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Zitao, jika adik perempuannya tahu ia akan membesarkan Sehun dipulau Jeju.

"Apa Sehun mengatakan sesuatu hari ini?" Tanya Jongin. "Aku tidak sedikitpun mendengarnya bersuara."

Sejak diberitahu tentang kematian ibunya, Sehun terus membisu, hanya menjawab pertanyaan dengan anggukan atau gelengan kepala. Sehun juga selalu menampakkan ekspresi kosong dan bingung, bersembunyi didalam dunianya sendiri, dimana tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu. Pada malam kematian Zitao, dari rumah sakit Luhan langsung pergi ke rumah adik perempuannya itu, dan disana ada seorang pengasuh yang sedang menjaga Sehun. Pada keesokan paginya, ia menyampaikan kabar kematian Zitao pada Sehun, dan sejak itu ia selalu berada didekat Sehun.

"Tidak satu katapun." Sahut Luhan. "Jika sampai besok dia masih tidak mau bicara, aku akan membawanya ke dokter anak." Luhan mengembuskan napas panjang dan bergetar, lalu menambahkan, "Aku bahkan tidak tahu di mana bisa menemukan dokter anak yang bagus."

"Ada sebuah daftar yang tertempel dikulkas," ujar Jongin. "Disana tertulis sejumlah nomor telepon, termasuk dokternya Sehun. Aku rasa Zitao sengaja menyiapkannya disana, jika pengasuh Sehun membutuhkannya dalam keadaan darurat."

Luhan beranjak ke kulkas, menarik secarik kertas yang tertempel disana, dan memasukkannya kedalam dompet. "Bagus," cetus Luhan dengan sinis. "Sekarang setidaknya pengetahuanku setara dengan pengasuh anak."

"Itu awal yang baik."

Saat kembali kemeja, Luhan kembali meminum kopinya dengan perlahan. "Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu. Sehun tidak akan cocok tinggal di apartemenku, disana hanya ada satu kamar tidur, dan tidak ada halaman untuk tempat Sehun bermain."

"Apa kau akan menjual rumahmu juga?"

"Mungkin menyewakannya."

"Lalu, kau mau tinggal dimana?"

"Dirumahmu ada cukup banyak kamar kosong."

Mata Jongin membelalak. "Tidak, dirumahku tidak ada kamar kosong."

Jongin mempunyai rumah yang sangat besar dan luas di Jeju. Ada cukup banyak kamar untuk dua orang bujangan dan seorang anak berusia enam tahun, ada halaman yang cukup luas untuk bermain hanya saja karena Jongin membeli rumah yang sudah tua banyak yang harus direnovasi.

"Tidak bisa," tegas Jongin tanpa bisa diganggu gugat. "Aku lebih suka tinggal sendirian disana."

"Memangnya apa kerugianmu membiarkan kami tinggal bersamamu? Tidak ada satupun aspek kehidupanmu yang akan kami campuri." Kami. Sepertinya mulai sekarang kata ganti itu akan menggantikan kata 'aku' dihampir semua kalimat yang terucap dari mulut Luhan.

"Kau bergurau kan, hyung? Apa kau tahu seperti apa kehidupan seorang pria lajang dengan anak-anak? Aku akan kehilangan semua wanita seksi, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang akan mau dibebani dengan peran sebagai pengasuh anak, dan mereka juga tidak mau membesarkan anak orang lain. Bahkan, jika dengan keajaiban Tuhan aku bisa mendapatkan wanita seksi, aku tidak akan bisa mempertahankannya. Tidak akan ada kencan spontan pada akhir pekan, tidak ada seks liar, tidak ada tidur larut. Selamanya."

"Kau tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu," tegas Luhan. "Kau hanya menghabiskan seluruh waktumu dikebun anggur."

"Intinya adalah, itu pilihanku. Tapi tidak akan ada pilihan jika ada seorang anak yang terlibat. Sementara teman-temanku berpesta dan melakukan apapun yang dia inginkan, aku harus pergi ke supermarket untuk membeli cairan penghilang noda dan biskuit anak-anak."

"Tidak akan selamanya seperti itu."

"Memang tidak selamanya, hanya sepanjang masa mudaku." Jongin menundukkan kepalanya ke meja, seolah hendak menghantamkan kepalanya disana, kemudian membaringkan kepalanya diatas lengannya yang ditekuk.

"Bagaimana kau mendifinisikan masa mudamu, Jongin? Karena dari yang aku lihat masa mudamu sudah ditelan hiu sejak beberapa tahun yang lalu."

Jongin diam tidak bergerak, selain jari tengah tangan kanannya yang diangkat. "Aku punya rencana saat nanti berusia tiga puluhan," ujar Jongin dengan suara menggerutu. "Dan tidak ada satupun yang melibatkan anak-anak."

"Begitupula denganku."

"Aku tidak siap dengan semua ini."

"Begitu pula denganku. Itu sebabnya aku butuh bantuanmu." Luhan mengembuskan napas tegang. "Jongin, kapan aku pernah minta sesuatu padamu?"

"Tidak pernah. Tapi haruskah kau memulainya sekarang?"

Luhan membuat nada suaranya terdengar persuasif. "Coba kau pikirkan dengan cara seperti ini...kita akan memulainya dengan perlahan. Kita akan menjadi pemandu tur Sehun dalam menjalani hidup. Pemandu yang santai, yang tidak akan pernah menggunakan omong kosong semacam 'hukuman yang masuk akal' atau ' karena aku bilang begitu'. Aku sudah menerima kenyataan bahwa aku tidak akan pernah menjadi yang terbaik dalam membesarkan anak...tapi tidak seperti ayah kita, kesalahanku tidak akan terlalu fatal. Aku tidak akan memukulnya jika dia tidak membereskan kamarnya. Aku tidak akan memaksanya memakan seledri jika memang dia tidak menyukainya. Aku tidak keberatan jika dia bermain. Semoga saja dia bisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang memiliki pandangan luas dan memiliki pekerjaan yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kita akan melakukannya, tapi itu lebih baik daripada menyerahkan dia untuk dibesarkan oleh orang asing. Atau yang lebih buruk lagi, oleh kerabat kita yang lain."

Beberapa makian terlontar dari mulut Jongin yang tertutup otot kokoh dilengannya. Seperti yang Luhan harapkan, adiknya itu memiliki kelembutan terpendam yang bisa dengan mudah dipancing keluar. "Baiklah." Jongin menegakkan tubuhnya sambil menghela napas, lalu melanjutkan. "Baiklah, tapi aku punya syarat. Pertama, aku minta uang sewa apartemenmu setelah kau berhasil menyewakannya."

"Setuju."

"Dan aku juga membutuhkan bantuanmu untuk memperbaiki rumah."

Luhan menatap Jongin dengan hati-hati. "Aku tidak mahir dalam merenovasi rumah. Aku bisa melalukan pekerjaan yang mendasar tapi..."

"Kau cukup bagus melakukannya. Dan melihatmu membetulkan lantaiku bisa menjadi penenang jiwaku yang kalut." Setelah Jongin mendapatkan janji akan memperoleh uang sewa dan pekerja berupah murah sebagian keengganannya memudar. "Kita akan mencobanya selama dua bulan. Tapi jika aku tidak bisa menanggungnya, kau harus membawa anak itu ke tempat lain."

"Enam bulan."

"Empat."

"Enam."

"Sial, baiklah enam bulan. Oh Tuhan." Gumamnya. "Ada tiga orang Kim dibawah satu atap yang sama. Bencana sedang menunggu untuk beraksi."

Sehun datang ke ambang pintu dapur. Anak itu sudah bangun dan berdiri disana dalam keadaan bingung dan mengantuk. Anak kecil yang malang, mengenakan piyama pink, kaki telanjangnya terlihat pucat dan lemah dilantai yang berwarna hitam.

"Ada apa, sayang?" Tanya Luhan dengan lembut, lalu berjalan menghampiri Sehun. Luhan menggendong Sehun-anak itu beratnya tidak sampai dua puluh kilogram-dan Sehun bergelayut padanya seperti seekor monyet. "Hunie tidak bisa tidur?" Kepala Sehun direbahkan dibahu Luhan, rambut Sehun yang lembut serta beraroma gadis kecil dan sampo stroberi mengisi hidung Luhan dengan kelembutan yang menggelisahkan.

Hanya dirinya yang dimiliki oleh Sehun.

Mulailah dengan mencintainya.

Itu akan menjadi bagian yang mudah. Justru selebihnya yang ia khawatirkan.

"Aku akan menidurkanmu lagi, manis." Ujar Luhan. "Kau harus tidur. Besok akan menjadi hari yang sibuk untuk kita."

Jongin mengikuti Luhan yang menggendong Sehun kembali ke kamar. Tempat tidur bertiang empat itu dilengkapi dengan kelambu dibagian atasnya, dimana Zitao menggantungkan bermacam kupu-kupu kertas dengan sayap dari kain kasa beraneka warna. Setelah membaringkan Sehun dikasur, Luhan menarik selimut hingga ke dagu Sehun, lalu duduk dipinggir tempat tidur. Sehun tidak mengatakan apa-apa dan tidak berkedip.

Sambil menatap mata Sehun yang ketakutan, Luhan membelai rambut dari kening Sehun. Ia akan melakukan apapun demi Sehun. Kuatnya emosi yang ia rasakan membuatnya terkejut. Ia tidak bisa mengembalikan apa yang telah hilang dari hidup Sehun. Ia tidak bisa memberikan kehidupan seperti yang dimiliki Sehum sebelumnya. Tapi ia akan menjaga Sehun. Ia tidak akan menelantarkan Sehun.

Semua pikiran itu, ditambah pikiran-pikiran lain, membanjiri benak Luhan. Tapi yang ia katakan hanyalah, " Kau ingin samchon menceritakan dongeng pengantar tidur?"

Sehun mengangguk, matanya beralih sebentar ke arah Jongin, yang sedang bersandar dipintu.

"Dahulu kala," mulai Luhan. "Ada tiga beruang."

"Dua paman beruang," tambah Jongin dari ambang pintu, suaranya terdengar pasrah, "dan satu bayi beruang."

Luhan tersenyum sambil terus membelai rambut Sehun. "Dan mereka semua tinggal disebuah rumah besar yang ada dipinggir laut..."

.

.

.

TBC

.

.

.

Kembali membawa remake hehe... untuk ff ini aku coba ngetik lewat hp moga lancar deh updatenya.

Sehun aku buat gs jadi anak kecil pula soalnya dia itu klo ketawa kyk anak kecil banget XD jadi bayangin dia pas usia itu jadi gemes pengen gigit #plaks

kutunggu reviewnya nih ^^ see u next chapter.