Far Away

Cast :

Oh Sehun

Lu Han

Rated : T

Genre : Romance dan Drama

Warning : Typo bertebaran, EYD berantakan, dan Cerita abal-abalan

DON'T LIKE DON'T READ

DON'T BE SILENT READER

~Banana Sehun present~

Happy reading^^

.

.

.

.

.

Kaki telanjangnya menapaki lantai sedingin aspal jalan. Perasaan dingin dan membeku merayapi ujung jari kakinya dan naik sampai ubun-ubun. Kaos kumal yang dipakainya tak dapat lagi menghalau dinginnya malam. Kaki sekurus rantingnya ia bawa menuruni tangga sepelan mungkin agar tak ada suara gemerisik bahkan jika itu hanya gesekan kulitnya dengan lantai kayu yang dipijaknya.

Kunci yang sedari tadi ia genggam dengan gemetar terjatuh menimbulkan suara gemericik khas. Kepalanya menoleh kebelakang takut-takut jika seseorang di dalam sana terbangun dan menemukan keberadaannya. Kunci itu ia raih kembali dan ia arahkan ke lubang pintu hingga muncul bunyi klek. Nafasnya yang sedari tadi ia tahan tanpa sadar kini mengalir lepas.

Kepalanya memutar segala arah dan hanya kegelapan yang ia tangkap sejauh ini. Lampu teras berpendar redup seolah tak bernyali melawan kelamnya malam. Kali ini kaki telanjangnya kedinginin lebih dari yang sudah ia dapat. Kakinya dapat membeku kapan saja jika tak segera ia langkahkan pergi.

Ia bawa tangan mungilnya dan ditangkup kearah bibir yang sudah membiru berharap sedikit kehangatan dari sana. Entah sudah berapa lama kakinya melangkah hanya sepi yang ia temukan. Daun yang melayang tertiup angin menjadi temannya sementara. Rambut panjangnya akan sedikit-sedikit berkibar menutupi matanya dan tangan kurusnya ia gunakan untuk menghalaunya walaupun itu akan terjadi 5 menit sekali.

Mata rusanya menemukan jalan bercabang yang orang sebut perempatan dengan lampu lalu lintas yang hanya menyala di area kuning saja. Langkahnya terhenti sejenak membiarkan otaknya berpikir panjang kemana arah yang akan ia tuju. Mau dirinya bawa kemana langkahnya kali ini?. Tak ada sekalipun tempat yang akan memberinya kehangatan. Sekalipun jika dirinya mati itu lebih baik daripada memutar arah untuk berbalik. Setidaknya dirinya pernah merasakan apa itu neraka. Sorot lampu mobil di ujung sana membuatnya bersiap-siap melangkah menuju aspal lebar. Dan ketika mobil itu hanya berjarak 100 meter dari tubuhnya dia sudah merasa siap menerima tubrukan keras pada tubuh ringkihnya. Siapapun itu dirinya akan berterima kasih karna sudah membunuhnya.

.

.

.

Lampu kerlap-kerlap juga musik yang mengalun keras sudah menjadi hal biasa di setiap club malam. Pasangan muda mudi asik mengesek atau menggoyangkan tubuh mereka secara sensual. Satu atau dua tangan akan menjalar beremas bagian tubuh yang membuat mereka gemas.

Aroma alkohol juga asap rokok bergumul diudara menciptakan perpaduan yang menyenangkan. Jika kau orang awam mungkin kau akan merasa sesak. Tapi tidak jika hal-hal seperti itu sudah menjadi bagian dari hidupmu. Kucuran alkohol yang bertabrakan dengan balok-balok es menjadi alunan merdu bagi penikmatnya. Termasuk pemuda berambut ash grey yang tengah menabrakkan gelas kacanya dengan gelas kaca milik orang disebelahnya lalu menegaknya penuh kepuasan.

"Aktor Oh! Sedang naik daun dan tengah pergi ke club. Tak takut skandal eh?" Yang ditanya menyeringai sedikit dan menyesap alkoholnya lagi.

"Perempuan-perempuan itu terlalu silau dengan pesonaku untuk mendengarkan hal-hal buruk tentangku" ujar lelaki yang disebut 'Aktor Oh' sombong. Senyum dibibirnya berganti geraman kesal ketika ponsel di sakunya bergetar untuk sekian kali.

Bedebah sialan. Siapapun itu ingin ia kutuk ke neraka sekarang juga.

Tangan panjangnya menekan tombol merah dan mematikan ponselnya membuat benda itu terdiam tenang. Tak taukah orang diseberang sana apa artinya kesenangan tanpa sedikitpun gangguan. Berbotol-botol alkohol berbagai merk yang tersusun rapi di rak sana sudah menunggu lembaran dollarnya. Dan dengan itulah dirinya bersenang-senang. Membuang sisa-sisa dollarnya yang menumpuk seperti sampah.

"Tak ingin turun?" Seorang disampingnya bertanya lagi sok peduli seperti mereka adalah kawan lama. Siapapun orang pasti akan ingin berteman dengannya hanya karna wangi dollar yang menyeruak dari sisi pori-pori kulitnya.

"Mereka terlalu liar. Dan aroma keringat mereka membuatku ingin meludahi tiap lantai yang kupijak"

Lelaki disampingnya tergelak lalu menggeleng jenaka. "Seberapa tinggi harga dirimu itu?"

"Yang pasti lebih tinggi dari gubuk tempatmu bernaung" Lagi. Sepertinya lidahnya memang diciptakan untuk menyerukan kalimat-kalimat merendah untuk segala makhluk hidup yang ia temui.

Dirinya menyesap alkohol mahalnya sendiri ketika lelaki itu memilih turun ke lantai dansa dan bergabung dengan manusia yang tengah menggila dibawah sana. Kepalanya ia goyangkan menikmati gesekan kepingan hitam yang dimainkan diujung sana oleh seorang profesional membuat keadaan semakin memanas. Beberapa muda mudi berjalan sempoyongan sambil berangkulan menyusuri lorong gelap dibagian belakang.

Bercinta. Sepertinya bukan hal buruk tapi akan menjadi jika orang-orang sialan itu menemukannya pulang dengan bau sperma yang menyengat.

Tangannya menarik dompet dari saku jeans dan mengeluarkan segepok dollar dan menyebarnya begitu saja membuat orang-orang yang melihatnya berlarian memungut tiap lembarannya.

Dirinya tak boleh terlalu mabuk untuk menyetir kearah apartementnya. Jalanan yang cukup lenggang membuat semuanya terasa mudah. Pengaruh alkohol yang bersarang diotaknya tak terlalu memberi efek buruk hingga dirinya dapat menyetir dengan normal. Tapi tidak akan bertahan lama jika sesosok entah apa itu muncul di depan mobilnya lalu bunyi benturan terdengar keras setelahnya.

.

.

.

Demi rating dramanya yang melonjak tinggi dirinya tak pernah sekalipun membiarkan orang lain bergelanyut dipunggungnya. Terkecuali untuk orang yang baru saja tidak sengaja mencium bodi mobil mahalnya. Seharusnya ia bersyukur akan hal itu bukannya malah tak sadarkan diri membuatnya beribu kali kerepotan.

Dihempaskannya tubuh si perempuan yang sekurus ranting itu di ranjang empuknya lalu dirinya memutar arah ikut merebahkan diri menyelami mimpi yang menggantung-gantung.

Jika bukan karna efek alkohol yang menggerogoti kesadarannya hingga titik paling bawah mungkin saat ini adalah waktunya untuk menerbangkan lembaran dollarnya dari balkon dan meracau tak jelas.

Hartanya.

Kekakayaannya.

Semua hal yang membuat orang lain berlutut dikakinya. Dia tak butuh.

Jika lembaran dollar itu mampu memberinya kebahagiaan ia rela jatuh miskin hanya untuk mendapatkannya.

.

.

.

"Sudah bertemu dengannya?" wanita berumur dengan barang branded yang melekat apik ditubuhnya berjalan tergesa. Pesonanya masih terpancar walaupun kerut keriput sudah terlihat dibeberapa bagian wajah yang terpoles make up itu.

Sosok disebalahnya berjalan tak kalah tergesa sambil fokus pada ponsel ditangan yang terus bergetar membuatnya mengumpat tertahan. "Dia menghilang sejak semalam. Aku sudah menghubunginya ribuan kali dan ribuan kali juga ia tolak" ucapnya bersungut-sungut lalu mengusap hidungnya.

Tangan si wanita yang lebih tua menekan digit-digit angka hingga terdengar bunyi ting pertanda dirinya berhasil membuka pintu yang menyembunyikan bedebah kecil itu. Segala cacian juga nasihat sudah ia siapkan untuk bedebah itu santap bersama sarapan sehatnya. Tak peduli jika waktu masih terlalu pagi untuk menyalurkan emosi tertahannya.

Tangannya membuka pintu dari kayu mahoni itu dan menemukan buntalan selimut yang menggunduk disana. Belum dirinya sempat berteriak kekagetan sudah menyerangnya terlebih dulu ketika tidak hanya satu kepala yang menyembul dari balik selimut tapi ada dua dengan rambut panjang salah satunya.

Emosinya semakin membumbung tinggi membuat tenaganya seolah dalam porsi besar untuk meraih selimut dan menariknya jatuh. Si lelaki hanya terbalut celana jeans panjang tanpa atasan lalu si perempuan terbalut dengan baju dan celana kumal disertai darah yang mengotori sprei di bawahnya.

Astaga. Kepalanya ingin pecah saat ini juga.

"Bangun kau Oh Sehun! Hey!" Si wanita berumur memukuli si lelaki dengan tas brandednya berulang kali dan si korban mengerang kesakitan dan membuka matanya malas.

"Apa yang kau lakukan? Demi tuhan ini masih pagi dan aku terlalu lelah untuk berdebat denganmu" erang si lelaki tanpa sopan santun berharap mendapatkan tidurnya lagi. Tapi tangannya yang ditarik keras membuatnya gagal.

"Lelah bercinta maksudmu?"

"Bercinta apanya? Apa tidur dengan memeluk guling kau sebut bercinta?"

"Lalu kenapa perempuan itu ada diranjangmu?" Si wanita berumur menyingkap baju si perempuan yang tidur dengan damai dan menemukan bercak kebiruan di sekujur tubuhnya. Yang bajunya ditarik pun merasa terusik dan membuka matanya perlahan menemukan pemandangan asing didepannya.

.

.

.

"Sudah bisa menjelaskannya sekarang?"

Kursi sofa berwarna merah darah kini sudah dipenuhi empat manusia yang memilih duduk di sofa single sambil menyandarkan punggung mereka masing-masing. Lelaki yang paling muda dengan rambut acak-acakan sesekali mengerang sebal.

"Apa yang harus kujelaskan? Aku semalam pulang dari club malam dan tak sengaja menabraknya lalu aku membawanya kesini hingga paginya kalian datang menganggu tidur nyenyakku" jelas si lelaki dengan intonasi yang tak bisa dibilang kecil.

"Mabuk dan meniduri perempuan lalu beralasan menabraknya? Kau fikir aku percaya jika dulu Appamu pernah dalam posisi seperti itu dengan sekretarisnya. Kalian memang sama. Tunggu sampai Appamu tahu dan entah apa yang akan ia lakukan padamu"

"Kufikir Appa hanya perduli dengan perempuan-perempuan diranjangnya"

"Oh Sehun!"

"Baiklah-baiklah. Apa maumu?" Sehun melakukan gestur mengangkat kedua tangannya keudara seolah dirinya adalah pencuri yang tertangkap basah.

"Menikah dengannya minggu depan. Dan Suho.. urusi semuanya hingga sibrengsek ini bisa menikah dengan tenang"

Yang merasa terpanggil segera mengangguk mengiyakan. Jika Nyonya besar sudah berkata seperti itu apa yang harus ia lakukan selain melaksanakannya.

"Ya tuhan Eomma.. bagaimana dengan-

"Aku tak peduli dengan gadis-gadis yang mengelu-elukan namamu diluar sana. Aku tak ingin memiliki anak yang tak bertanggung jawab" seolah tak ingin memberikan kesempatan Sehun untuk menolak dirinya segera memotong tanpa bantahan.

"Aku masih 23 dan-

"Aku tak peduli. Hey.. siapa namamu?" Mata sayunya ia bawa kepada perempuan yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya takut. Juntaian rambut hitamnya menutupi wajahnya secara merata.

Si perempuan pun mengangkat kepalanya perlahan dan menemukan tatapan teduh disana. Perasaan takut yang tadi menyergapnya seolah hilang dan tergantikan dengan rasa hangat "Lu-Luhan"

"Luhan? Orang China?" Yang ditanya lalu mengangguk dan menunduk kembali.

"Mengencani seorang perempuan China lalu menidurinya. Dimana otakmu?" Nyonya Oh melontarkan kata-kata pedasnya lagi pada anak tunggalnya yang menatap malas padanya.

"Mana ku tahu" jawabnya jengah.

.

.

.

"Kemarin aku menabrakmu disini dan kufikir rumahmu ada disekitar sini" Sehun menoleh menatap perempuan yang sedari hanya menunduk tanpa lelah.

"Terimakasih" seolah tak memperdulikan rintik hujan diluar sana kaki telanjangnya segera melangkah keluar dari mobil Sehun. Ia bawa tubuhnya itu pada halte sepi di pinggir jalan dan menemukan mobil yang tadi mengantarnya telah lenyap dari pandangannya.

Akankah dirinya akan menghabiskan sisa hidupnya di halte ini atau berjalan ke aspal mencari kendaraan yang bersedia menabraknya dengan suka rela.

Aroma tanah yang basah membawa aroma yang sedikit memberinya ketenangan. Pikiran kalut yang terus memenuhi otaknya membuatnya sedikit pusing. Ingin rasanya dirinya memukulkan kepalanya itu pada besi tempatnya duduk untuk mengurangi rasa sakitnya. Dan orang-orang akan mengatainya tak punya otak dan gila.

Langkah kaki orang-orang dibalik sepatu boot mereka juga tangan yang menggenggam payung putih sudah menjadi pusat perhatiannya sedari tadi. Entah sudah berapa lama waktu yang dirinya habiskan untuk memeluk tubuhnya sendiri walaupun itu tak berguna sama sekali. Rasa dingin terus menyergapnya tanpa henti dan semakin lama semakin menjadi membuatnya ingin mati.

.

.

.

Diliriknya jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya sebentar lalu fokus kembali pada jalanan di depan sana. Menghabiskan waktu 5 jam untuk melakukan pemotretan cukup menguras tenaganya walaupun dirinya hanya berpose sedikit. Tapi tetap saja jika sang juru kamera terus menyuruhnya tersenyum tanpa henti dan tertawa tanpa sebab. Dirinya terlalu waras untuk melakukan itu semua.

Air hujan yang sedari tadi jatuh tanpa henti membuat jalanan sedikit licin. Mobilnya bergerak perlahan jika tak ingin tergelincir dan menabrak pembatas jalan lalu namanya akan keluar pada surat kabar keesokan harinya. Hanya karna hujan gerimis seorang aktor terkenal sepertinya mengalami kecelakaan. Benar-benar lelucon murahan. Dibalik kaca mobilnya yang memburam itu matanya dapat melihat jelas halte diujung sana yang ditempati perempuan yang semalam ia tabrak.

Apa perempuan itu gila duduk berjam-jam di luar dalam keadaan hujan tanpa mantel tebal yang menyelimuti tubuhnya. Kakinya pun masih ia biarkan telanjang dan memucat karna terlalu lama kedinginan.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Kau berbicara padaku?"

"Tidak. Aku berbicara dengan tiang disebelahmu"

"Oh. Yasudah"

Kesabarannya benar-benar dimainkan. Sudah baik dirinya memilih menepi dan menghampirinya bukannya membiarkannya membeku dipinggir jalan. "Kenapa kau tak pulang?" Tanyanya lagi.

Yang ditanya menoleh singkat lalu menghendikan bahunya acuh. "Bukan urusanmu"

"Ck. Tentu saja bukan urusanku. Bahkan jika keesokannya kau menjadi patung es pun tetap bukan urusanku"

"Bagus jika kau tahu" sepertinya perempuan berbaju kumal ini mempunyai mulut yang setiap hari diasah hingga mampu membuat kepalanya mendidih.

Dirinyapun ikut duduk dengan jarak dua jengkal dari si gadis. Mantel tebalnya berkali-kali ia rapatkan untuk mengahalau dinginnya cuaca. "Kufikir kau itu gelandangan dan tak punya rumah"

Si perempuan menoleh cepat lalu memasang wajah sedih. "Apakah terlihat jelas?"

"Oh jadi benar. Bagaimana Eommaku bisa menyuruhku menikah dengan gelandangan sepertimu"

"Memangnya kenapa?"

"Karna kau bukan tipeku"

"Sialan"

Sehun merapikan mantelnya dan berdiri di depan Luhan. "Tak berkeinginan meminta belas kasih dariku untuk menampungmu?"

"Apa kau akan memberinya?"

"Akan kufikirkan"

.

.

.

"Pilih tempat tidur yang kau inginkan" Sehun melangkah malas kearah kamarnya. Penghangat ruangan segera ia nyalakan ketika kakinya baru saja menapaki dinginnya lantai apartementnya.

"Terimakasih"

Sehun mengernyit heran melihat Luhan berjalan kearah sofa merah darahnya dan duduk disana. "Apa yang kau lakukan?"

"Bukankah tadi kau menyuruhku untuk memilih tempat tidur? Kurasa disini nyaman jika kau tidak keberatan"

"Kamar Luhan! kamar! Kau bisa tinggal di kamar yang berada di sisi kanan atau kiri kamarku. Kenapa kau begitu bodoh"

Yang dikatai memberengut sebal dan berdecak. "Aku tidak bodoh. Aku sudah biasa tidur disofa dan kupikir itu tidak apa-apa"

"Tersarah kau saja" Sehun memilih menyerah dan segera masuk ke kamarnya dan bersembunyi di balik selimut tebalnya.

END/TBC

Review please~

Kalian suka gak sih karakter Sehun dan Luhan disini?