Tempat itu telah kosong.

Sia-sia Chen terus menatap ke ambang pintu kelas walaupun tahu sahabatnya tidak akan pernah datang. Sia-sia ia berusaha menipu diri dengan menganggap realita itu adalah bagian dari mimpi namun saat ia terjaga, saat matanya terbuka, ia tahu mimpi itu tidak berakhir.

Chen duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri, hanya saja matanya tetap terbuka namun mata itu kosong. Ia terjatuh dalam mimpi yang takkan berakhir. Mulai hari ini ia akan duduk sendiri di setiap kelas yang diikutinya. Chanyeol sudah pergi, takkan pernah bisa ditemukan walaupun betapa keras Chen mencari.

Tinggal dalam kenangan. Hanya dalam ingatan.

Semua tawa dan pertengkaran. Semua lelucon dan keisengan konyol. Semua cerita dan rahasia. Semua dukungan dan pengertian. Sampai kesedihan ini akhirnya hilang. Sampai kekosongan ini berangsur-angsur tersembuhkan.

Chen mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Berusaha keras agar sakit dan sesak di dadanya tidak meledak keluar.

"Chen, boleh aku duduk disini?" Minseok, salah seorang teman sekelasnya dan Chanyeol sudah berada disisi Chen, sebelah tangannya memegang kursi tepat disebelah Chen. Kursi yang biasanya menjadi tempat Chanyeol.

Chen mendongak kaget.

"Boleh aku duduk disini?" Minseok kembali mengulangi permintaannya. Seketika Chen menolak.

"Tidak. Jangan! Biarkan saja tempat ini kosong!"

Minseok menghembuskan nafas berat tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berjalan kembali ke kursinya. Walaupun semua orang di kelasnya bisa melihat betapa tenggelamnya Chen dalam kesedihan, tidak ada yang mau memaksa untuk menemaninya. Mereka membiarkan Chen tenggelam dalam kesedihannya karena meskipun rasa sedih dialami oleh semua teman-teman Chanyeol, mereka tahu Chen merasakannya jauh lebih pekat dan lebih dalam.

Ketika akhirnya dosen masuk kedalam kelas, Chen justru mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas dengan tergesa. Tidak ada satupun yang berusaha mencegah, bahkan tidak dengan dosen yang awalnya menatap bingung, lalu kemudian mengangguk mengerti begitu tahu siapa yang meninggalkan kelasnya. Chen berjalan cepat dengan wajah kaku dan kedua rahang yang mengeras, tidak ada tujuan sampai kemudian langkahnya berhenti di sebuah balkon lengang di lantai dua yang menghadap ke lapangan basket. Diambilnya nafas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya yang tiba-tiba terasa sesak.

Dipandanginya lapangan basket yang kosong. Awalnya keheningan itu menenangkan, sampai kemudian matanya mulai menghianati. Semakin lama dilihatnya lapangan kosong itu, semakin jelas sebuah gambaran di matanya, kenangan lebih tepatnya.

Kenangan tentang dua orang yang mengelilingi lapangan itu disuatu senja.

"Chen-ah, aku lelah! Ayo pulang!"

Tapi ia tidak peduli, terus mendrable bola dan sesekali melemparnya ke ring.

"Sudah dua jam, aku benar-benar lelah. CHEN-AH!"

"Ish, sebentar lagi, yoda."

"Kau tidak akan tinggi hanya karena melompat-lompat di lapangan basket. Terimalah, kau tidak akan pernah menyamai tinggiku."

Dan ia melupakan lemparan yang diancang-ancang kedalam ring. Ia berbalik kesal, kemudian melemparkan bola basket dengan kuat.

Tepat sasaran, bola itu tepat menghantam wajah Chanyeol yang tidak sempat mengelak.

"YAK! Brengsek, kemari kau!"

Chanyeol berdiri dengan bola basket di tangannya, bersiap membalas.

Chen bersiap menghindar, sampai kemudian darah mulai menetes dari hidung Chanyeol. Ia melupakan lemparannya dan menyeka darah di hidungnya.

"Kau membuatku berdarah!"

Lalu merengek dengan suara beratnya.

Chen tidak bisa melakukan apapun selain tertawa keras. Sungguh suara berat dan rengekan adalah kombinasi yang benar-benar buruk.

Sebentuk senyum muncul di mata sedih Chen yang menerawang, namun kemudian kenangan itu membuatnya tidak sanggup lagi menahan kepedihan. Karena tidak mungkin berteriak disana, Chen melepaskan rasa sesaknya dengan meninju dinding didepannya dan menendang apapun yang berada di jangkauan kakinya.

Ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal?

Tanya yang tanpa jawab atau bisa jadi justru punya begitu banyak jawaban hingga akhirnya percuma saja ditanyakan. Karena hanya akan membingungkan hingga akhirnya berujung dengan –lagi-lagi– tanpa jawaban.

Kepala Chen tertunduk dalam. Susah payah ia menelan ludah. Tangis yang mati-matian ditahan membuat tenggorokannya sakit. Dengan letih ia menyandarkan tubuh dan kepalanya ke dinding. Perlahan kedua matanya terpejam. Dalam kegelapan, ia paksakan hatinya untuk berhenti bertanya ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal. Namun gagal, karena sederet pertanyaan baru kemudian justru bermunculan.

Tidakkah mereka, orang-orang yang sudah "pergi" itu juga merasakan kepedihan yang sama? Apakah meraka juga tetap mengingat dan menyimpan semua kenangan? Senyum terakhir orang-orang yang mereka tinggalkan. Pelukan terakhir. Tawa terakhir. Percakapan, pertengkaran, kemarahan, kesedihan. Canda dan tangis.

Apakah mereka juga berusaha menembus bagian yang terputus itu? Berusaha menggapai kembali orang-orang yang mereka cinta. Berusaha bicara. Sama seperti orang-orang yang masih hidup, yang mereka tinggalkan, berusaha terus "mencari" dan "menghidupkan kembali" mereka yang telah pergi. Dengan segala cara.

Sedikit berbeda dengan Chen, Sehun mengekspresikan kesedihannya dengan cara lain. Setelah urusan pemakaman Chanyeol selesai, Sehun menuju satu tempat yang dijaganya sejak malam kematian Chanyeol. Kamarnya.

Sehun mengunci tempat itu, meneriaki jika ada seorangpun yang mendekati kamar Chanyeol dan ketika akhirnya ia masuk ke ruangan itu, Sehun hanya bisa terduduk canggung di tapi ranjang. Ia menghidup udara dalam, meresapi setiap bau Chanyeol yang masih tertinggal.

Matanya menggenang ketika melihat salah satu bajunya dalam tumpukan baju-baju yang berserak di kamar Chanyeol, menyadari bahwa mulai sekarang ia tidak perlu lagi menjeblak masuk ke kamar ini, mengomeli Chanyeol yang selalu sembarangan memakai bajunya sesuka hati. Lalu xbox yang berserak di lantai, tidak berubah sejak terakhir kali mereka berdua bermain. Terlalu sesak dengan pemandangan itu, ia mengalihkan pandangannya cepat, tepat pada meja di kamar Chanyeol. Diatas meja, tertulis besar di post it yang ditempel di monitor komputer, segala sesuatu yang Chanyeol tahu mengenai Jongin.

Tidak tahan lagi, Sehun segera berdiri dan melangkah besar-besar keluar dari kamar itu, menghempaskan pintu di belakangnya dengan keras dan nafas yang sesak. Tanya yang sama juga menekan dada Sehun ketika dirinya sudah letih menangis. Ketika telah terhenti semua histeria dan reaksi gila. Pertanyaan itu pun muncul.

Ke mana perginya jiwa-jiwa yang lepas dari badan?

Satu tanya tanpa jawaban.

.

Sehun mengerti dan tidak peduli jika hanya beberapa dari teman barunya yang datang untuk pemakaman Chanyeol. Ia menganggap bahkan mereka tidak perlu datang hanya untuk memberikan tatapan kasihan padanya. Namun ketika didapatinya Jongin juga tidak muncul, kemarahan langsung menggelegak di hatinya.

"Dia yang membunuh Chanyeol dan dia tidak datang. Brengsek!"

Chen yang menyadari kemarahan itu menarik Sehun menjauh agar tidak seorangpun mendengar umpatannya. Pelan, ditepuknya bahu Sehun.

"Jongin tidak mengenal Chanyeol. Kau tidak bisa menyalahkannya."

"Aku tidak peduli, ia tetap harus bertanggung jawab."

Dan Chen tidak bisa membantah lagi. Ia tahu tidak ada gunanya membantah seseorang yang sedang dalam kesedihan dan kemarahan yang dalam.

Namun hingga beberapa hari kemudian, ketika Sehun kembali masuk ke kelasnya, kemarahan itu masih belum mereda.

Beberapa teman Sehun menyambutnya, megucapkan belasungkawa mereka dan meminta maaf atas ketidakhadiran mereka di pemakaman Chanyeol. Jongin yang juga berada di kelas yang sama dengan Sehun merasa ia juga perlu mengucapkan hal yang sama, karena itu perlahan didekatinya meja tempat Sehun duduk.

Raut wajah Sehun mengeras tanpa sadar ketika dari sudut matanya dilihatnya Jongin mendekat dan ketika Jongin berbicara padanya, Sehun mati-matian menahan diri dari serangan rasa sakit aneh yang menimpa dadanya.

"Maaf aku tidak berada disana, aku ikut berduka cita untuk hyungmu."

Bukannya mereda karena permintaan maaf Jongin, amarah Sehun justru merangkak naik.

"Kalau begitu datanglah nanti, tebus permintaan maafmu."

Jongin tidak tahu harus terkejut atau heran dengan permintaan Sehun. Nada suara yang digunakan Sehun padanya jelas berbeda dengan nada suara yang digunakan namja itu pada teman-teman mereka yang lain. Belum lagi nada sinis dan kemarahan yang bisa Jongin rasakan dari ucapan Sehun dan permintaan yang hanya Sehun ucapkan padanya. Namun Jongin tetap mengiyakan permintaan itu, ia tahu Sehun masih bersedih jadi ia tidak tega menolak permintaannya.

Sesuai ucapannya, Sehun menunggu Jongin selesai dengan semua barangnya ketika kelas mereka berakhir. Sehun meminta Jongin mengikutinya lalu tanpa suara lagi membawa Jongin ke rumahnya. Sehun sama sekali tidak lupa dengan keberadaan Jongin yang duduk disebelahnya di mobil, hanya saja ia sama sekali tidak ingin mengajak Jongin berbicara.

Chanyeol meninggal di jalan raya karena Jongin. Semua orang mengatakan pada Sehun bahwa itu adalah takdir tragis yang memang dituliskan untuk Chanyeol, namun bagi Sehun semua ini sama sekali bukan tragis. Chanyeol meninggal demi Jongin, sebuah kematian konyol yang sia-sia.

Mengabaikan tatapan heran kedua orang tuanya dan beberapa kerabat mereka yang masih berada di rumahnya, Sehun menggiring Jongin ke taman belakang rumahnya, satu-satunya tempat sepi. Kemudian masih tanpa suara ditinggalkannya Jongin sendirian. Jongin yang tidak mengerti apa-apa mulai merasa kesal dengan sikap Sehun.

Untungnya tidak lama Sehun kembali dan ketika Jongin bersiap untuk menanyakan tujuan Sehun membawanya ke rumahnya dan meninggalkannya begitu saja, Sehun terlebih dahulu menyodorkan sesuatu padanya.

Sebuah foto, seorang namja yang tersenyum lebar ke kamera dan Jongin tidak perlu bertanya untuk tahu siapa orang yang berada di dalam foto itu. Kekesalannya juga langsung menghilang.

"Itu hyungku"

Jongin hanya mengangguk.

"Kau tahu, ia ditabrak oleh mobil didekat rumahmu"

Lagi-lagi Jongin mengangguk.

"Awalnya aku tidak tahu jika itu hyungmu. Yang kulihat banyak orang berkerumun disana dan kemudian orang-orang datang membawanya. Jika saja aku tahu itu hy-"

"Bagaimana jika kau tahu itu hyungku?"

Ucapan Jongin terpotong oleh pertanyaan dan tatapan tajam Sehun padanya.

"Ehm, jika, jika aku tahu mungkin aku bisa mengabarimu lebih cepat dan, dan-"

Jongin tidak menyelesaikan ucapannya karena tidak tahu harus mengucapkan apalagi.

Kemarahan Sehun sedikit menguap melihat reaksi Jongin. Sebagai gantinya perasaannya semakin tidak menentu menyadari bahwa Jongin sama sekali tidak mengenali Chanyeol.

"Kalian tidak mirip sama sekali."

Sehun tersadar lagi ketika mendengar suara Jongin. Jongin bergantian menatap foto Chanyeol dan wajahnya, berusaha mencairkan suasana yang tegang diantara mereka.

Sehun mengangguk. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar kalimat yang sama. Hampir semua orang yang mengenalnya dan Chanyeol mengatakan bahwa mereka sama sekali berbeda.

"Tinggi adalah satu-satunya kemiripan diantara kami."

Jongin tersenyum, bersyukur Sehun setidaknya memberikan reaksi yang cukup baik padanya. Bukan berarti ia takut dengan tatapan tajam Sehun sebelumnya, tidak sama sekali, hanya saja ia tidak nyaman dengan tatapan itu terlebih lagi ia tidak bisa meneriaki Sehun karena ia tahu Sehun masih sangat bersedih.

Perlahan diulurkannya lagi foto Chanyeol kepada Sehun. Chanyeol memang tampan, namun Jongin tetap tidak bisa berlama-lama memandang fotonya. Ada perasaan aneh yang dirasakannya ketika menatap orang yang sudah meninggal.

"Tunggu disini, aku akan mengantarmu pulang."

Lagi-lagi Sehun berlalu tanpa memberikan Jongin kesempatan untuk berkomentar ataupun protes dan sekali lagi kekesalan mulai merayap di hati Jongin karena sikap Sehun itu.

Jongin menghembuskan nafas, menunggu dengan sabar. Ia tidak mengerti keanehan Sehun disebabkan karena kesedihannya atau memang karena pada dasarnya Sehun memang benar-benar aneh. Apalagi beberapa saat kemudian, ketika Sehun kembali -sudah berganti baju- dan membawa sebuah buket bunga ditangannya.

Buket bunga peony yang sudah mulai layu dan cacat. Kelopak bunganya mulai menguning dan beberapa tangkainya yang patah berusaha ditegakkan kembali dengan selotip. Sesaat Sehun menatap Jongin tanpa bicara. Sorot matanya yang pekat dengan kesedihan membuat Jongin tidak tega bertanya.

Lalu buket bunga itu disodorkan padanya.

Jongin hanya bisa melongo melihat bunga yang disodorkan tepat didepan wajahnya, tangannya tidak bergerak sama sekali untuk meraih buket itu dan matanya menatap heran pada Sehun.

"Untukmu, terima saja. Dan kumohon jangan bertanya apapun."

Jongin masih bergeming, benar-benar tidak mengerti dengan sikap Sehun.

"Kumohon, Jongin."

Permohonan itu dibisikkan Sehun dengan suara pelan dan tatapan mata yang menyedihkan, mata Sehun kehilangan tatapan tajamnya, membuat tangan Jongin tanpa sadar meraih bunga itu. Ia bahkan tidak mempedulikan kenyataan bahwa seharusnya ia merasa malu menerima sebuket bunga.

Ketika mereka pergi dari rumah Sehun, keduanya kembali menempuh perjalan yang dibalut keheningan total. Bagi Sehun, perjalanan kali ini membuatnya emosional. Pergi ke tempat saat-saat terakhir hidup Chanyeol, ke tempat dimana Chanyeol melepaskan hidupnya.

Pada akhirnya, ketika Sehun benar-benar tidak sanggup lagi, ia menginjak rem mobilnya sangat dalam, membuatnya dan Jongin sedikit terlempar ke depan karena berhenti tiba-tiba. Dadanya sakit dan ia tidak sanggup lagi menahan.

"Turun!"

Jongin lagi-lagi menatap Sehun bingung. Rumahnya berjarak sekitar 100 meter lagi dan Sehun mengusirnya turun.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai disini. Sekarang turunlah Jongin!"

"Ta-"

"Kubilang turun, Jongin!"

Sehun mendesis, tanpa sadar mengeratkan genggamannya pada stir mobil.

Jongin yang juga melihat hal itu langsung melepaskan seatbelt-nya dan melangkah turun dari mobil, sedikit terhina dihempaskannya pintu mobil cukup keras. Namun hal itu sama sekali tidak berpengaruh karena pada detik setelahnya, Sehun sudah memutar mobilnya cepat dan meninggalkan Jongin.

Di sisa perjalanan Jongin menuju rumahnya dengan berjalan kaki, Jongin terpekur menatap buket bunga cacat ditangannya. Ada sesuatu yang membuatnya heran dan tidak mengerti, namun tidak bisa ditangkapnya sesuatu itu. Tangannya bergerak untuk melemparkan buket bunga itu ke tong sampah yang dilewatinya, namun kemudian ia menahannya. Entah kenapa tidak jadi membuang bunga itu.

Di tempat lain Sehun memacu mobilnya dengan kecepatan yang bisa membuat mobil-mobil lain mengklaksonnya keras, namun tidak dipedulikannya hal itu. Perasaannya benar-benar kacau, apalagi mengetahui bahwa Jongin benar-benar tidak mengingat Chanyeol. Padahal ia dengan jelas ingat bahwa Chanyeol pernah berkata ia sudah berkenalan dengan Jongin pada sebuah kesempatan dimana Chanyeol membantu namja itu.

Tidak, Jongin tidak boleh seenaknya. Chanyeol menghabiskan saat-saat terakhir hidupnya dengan harapan Jongin akan mengenalnya, karena itu akan dibuatnya Jongin benar-benar mengenal Chanyeol.

.

Ketika kemudian diawasinya Jongin tanpa kentara namun dengan kesiagaan penuh, Sehun sadar bahwa yang dirasakannya adalah kemarahan, rasa tidak terima dan keinginan untuk menyalahkan Jongin atas kematian Chanyeol.

Namun ia tidak peduli. Jongin harus mengenal Chanyeol, bagaimanapun caranya.

Bahkan setiap usaha Chen untuk memberinya perngertian bahwa apa yang terjadi sama sekali bukan kesalahan Jongin, -tidak ada yang bisa disalahkan, bahkan pengemudi mobil yang menabrak Chanyeol pun- tidak diacuhkan oleh Sehun. Ia sama sekali tidak mau mendengar, hingga akhirnya mereka berdua terjebak dalam perdebatan sengit.

"Jongin bahkan tidak mengenal Chanyeol, Sehunna."

"Chanyeol sering menemuinya"

"Chanyeol melihatnya, bukan menemuinya"

"Tidak mungkin ia tidak menyadari orang yang memperhatikannya hampir setiap hari"

"Jongin tidak bersalah sama sekali, Sehun!"

Chen membentak, mulai putus asa menghadapi sikap keras kepala Sehun.

"Dia bersalah!" Sehun balas membentak. "Meskipun ia tidak menyadarinya, ia tetap bersalah! Jangan ikut campur, hyung. Yang meninggal bukan saudaramu!"

Sesaat Chen terperangah, sebelum kemudian melayangkan sebuah pukulan tepat ke rahang Sehun, membuat Sehun terhuyung.

"Dengarkan aku! Kau kehilangan hyungmu, aku kehilangan sahabatku. Kau kehilangan seseorang untuk berbicara, aku juga kehilangannya. Kau kehilangan seseorang untuk bermain, aku juga kehilangan teman bermainku. Ia tidak hanya meninggalkanmu, ia juga meninggalkanku!"

Rentetan kalimat Chen tanpa sadar telah membuat Sehun terbungkam. Membuatnya menyadari bahwa ia sudah melontarkan kalimat yang salah pada Chen. Sesaat keduanya terdiam, sibuk menenangkan hati masing-masing yang kembali kacau karena perdebatan keduanya. Saat Chen kembali tenang, ditariknya nafas panjang dan dalam, kemudian dilanjutkannya dengan nada berat.

"Terserah padamu jika kau tetap ingin Jongin mengenal Chanyeol. Tapi kuharap kau tahu batasanmu, Sehunna. Jongin bukan tempat untuk melampiaskan kesedihanmu."

Ditepuknya pelan rahang Sehun yang tadi menjadi sasaran tinjuannya, lalu pergi meninggalkan Sehun yang masih terdiam.

.

Setelah pertemuan dan pembicaraan dengan Chen itu, Sehun pulang dan langsung masuk ke kamar Chanyeol, bukan kamarnya. Ia duduk terpekur di depan meja di kamar Chanyeol, sesaat memandangi fotonya dan foto Chanyeol yang terletak di atas meja sebelum beralih pada kertas post it yang masih menempel di monitor komputer Chanyeol.

Di kertas itu tertulis semua yang Chanyeol tahu mengenai Jongin.

Tempat dan tanggal lahir, golongan darah, alamat rumah, hobi, warna yang disukai Jongin, makanan kesukaan, bahkan binatang peliharaan Jongin. Paragraf-paragraf seterusnya berisi tentang data-data Jongin yang lebih spesifik lagi dengan uraian karakter yang panjang dan rinci. Uraian fisik Jongin juga tercatat lengkap. Tinggi badannya, kulit tan, matanya yang dalam, rambutnya yang jatuh menutupi sebagian dahi dan sebagainya.

Sehun kemudian menarik salah satu laci meja, tempat Chanyeol menyimpan setumpuk foto Jongin yang di-shoot dari kejauhan. Karena sasaran bidik tidak menyadari, seluruh pose Jongin terlihat natural. Alami.

Sehun menutup kembali laci itu dengan hempasan keras. Kedua rahangnya mengatup rapat dan kesepuluh jarinya bertaut kuat.

Kedua mata Sehun meredup. Kembali ditatapnya tulisan tangan Chanyeol tentang Jongin dan perlahan kelopak matanya menutup. Beberapa saat ia tetap dalam posisi itu. Duduk diam dengan kedua mata terpejam dan rahang terkatup. Dadanya turun-naik dengan cepat.

Berkali-kali dirapalkannya kata-kata yang sama dalam hatinya. Sudahlah, semua yang terjadi adalah takdir, garis hidup yang memang ditentukan Tuhan terhadap Chanyeol, sama sekali bukan kesalahan siapapun.

Ada begitu banyak kata untuk peristiwa itu. Untuk cara Chanyeol meninggalkan keluarga dan semua temannya. Namun tetap, kemarahan Sehun tidak berkurang.

Tidak bisa keluar! Tidak bisa hilang! Tidak bisa dilupakan! Kemarahan yang dirasakannya tidak bisa dienyahkan!

Tidak ada cara lain. Satu-satunya cara, Jongin harus menerima kemarahan ini. Walaupun Jongin tidak akan mengerti karena ia bahkan tidak tahu, Sehun tidak peduli!

Mata Sehun mendadak terbuka, ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan kuat. Setelah satu keputusan yang diambilnya, hatinya mendadak terasa lega. Seakan sudah mendapatkan legitimasi untuk memperlakukan Jongin sepeti keinginannya.

TBC