Disclaimer: BTS di bawah naungan BigHit Entertainment, seluruh karakter yang muncul di ff ini adalah milik Tuhan Yang Maha Esa dan orangtua masing-masing, saya hanya pinjam nama.

FREE © Kaizen Katsumoto

Warning: OOC, AU, Typo, YAOI, Foreplay, dan segala macam keabsudan di dalam fanfic ini.

.

Summary: Namjoon lelah dan dia butuh perhatian, namun dia diabaikan karena sebuah sup di atas kompor. Ayolah, ini masih awal tahun kan? Terkutuklah orang bernama Kim Namjoon dan permainan tangannya. Acara Tahun Baru Berdua.

.

.

Silakan tekan icon back bila anda merasa masih di bawah umur, periksalah penerangan dan jaga jarak mata anda dari layar saat membaca fanfic ini!

.

.

.

Enjoy!

.

.

.

Bagian I

Acara Tahun Baru Berdua

Pair: NamJin

.

.

.

Kim Namjoon terbangun tepat pukul sepuluh siang lebih beberapa menit. Pemuda berusia 22 tahun itu tinggal di sebuah apartemen kumuh di pinggiran kota Seoul. Tidak sendirian, melainkan dengan beberapa keluarganya—bukan keluarga sungguhan, mereka hanya memiliki latar belakang yang hampir mirip, memutuskan membuat ikatan layaknya sebuah keluargaBTS.

Pemuda itu masih enggan membuka matanya, justru malah makin mengeratkan lipatan selimut agar menutupi seluruh tubuhnya. Berbeda dengan anggota BTS yang lain. Kalau Namjoon sibuk bermalasan, mereka sudah keluar apartemen kecil sejak kemarin sore—sibuk mengurusi kehidupan masing-masing. Seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya, BTS di sini bukanlah nama boyband, melainkan nama sebuah kelompok—gang—berandalan. Ya, mereka berandalan biasa. Tak punya tujuan—itu salah satu persamaan mereka. Anggota BTS terdiri dari tujuh pemuda, hidup bebas tanpa terikat apapun. Lepas terbang seperti kupu-kupu tapi bukan berarti mereka juga lepas dari tanggungan hidup. Mereka tetap bekerja layaknya orang normal biasa, pekerjaan biasa, bukan sebagai penghibur telinga dan mata di atas panggung.

Pekerjaan Namjoon sendiri adalah seorang pegawai di sebuah pom bensin sepi di pinggir kota. Biasanya dia sering bergonta-ganti pekerjaan, menjadi pegawai pom bensin baru dijalaninya dua bulan terakhir. Dan hari ini dia libur setelah tiga hari sebelumnya menghabiskan waktu lembur menjelang tahun baru. Maklum jikalau dia sekarang sengaja bangun agak siang. Beberapa kali matanya kembali menututup akibat diterpa cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela tanpa gorden, menyuruhnya untuk bangun. Namun ia tetap enggan membuka mata, lebih memilih kembali ke dunia mimpi. Sama sekali tak singkron dengan tubuhnya yang terus meronta, kesadarannya memberontak, perutnya bergemuruh. Baru disadarinya kalau sepulang kerja kemarin malam belum sempat makan apapun saking capainya.

Bau sedap dari arah dapur jelas menggoda naluri monster rakusnya terbangun—bergerak secara otomatis keluar kamar menuju sumber, tak peduli dengan cara apa pun. Mau berguling, melompat, bahkan merangkak, dengan mata tetap terpejam sampai akhirnya kepala terantuk kulkas di ruang makan diikuti bunyi debuk pelan. Setidaknya hal itu cukup membuat matanya terbuka paksa. Kini memacu langkah gontai menuju dapur sembari menggaruk rambut acak berwarna merah muda. Mendapati sosok seorang pemuda feminim lengkap sebuah celemek warna sakral untuk seorang lelaki—pink, tambahan renda-renda di pinggiran lebih tepatnya. Kim Seokjin berdiri membelakangi Namjoon, tak menyadari kehadiran pemuda itu karena sibuk oleh masakan di atas kompor.

Bau menyengat masakannya kembali menggelitik Namjoon semakin mendekat hingga kedua tangannya dapat menyentuh pinggang ramping Sang Pemuda Cantik. Sontak Seokjin terkejut, nyaris memukulkan sendok sup ke belakang jika tak lebih cepat menyadari bahwa itu adalah Namjoon. Baru setelah sadar, Seokjin segera berbalik untuk menatap tubuh tegap Namjoon yang tanpa disadarinya sejak tadi terus mengintai dengan mata tajamnya. Seokjin mengumbar senyum lalu mengucapkan selamat pagi dengan manisnya.

"Kupikir kau pulang ke rumahmu yang sebenarnya," Namjoon mengawali. Berbisik di dekat telinga pemuda cantik, membuatnya agar tergelitik geli, bukan hanya oleh suara dan napas Namjoon tetapi juga oleh tangan pemuda itu yang kini sudah melingkar sempurna di pinggang lawan.

"Di sini rumahku, dan hentikan itu, Nam! Kau membuatku hampir mengacaukan sup buatanku." Seokjin dengan cepat melepas lengan di pinggangnya, berputar membelakangi Namjoon—kembali disibukkan oleh supnya.

Tak mau kalah, Namjoon menengok dari belakang Seokjin, kepala bersandar di pundak, "Apa yang kau buat?" tanyanya sok penasaran.

"Sup jagung. Mau makan sekarang?" balasnya perhatian.

"Asal bersamamu." Namjoon memberi syarat.

Seokjin memutar bola matanya. "Baiklah."

Namjoon tersenyum puas setelahnya. Tangannya tetap nakal bermain di pinggang pemuda manis, turun dan bergerak menekan—meremas belahan pantat kenyal dan lembut. Seokjin tak merespon. Dia benar-benar fokus pada masakannya sampai tak menyadari Namjoon sudah mengeluarkan lagi seringaian. Itulah Seokjin, hanya peduli pada masakan. Kadang hal itu membuat Namjoon kesal, tapi di sisi lain itu adalah bagian menyenangkan yang disukai Namjoon karena bisa menyentuhnya sembarangan. Betapa beruntungnya dia bisa menghabiskan libur tahun baru bersama kekasih tanpa gangguan anak-anak Bangtan yang lain. Dia berharap mereka pulang besok atau lusa.

.

.

.

Televisi menyala terang, Namjoon mengabaikan berita badai salju yang sedang melanda kota Seoul semenjak pagi buta. Dia sudah duduk manis di depan meja kecil yang biasa dijadikan tempat makan oleh teman-teman lainnya. Ekor matanya terus mengawasi Seokjin yang sedang menata mangkuk dan sup di atas meja, sangat serius. Pemuda itu menuangkan sup di mangkuk sangat hati-hati dan teliti, memberikan satu porsi pada Namjoon dan satu untuk dirinya sendiri. Keadaan mereka sudah seperti sepasang suami-istri pengantin baru.

"Ngomong-ngomong mana yang lain?" tanya Namjoon meminta perhatian, kesal juga melihat Seokjin sibuk sendiri.

Akhirnya Seokjin berhenti dari kegiatannya beberapa detik. "Taehyung dan Jungkook pergi bersama Yoongi ke kota sebelah sejak kemarin, begitu pula Hoseok yang pergi ke rumah Jimin. Katanya dia mau membantu Jimin bekerja di café orang tuanya seperti biasa." Seokjin menerangkan. Selesai menata makanan di atas meja, pandangannya bertemu dengan Namjoon yang sejak tadi tak henti memperhatikannya tanpa kedip. Seokjin mengangkat sebelah alisnya heran. "Ada yang salah?" tanyanya penasaran mendapat tatapan intensif tersebut.

"Lalu kau? Kenapa masih ada di sini?" Namjoon tersenyum setelah mendapat perhatian sempurna dari Sang Kekasih.

Seokjin merengut mendengarnya, "Sudah kukatakan kan tadi? Di sini rumahku yang sebenarnya. Kau ingin aku ke mana lagi?" tanyanya menghela napas jengah. Ia benci mengulang kalimat.

Namjoon nyaris tergelak saat melihat ekspresi lucu buatan Seokjin, menggembungkan pipinya menggemaskan. Tak disangka pemuda yang gemar ngambek itu sebenarnya lebih tua darinya dua tahun.

"Bagaimana dengan orang tuamu?" Namjoon masih menatap lekat, "Kau tak ingin bertemu mereka setelah beberapa tahun?" melanjut bertanya tanpa henti dengan berani.

Sebagai informasi tambahan, Seokjin benci membicarakan kedua orangtuanya. Dia tahu hubungan orangtuanya dan Namjoon sangat tidak akur, karena itu sebisa mungkin dia menghindari pembicarakan mengenai orangtuanya. Ketidakakuran orang tuanya dan Namjoon disebabkan karena Namjoon adalah alasan Seokjin angkat kaki dari rumah. Dan sekarang Namjoon sedang mengungkit masalah yang tak ingin Seokjin ingat, menggoda—memancing amarahnya.

Pemuda itu menghela napas juga pada akhirnya, menatap Namjoon kesal. "Aku tidak ingin membicarakan itu." Ujarnya ketus.

Namjoon merasa senang setelah berhasil membuat pemuda itu kesal. "Oke." Sekarang ia tak ingin membuat Seokjin semakin marah atau rela kepalanya ditabok panci beserta supnya. Lebih memilih mengawali kegiatan makan dengan sesendok sup.

"Bagaimana supnya?" pertanyaan antusias Sang Koki.

Namjoon tengah menutup kedua matanya, menikmati saksama makanan. Dia sudah bisa menebak bagaimana raut muka Seokjin sekarang. Perlahan dia membuka matanya, tepat seperti dugaannya, mendapati wajah Seokjin sangat tegang dengan mata membulat penuh minat padanya—sangat menggoda.

"Hmm… Rasanya, kurang manis." Namjoon mengawali, sedikit tersenyum usil.

Tanpa diduga Seokjin justru berdiri menyambar sup di atas meja dan berlari menuju dapur, Namjoon melongo di tempat. Baru dia ingin membuat sebuah gombal murahan, rupanya candaannya ditanggapi serius oleh Sang Koki. Baiklah, Namjoon berusaha menenangkan diri. Waktu masih panjang, Namjoonie~ ia menenangkan diri. Kali ini apalagi yang dilakukan Seokjin?

Membunuh rasa penasarannya sendiri, pemuda berhelai merah muda itu berjalan pelan menyusul kekasih menuju dapur.

"Apa yang kaulakukan?" tanyanya tanpa tanggapan.

Seokjin berlagak serius dengan sup buatannya, menuang beberapa sendok gula ke dalam panci, manik kelamnya memeriksa kilat api, tangan bergerak mengatur kompor agar tetap stabil, setelahnya mengaduk sup teliti. Sama sekali tak menyadari Sang Kekasih sudah mulai geram atas semua tingkahnya. Jangan salahkan Namjoon jika urat kesabarannya bisa putus saat itu juga. Dia lelah, butuh perhatian dan bermanja-manja, namun lihat apa yang didapatnya? Seokjin justru sibuk pada sup bodohnya. Ayolah, tidak peka juga ada batasnya kan? Kalau sudah begini Namjoon boleh marah kan? Kesal? Kasar? Bahkan sah-sah saja kan memberi hukuman pada Sang kekasih? Itu adalah pilihannya.

Sebuah seringai picik tercetak, tepat saat Seokjin mencicipi sesendok sup—tak menyadari mata itu terus mengintainya secara diam-diam. Penuh kilat nakal. Jahat. Brutal. Dan… buas.

Seokjin mengernyit heran, merasakan sup buatannya kini malah terasa semakin manis. Ada yang salah di sini. Hendak ia kembali bertanya pada Namjoon, tubuhnya tersentak kaget mendapati tangan besar sudah melingkar sempurna di pinggangnya—memeluknya dari belakang tanpa jarak. Dia bahkan bisa merasakan napas hangat menyapu tengkuk yang membuatnya merasa meremang seketika. Perasaan aneh yang memalukan menggelitik pipinya hingga bersemu merah sampai ke telinga.

Tangan lebar itu terus turun. Menginvasi pinggul, turun sampai mencapai dua bongkahan kenyal dan lembut di belakang sana. Tanpa ragu langsung meremas gemas sepasang benda mungil itu seolah ingin menghancurkannya—itulah Namjoon.

Seokjin makin merasa tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Ekor matanya berusaha menoleh ke belakang, didapatinya Namjoon tengah sibuk menyesapi tengkuknya, mengumbar napas di sekitar leher, membuatnya merinding. Dia ingin menjerit saat tangan lain membekap mulutnya. Tidak memberinya kesempatan memberontak tatkala tenaganya lenyap setelah merasakan di bawah sana—di belakang, tepat di bagian paling pribadi ditusuk menggoda dengan gerakan lambat dari luar celana.

Kaki Seokjin melemas, nyaris jatuh tersungkur bila tidak ada Namjoon di belakangnya, memberinya tumpuan agar terus berdiri di depan kompor. Desahan pelan menguar, suara parau seolah memohon agar dibebaskan ikut ambil bagian mengusir suasana sunyi dapur. Mulut Seokjin masih dibelengu oleh tangan, jemari satu demi satu merambat masuk menjelajah ke dalam mulutnya, membuatnya hampir tersendak. Ia tak mampu melawan karena rangsangan di belakang sana, yang bisa dilakukannya hanya berpegangan erat pada lengan kokoh Namjoon, sementara si empunya tengah sibuk memberi tanda kemerahan di leher belakang korbannya.

Jemari itu semakin tidak terkendali, mengobrak-abrik isi mulut Seokjin. Saliva menetes dari sudut bibir, bulir keringat mengalir melalui pelipis, sementara di bawah sana Seokjin merasa semakin tersiksa, cairan mulai membasahi celana depannya. Ia sudah tak menuruti saraf otak, lebih memilih nafsu sebagai pemandu. Basah. Seokjin sudah basah di segala tempat. Dia membeci keadaannya yang memalukan seperti ini, terkutuklah manusia bernama Kim Namjoon dan permainan tangannya. Hanya dengan itu sudah cukup membuat dirinya turn on tak berdaya.

Kepala pemuda manis menggeleng lemah, memberi isyarat Namjoon agar menghentikan kegiatannya. Sebuah keajaiban jika Namjoon benar-benar menurut, tangannya kini malah sudah bersarang di dalam celana Seokjin, menyentuh di berbagai tempat paling sensitif—area yang membuat Seokjin mengeluarkan suara lebih seksi tak teratur. Sebagai gantinya, Namjoon mengeluarkan jari-jarinya dari mulut Sang Kekasih, memberinya kesempatan untuk berbicara. Walau Namjoon tidak suka diinterupsi, dia tetaplah seorang kekasih yang bisa lemah ketika melihat pasangannya sudah merengek.

"Ngh… hen…tika…nh…"

Rintihan lemah itu membuat Namjoon menyeringai setan, "Tidak." Balasnya cepat.

Seokjin sudah tahu jawaban itu akan keluar, tangannya memegangi celana bagian depan yang terlihat sangat sempit serta menyiksanya. Sebuah helaan napas terdengar pelan, pasrah, tak tahan. Pemuda manis itu memutar tubuhnya 180 derajat dengan susah payah. Menatap tepat di mata Namjoon yang penuh kilat liar seolah siap menerkamnya kapan pun ia mau. Tangannya meremas pundak lawan, tubuh mereka tak berjarak, Namjoon diam memperhatian bagaimana wajah porselen itu terlihat sangat lembut dari dekat, mata, pipi, bibir, Namjoon ingin meraup semuanya serakah.

Mereka diam beberapa menit, hanya untuk saling bertukar pandang. Namjoon menunggu.

"Baiklah," Seokjin akhirnya pasrah, setuju mengikuti permainan.

Dan dengan itu, dimulailah acara di awal tahun khusus mereka berdua.

Namjoon tersenyum puas, matanya berkilat menatap lurus tepat di mata lawan. Dengan malu-malu kedua tangan Seokjin melepas remasan di pundak Namjoon, berganti melingkar sempurna di leher untuk memeluk serta menenggelamkan wajah di leher. Yang lebih muda mengusap uraian kecoklatan Sang Kekasih, menarik kasar sampai membuat kepala Seokjin mendongak, berhadapan langsung dengan legam Namjoon yang seolah menelanjanginya. Di sisi lain, Namjoon menyukai sajian pemandangan di hadapannya saat itu. Wajah merah Seokjin, lelehan keringat bercampur tangis dan saliva di ujung bibirnya. Harus Namjoon akui, Seokjin mungkin punya sifat tak peka yang menjamur, oleh karenanya dia lebih suka menggodanya lewat tindakan. Setidaknya itu lebih efektif daripada menggunakan kata-kata.

Namjoon menarik lepas ikat pinggangnya sendiri, mengikat kedua tangan Seokjin dan menyeretnya ke kamar. Tak perlu dipertanyakan lagi apa yang mereka lakukan karena tidak beberapa lama terdengar suara aneh dari kamar Namjoon yang memenuhi ruang apartemen kecil BTS.

.

.

.

Namjoon duduk di meja makan keesokan harinya. Matanya mengamati meja kecil yang sudah diramaikan anak-anak BTS, meributkan soal makanan yang terlambat matang dan segala hal lainnya. Entahlah, Namjoon terlalu mengantuk untuk memperhatikan. Dia bahkan tidak sadar kapan mereka pulang kemarin.

Taehyung dan Jungkook sibuk bermain alat makanan, Hoseok dan Jimin membicarakan sesuatu tentang café, dan Yoongi yang duduk anteng—berdiam diri sambil sesekali membuka hpnya untuk mengecek sesuatu. Suasana ruang makan seketika makin riuh dan ricuh saat Seokjin datang membawakan menu sarapan. Semua berebut mengambil porsi lebih banyak, kecuali Yoongi yang memang bersikap santai, dan Namjoon karena masih setengah mengantuk. Mereka sibuk sendiri-sendiri sampai tak menyadari suatu keanehan pada langkah Seokjin yang sedikit terpincang.

Yoongi mengeryit. Sikutnya menyenggol rusuk Namjoon yang kebetulan duduk di sampingnya, langsung dibalas sebuah pekikan pelan serta tautan alis oleh Namjoon.

"Apa yang terjadi?" tanyanya penasaran.

"Harusnya aku yang tanya, kenapa kau menyikutku, eh?"

Yoongi menghela napas, berusaha keras agar tidak membanting piring ke muka Sang Leader BTS tersebut. "Apa yang kau lakukan pada Jin hyung?" bisiknya mendesak, tapi berusaha supaya tidak terlalu menarik perhatian member lain.

Namjoon memandang Seokjin sejenak, pemuda itu sedang membantu Taehyung mengambil sup. Pandangannya beralih ke Yoongi, kali ini disertai senyuman penuh arti.

Yoongi menghela napas merasa mulai bisa membaca situasi. Demi perut sixpack Jimin yang selalu mengganggu kepalanya di malam hari, kadang dia menyesal mempunyai seorang Leader seperti Namjoon.

.

.

.

TBC

.

.

.

A/n : Haloo! Saya kembali membawakan fanfic BTS~ #yaterus Maaf kalau ceritanya agak gakjelas sama kayak saya, mumpung masih berbau tahun baru jadi saya update ini fanfic. Silahkan kritik saran selalu dinanti. Terakhir, terima kasih sudah membaca sampai sini.