Vocaloid © Crypton Future Media, Yamaha, Internet, et cetera. No commercial profit taken.


Musim panas, tanggal 15 Agustus, seorang gadis dengan kaus dan celana pendek juga sepatu ketsnya mendatangi permakaman di belakang sebuah kuil di kaki bukit.

Tangannya membawa sebuket besar lili putih dan satu kotak obento.

Dia terus melangkahkan kaki sampai ke ujung areal pemakaman, dimana orang yang dulu pernah menyelamatkannya kini bersemayam dalam bentuk abu. Tadahiro Yohio adalah nama yang tertulis di batu nisan itu.

Rana meletakkan buket bunga dan kotak bento-nya sebelum dia bergerak untuk membersihkan makam sebisanya.

Setelah belasan menit berkutat dengan membersihan makam, Rana kembali mengambil buket bunga juga kotak obento-nya.

Dia meletakkan buket bunga tersebut di atas kotak obento, kemudian berjongkok. Matanya terpejam sembari kedua telapak telapak tangannya saling terjalin untuk memanjatkan doa.

'Nii-san, aku kembali lagi tahun ini. Bagaimana kabarmu? Aku di sini baik-baik saja. Tidak terasa, sudah empat tahun sejak kejadian itu….'

Rana berhenti sesaat. Memori tentang kejadian empat tahun lalu kembali terkenang.


Apel Kelinci

by Yagitarou Arisa (id: 5031728)


Rana. Gadis berusia lima belas tahun itu bernama Nijiharu Rana. Gadis yang mudah dikenali dengan rambut merah jambu pucat dengan dua buah kepang di kiri dan kanan kepalanya. Gadis bertubuh pendek seperti anak kelas satu SMP, meski nyatanya dia sudah menginjak kelas satu SMA. Ia sangat menyukai makanan manis berbahan cokelat.

Namun siapa sangka, jika gadis yang mungkin menjadi sasaran bagi kaum lolicon itu adalah putri dari seorang pengedar ekstasi?

Dan akhirnya, saat dia sedang menikmati liburan musim panasnya dengan bekerja sambilan di sebuah restoran cepat saji milik pamannya, Rana diculik untuk dijadikan sandera untuk menutup mulut ayahnya.

Setelah berhari-hari ditahan dalam sebuah gudang yang lembap dan bau, Rana diselamatkan oleh seorang pemuda yang mengaku berasal dari sebuah grup rahasia di bawah nama Departemen Pengendalian Narkoba bernama Tadahiro Yohio.

Yohio membawanya kabur dari tangan para penculik yang ternyata berasal dari departemen yang sama.

Rentetan suara muntahan amunisi dari pistol milik Yohio dan pihak musuh dan diakhiri oleh satu ledakan granat milik Yohio mengiringi acara penyelamatan Rana.

Belum selesai dengan aksi tembak-tembakan, yang mungkin sudah mengguggurkan sepuluh orang dari pihak musuh, Yohio kembali membawa Rana dalam aksi kebut-kebutan di jalan raya Osaka sampai ke stasiun kereta.

Di dalam stasiun (yang mungkin bersih dari musuh), Yohio memberikan sebotol teh oolong pada Rana yang masih terlihat shock dengan sederet kejadian yang menimpanya dalam kurang dari dua jam.

"Nih," ucap Yohio sambil menyodorkan botol teh oolong yang dibelinya dari vending machine.

Rana menerima minuman tersebut dan menatapnya nanar. Anak itu masih amat terguncang sebetulnya, dan tidak ingin melakukan apapun termasuk minum.

Yohio duduk di sebelah Rana sambil menyesap kopi dinginnya. Diliriknya Rana yang cuma meremas-remas botol itu.

"Kenapa nggak diminum? Nggak suka teh oolong?" tanya Yohio.

Rana menggeleng pelan.

Yohio kembali menyesapi kopi dinginnya dan tidak memedulikan anak perempuan yang kini menjadi target perlindungannya tengah gemetar ketakutan.

"Kenapa?" tanya Rana lirih.

Yohio melirik anak itu sekilas sebelum kembali pada kopi dinginnya. "Kenapa kau mengalami semua kejadian ini, begitu?"

Yohio meremukkan kaleng kopinya yang sudah kosong, dan membuangnya ke tong sampah yang berdiri tak jauh darinya.

Rana tersentak dan menutupi wajahnya dengan sepasang tangan mungilnya.

Yohio mendengus mendengar gadis bertubuh kecil itu sudah terisak menyedihkan.

Petugas itu pun menepuk kepala Rana, mengusap bahu kecil anak itu guna menenangkannya.

"Jangan menangis. Ini bukan salahmu," hibur Yohio sekenanya. Demi apapun, dia tak pernah menghibur siapapun selama dua puluh tiga tahun hidupnya di bumi ini.

"Ini memang bukan salahku," ucap Rana disela isakannya. "Ini salah Ayah. Seandainya saja Ayah tidak mengedarkan barang haram itu, aku tidak akan seperti ini."

Yohio tertegun sesaat. Pupil di tengah manik rubinya melebar.

"Ayahmu juga tidak bersalah," Yohio berkata ragu. Dia mengelus tengkuknya yang meremang di balik kerah jaket tipis yang ia kenakan. "Tidak ada satu pun dari keluarga kalian yang bersalah."

"Kalau begitu salah siapa?!" Rana bertanya sengit.

Yohio mengalihkan pandangan pada sepasang sepatu ketsnya yang kotor. Rana kembali terisak sambil memukuli pahanya.

"Sebenarnya, ayahmu tak bersalah."

Rana tersentak dan menatap Yohio dengan tatapan tak percaya.

Yohio menelan ludahnya dalam-dalam. Seharusnya, informasi ini tidak boleh bocor pada siapapun.

"Ayah tak bersalah?"

Yohio mengangguk kaku. Matanya melirik keadaan sekitar yang sangat sepi, hanya ada dua orang petugas kereta yang sedang membersihkan lantai sambil bercengkrama masalah ekonomi.

"Ayahmu ditahan karena mengetahui kebenaran cerita di balik dana yang selama ini menjalankan grup rahasia, grup tempat dimana aku bekerja, yang dibentuk di bawah nama Departemen Pengendalian Narkoba. Bagaimanapun juga, grup yang selama ini membantu departemen untuk menghabisi para gembong narkoba, membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk bergerak dan jika ayahmu sempat melaporkan ini kepada kepala departemen, maka grup ini akan tamat."

"..."

Rana terdiam sesaat sambil berusaha mencerna maksud penjelasan Yohio.

"Bu-bukannya kau juga berasal dari grup itu?" tanya Rana sesenggukkan. Yohio mengangguk singkat.

"Jadi, apa kau mengerti alasan mengapa kau disandera beberapa hari lalu?"

Speaker stasiun berdesis lalu mengeluarkan pengumuman bahwa shinkansen tujuan Shin Osaka-Tokyo akan segera tiba.

"Ayo, keretanya hampir sampai."

Yohio mengulurkan tangannya pada Rana.

"Aku tidak begitu mengerti," ucap Rana sambil menyambut uluran tangan Yohio. "Kau masih berhutang cerita, Nii-san!"

Yohio mengerjap-ngerjapkan matanya polos. "Nii-san?"

Rana mengangguk. "Ada yang salah?"

Bibir pucat Rana menyunggingkan senyum dan Yohio, entah kenapa, ikut tersenyum juga.


Kereta yang membawa Yohio dan Rana sudah berjalan selama tiga puluh menit. Yohio sibuk dengan ponselnya dan Rana membaca majalah fashion yang disediakan oleh pihak kereta.

"Nijiharu."

Yohio memanggil nama gadis mungil di hadapannya dan Rana hanya membalas dengan mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.

"Kau lapar?"

"Tidak." Rana menggeleng dan membalik halaman majalahnya.

"Aku tidak peduli kau lapar atau tidak, tapi yang jelas aku lapar."

Rana mengangkat wajahnya dari halaman majalah dan melongo tak percaya. Pria yang baru saja terlibat baku tembak yang sudah menelan sepuluh korban itu sedang mengelus perutnya (yang mungkin sudah dihiasi kotak-kotak seksi menggoda iman) sambil memasang wajah nelangsa.

"Nii-san betulan lapar?" Rana tak yakin. Siapa tahu saja Yohio hanya ingin mengajak Rana berbicara.

Yohio mengangguk kencang.

"Maka dari itu, ayo bantu aku cari makanan di sekitar sini," kata Yohio bersemangat. "Aku tidak tahu apa aku akan sabar menunggu empat atau lima jam lagi untuk mendapatkan makanan sesampainya di Tokyo. Aku betul-betul lapar sekarang!"

Rana terkikik geli melihat pria di depannya.

"Apa yang lucu?" Yohio bertanya sambil menyipitkan matanya. Rana menggeleng sambil menyembunyikan cengirannya dengan tangannya.

Yohio bangkit dari bangkunya dan menyapukan pandangannya ke seisi gerbong dan hanya menemukan seorang wanita tua dengan sekantung apel yang sedang berjalan ke arahnya.

"Ini, anak muda. Kudengar kau lapar, aku membawa banyak apel dari rumah." Wanita tua itu memberikan kantung apel itu pada Yohio.

"Te-terima kasih!" Yohio membungkuk kaku dan wanita tua itu tersenyum sebelum kembali ke tempat duduknya.

Yohio kembali duduk ke kursinya. Rana melirik kantung plastik bening berisi apel merah besar-besar yang menggiurkan itu. Yohio mengambil salah satu buah apel itu dan memakannya begitu saja.

Rana meneguk ludah. Suara renyah apel merah berair ketika digigit itu benar-benar mengusik pertahanan Rana. Tak bisa dipungkiri jika Rana juga lapar. Dan disaat itu pula, Yohio melirik gadis mungil di hadapannya.

"Apa? Kau mau?"

Rana menggeleng, tapi perutnya tak bisa diajak berkompromi. Melodi orkestra dari perutnya itu sungguh memalukan sampai-sampai Rana tersipu malu.

Yohio tertawa sambil meletakkan satu apel ke pangkuan Rana.

"Makan. Kalau kau pingsan karena tak kuberi makan sepanjang perjalanan Osaka-Tokyo, aku bisa dibunuh," titah Yohio di sela-sela tawanya.

Rana mengambil apel tersebut dengan ragu. Dia menatap buah yang besarnya melebihi kepalan tangannya itu.

"Jangan cuma dilihat. Makanan itu untuk dimakan bukan cuma untuk dilihat-lihat," tegur Yohio yang sekarang sudah menggigit apel keduanya.

"Tapi aku tidak bisa menggigit apel sebesar ini," cicit Rana malu-malu.

Yohio batal menggigit apelnya dan menatap Rana. "Terus?"

Dengan tatapan berbinar-binar, Rana mengulurkan apel tersebut. "Tolong potong apelnya. Bentuk kelinci, 'ya?"

Yohio berpikir sebentar, berpikir bagaimana caranya memotong apel menjadi kelinci.

"Kelinci?" ucapnya sambil mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Dia menatap lekat-lekat apel itu, berusaha membayangkan bagaimana membentuk kelinci dari sebuah apel.

"Jangan cuma dilihat. Apel nggak terpotong dengan sendirinya sampai berbentuk kelinci, Nii-san."

Yohio mendengus, Rana berhasil membalas Yohio.

"Aku bisa saja memotongnya. Tapi, bagaimana caranya memotong apel sampai berbentuk kelinci?"

Rana melongo.

"Tu-tunggu! Tadi Nii-san tanya apa?"

Yohio memutar matanya. Memang apa yang salah dengan pertanyaannya?

"Bagaimana caranya memotong apel sampai berbentuk kelinci?"

"Nii-san nggak tahu apel kelinci?"

Yohio menggeleng polos.

"Apel kelinci. Nii-san benar-benar nggak tahu?"

Rana sekali lagi bertanya dengan mata yang masih membulat tak percaya. Yohio menggeleng kencang, gemas dengan pertanyaan Rana.

"Itukan sering dimasukkan ke dalam bekal saat TK!" Rana berseru. Yohio tetap saja menggeleng ditambah dengan wajah suram.

Rana merebut pisau lipat dan apel dari tangan Yohio. Ia kemudian memotong apel menjadi satu per delapan bagian, lalu menyayat setengah kulit apelnya seperti huruf V, sebelum mengirisnya dari arah luar ke dalam. Rana mencabut kulit apel yang tertinggal lalu memotong daerah daging buah yang terdapat biji dan menunjukkan hasil kerja pada Yohio dengan dada membusung bangga.

"Lihat! Ini apel kelinci! Yang begini saja tidak bisa!"

Yohio tercenung sesaat. Ternyata apel kelinci begitu sederhana.

Dia mengambil apel kelinci yang disodorkan Rana dan memakannya dalam dua gigitan. Tiba-tiba, Yohio menyunggingkan senyum di bibirnya.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Rana sambil menyayat kulit potongan apel untuk apel kelincinya yang ketiga.

Yohio tertawa. "Aku kira, aku harus memotong apel-apel ini menjadi bentuk seperti kelinci sungguhan!"

Rana terkikik geli. Betapa rumitnya pikiran pria di hadapannya ini.

"Dasar konyol!"

"Habis, aku nggak pernah pergi ke sekolah."

"..."

Rana terdiam. Tangannya yang memegang pisau berhenti bergerak dan apel kelinci yang baru saja ingin diletakkannya di atas majalah tergelincir dari tangannya.

"Dulu, aku selalu berada di dalam sebuah kandang. Diperlakukan bagai binatang," Yohio mencomot satu apel kelinci yang tersusun di atas majalah dan memakannya.

Rana menatap iris rubi milik Yohio yang terlihat bergetar. Meski nada bicara terlihat santai-santai saja, matanya tak menunjukkan demikian. Mata itu seperti sedang menerawang jauh ke belakang, ke sebuah tempat yang mungkin tak bisa Rana bayangkan.

Yohio bercerita sementara Rana terus memotong-motong apel, menjadikannya apel kelinci yang disukainya.

Sesekali Rana bertanya, berusaha menghindari topik yang bersangkutan dengan ayahnya, tetapi akhirnya semua pertanyaan itu kembali menjurus kepada ayahnya.

"Jadi, aku diculik karena aku akan dijadikan senjata orang itu seandainya Ayah macam-macam di persidangan nanti?"

Yohio mengangguk sambil memakan apel kelinci buatan Rana.

"Tapi, kalau ayah bicara bukannya nanti grup kalian bisa bubar?"

Yohio mengangguk. "Kau benar."

Rana menghela napas berat. "Jika ayah bicara, kalian akan bubar dan nyawaku, ayah, dan ibu akan lebih terancam lagi. Jika ayah tidak bicara, kelompok kalian aman dan aku juga akan aman. Tapi ayah tetap akan ada di dalam di sana untuk sesuatu yang tidak diperbuatnya."

Rana mendesah sambil mengacak poninya.

Yohio mengambil satu apel kelinci dan menatap bagian daging buah yang kini menguning akibat teroksidasi dengan udara sambil melempar pandangannya keluar jendela, tidak ingin melihat derita sang target perlindungan yang sedang menghadapi dua buah opsi yang sulit untuk dipilih.

"Bubar atau tidak, yang jelas grup tempatku bekerja sekarang sudah busuk," Yohio menggigit apelnya dan mengunyahnya sebelum kembali berbicara.

Rana memandang pria di hadapannya yang sedang memainkan apel kelinci di tangannya.

"Aku penegak keadilan dan aku akan terus berpegang pada prinsip itu."

Manik permata rubi Yohio terlihat kosong. Prinsip apa yang dimaksud Yohio, Rana tidak tahu dan tak mau ambil pusing.

Rana mengambil sepotong apel kelincinya dan menggigitnya.

"Aku tahu Ayah tak mungkin menjadi orang sejahat itu," ucap Rana lirih.

Yohio mengangguk setuju. "Hmmh, Nijiharu-san memang orang yang baik hati."

Rana tersenyum simpul.

"Hei, Nijiharu—" Rana menyela dengan menyumpal mulut Yohio dengan apel kelinci.

"Rana. Panggil aku Rana, Nii-san."

Yohio mengunyah apel yang ada di mulutnya dan meneruskan kalimatnya yang sempat terpotong oleh sumpalan apel kelinci.

"Oke! Rana, suatu saat nanti, jika kita berdua selamat, ayo kita makan apel kelinci lagi!"

"Kau, 'kan, bisa membuat sendiri!"

"Aku hanya mau buatan tanganmu, Imouto."

Rana tersipu. Wajah merona sampai ke telinga-telinganya. Yohio tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Rana sampai-sampai wanita tua yang awalnya sedang tertidur, terlonjak bangun dengan apel di tangan.

Mereka berdua tertawa bersama dan kembali bercengkrama bagai saudara kandung, ditemani delapan belas potong apel kelinci yang dibuat Rana.


Kereta yang mereka tumpangi sebentar lagi akan sampai di Tokyo. Rana yang sudah lelah tertawa akibat candaan dan lelucon yang dilontarkan Yohio hanya bisa bersandar lemas di kursi kereta.

"Kenapa, Nii-san? Kok pucat?"

Rana tak mengerti kenapa 'kakak'nya tiba pucat sejak pengumuman jika kereta yang mereka tumpangi akan sampai di Tokyo.

Yohio hanya menggeleng sambil tersenyum, seolah-olah dia berkata jika dia baik-baik saja.

Kereta perlahan-lahan melambat di atas rel. Stasiun yang mereka tuju sudah di depan mata. Tapi wajah Yohio semakin suram dan memucat.

Yohio mengeluarkan ponselnya dan menyurukkannya ke dalam tas kecil Rana.

"Untukmu. Di dalamnya ada diriku." kata Yohio dengan senyum di bibir. Rana hanya bisa membalas tersenyum kaku, dia tak mengerti kenapa Yohio tiba-tiba seperti itu.

"Kau janji, 'kan, jika kita selamat, kau mau makan apel kelinci bersamaku?" Sepasang kelereng rubi Yohio memancarkan sorot penuh harap yang amat sangat. Lagi-lagi, Rana hanya bisa mengangguk.

Kereta berhenti dan pintu gerbong yang ditumpangi mereka berdua terbuka.

"Tetap berada di dekatku, Rana," ucapnya sambil menggenggam tangan Rana sementara tangannya yang satu lagi bersembunyi di balik saku celananya.

Mereka berdua turun dari dalam kereta. Mata Yohio tak henti-henti bergulir ke kanan dan kiri, memastikan keadaan di sekitarnya tetap aman.

Tiba-tiba pengangannya di tangan Rana mengerat dan tangan kirinya keluar dengan sepucuk pistol semi-otomatis.

"Nii-san—"

"Rana, lari!"

Yohio mendorongnya ke arus manusia yang sedang berlalu-lalang keluar masuk stasiun.

Yohio mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan melemparkannya ke tanah dan seketika peron ditutupi oleh asap.

Rana memejamkan matanya karena tidak kuat dengan asap yang membuat mata pedih sambil terbatuk-batuk.

DOR! DOR! DOR!

Satu demi satu tembakan terdengar diiringi jeritan dan pekikan panik masyarakat dan speaker pengumuman yang meminta masyarakat untuk tenang.

"Rana!"

Desing suara peluru terdengar melewati telinga Rana.

Rana terbatuk-batuk sambil mencari jalan keluar dengan matanya yang perih dan berair.

"Nijiharu!"

Rana mengintip dengan sebelah matanya yang berair, melihat dari balik asap itu muncul seorang pria berambut merah yang barusan memanggil namanya.

"Nijiharu! Ikut denganku!"

Pria berambut merah itu menarik Rana keluar dari kukungan asap tanpa basa-basi dan Rana hanya bisa mengikut dengan pasrah. Kawan atau lawan, untuk sementara, Rana hanya ingin keluar dari jebakan asap yang memuakkan itu.

Belum sepenuhnya keluar dari stasiun, tengkuk Rana dicium stun-gun oleh pria itu.


Ketika dia membuka kelopak matanya, pria berambut merah itu segera mencecari dengan pertanyaan.

"Nijiharu, kau yakin kalau kau baik-baik saja?" tanya pria itu entah untuk keberapa kalinya. Rana mengangguk.

Rana ingat jika pemilik tangan yang menggenggamnya erat saat turun dari kereta sedang tidak bersamanya.

"Nii-san!" Rana berseru sambil mengguncang tangan pria itu. "Nii-san masih ada di stasiun!"

"Ha?"

Seingat pria berjulukan Ars itu, Rana hanya putri satu-satunya di keluarga Nijiharu.

"Yohio! Yohio nii-san masih ada di sana!"

"Maaf."

Rana segera terguncang mendengar kata itu. Debar jantungnya meningkat dan tangannya bergetar tak keruan. Ada panas di mata Rana. Bukan, bukan karena asap sialan itu.

"Yohio sudah—"

Jadi, desing yang menyapa telinga Rana saat terjebak di dalam asap adalah peluru yang mengarah

"—tewas."

Tetes air mata Rana menuruni pipi gembilnya yang pucat.

"Nii-san…."

Rana ingat saat Yohio membuatnya tertawa lepas setelah tiga tahun terus murung karena selalu teringat dengan sang ayah yang menyedihkan.

"Nii-san…."

Rana ingat bagaimana polos Yohio menyerukan bahwa dirinya lapar, tidak tahu apel kelinci, dan mengatakan jika dia tak pernah bersekolah.

"Nii-san…."

Rana semakin terisak saat mengingat janjinya dengan Yohio.

'Kau janji, 'kan, jika kita selamat, kau mau makan apel kelinci bersamaku?'

"Nii-san…."

Rana tahu jika Yohio, sang 'kakak', tak akan pernah kembali lagi untuk sekadar menikmati apel kelinci buatannya.

"Jangan menangis, Nijiharu. Hio mati karena menyelamatkanmu."

Bukannya memperbaiki suasana, Ars justru membuat Rana meledak dalam tangisnya.

Ars mendesah dan cuma bisa menepuk bahu Rana pelan di atas kursi tunggu di dalam stasiun.


Mengingat itu semua, Rana hanya bisa menangis. Sudah empat tahun berlalu, tetapi Rana belum bisa menghilangkan memori-memori itu.

Terlalu menyakitkan, begitulah pikir Rana.

Maka setiap tanggal 15 Agustus, bertepatan dengan tanggal kejadian itu, Rana selalu mengunjungi makam Yohio dengan sebuket bunga dan sekotak apel kelinci.

"Kubawakan apel kelinci buatan tanganku untukmu, Nii-san. Semoga kau menyukainya dan maaf sampai sekarang aku tidak bisa membuka ponselmu. Kau tidak memberiku password-nya sebelum meninggalkannya padaku. Maa ii, semoga kau bahagia di sana."

Rana menepuk tangannya dan bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.

"Nijiharu?"

Rana mendongak sambil menutupi matanya yang kesilauan akibat terik matahari. Sesaat, dia mengutuk tubuh pendeknya.

"Ars-san? Lama tak bertemu!"

Ars tersenyum sambil mengangguk kecil. Dia meletakkan buket bunganya di depan nisan Yohio dan berdoa sebentar.

"Nijiharu, kau bawa cadangan apel kelincimu?" tanyanya seusai berdoa.

"Ada. Aku membuatnya banyak di rumah bibiku. Ars-san mau?"

"Tentu saja! Aku tidak sudi kalau cuma Hio yang menikmati apel kelincimu! Aku juga mau!"

Rana terkekeh. Baik Ars dan Yohio memang punya sisi kekanakan yang lucu.

"Kalau begitu, ayo! Aku ikut menumpang dengan mobilmu, 'ya!"

Ars mengangguki sambil memimpin jalan. Dia menapaki jalan setapak sambil sesekali melirik ke belakang, melihat gadis yang umurnya sudah sembilan belas tahun tapi masih imut-imut bak bocah SMP, kesusahan mengikuti langkah Ars dengan kaki yang panjangnya apa adanya itu.

"Aku sebenarnya penasaran denganmu, Nijiharu."

Akhirnya Rana berlari, mensejajarkan dirinya dengan Ars.

Rana mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Aku sudah cerita belum kalau Hio benci apel kelinci?"

Rana menggeleng.

"Hio benci apel kelinci karena dia akan ingat sama ibunya yang sudah meninggal waktu dia masih kecil, dia cerita begitu waktu kami sedang dirawat sama-sama," ungkap Ars sambil memandang langit musim panas yang cerah.

"Lalu, apa yang membuat Ars-san penasaran?" tanya Rana.

"Aku penasaran kenapa Hio mau memakan apel kelinci buatanmu?"

Rana terdiam sebentar, berpikir.

"Mungkin karena aku imut?"

Rana mengerjapkan matanya imut sampai Ars dibuat kicep olehnya.

"Ya ampun, Nijiharu, aku tidak menyangka kau senarsis itu dan percuma aku bukan lolicon."

Rana tertawa kecil dan Ars cuma bisa geleng-geleng kepala.

Angin musim panas berhembus, memainkan poni merah jambu pucat Rana, seolah meminta Rana kembali melirik ke dalam pemakaman.

"Hei, Ars-san."

"Hm?"

"Sepertinya," Rana berpaling berbalik ke dalam pemakaman. "Nii-san menikmati apel kelincinya."